You are currently viewing Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Wangon

Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Wangon

Masjid Saka Tunggal ini terletak dari desa Cikakak Kecamatan Wangon berjarak sekitar 30 km arah barat daya kota Purwokerto. Masjid Saka Tunggal dibangun di tempat suci “agama kuno” (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindhu Budha) yang dilakukan di sekitar Masjid terdapat sebuah batu Menhir.

Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang adalah saka tunggal yang berada di tengah-tengah bangunan masjid. Saka tunggal tersebut dibuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni. Bagian pangkal berdiameter sekitar 35 cm, saka ini berdiri hingga diatas wuwungan yang berbentuk limas, seperti wuwungan pada masjid Agung Demak. Bagian atas saka ini terdapat tulisan angka 1288 yang tertuis dengan huruf hijaiyah. Angka tahun tersebut yang cukup menimbulkan kontroversi, apakah tahun itu termasuk ke tahun masehi atau hijaiyah. Kalau masuk ke tahun masehi berarti mesjid tersebut adalah masjid tertua di Indonesia karena dibangun jauh sebelum masa walisongo. Tetapi banyak para ahli yang menilai tahun 1288 itu tidak merujuk pada kalender masehi. Jika angka itu ditoreh pada saat masjid dibuat orang Jawa Islam saat itu tentu akan mengacu pada kalender Hijaiyah atau kalender saka.

Keunikan bangunan saka tunggal tersebut adalah adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat saka yang menenmpel melambangkan “papat kiblat lima pancer” atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer di kelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air dan bumi. Papat kiblat lima pancer bisa diartikan juga dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminology Islam Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung mempengaruhi watak manusia. Empat mata angin itu berarti banwa hidup manusia harus seimbang.

Keaslian lain yang masih terpelihara di masjid tersebut adalah ornament di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada banguan-banguan kuno era Singasari dan Majapahit. Selain itu atap berbentuk seperti bangunan pura Majapahit atau tempat ibadah Hindu di Bali. Tempat wudhu pun juga masih brnuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.

(Disarikan Oleh Renardi Pamikat)