You are currently viewing Arsitektur Candi Sewu

Arsitektur Candi Sewu

Oleh: Tri Windari Putri

Abstrak

Candi Sewu merupakan candi yang berlatar belakang agama Budha, dibangun pada abad ke 8 pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Sepertihalnya candi-candi lain, pembangunan Candi Sewu digunakan sebagai tempat ibadah atau upacara keagamaan. Dibangun sejak abad ke 8, Candi Sewu ditemukan berupa tumpukan batu, kurangnya perhatian pada candi menyebabkan kerusakan yang semakin parah pada bangunan candi, serta hilangnya bagian – bangian candi yang diambil untuk kepentingan pribadi. Pembangunan kembali Candi Sewu dilakukan secara bertahap, dikarenakan proses pencarian batuan yang sulit untuk dilakukan. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam arsitektur bangunan namun tidak merubah hiasan dan ornamen yang terdapat dalam candi. Tujuan artikel ini menjelaskan mengenai perubahan bentuk arsitektur dan cirikhas ornamen yang terdapat pada candi Sewu.

PENDAHULUAN

Candi merupakan bangunan bersejarah yang berkaitan dengan kisah kosmologi suatu kepercayaan, Soekarmo menyatakan bahwa candi bukanlah malam melainkan kuil pemujaan.[1] Bangunan candi merupkan gambaran Gunung Meru yang merupakan gunung suci dalam mitologi India. Gunung Meru merupakan pusat jagad raya yang dikelilingi oleh tujuh benua dan tujuh lautan.

Candi mulai dibangun pada masa kerajaan yang saat itu menganut agama Hindu-Budha. Bangunan Candi dari satu tempat ke tempat lain mengalami perbedaan arsitekturnya, begitu pula dengan candi yang dibangun pada masa agama Hindu dengan candi yang dibangun pada masa agama Budha. Keduanya memiliki ciri khas masing-masing disetiap bangunannya. Seperti halnya candi-candi lain.

Candi Sewu merupakan salah satu candi yang dibangun di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Klaten yang digunakan sebagai tempat ibadah bagi agama Budha. Bangunan Candi Sewu merupakan candi yang terletak di kompleks Candi Prambanan. Setiap bangunan Candi memiliki keunikan tersendiri, begituhalnya dengan Candi Sewu terdapat ornaman dan arsitektur yang berbeda disetiap candinya. Perkembangan arsitektur menyebabkan Candi ini memiliki keunikan lain dalam setiap arsitekturnya. Arsitektur candi mencakup mengenai bentuk bangunan dan ornamen-ornamen hiasan yang terdapat dalam candi. Artikel ini akan membahas mengenai Candi Sewu yang meliputi gambaran umum candi, keadaan Candi Sewu serta arsitektur bangunan Candi Sewu.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode metode kajian kepustakaan (Library Research). Adapun temuannya ialah terdapat perubahan dalam bentuk bangunan Candi Sewu dalam tahap proses pembangunannya. Selain itu terdapat juga karakteristik yang terdapat pada Candi Sewu yaitu terdapat ornamen yang berbeda disetiap Candi Perwaranya.

PEMBAHASAN

  1. Gambaran Mengenai Candi Sewu

Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Candi Sewu berjarak 800 dari arca Roro Jonggrang. Candi Sewu dibangun pada masa Kerajaan Mataram yang saat itu masih menganut kepercayaan Agama Budha, yang ditandai dengan kepemilikan 46 arca Dhayani Budha, 4 arca Bodhisattwa serta kemucuk atap yang berbentuk stupa. Diperkirakan dibangun pada abad ke-8 atas perintah dari Rakai Panangkaran tahun 746-784 M. Pernyataan tersebut didasarkan pada isi prasasti Manjusrigrta yang ditulis dengan huruf jawa kuno dan bahasa Sansekerta, yang menunnjukan tahun 714 saka atau 792 Masehi.  Muskipun Raja Kerajaan Mataram beragama Hindu, tetapi pada saat itu masih memiliki hubunngan yang kuat dengan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.[2] Diperkirakan Candi Sewu juga digunakan sebagai pusat keagamaan agama buddha.[3]

Berbeda dengan namanya, kompleks Candi Sewu jumlahnya tidak sampai seribu, melainkan hanya terdiri dari 249 buah candi yang terdiri dari 1 candi induk dan 8 candi pengapit serta 240 candi perwara. Pola bangunan Candi Sewu yaitu pola konsentris, yaitu bangunan utama dikelilingi oleh bangunan candi perwara.[4] Didalam kompleks Candi Prambanan terdapat delapan buah arca Dwarapala setinggi 295, yang juga terdapat pada empat pintu masuk halaman kedua. Masing-masing pintu terdapat sepasang Dwaeapala yang saling berhadapan. Halaman pusat candi dikelilingi oleh pagar yang berdenah bujur sangkar dan menghadap ke timur. Halaman tengah terdapat Candi Perwara dan Candi Apit. Candi Perwara tersusun dalam empat deret membentuk persegi panjang, sedangkan Candi Apit terletak diantara Candi Perwara dengan posisi salaing berhadapan.

2. Candi Sewu Masa Kolonial

Candi sewu, digambar oleh H.C. Cornelius berupa gambar denah yang menunjukan muka candi induk dan dari salah satu perwaranya, pada awal tahun 1807. Semenjak tahun 1807 bangunan Candi Sewu terus mangalami kerusakan. Namun dalam pengambarannya mengalami kesalahan dalam bentuk denah yang persegi bukan bujur sangkar serta kesalahan terhadap jumlah Candi perwaranya.[5]

Menurut catatan tamu kerajaan Nyonya Baron U.S. Band van Braam. Ia mengelilingi Candi Sewu dan menuliskan pengalamnnya. Ia menuliskan tentang keadaan Candi Sewu yang semakin parah ketika Perang Diponegoro, banyak batu-batu candi digunakan untuk bahan bangunan, untuk membuat benteng perang. Selain itu juga banyak arca-arca yang diambil oleh penyuka barang antik.

Pada tahun 1825, Aguste Payen membuat duatu seri gambar di Candi Sewu. Dalam gambar tersebut menunjukan beberapa gambar candi induk yang menunjukan pintu samping, untuk masuk ke bilik 2, 3, 4, dan 5. Dalam rekonstruksi gambarnya terdapat hal yang menarik, yaitu bangunan candi perwara deretan kedua yang tanpa tangga dengan bilik pintu yang sangat tipis.

Pada tahun 1867 , juru potret Van Kinsbergen memfoto bangunan Candi Sewu, sebelum terjadi gempa yang menyebabkan runtuhnya candi induk. Tahun-tahun berikutnya penelitian mengenai Candi Sewu terus dilanjutkan hingga ditemukan arca-arca yang masih dalam keadaan utuh, selain itu dari penggalian tersebut ditemukan juga jumlah dan posisi Candi Perwara. Pada 1908 pemugaran pertama Candi Sewu pada masa Kolonial diawali dengan pembersihan dan pemugaran dilakukan menggunakan peralatan sederhana. Pemugaran pertama dipusaktan pada candi induk yaitu terdapat pada bilik pintunya dan candi perwara deret pertama.

Penelitian mengenai Candi Sewu terus dilakukan dan berkembang, dalam pemugarannya dilakukan secara bertahap dari masa Kolonial hingga setelah kemerdekaan. Namun perhatian dan pemugaran Candi berhenti ketika Jepang menguasai. Penelitian mengenai Candi Sewu kembali dilanjuktan pada masa kemerdekaan.

Candi Sewu akhirnya dipugar pada 1 April tahun 1981/1982 hinngga selesai dibangun pada tahun 1992/1993. Pemugaran dilakukan pada Candi Induk Sewu. Ketika pertama kali dipugar keadaan Candi Sewu ditemukan kaki dan tubuh candi terdapat ditempat semula dan sebagian besar hiasannya masih utuh.[6]

3. Arsitektur Bangunan Candi Sewu

Candi Sewu dibangun menggunakan denah yang sama yaitu mengacu pada mandala, aliran Mahayana. Cirikhas yang terdapat pada bangunan Candi Sewu ilah terdapat atap sendiri-sendiri. Secara utuh bangunan Candi Sewu membentuk segitiga, bentuk segitiga sesuai dengan konsep surgawi. Tata ruang luar dan dalam membentuk cluster geometris. Tata ruang Candi Sewu pemusatan ditengah dengan diperkuat oleh candi perwara disekelilingnya. Candi Induk sewu sedikit memiliki ornamen hiasan.[7]

Pembangunan Candi Sewu, dilakukan secara bertahap sehingga terkadang terdapat perubahan arsitektur dalam bentuk bangunannya. Perubahan biasanya dilakukan pada tangga dan bilik pintu di Candi Perwara dan Candi Induk. Perubahan tahap pertama dilakukan pada bilik candi 1. Sebelumnya dibagian barat dibagian kanan kiri lapik arca yang semula kosong dan terdapat tangga kecil yang biasanya digunakan untuk naik keatas lapik. Namun seteleh dilakukan penggalian ditemukan arca baru yang menyebabkan jalan kedua sisi tertutup, sehingga terjadi perubahan pada tangga yang dimajukan supaya rata dengan perbingkaian bidang dengan lapik arca, kemudian sandaran arca dikerug bagian bawahnya.

Perubahan pintu pada Candi Induk, awalnya terdapat pintu yang terpasang pada puncak tangga menutup bilik. Pintu tersebut berdaun dua dan membuka kedalam serta terdapat bingkai kayu yang berlubang purus diatas dan bawahnya. Perubahan yang dilakukan pertama ialah dengan melakukan penyempitan pada lorong pintu. Perubahan kembali dilakukan pada ambang atasnya, kemudian dirubah kembali dengan dipasang bilik pintu dengan ditumpukan pada undak kedua bilik candi. Bingkai pintu ini terus diperbarui, hingga akhirnya dihilangkan.

Sama halnya dengan Candi Induk, Candi Perwara juga mengalami perubahan. Semula Candi Perwara tidak memiliki pintu sehingga arca terlihat dari luar, namum kemudian dibangun pintu dibeberapa gugusan candi. Beberapa pembangunan pintu dalam Candi Perwara tidak dapat dilakukan karena tempat masuk candi terlalu sempit, mengatasi hal tersebut dilakukan perombakan pada jenagan pintu. Agar pintu tidak memakan tempat maka dilakukan dengan pengerukan pada jenang-jenang pintu untuk memberikan tempat palang-palang daun pintu ketika terbuka.

Corak ornamen hiasan dalam Candi Perwara yaitu dipuncak candi terdapat hiasan keben dan stupa. Penempatan keben diletakkan pada tingkatan paling bawah, sedangkan stupa diletakkan pada tingkatan paling atas. Pada bagian atap penampin ornamen hiasa yang terlihat ialah lereng bangku dan kumis militer. Perbedaan bentuk atap diikuti dengan perbedaan pola hiasnya juga. Bentuk atap lereng bangku memiliki kala yang diapit oleh dua makhluk kahyangan. Hiasan pada atap yang berbentuk kumis militer terdapat kala yang menggigit kumpulan bunga yang diapit oleh dua makhluk kahyangan. Dalam badan candi terdapat ornamen hiasan dengan bentuk kala dan makara. Kara disebut kirtimekha atau pancavakrta, digambarkan wajah singa yang sedang membuka mulutnya. Sedangkan Makara merupakan hewan mitologi yang merupakan wahana dari Dewa Varuna. Selain itu hal yang menarik ialah adanya hiasan bunga padma yng dibawa oleh kedua tokoh motologi. Bunga padma dianggap sebagai simbol dari kelahiran dan penciptaan.

Ornamen selanjutnya ialah tokoh pengiring laki-laki yang terdapat pada Candi Perwara II dan III, sedangkan tokoh pengiring wanita terdapat pada Candi Perwara I dan IV. Relief tokoh pengiring laki-laki digambarkan digambarkan dengan seorang laki-laki yang memegang tangkai padma di tangan kiri dan memegang camara ditangan kanannya. Relief pengirim perempuan digambarkan posisi berdiri lurus mengenakan mahkota yang berbentuk Jatamakuta ( rambut yang digelung dan dibentuk seperti mahkota) kemudian memakai hiasan antara dahi dan mahkota, menggunakan anting, hiasan lengan, gelang tangan dan menggunakan hiasan badan yang berbentuk menyilang. Pakaian yang digunakan terdapat hiasan urudana (sampur yang menjuntai ke bangian depan) dan udarabhanda (hiasan pinggang). Relief permpuan ini diagmbarkan memegang tangkai padma ditangan kiri dan camara ditangan kanan. Terdapat perbedaan pendapat antara para ahli mengenai makna relief tersebut, salahsatuya menurut O’Brien bahwa keduanya memiliki unsur saling melengkapi juga merupakan rangkaian proses pencerahan yang dikenal dengan pranja dan upaya. Pranja memiliki arti kebijksanaan dan merupana simbol feminim. Upaya jalan mencari pencerahan yang menggambarkan sifat maskulin laki-laki.[8]

PENUTUP

Kesimpulan

Candi Sewu merupakan salah satu candi tua yang berdiri di Jawa Tengah. Dibangun ketika era Kerajaaan Mataram Kuno, diperkirakan pada abad ke 8 yang bercorak agama Budha. Candi Sewu ketika ditemukan hanya berupa tumpukan batu dan sebagian batu lainnya tertinbun, rusak atau hilang. Ketika pembangunan kembali Candi Sewu dilakukan beberapa penelitian sebelmunya untuk menentukan bentuk bangunan dan pencarian bebatuan. Dibangun secara bertahap diikuti dengan semakin ditemukannya temuan baru dan perkembangan arsitektur, menyebabkan dalam pembangunannya terjadi sedikit perubahan dalam bangunan Candi Sewu. Muskipun mengalami perubagan namun perbedaan bentuk ornamen yang terdapat pada banunan Candi Sewu menjadi cirikhas tersendiri.

Daftar Pustaka

Aldriyanto Trimaryanto, Candi-Candi Bersejarah di Indonesia, Yogyakarta, Sentra Edukasi Media, 2019

Fakhruddin Mustofa, Atlas Budaya (Edisi Candi) Meneropong Candi dari Aspek Geospasial Tahun 2015, Jakarta, Badan Informasi Geospasial, 2016

Jacques Dumarcay, Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Buddha di Jawa Tengah, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2018

M. Rita Istari, Ragam hias Candi-Candi diJawa Motif dan Maknanya, Yogyakarta, Kepel Press, 2015

Abdulrahman Hamdoun, Inkonsistensi Pola Pemugaran pada Candi Sewu: Dialog Kritis Antara Arkeologis dan Arsitektur, University Research Colloquium 2015 ISSN 2407-9189

Ashar Murdiastomo, Dua Tipe Ornamen Candi Perwara di Kompleks Candi Sewu, Majalah Arkeologi Vol.27 No. 2, November 2018

Erwan Sigit Kurniawan, Bentuk dan Fungsi Ornamen Relief Candi Ngempon di Kabupaten Semarang, Universitas Negeri Surakarta, 2016

Rahadhian PH, Candi Prambanan dan Candi Sewu dalam Perspektif Arsitektur, Diskusi dan Pameran di Bentara Budaya Jakarta, 2010,


[1]               Erwan Sigit Kurniawan, Bentuk dan Fungsi Ornamen Relief Candi Ngempon di Kabupaten Semarang, Universitas Negeri Surakarta, 2016, hlm. 10

[2] Aldriyanto Trimaryanto, Candi-Candi Bersejarah di Indonesia, Yogyakarta, Sentra Edukasi Media, 2019, hlm. 57

[3] Fakhruddin Mustofa, Atlas Budaya (Edisi Candi) Meneropong Candi dari Aspek Geospasial Tahun 2015, Jakarta, Badan Informasi Geospasial, 2016, hlm. 60

[4] T.M. Rita Istari, Ragam hias Candi-Candi diJawa Motif dan Maknanya, Yogyakarta, Kepel Press, 2015, hlm. 25

[5] Jacques Dumarcay, Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Buddha di Jawa Tengah, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2018, hlm. 15

[6]           Abdulrahman Hamdoun, Inkonsistensi Pola Pemugaran pada Candi Sewu: Dialog Kritis Antara Arkeologis dan Arsitektur, University Research Colloquium 2015 ISSN 2407-9189, hlm.204

[7]               Rahadhian PH, Candi Prambanan dan Candi Sewu dalam Perspektif Arsitektur, Diskusi dan Pameran di Bentara Budaya Jakarta, 2010, hlm. 4-9

[8]               Ashar Murdiastomo, Dua Tipe Ornamen Candi Perwara di Kompleks Candi Sewu, Majalah Arkeologi Vol.27 No. 2, November 2018,Hlm.76