You are currently viewing Dewa Dewi Masa Klasik, Panteon Budha (7)

Dewa Dewi Masa Klasik, Panteon Budha (7)

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah sampai telah menerbitkan buku. Buku-buku ini dibagikan secara gratis kepada masyarakat selama persediaan masih ada. Tak jarang karena persediaan telah habis banyak masyarakat tidak mendapatkan buku terbitan BPCB Jateng yang diinginkan. Salah satu permintaan masyarakat yang cukup tinggi adalah buku Dewa Dewi Masa Klasik yang diterbitkan BPCB Jateng pada tahun 2010. Berdasarkan kenyataan tersebut melalui laman ini akan ditampilkan isi buku Dewa Dewi Masa Klasik yang terbagi dari beberapa bagian.

Sebagaimana di dalam agama Hindu, di dalam agama Buddha pun dikenal sistem pateon. Akan tetapi, secara pribadi saya berpendapat bahwa memahami panteon Buddha memerlukan sedikit perhatian lebih, karena terkait erat dengan sekte yang melatarinya.  Oleh karena itu, untuk memahami sistem panteon yang ada, diperlukan pemahaman tentang sekte-sekte yang dimaksud. Dalam tulisan ini gambaran tentang sekte-sekte di dalam agama Buddha pun rasanya perlu dikemukakan, walaupun hanya secara garis besar saja.

Secara garis besar, Agama Buddha terbagi ke dalam tiga sekte, walaupun sebenarnya  jumlah sekte yang ada lebih banyak lagi. Tiga sekte yang dimaksud adalah  sekte yang dominan, terdiri atas Terawada, Mahayana, dan Wajrayana yang juga dikenal dengan sebutan Tantrayana.

Terawada merupakan sekte yang berkembang paling awal. Pada prinsipnya Terawada menitik beratkan kepada pencapaian pencerahan secara individual, sehingga tujuan utamanya adalah menjadi arhat atau pendeta. Berbeda dengan Terawada, Mahayana menitik beratkan aktivitasnya pada upaya membantu semua makhluk mencapai pencerahan dengan menjadi Boddhisattwa. Oleh karena itu, sekte ini disebut   Bodhisattwayana. Sebenarnya, sekte Terawada pun mengakui keberadaan Bodhisattwa, akan tetapi hanya diakui satu Bodhisattwa saja, yaitu Siddharta Gautama, sebelum  turun ia ke dunia menjadi manusi buddha. Sebaliknya, sekte Mahayana mengenal banyak sekali Bodhisattwa, tak terhitung jumlahnya. Bodhisattwa Awalokiteswara, misalnya, bahkan mempunyai bentuk perwujudan hingga mencapai 108.

Tantrayana disebut juga  Tantrisme, adalah tahapan lebih lanjut dari Mahayana yang bersifat esoterik.  sekte ini menitik beratkan aktivitasnya kepada praktek-praktek ritual, sedangkan Buddhisme yang  umum titik  beratnya adalah pada meditasi atau samadi.

Sebagaimana halnya di dalam agama Hindu, agama Buddha pun mengenal sejumlah dewa-dewi yang digunakan sebagai sarana pemujaan. Para Buddha dan Bodhisattwa lah yang didudukkan dan dipuja sebagai dewa-dewi. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa dalam perkembangannya, dewa-dewi dalam agama Hindu  diadopsi pula menjadi dewa-dewi Buddha. Tidak hanya itu,   agama Hindu pun mengakui keberadaan   Buddha sebagai awatara kesembilan dalam dasawatara Wisnu. Tradisi semacam itu sebetulnya tidaklah mengherankan, terutama apabila latarbelakang munculnya Buddhisme dirunut  secara historis.  Eksistensi Buddhisme tidak dapat dilepaskan begitu saja dari Hinduisme. Prasasti Klurak (782 M), yang ditemukan di sekitar Candi Lumbung misalnya, bahkan dengan tegas menyebutkan adanya penyetaraan antara Manjusri yang berkedudukan sebagai dewa utama dengan Trimurti, karena di dalam diri Manjusri tekandung unsur Triratna.

Hirarkhi sistem panteon dalam agama Buddha terdiri atas Adibuddha, Dhyani Buddha, Bodhisattwa, dan Manusi Buddha. Adibuddha adalah dewa tertinggi yang besifat swayambhu (menciptakan dirinya sendiri) dan ia ada sebelum dunia dan seisinya ada. Dari dirinyalah para Dhyanibuddha berasal. Dhyanibuddha, disebut juga tathagata, adalah emanasi Adibuddha yang berkedudukan di nirwana. Para Dhyanibuddha ini dipercaya sebagai ikon yang telah mencapai kesempurnaan ilmu tertinggi, sehingga terlepas dari samsara.  Ada di tingkatan berikutnya adalah Bodhisattwa, yaitu ikon yang telah mencapai pengetahuan tertinggi sehingga ia berhak masuk nirwana. Akan tetapi, ia memutuskan untuk menunda masuk nirwana karena berbelas kasih menolong semua makhluk agar  mendapatkan pencerahan. Para Bodhisattwa ini berkedudukan di swarga tushita yang merupakan tempatnya menunggu sebelum diturunkan ke dunia sebagai manusi buddha.

Dipercaya ada banyak manusi buddha yang mengabdikan dirinya di dunia untuk menyelamatkan segala makhluk. Salah satunya adalah Sakyamuni (orang bijak dari dinasti Sakya) yang merupakan tokoh sejarah. Sakyamuni adalah sebutan bagi Siddharta Gautama, putra raja Kerajaan Kapilawastu di perbatasan antara India dan Nepal. Masa hidup  Siddharta Gautama antara tahun 563 SM-483 SM, dan pada saat berumur 35 tahun ia mencapai kebuddhaan, sehingga disebut Buddha.  Selain digunakan untuk menyebutkan tingkatan seseorang yang sudah mencapai kebuddhaan, terminologi Buddha secara spesifik menunjuk Siddharta Gautama dan ajaran yang diajarkannya, yang kemudian dikenal sebagai agama Buddha.

 Dewa-dewa Buddha dapat dibedakan satu dari yang lainnya melalui berbagai cara. Selain melalui laksana, mudra dan asana-nya, juga dapat diketahui berdasarkan perwujudannya.  Adibuddha  sebagai dewa tertinggi sebenarnya tidak digambarkan dalam wujud ikon. Akan tetapi, sekte Wajrayana menggambarkan Adibuddha dalam wujud antropomorfik, sebagai Wajradhara yang mengenakan bodhisattwa-abharana. Apabila digambarkan sendiri, Wajradhara digambarkan dalam sikap vajrahumkaramudra dan bila digambarkan bersama sakti-nya, Wajradhara digambarkan dalam posisi yabyum. Wujud lain yang juga dipercaya sebagai representasi Adibuddha adalah Samantabhadra dan  Wairocana.

Para Dhyani Buddha mempunyai ciri yang mudah dikenali, digambarkan sebagai ikon yang bermeditasi dan sama sekali tidak mengenakan abharana. Tubuhnya hanya dibalut dengan jubah yang terdiri atas tiga helai kain, disebut trisiwara atau lagoi. Wajahnya yang tenang menggambarkan sikap meditasi.  Pada dirinya terdapat ciri fisik berupa tonjolan di tengah dahinya, disebut urna,   merupakan simbol dari mata kebijakan (eye of wisdom) dan yang maha melihat. Kepalanya memiliki tonjolan yang disebut usnisha sebagai simbol dari sifatnya yang maha mengetahui. Telinganya digambarkan panjang, sebagai simbol dari sifatnya yang maha mendengar.

Jumlah Dhyani Buddha yang dikenal secara umum ada lima, sehingga disebut panca tathagata, terdiri atas Ratnasambhawa di timur,  Aksobhya di selatan, Amitabha di barat, Amogapasha di utara, dan Wairocana di pusat.  Konfigurasi Dhyani Buddha yang lima ini (panca tathagata)  tersebut antara lain dapat dijumpai di Candi Borobudur. Akan tetapi, Borobudur sebenarnya mempunyai keistimewaan, karena di Borobudur terdapat Dhyani Buddha lain yang digambarkan dengan mudra witarka, yang ditempatkan pada relung-relung di teras persegi paling atas, menghadap ke semua penjuru mata angin.

Para Bodhisattwa mempunyai penampilan fisik yang sangat berbeda dengan Dhyani Buddha. Secara umum Bodhisattwa digambarkan sebagai ikon yang mengenakan pakaian dan perhiasan yang termasuk dalam kategori bodhisattwa-abharana.  Sekte Mahayana dan Wajrayana mengakui banyak sekali Bodhisattwa, berbeda dengan Terawada yang hanya mengakui satu Bodhisattwa saja. Di antara Bodhisattwa yang tak terhitung jumlahnya itu, yang paling terkenal adalah Awalokiteswara.

Ikon penting berikutnya adalah manusi buddha (mortal buddha).  Sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan Buddhisme Mahayana mencatat kurang lebih ada 32 manusi buddha, tetapi hanya ada satu manusi buddha yang merupakan tokoh historis, yaitu Siddharta Gautama. Penggambaran manusi buddha bervariasi, ada yang digambarkan dengan ciri Bodhisattwa dan ada pula yang digambarkan dengan ciri Dhyani Buddha. Maitreya sebagai manusi buddha yang akan datang misalnya, digambarkan denga ciri Bodhisattwa. Sementara Siddharta Gautama sebagai resen manusi buddha lebih sering digambarkan dengan ciri Dhyani Buddha.  Sekali lagi, untuk dapat membedakan satu manusi buddha dengan yang lainnya, perlu memperhatikan laksana, mudra, atau asana-nya.

Selain melihat hirarkhinya, sistem panteon dalam Buddhisme mengikuti konsep kula atau keluarga, sebagaimana diikuti oleh Sekte Wajrayana. Dalam konsep tersebut, dewa-dewi yang berasal dari satu kula   menggunakan atribut yang sama, yang menjadi karakteristik dari kula yang bersangkutan. Dapat dikemukakan sebagai contoh misalnya adalah padma kula, yang menggunakan penanda padma. Berkenaan dengan hal tersebut, maka semua anggota dalam padma kula menggunakan laksana padma, terdiri atas Amitabha sebagai bapak spiritual para anggota kula, Pandara sebagai sakti Amitabha, dan Awalokiteswara.  Ciri lain untuk menunjukkan hubungan di dalam kula adalah bimba. Amitabha bimba yang terdapat di mahkota Awalokiteswara misalnya, adalah penanda bahwa Amitabha adalah bapak spiritual Awalokiteswara.

Dalam konsep kulasakti mempunyai peranan penting, mengingat  para sakti inilah yang dipercaya mengandung energi penciptaan untuk melahirkan kula.  Oleh karena itu, sakti pun menduduki peranan penting dalam pemujaan.  Di antara para sakti Dhyani Buddha dan Bodhisattwa, Tara lah yang paling penting, sehingga ia disebut “Tara sang Ibu”.  Ada dua Tara yang paling dominan, yaitu Tara Putih (White Tara) dan Tara Hijau (Green Tara). Para Tara tersebut adalah  ibu yang dengan setia, siang malam, tanpa mengenal lelah, melalukan berbagai upaya untuk menghilangkan duka cita dan kesengsaraan para makhluk di bumi.  Karenanya, tidaklah mengherankan jika sang Sailendrawamsatilaka kemudian memberikan penghormatan khusus kepada Tara, dengan mendirikan Candi Kalasan yang diperuntukkan sebagai Tarabhawana (rumah untuk Tara), sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan (778 M).

Mandala yang secara harafiah mempunyai arti pola geometris sebagai lambang cosmos, juga memegang peranan penting dalam sistem panteon Buddhis.  Berkaitan dengan hal ini, maka mandala adalah diagram yang menggambarkan konfigurasi dewa-dewa yang dipuja berdasarkan sekte tertentu.  Mandala yang paling umum dikenal adalah konfigurasi panca tathagata, yang terdiri atas Ratnasambhawa di timur, Aksobhya di selatan, Amitabha di barat, Amogaphasa di uatara, dan Wairocana di pusat.  Para dewa yang duduk di dalam mandala tertentu mempunyai dhatu (elemen) yang sama sebagai penandanya.

Makhluk-makhluk kayangan dan binatang-binatang mitis, temasuk yang menjadi wahana dewa, juga menjadi bagian dalam ritual Buddhisme. Pada umumnya mereka berasal dari agama Hindu. Peranannya pun tidak mengalami perubahan yang signifikan.  Catur lokapala di dalam Hindu misalnya, juga dikenal di dalam Buddhisme  meskipun sebutannya menjadi catur maharaja. Sama hal nya dengan catur lokapala, catur maharaja ini pun kemudian berkembang menjadi astadikpalaka  dan dasa lokapala.

Sumber: Buku Dewa Dewi Masa Klasik Terbitan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah