You are currently viewing Latar Belakang Sejarah (Bagian 4), Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya

Latar Belakang Sejarah (Bagian 4), Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah sampai saat terus menerbitkan buku bertema Cagar Budaya. Beberapa buku yang telah diterbitkan merupakan buku yang cukup sering digunakan untuk referensi guna melakukan tindakan pelestarian suatu cagar budaya. Buku-buku ini sering disebut sebagai buku “Babon” karena sangat memegang peranan penting. Salah satu buku “Babon” ini adalah Buku Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya. Adapun tim penulis buku ini adalah Penasehat/editor : IGN Anom, Penanggung Jawab : Tri Hatmaji, Tim Penyusun terdiri dari Ketua : Kusen, Anggota : I Made Kusumajaya, Gutomo, Rusmulia Ciptadi H, Murdjijono, Sudarno, dan Suhardi. Buku ini diterbitkan sebagai bagian Proyek Pelestarian / Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah 1991- 1992. Untuk lebih memudahkan akses masyarakat untuk dapat membaca buku ini, laman ini akan menampilkan bagian per bagian dari buku Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya.

Dengan demikian struktur sosial pada masa sebelum kedatangan pengaruh India terdiri dari dua lapisan utama yaitu rakyat desa yang tinggal di wanua- wanua dengan masing- masing ramanya, raka dan pejabat pemerintahan yang tinggal di pusat pemerintahan. Lapisan pertama bertindak sebagai produsen sedang lapisan kedua bertindak sebagai konsumen sekaligus secara politik sebagai administrator dan secara ekonomi bertindak sebagai distributor barang dan jasa.

Pada saat pengaruh India datang struktur pemerintahan dan sosial seperti diuraikan di tas sudah cukup mapan. Namun, lambat laun seiring dengan semakin kuatnya pengaruh India, sistem ketatanegaraan serta struktur masyarakat Hindu di adopsi di Jawa meskipun tidak sampai merombak seluruh tatanan yang sudah ada sebelumnya. Salah satu contoh pengambilalihan kebudayaan India adalah penggunaan gelar sri maharaja yang dipakai oleh para Raka ( penguasa daerah). Gelar asing yang hanya dapat disahkan oleh para pendeta ini dianggap dapat mempertinggi status atau kedudukan mereka. Meskipun sudah memakai gelar sri maharaja, gelar kerakaan mereka pada umumnya tetap dicantumkan. Mereka yang memakai gelar sri maharaja adalah para raka yang telah berhasil menguasai raka- raka lain baik melalui penaklukan atau cara lainnya.

Kedudukan maharaja selalu rawan dan kritis karena pada hakikatnya dia juga seorang raka yang harus selalu bersaing dengan raka- raka lain untuk menduduki tahta tertinggi. Kedudukannya yang unik, kemuliaannya, dan bahkan kesuciannya perlu pengesahan dan perlu tetap dijaga serta diteguhkan terus menerus misalnya dengan melalui karya- karya keagamaan dan kesenian. Oleh karena itu pendeta, ahli sastra, dan seniman tidak dapat dipisahkan dari keraton. Mereka sangat diperlukan untuk meluhurkan kemuliaan raja.