You are currently viewing “Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah” Bagian VI Kompleks Percandian Gedongsongo

“Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah” Bagian VI Kompleks Percandian Gedongsongo

Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah pada tahun 2019 kembali menerbitkan sebuah buku. Buku ini berjudul “Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah”. Buku ini diterbitkan guna memeberikan informasi singkat tentang cagar budaya peringkat nasional berupa bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya yang berada di wilayah Jawa Tengah.

Buku ini diterbitkan dalam dua versi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Halaman-halaman pada buku ini banyak dipenuhi dengan foto-foto yang diharapkankan dapat menarik bagi pembaca dan tidak membosankan.

Buku “Cagar Budaya Nasional Jawa Tengah” akan dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Sebagian buku ini telah dikirim kepada sekolah, dinas, dan perpustakaan yang telah ditunjuk. Pada saat Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah mengadakan even, buku ini juga akan dibawa dan dibagikan. Bagi sekolah ataupun perpustakaan yang menginginkan buku ini, dapat mengajukan permohonan kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah melalui Surat. Bagi masyarakat yang ingin membac secara online juga dapat membaca melalui laman kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng karena materi buku ini akan diunggah bagian perbagian. Selamat membaca.

Kompleks candi ini dibangun berderet dari bawah hingga puncak perbukitan di lereng gunung Ungaran. Hal ini menunjukkan karakter Candi Gedongsongo yang sangat spesifik yaitu sebuah perpaduan antara dua religi yang bersifat lokal dan global.

The complex was built in rows that lied further up the slopes of Mountain Ungaran. This shows a specific character of Gedongsongo temple, a mixture between a local religion and the global one.

Suasana hikmat yang tercipta pada tempat ibadah tersebut akan mendukung pelaksanaan ritual yang sempurna. Bangunan peribadatan yang berupa candi-candi dan lingkungan sekitarnya -bukit serta hutannya- merupakan sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pelestarian tidak hanya ditujukan kepada candinya tetapi juga lansekap yang perlu dipelihara agar suasana yang dibangun oleh nenek moyang dahulu tidak hilang.

The places of worship surrounds – the hills and forests- were a unity that cannot be separated. Thus, conservation should not be mainly done to the temple but entirely to the landscape in order to uphold the past environment established by the ancestors.#

Para pendukung budaya masa lalu ini tentu memanfaatkan potensi  lingkungan yang tersedia untuk menciptakan sebuah kompleks peribadatan dikawasan perbukitan penuh pepohonan sehingga menimbulkan suasana tenang, berhawa sejuk, bahkan dilengkapi dengan sumber air panas yang mengandung belerang.

Surely, the doers gained the advantage of the surroundings’  potency available to build a kind of religious complex on the nourished hills with hot sulphureous springs, a quiet place and fresh air.This convenience supported the perfect ritual ceremony.