Setelah menjalani pengasingan di Ende dan Flores, Bung Karno sebagai tawanan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada kurun waktu 1938 – 1942, Bung Karno dikirim Belanda ke Bengkulu. Pengasingan ke Bengkulu, merupakan strategi Belanda untuk mematahkan semangat juang Bung Karno .
Selama pengasingan di Bengkulu, Bung Karno ditawan di sebuah rumah milik pengusaha Tionghoa. Rumah ini dibangun oleh Tjang Tjeng Kwat pada tahun 1918. Rumah Pengasingan Bung Karno berdiri di atas tanah seluas 40.434 m2. Rumah Pengasingan ini dijadikan Bung Karno sebagai tempat berkumpulnya pemuda untuk berlatih drama Monte Carlo. Semangat juang pemuda Bengkulu dibakar Bung Karno melalui Grup pertunjukan ini. Pertunjukan musik dan drama ini dijadikan media penanaman nilai-nilai sosial dan nasionalisme. Naskah cerita yang ditulis dengan cara yang indah oleh Bung Karno, mengelabui Belanda yang terus mengawasi segala gerak-geriknya di pengasingan.
Semangat juang Bung Karno yang ingin dipadamkan Belanda ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Semangat berapi-api Bung Karno yang membara, ditularkan kepada masyarakat dan pemuda Bengkulu. Pendekatan lain yang dilakukan Bung Karno adalah dengan merancang ulang bangunan Masjid Jamik. Perancangan ini dilakukan Bung Karno untuk membantu keinginan masyarakat yang ingin melakukan perbaikan masjid. Sebagai arsitek, Bung Karno tetap mempertahankan semua bangunan lama. Seperti dinding yang hanya meninggikan 2 meter dan lantai yang ditinggikan 30 cm. Bung Karno membuat rancangan atap dan tiang-tiang masjid. Atap masjid berbentuk tumpang tiga, dimana atap tingkat dua dan tiga berbentuk limasan kerucut dengan celah pada pertengahan atap. Pada beberapa bangunan ditambahkan tiang-tiang yang diberi ukiran (pahatan) berbentuk sulur-suluran pada bagian atas.
Masjid Jamik digunakan Bung Karno untuk mendekati dan membangun komunikasi dengan masyarakat di Bengkulu. Masjid Jamik dijadikan sebagai tempat dilaksanakannya diskusi tanpa mengundang kecurigaan Belanda. Kepercayaan masyarakat Bengkulu semakin tumbuh. Bung Karno dianggap sebagai guru dan cendikiawan. Bung Karno diberi kesempatan mengajar di sekolah-sekolah agama. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk menyampaikan semangat juang.