You are currently viewing Hasil Kriya Kayu dan Persebarannya, Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Hasil Kriya Kayu dan Persebarannya, Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah telah menerbitkan beberapa buku. salah satu buku yang telah diterbitkan adalah buku berjudul Jawa Tengah Sebuah Potret Warisan Budaya. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Prof. Sumijati Atmosudira dkk /editor). Mempertimbangkan permintaan dari masyarakat maka buku ini ditampilkan di laman ini.

 Hasil kriya kayu yang dikemukakan sebagai contoh dalam tulisan ini adalah hanya sebagian saja, yaitu yang berasal dari masa pengauh Islam. Hal ini disebabakan karena sifat kayu yang tidak dapat bertahan lama, sehingga keberadaan peninggalan kayu yang berasal dari masa sebelum pengaruh Islam sudah tidak dapat diamati secara langsung. Adapun hasil kriya yang dimaksud antara lain adalah:

Masqurah

Masqurah dapat digolongkan sebagai komponen interior masjid yang merupakan tempat khusus untuk solat sultan atau penguasa pada sat melakukan solat jama’ah. Keberadaan masqurah dalam sebuah masjid termasuk istimewa karena tidak semua masjid dilengkapi dengan masqurah, hanya masjid yang berada di ibukota negara saja yang mempunyai masqurah. Salah satu masjid di Jawa Tengah yang mempunyai masqurah adalah Masjid Agung Demak. Masqurah Masjid Agung Demak berbentuk persegi empat (1,81 x 2,23 x 3,25 m), dibuat dari kayu jati mempunyai tiba bagian yang terdiri atas bagian kaki, badan serta bagian atap. Pada bagian kaki diberi hiasan pinggir berupa hiasan awan. Bagian bandannya mempunyai dua pintu (dari sisi utara dan selatan) dan diberi ukiran krawang (tembus pandang) dengan motif hias sulur-suluran, bunga, bingkai cermin, dan kaligrafi.

Fungsi maqusah sebagai tempat shalat raja atau pemimpin adalah untuk menjaga keselamatannya, walaupun pada kenyataannya bentuk fisik maqusah kurang menggambrkan aspek keamanan. Ukiran pada tubuh  maqursah yang tembus pandang sebenarnya kurang memenuhi syarat sebagai unsur pertahanan untuk melindungi raja/pemimpin yang sedang shalat. Oleh karena itu, masqurah tampaknya lebih tepat dikaitakn sebagai pemisah antara sultan/penguasa dengan rakyat biasa sehingga keberadaannya dalam masjid merupakan simbol kekuasaan yang merefleksikan pengkultusan pemimpin (sultan) sebagai dewa. Dengan demikian berarti keberadaan masqurah dalam masjid merupakan upaya pelesatarian konsep dewaraja yang berasal dari tradisi sebelumnya dengan menempatkan sultan pada tempat yang istimewa. Padahal ajaran islam mangajarkan bahwa semua umat mempunyai kedudukan yang sama di depan Allah sehingga tidak terdapat pembedaan tempat ibadah anatar rakyat dan penguasa. Rakyat yang datang lebih awal ke masjid berhak duduk di barisan depan, sebaliknya pemimpin yang datang kemudian harus bersedia berada di barisan belakang.

(foto Ilustrasi Masjid Demak)