You are currently viewing Gedongsongo, Candi Campuran Dua Budaya

Gedongsongo, Candi Campuran Dua Budaya

Di lereng Gunung Ungaran pada koordinat 110º20’27’’ BT dan 07º14’3’’ LS terdapat sebuah kompleks percandian bagi penganut Hindu yang dibangun pada sekitar abad VIII M. Tepatnya di Desa Darum, Kelurahan Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Gedongsongo adalah nama yang diberikan oleh penduduk bagi kompleks tersebut. Nama Gedongsongo berasal dari Bahasa Jawa, Gedong berarti rumah atau bangunan, Songo berarti sembilan. Arti kata Gedongsongo adalah sembilan (kelompok) bangunan. Apakah ini berarti bahwa di kompleks Candi Gedongsongo sejak awal terdiri dari sembilan kelompok atau memiliki arti lain belum dapat dijawab. Tetapi pada saat ini hanya terdapat lima kompleks bangunan.

Kompleks candi ini dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan di lereng gunung Ungaran. Hal ini menunjukkan karakter Candi Gedongsongo yang sangat spesifik yaitu sebuah perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal dan global. Gunung adalah tempat persembahan kepada roh nenek moyang. Kepercayaan ini merupakan tradisi masyarakat lokal pra Hindu. Sedangkan gunung juga merupakan tempat tinggal dewa-dewa menurut tradisi Hindu yang pada saat itu sedang berkembang secara global mempengaruhi hampir separuh dunia. Tradisi lokal yang biasanya terkurangi perannya oleh tradisi global, ternyata keduanya mampu berdiri setara di Gedongsongo.

Kesetaraan tersebut ditunjukkan dengan pemberian arti baru pada situs Percandian Candi-Candi di Kompleks Gedongsongo juga menunjukkan kekhususannya sebagai budaya campuran seperti tersebut di atas yaitu kecenderungan kepada Parswadewata. Di India, tradisi Hindu lebih di-utamakan kepada Tri Murti yang terdiri dari dewa Brahma, Wishnu, dan Siwa. Tetapi di Gedongsongo berwujud kepercayaan kepada Parswa dewata (di India juga terdapat kepercayaan ini meskipun tidak populer). Parswadewata di  Jawa dapat ditafsirkan sebagai persembahan kepada roh nenek moyang yang telah bersatu dengan Siwa dan di candi disimbolkan dengan Lingga-Yoni yang dikawal oleh dewa pengiring yaitu: Durga (istri Siwa), Ganesha (anak Siwa), dan Agastya (seorang resi yang memiliki kemampuan spiritual setara dengan dewa).

Ciri kejawaannya yang ditunjukkan dengan adanya arca Agastya ini menunjukkan peran manusia. Hal ini dapat ditafsirkan dengan peran nenek moyang seperti tersebut di atas. Sedangkan Parswadewata di  India posisi Agastya ditempati oleh Kartikeya, anak Siwa yang berperan sebagai dewa perang. Sedangkan sebagai pengawal Dewa Siwa, dikenal Nandiswara dan Mahakala yang bertugas sebagai penjaga pintu candi Hindu. Nandiswara kadang-kadang dianggap sebagai perwujudan Siwa sendiri atau perwujudan kendaraan Siwa (nandi) dalam bentuk manusia. Mahakala sebagai dewa waktu juga merupakan aspek Siwa dalam bentuk krodha (mengerikan).