Pada dasarnya, kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang. Hanya saja dalam kepercayaan tersebut sekarang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur agama Hindu dan agama Islam. Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas. Objek pemujaan tersebut merupakan sisa peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Tempat inilah yang dianggap orang Baduy sebagai tempat para nenek moyang berkumpul.
Kepercayaan atau agama orang Baduy ini disebut dengan Sunda Wiwitan. Menurut ajaran agama Sunda Wiwitan, kekuasaan tertinggi berada pada Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki), Sang Hiyang Keresa (Yang Mahakuasa), atau Batara Tunggal (Yang Mahaesa). Orientasi, konsep, dan kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (ketentuan adat mutlak) agar orang hidup sesuai alur yang telah ditetapkan serta menyejahterakan kehidupan Baduy dengan dunia luar. Dalam kepercayaan yang mereka anut, orang Baduy mendapat tugas untuk menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh (melaksanakan ketentuan adat mutlak). Bila wilayah Baduy, yang dianggap sebagai pusat dunia (pancer bumi) selalu terpelihara dengan baik, maka seluruh kehidupan akan aman sejahtera. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah tanpa perubahan apa pun.
Dalam kepercayaan Baduy, tanah adat Baduy merupakan mandala (tanah suci) yang tidak boleh diinjak oleh sembarang orang. Orang Baduy sendiri hanya boleh tinggal di wilayah ini selama mereka tidak ternoda karena melanggar adat. Mereka tidak boleh kaya, karena kekayaan materi dianggap ancaman dalam kehidupan suatu mandala. Hidup harus sederhana, serta tidak boleh meminta atau merepotkan orang lain.
Mata pencaharian orang Baduy berfokus pada berladang dengan menanam padi. Padi merupakan hal yang tak terpisahkan dari dunia mereka, yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri (Dewi Padi). Padi harus ditanam sesuai dengan ketentuan dan cara yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Padi hanya boleh ditanam di lahan ladang kering tanpa pengairan, yang disebut huma. Padi pun tidak boleh dijual, harus disimpan dengan baik untuk keperluan sehari-hari. Sebagian besar upacara keagamaan masyarakat Baduy tidak terlepas dari hubungannya dengan padi dan perladangan. Sistem penanggalan masyarakat Baduy pun berkaitan erat dengan tata urutan kegiatan perladangan mereka.
Pemilikan lahan ladang disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal orang Baduy. Warga Baduy Dalam yang bermukim di tiga kampung, yakni Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, merupakan pemilik tanah huma di kawasan tanah larangan. Tanah-tanah huma di luar daerah tersebut diperuntukkan bagi warga Baduy Luar. Namun demikian, orang Baduy berpendapat bahwa mereka bukanlah pemilik lahan, tetapi hanya bertindak sebagai penggarap. Orang Baduy merupakan peladang murni, karena berladang merupakan tumpuan pokok mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang mereka kenal berupa perladangan berpindah-pindah. Perputaran untuk kembali berladang di lokasi yang sama membutuhkan waktu 3 – 5 tahun.
Penduduk Baduy tinggal di rumah-rumah panggung yang dibuat dari konstruksi kayu dan bambu. Dinding rumahnya menggunakan anyaman bambu, adapun atapnya dari daun Kiray. Kontur lahan di pemukiman Baduy berupa lereng bukit dan lembah, dengan ketinggian tanah yang berbeda-beda. Penempatan bangunan di pemukiman tersebut mengikuti kontur tanah. Untuk menghindari tanah longsor, di beberapa tempat diperkuat dengan talud dari tumpukan batu kali. Demikian pula dengan permukaan jalan kampung yang terbuat dari susunan batu kali.
Jelas terlihat bahwa mereka berusaha untuk selalu selaras dengan alam. Mereka sama sekali tidak tergiur dengan modernitas. Kesederhanaanlah yang selalu dijunjung tinggi. Selayaknyalah jika masyarakat Baduy patut kita jadikan panutan dalam bersahabat dengan alam.
(dari berbagai sumber)