Studi Teknis Arkeologi Kori Agung Pura Gede Jembrana

0
5201

Pokja Pemugaran

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI


Latar Belakang

Kabupaten Jembrana merupakan salah satu dari sembilan  kabupaten yang ada  di Pulau Bali, terletak di bagian paling barat Pulau Bali. Seperti halnya kabupaten lainnya di Bali, Kabupaten Jembrana juga memiliki sumber daya arkeologi  yang cukup potensial. R.P. Soejono merupakan salah satu perintis penelitian terhadap tinggalan-tinggalan arkeologi yang terdapat di Kabupaten Jembrana,  yang dimulai sejak tahun 1963 di Desa Cekik dan Teluk Gilimanuk. Penelitian yang dilaksanakan pada waktu itu adalah dengan melakukan ekskavasi dan mendapatkan hasil hampir 100 individu rangka manusia dengan berbagai bekal kubur, yang antara lain berupa gerabah, benda-benda perunggu dan besi, perhiasan emas serta manic-manik. Selain itu di Kabupaten Jembrana juga ditemukan sarkofagus yang jumlah relatif banyak, seperti yang ditemukan di Pantai Gilimanuk, Ambyarsari, Pangkunglilip, Banjar Palungan Batu, Desa Batu Agung, Brangbang dan  Munduk Tumpeng, selain itu juga ditemukan pula beliung dan calon beliung persegi, serta beberapa buah dolmen di Pura Luhur Pasatan (Suarbhawa, 2009 : 1)

Selain temuan/peninggalan dari masa prasejarah, di Kabupaten Jembrana juga terdapat temuan/peninggalan arkeologi dari masa klasik, yang antara lain berupa genta, hiasan tongkat dan keramik yang ditemukan di Desa Manistutu serta tinggalan arsitektur yang berupa candi/prasadha di Pura Bakungan dan gapura kuna di Puri Andul. Selain itu tinggalan arsitektur dari masa klasik yang lain adalah kori agung yang terdapat di Pura Gede Jembrana. Kori agung ini merupakan kori agung yang dibuat pada masa Kerajaan Jembrana di bawah kepemimpinan I Gusti Ngurah Jembrana, yang merupakan raja pertama di Jembrana. Kori agung ini menunjukkan gaya yang khas dari hasil karya undagi lokal Bali, dengan banyaknya ornament/motif hias yang khas gaya bangunan Bali. Dilihat dari kondisi fisik, bangunan kori agung di Pura Gede Jembrana ini telah mengalami gejala kerusakan, baik itu berupa kerusakan arsitektural maupun kerusakan struktural. Berkenaan dengan adanya gejala kerusakan tersebut, maka perlu dilakukan kegitan pelestarian agar bangunan tersebut tidak punah. Sebagai langkah awal sebelum dilaksanakannya pemugaran, maka Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali (BP3) memandang perlu melaksanakan kegiatan studi teknis arkeologi untuk merekam data-data penting yang berhubungan dengan keberadaan kori agung di Pura Gede Jembrana. Adapun data-data yang direkam adalah data sejarah, arkeologi, teknis, keterawatan serta data lingkungan.  Data-data ini kemudian akan dianalisis untuk  menententukan langkah-langkah dalam rencana pelestarian bangunan kori agung di Pura Gede Jembrana melalui pelaksanaan pemugaran, serta juga untuk dapat dibuatkan rencana anggaran biaya yang diperlukan untuk pemugarannya nanti.

 

Letak dan Lingkungan

Secara administratif Pura Gede Jembrana terletak di Dusun Batuagung, Desa  Batuagung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana. Lokasi Pura Gede Jembrana ini mudah dicapai dengan semua jenis kendaraan karena terletak tidak jauh dari jalan utama arah Kota Denpasar menuju Negara. Dari Denpasar lokasi Pura Gede Jembrana kira-kira berjarak sekitar 96 km, sedangkan dari Ibu Kota Kabupaten Jembrana hanya berjarak sekitar 3 km kearah timur. Lokasi Pura Gede Jembrana merupakan lokasi yang strategis dan  cukup ramai dilalui kendaraan, mengingat letaknya yang berada di sebelah timur laut sebuah perempatan jalan yang menghubungkan jalan menuju ke Kota Negara ke arah barat, menuju Desa Batuagung ke arah utara, dan menuju Desa Menega ke arah selatan (lihat lampiran gambar sket keletakan Pura Gede Jembrana).  Adapun batas – batas lingkungan dari Pura Gede Jembrana ini adalah sebagai berikut :

  • Sebelah timur : tegalan yang ditanami pohon pisang dan vegetasi lainnya
  • Sebelah selatan  : jalan raya
  • Sebelah barat : jalan raya
  • Sebelah utara : Kantor Desa Batuagung.

Keadaan lingkungan dari Pura Gede Jembrana secara mikro berada di daerah perkotaan yang ramai dilalui oleh kendaraan bermotor. Untuk keadaan di dalam areal pura sendiri tidak begitu banyak ditemui tumbuhan/vegetasi, hanya tampak beberapa pohon kamboja, sehingga keadaan lingkungan di dalam areal pura terkesan panas, serta ditambah dengan halaman jeroan (utama mandala) yang sebagian menggunakan landasan pc dan sebagian tanah yang kering.

Secara makro lokasi Desa Batuagung dimana Pura Gede Jembrana ini berada merupakan daerah dengan kondisi geografis dataran rendah di bagian selatan dan dataran tinggi (perbukitan) di bagian utara. Desa Batuagung memiliki wilayah yang memanjang dari utara ke selatan sejauh kurang lebih 9 km, terdiri dari daerah perbukitan sekitar 35% dari luas wilayahnya, dengan kemiringan rata – rata 4,25 m dan ketinggian 16 sampai dengan 271 m. Sedangkan di bagian selatan wilayah Desa Batuagung merupakan dataran rendah yang subur. Kondisi iklim di desa ini termasuk iklim tropis, dimana suhu rata – rata antara 300 C sampai dengan 320 C dengan kelembaban sekitar 70% dan curah hujan yang cukup banyak, rata-rata 2000  – 3000 mm setiap tahunnya, terutama pada Oktober sampai dengan April.

Desa Batuagung yang merupakan salah satu dari 22 desa di Kecamatan Jembrana termasuk desa dengan jumlah penduduk yang cukup padat, yaitu 7.431 jiwa, tersebar di sembilan dusun/banjar, yang antara lain adalah Dusun Batuagung, Taman, Tegalasih, Anyar, Sawe, Palunganbatu, Petanahan, Masehan dan Pancaseming. Adapun batas – batas Desa Batuagung adalah : di sebelah utara hutan negara sedangkan di sebelah timur, selatan dan barat adalah Kelurahan Dauhwaru (Anonim 2010: 4).

 

Struktur Pura Gede Jembrana

Pura adalah tempat atau bangunan suci yang merupakan suatu nyasa atau simbul, sehingga bentuk dan strukturnya didasarkan atas konsepsi filosofis tertentu sebagai landasannya. Inti landasan filosofisnya berdasarkan pada kosmologi Hindu yang memandang bahwa dunia ini terdiri atas susunan yang berlapi-lapis yang disebut dengan istilah loka dan tala. Sebagai replika dari makrokosmos pura dibagi menjadi beberapa halaman sebagai simbul dari loka dan tala tersebut. Sebagai contoh misalnya pura dengan dua halaman, yaitu halaman jaba tengah (madya mandala) dan jeroan (utama mandala)  sebagai  simbul alam bawah dan halaman atas. Sedangkan pura dengan tiga halaman merupakan simbul dari Triloka, yaitu:  bhur, bwah dan swah loka. Dimasing-masing halaman atau mandala dilengkapi dengan bangunan pelinggih, bangunan pelengkap dan bangunan penunjang. Masing-masing halaman atau mandala dibatasi tembok keliling atau penyengker dan terdapat kori agung/gapura serta candi bentar sebagai penghubung dari masing-masing halaman atau mandala. Pembagian halaman atau mandala secara horizontal dalam penempatannya diupayakan adanya perbedaan ketinggian dari masing – masing halaman atau mandala, hal ini dikarenakan Umat Hindu mempunyai keyakinan akan tempat yang  semakin tinggi akan memiliki tingkat kesucian yang semakin suci (Astawa. A.A Oka 2003: 7).

Dari hasil pengamatan selama dilapangan diketahui bahwa secara struktur Pura Gede Jembrana terbagi menjadi dua halaman mandala, yaitu  halaman jaba tengah (madya mandala) dan halaman jeroan (utama mandala), sedangkan untuk halaman terluar berbatasan langsung dengan jalan raya (lihat lampiran gambar denah Pura Gede Jembrana). Pura Gede Jembrana ini dikelilingi dengan tembok keliling/ penyengker yang terbuat dari struktur bata dan batu padas. Untuk sampai di halaman jaba tengah (madya mandala) dari sisi paling luar kita dapat melalui sebuah candi bentar yang menghadap ke arah selatan. Di halaman jaba tengah (madya mandala) ini terdapat sebuah bangunan bale gong dan bale kulkul. Dari halaman jaba tengah (madya mandala) menuju ke halaman jeroan (utama mandala) kita dapat melalui sebuah bangunan gapura/kori agung dan sebuah kori pemletasan yang terletak di sebelah barat gapura/kori agung. Sama halnya dengan di halaman jaba tengah, di halaman jeroan  (utama mandala) ini juga terdapat beberapa buah bangunan pelinggih, yang antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Bale Pesanekan                                     7. Pelinggih Hyang Basuki
  2. Piasan                                                  8. Pengayatan Ulun Danu Batur
  3. Gedong Simpen                                     9. Padmasana
  4. Pelinggih Dewi Gangga                          10. Meru Tumpang Tiga
  5. Sumur                                                  11. Anglurah/Ratu Nyoman
  6. Pelinggih Taksu                                     12. Bale Pelik

 

Latar Sejarah

Sejarah Pura Gede Jembrana tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Pura Candi Rawi, Pura Taman, Pura Pasek Agung yang dibangun pada masa pemerintahan I Gusti Ngurah Jembrana Raja Jembrana I, yang memerintah pada tahun 1705 sampai dengan tahun 1755. Pemerintahan I Gusti Ngurah Jembrana di Jembrana  karena permohonan dari I Gusti Made Yasa yang memohon agar salah seorang Raja Mengwi  dijadikan sebagai raja di Jembrana. I Gusti Made Yasa sendiri adalah seorang manca agung yang berasal dari Kerajaan Brangbang, yang sebelumnya selamat dari bencana air bah (banjir) yang menghancurkan Kerajaan Brangbang. Beliau ini adalah orang yang mendirikan Puri Andul Jembrana dan menjabat sebagai manca agung yang pertama. Selanjutnya permohonan tersebut dipenuhi oleh Raja Mengwi dan diperkenankanlah putra I Gusti Ngurah  Takmung yang bernama I Gusti Alit Takmung untuk memerintah di Jembrana. I Gusti Ngurah Takmung adalah  Raja Mengwi dari hasil perkawinan I Gusti Ayu Takmung dari Takmung Klungkung dengan Anak Agung Nyoman Alangkajeng yang merupakan Raja Mengwi ke-III. Keberangkatan I Gusti Alit Takmung menuju ke Jembrana didampingi oleh beberapa pengikut dari golongan bangsawan, yang antara lain adalah I Gusti Kaler (paman), para Golongan Pasek, Bendesa dan juga diikuti oleh pengawalnya sebanyak empat puluh orang yang terdiri dari pasukan Gegem, Tulup, Purnadesa, Penasan dan lain sebagainya.

Semenjak itu I Gusti Ngurah Alit Takmung memerintah di Jembrana dengan gelar I Gusti Ngurah Jembrana, beliau memerintah dengan bekal sebuah pusaka berbentuk keris yang disebut dengan I Tastasan. I Gusti Ngurah Jembrana memerintah atau menjalankan roda pemerintahan di Jembrana dengan didampingi oleh pamannya sebagai patih agung sesuai dengan struktur pemerintahan pada waktu itu. Pada suatu saat di hari yang baik I Gusti Ngurah Jembrana memanggil penasehat raja, para patih, punggawa, para mantri dan hulubalangnya, serta para kelian desa untuk mengadakan rapat di istana, yang bertujuan untuk membahas bagaimana cara memajukan dan mensejahterakan masyarakat, perekonomian (terutama pada bidang kehidupan petani), pembangunan kota dan tempat-tempat suci terus berkembang . Dengan adanya keinginan raja yang begitu baik dan memperhatikan kepentingan rakyat umum, rakyat Jembrana merasa senang dan gembira.

Sesuai dengan hasil keputusan rapat tersebut di atas, maka I Gusti Ngurah Jembrana mulai menata kota dengan konsep ulu teben, nyegara gunung tempat suci ditempatkan di ulu, kaum brahmana ditempatkan disebelah utara puri, pasar dibuat disebelah selatan puri, pertanian dikembangkan disektor  selatan, para hulubalang pasukan raja ditempatkan mengelilingi istana raja serta taman kota dipusatkan di ibukota kerajaan. Pada tahun 1710 dibangunlah Pura Candi Rawi dengan tujuan sebagai tempat kaum brahmana atau pendeta untuk melakukan segala kegiatan upacara termasuk panca yadnya bagi raja dan bawahannya serta sebagai tempat masyarakat untuk melaksanakan upasaksi dan memohon air suci (tirta) untuk keselamatan. Pura Candi Rawi terletak di sebelah utara Puri Jembrana yang termasuk ke dalam wilayah Desa Batu Agung. Setelah pembangunan Pura Candi Rawi selesai, maka dibangunlah Pura Jagat Jembrana pada tahun 1715. Pura ini dibangun dengan gotong royong oleh masyarakat Jembrana, namun raja sesuai dengan posisinya sebagai penguasa sangat menentukan. Oleh karena pembanguna pura ini dimotori oleh raja pada masa itu, maka pura tersebut diberi nama Pura Gede Jembrana. Lokasi dari Pura Gede Jembrana ini terletak di sebelah kaja kangin dari istana raja, ± berjarak sekitar 150 meter. Pura Gede Jembrana sekarang termasuk ke dalam wilayah Desa Batu Agung, sedangkan istana (puri) sekarang berada di wilayah Kelurahan Dauh Waru. Sesuai dengan konsep nyegara gunung, dimana segara adalah berfungsi sebagai penghalang dan pembasmi segala macam penyakit (nanggluk merana) sedangkan gunung adalah sumber air (Dewa Wisnu/sebagai Dewa Kemakmuran) maka di areal jeroan (utama mandala) Pura Gede Jembrana dibangunlah pelinggih Ida Bathara Ulun Danu Batur, dimana masyarakat khususnya oleh para petani sering dipergunakan untuk memohon keselamatan tanamannya. Demikian kondisi/keadaan Jembrana pada waktu itu masih diliputi oleh hutan belantara, perhubungan melalui sungai dan laut, jalan-jalan masih sedikit, kendaraan masyarakat adalah kuda, maka untuk memudahkan masyarakat Jembrana memuliakan Dang Guru Suci atas jasa-jasanya dalam mengajarkan Agama Hindu, maka dibuatkan pelinggih penyawangan Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi di dalam Pura Gede Jembrana. Pelinggih Penyawangan Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi ini berfungsi pula sebagai penghalau dan pembasmi segala macam penyakit, khususnya yang berhubungan dengan kehidupan para petani.

 

Data Arkeologi

Data arkeologi adalah data tentang nilai penting dan tingkat keaslian bangunan cagar budaya  yang meliputi keaslian bahan, bentuk, tata letak dan tehnik pengerjaan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam kegiatan studi teknis arkeologi di Pura Gede Jembrana ini diusahakan untuk merekam data arkeologi yang ada sedetail mungkin. Adapun data arkeologi yang berhasil dikumpulkan adalah berupa sebuah bangunan kori agung yang terdapat di areal jaba tengah (madya mandala) Pura Gede Jembrana dan dua buah arca dwarapala yang terdapat tepat di depan sisi kanan serta kiri kori agung. Keberadaan kori agung ini berhubungan dengan masa pemerintahan Raja Jembrana yang pertama, yaitu Raja I Gusti Ngurah Jembrana.  Lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tentang kori agung tersebut dan justifikasi dari arca dwarapala yang terdapat di Pura Gede Jembrana, adalah sebagai berikut:

  • Kori Agung Pura Gede Jembrana

Kori agung Pura Gede Jembrana merupakan sebuah bangunan cagar budaya yang terbuat dari struktur perpaduan antara bata dan batu padas. Secara horizontal bangunan ini dapat dibagi menjadi bagian pengawak gede, penampil (caping) kanan dan kiri, paduraksa dan lelengen, sedangkan dilihat dari sisi vertikal bangunan kori agung ini terbagi menjadi bagian kaki, badan dan atap. Bagian kaki kori agung berbentuk persegi panjang dengan struktur dari bahan bata dan batu padas. Kaki kori agung ini dibuat polos, tanpa ornamen hiasan ataupun juga perbingkaian, hanya pada bagian sudut-sudut dari kaki penampil (caping) kanan dan kiri terdapat ornamen  hiasan dengan motif karang tapel, karang manuk serta simbar. Ornamen  yang sama juga terdapat pada bagian sudut  kaki paduraksa dan lelengen tembok. Lapisan paling atas dari bagian kaki pengawak gede juga berfungsi sebagai lantai lorong dari kori agung, lorong ini berfungsi sebagai jalan masuk menuju Jeroan (utama mandala). Kaki  pengawak gede berukuran, panjang 245 cm, lebar 135 cm dan tinggi 138 cm, sedangkan ukuran kaki penampil (caping) kiri dan kanan memiliki ukuran panjang 100 cm, lebar 103 cm dan tinggi 117 cm . Kaki  paduraksa berukuran, panjang 95 cm, lebar 89 cm dan tinggi 64 cm.  Kaki lelengen tembok memiliki ukuran denah,  panjang 65 cm, lebar 79 cm dan tinggi 29 cm. Untuk dapat menjangkau lantai gapura, baik dari arah depan maupun arah belakang, lorong pintu dihubungkan dengan tangga yang dibuat dari struktur bata yang diplester dengan campuran pasir dan semen. Akibat adanya perbedaan tinggi halaman antara halaman jaba tengah (madya mandala) dengan halaman jeroan (utama mandala), jumlah anak tangga pun menjadi berbeda.  Jumlah anak tangga dilihat dari arah depan berjumlah lima buah, dengan tinggi takikan dibuat rata-rata setinggi 26 cm. Bentuk tangga depan juga berbeda dengan tangga belakang,   empat buah anak tangga dihitung dari atas dibuat dengan bentuk polos, sedangkan satu buah anak tangga, yakni tangga paling bawah dibuat dengan bentuk tangga melingkar. Keempat anak tangga dengan bentuk polos dijepit pada sisi kanan dan kiri dengan struktur lapik (landasan ) arca, sehingga posisi tangga menjadi sangat kuat untuk menerima gaya geser. Di atas lapik (landasan) arca ditempatkan dua buah arca dwarapala dengan bentuk arca raksasa. Tangga belakang dengan jumlah anak tangga sebanyak enam buah, dengan tinggi takikan tiap – tiap anak tangga dibuat merata setinggi 23 cm. bentuk tangga dibuat dengan bentuk polos pada tiga buah anak tangga dihitung dari atas, sedangkan tiga buah anak tangga lagi dibuat dengan bentuk anak tangga melingkar. Dari hasil pengamatan dilapangan dapat diketahui bahwa keadaan dari bagian kaki kori agung ini secara keseluruhan sudah mengalami gejala kerusakan, baik itu berupa kerusakan dan pelapukan, baik itu secara mekanis, fisis, chemis dan biologis. Gejala kerusakan ini disebabkan oleh faktor umur bangunan yang sudah tua, gempa bumi, getaran dari kendaraan yang melintas di depan pura, kapilarisasi air tanah dan hujan, kwalitas bahan yang menurun, suhu/cuaca dan penyebab yang lainnya.

Sama halnya dengan bagian kaki kori agung, bagian badan dari kori agung ini juga tersusun dari struktur perpaduan antara bata dan batu padas. Badan dari kori agung ini dilihat dari sisi horizontal terdiri atas bagian pengawak gede, penampil (caping), paduraksa serta lelengen. Pengawak gede merupakan bagian yang menopang beban dari bagian atap dari kori agung, pengawak gede ini terbelah menjadi dua bagian yang merupakan lorong atau pintu keluar masuk menuju ke jeroan (utama mandala). Pada bagian lorong ini terdapat pintu lengkap dengan kusen, ulap – ulap serta dedange. Ornamen atau motif hias yang terdapat pada bagian pengawak gede ini berbeda antara sisi depan dengan sisi belakang. Dimana pada sisi depan terdapat ornamen dengan motif hias antara lain berupa sulur – suluran dengan motif ukiran patra cina sedangkan bagian belakang menggunakan hiasan karang manuk dan ukiran dengan motif patra ulanda dengan bentuk batun timun. Perbedaan juga terlihat pada hiasan kala yang terdapat di atas pintu masuk, pada bagian depan terdapat hiasan kala  bereliefkan cerita Ramayana dengan bentuk tokoh Rahwana mengendarai Wilmana, sedangkan bagian belakang memakai hiasan kala bersayap dengan lidah menjulur tanpa rahang bawah. Bagian badan dari penampil (caping), paduraksa serta lelengen memiliki bentuk motif hiasan yang hampir sama dengan pengawak gede, yaitu dengan hiasan batun timun, karang manuk serta ukiran daun dan bunga. Bagian atas dari rangkain pengawak penampil (caping) menggunakan bentuk profil yang sama dengan pengawak gede, yaitu profil sesari, perbingkaian, sisi genta (capon) dan motif simbar pada sudut-sudutnya. Sebagai komponen penutup digunakan penukub dengan ukuran bahan yang lebih tebal sehingga dapat memperkuat struktur badan. Pengawak paduraksa dibuat dengan bentuk yang sama dengan pengawak caping, baik bentuk maupun hiasannya.

Bagian terakhir dari kori agung ini adalah bagian atap, bagian atap dari pengawak gede merupakan atap bertumpang (tumpang tiga), dengan bentala sebagai kemuncaknya. Masing – masing dari tumpang bagian atap ini memiliki ornament hiasan dengan bentuk karang bentulu, karang tapel, ikut kledu serta simbar berbentuk karang guak pada masing – masing sudut atap. Sedangkan untuk atap dari penampil (caping), paduraksa dan lelengen merupakan atap yang tidak bertumpang. Dilihat dari ornamen hiasan, masing – masing bagian atap ini memiki ornament hias dengan bentuk yang hampir sama, yaitu terdiri dari ornamen hias dengan bentuk ikut kledu, karang guak serta suluran daun dan bunga ( lihat lampiran gambar kori agung tampak depan dan belakang).

  • Arca Dwarapala

Arca dwarapala yang terdapat di Pura Gede Jembrana ditempatkan di depan kori agung, masing – masing di sisi kanan dan kiri.

  • Arca dwarapala di sisi kanan kori agung

Tinggi keseluruhan : 104 cm

Tinggi arca : 96 cm

Lebar arca : 30 cm

Tebal arca : 31 cm

Pemerian :  arca berdiri di atas lapik berbentuk persegi empat, dalam  sikap samabhaga. Memakai mahkota berbentuk jatamakuta. Bagian wajah sebagian hilang (aus), mata mendelik, mulut terbuka (gigi kelihatan), tangan kiri membawa senjata (gada?). Pada leher memakai badong dengan motif suluran, memakai kain sebatas lutut dengan sampur sampai pada bagian lapik. Terdapat uncal pada samping kanan dan kiri pinggang, serta memakai ikat pinggang (menyerupai badong) dengan motif hias suluran daun dan bunga.

  • Arca dwarapala di depan kori agung

Tinggi keseluruhan : 112 cm

Tinggi arca : 105 cm

Lebar arca : 40 cm

Tebal arca : 28 cm

Pemerian : arca berdiri di atas lapik berbentuk persegi empat, keadaannya sudah sangat rusak (aus) sehingga sulit untuk diidentifikasi, yang masih bisa dikenali adalah arca ini mempergunakan mahkota (aus), serta memakai kain sebatas pegelangan kaki lengkap dengan sampur dan uncal yang motif hiasnya sudah tidak jelas, karena sudah sangat aus dan lapuk.

 

Data Teknis

Pura Gede Jembrana adalah merupakan salah satu peninggalan purbakala di Kabupaten Jembrana. Pura ini letaknya berdekatan dengan situs Puri Andul yang juga merupakan situs purbakala. Kedua situs ini mempunyai kekunaan yang sama, yaitu berupa kori agung. Namun demikian nampak jelas ada perbedaan antara kedua peninggalan ini. Puri Andul dengan kori agung berbentuk polos tanpa atap tumpang, tetapi di Pura Gede Jembrana terdapat kori agung dengan atap tumpang tiga. Disamping itu bentuk arsitektur  bangunan juga sangat berbeda. Di Puri Andul  gapura berbentuk polos dengan gaya bangunan langgam Majapahit, tanpa ukiran sedangkan kori agung di Pura Gede Jembrana baik bentuk maupun hiasan sepenuhnya adalah bentuk bangunan hasil karya undagi Bali.

Secara umum kori agung Pura Gede Jembrana adalah merupakan bangunan utama yang menghubungkan antara jaba tengah (madya mandala) dengan  jeroan (utama mandala). Kori agung mengandung makna sebagai penyatuan pikiran bagi pemedek untuk dapat menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya di depan pintu masuk kori agung ditempatkan arca penjaga (dwarapala), sebagai simbolis penjaga pintu demi menjaga kesucian utama mandala. Di atas pintu masuk digunakan hiasan kala makara sebagai simbolis pengeruatan bagi mereka yang mempunyai pikiran kotor. Simbul-simbul ini keseluruhan terdapat pada fisik bangunan kori agung Pura Gede Jembrana, seperti dua buah arca dwarapala di depan pintu masuk, kedok muka berbentuk kala bersayap dengan lidah menjulur diletakkan di atas pintu masuk dan relief cerita Ramayana dengan tokoh Rahwana mengendarai Wilmana terdapat di atas pintu masuk bagian depan kori agung. Dilihat dari sisi horizontal kori agung ini dapat dibagi menjadi , pengawak gede, penampil, paduraksa dan lelengen. Sedangkan dari sisi vertical  bagian-bagian kori agung ini adalah bagian kaki (bataran), bagian badan (pengawak) dan  bagian atap (tumpang).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapanganan terhadap kondisi fisik bangunan ini, telah terjadi kerusakan struktur dan arsitektur secara menyeluruh, mulai dari bagian kaki, badan  dan atap. Bentuk kerusakannya antara lain adalah : melesak, bergeser, patah dan aus (mengelupas). Untuk dapat mengetahui secara rinci kerusakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

  • Bagian Kaki

Kaki bangunan berbentuk persegi empat panjang, yang merupakan struktur kombinasi antara bata dan batu padas, dibuat dengan bentuk polos tanpa motif profil seperti sisi gentas dan perbingkaian. Hanya pada sudut-sudut penampil kiri dan kanan dilengkapi dengan ornament ukiran karang tapel, karang manuk dan motif hiasan simbar. Bentuk hiasan seperti ini juga dipasang pada bagian paduraksa serta lelengen tembok kiri dan kanan. Struktur pengawak bataran (kaki) menggunakan bahan bata, sedangkan motif hiasan dan penukub menggunakan bahan batu padas. Lapisan paling atas dari struktur kaki (penukub) juga berfungsi sebagai lantai lorong untuk jalan masuk setelah melewati pintu gapura. Denah bataran pengawak gede berukuran, panjang 245 cm dan lebar 135 cm, sedangkan ukuran denah penampil kiri dan kanan memiliki ukuran panjang 100 cm dan lebar 103 cm. Denah paduraksa berukuran, panjang 95 cm dan lebar 89 cm. Lelengen tembok memiliki ukuran denah,  panjang 65 cm dan lebar 79 cm. Tinggi  kaki (bataran) juga dibuat berbeda antara pengawak gede, penampil (caping), paduraksa maupun lelengen tembok. Tinggi kaki pengawak gede dihitung di atas muka tanah (halaman jeroan)  138 cm, penampil dibuat lebih rendah dengan ukuran 117 cm, paduraksa 64 cm dan lelengen tembok dibuat setinggi 29 cm.

Berbeda dengan tinggi kaki kori agung diukur dari arah depan, di atas muka tanah tinggi kaki pengawak gede brukuran 128 cm, penampil (caping) 112 cm, paduraksa 60 cm dan tinggi kaki lelengen tembok dibuat berukuran 20 cm. Melihat adanya perbedaan ukuran tinggi kaki    seperti disebutkan di atas, membuktikan adanya perbedaan tinggi muka halaman jaba tengah (madya mandala) dibandingkan dengan halaman jeroan (utama mandala) sebanyak 10 cm. Untuk dapat menjangkau lantai gapura, baik dari arah depan maupun arah belakang, lorong pintu dihubungkan dengan tangga yang dibuat dari struktur bata yang diplester dengan adonan pasir dan semen. Akibat adanya perbedaan tinggi halaman antara halaman jaba tengah (madya mandala) dengan halaman jeroan (utama mandala), jumlah anak tangga pun menjadi berbeda.  Jumlah anak tangga dilihat dari arah depan berjumlah lima buah, dengan tinggi takikan dibuat rata-rata setinggi 26 cm. Bentuk tangga depan juga berbeda dengan tangga belakang,   empat buah anak tangga dihitung dari atas dibuat dengan bentuk polos, sedangkan satu buah anak tangga, yakni tangga paling bawah dibuat dengan bentuk tangga melingkar. Keempat anak tangga dengan bentuk polos dijepit pada sisi kanan dan kiri dengan struktur lapik (landasan ) arca, sehingga posisi tangga menjadi sangat kuat untuk menerima gaya geser. Di atas lapik (landasan) arca ditempatkan dua buah arca dwarapala dengan bentuk arca raksasa. Tangga belakang dengan jumlah anak tangga sebanyak enam buah, dengan tinggi takikan tiap – tiap anak tangga dibuat merata setinggi 23 cm. bentuk tangga dibuat dengan bentuk polos pada tiga buah anak tangga dihitung dari atas, sedangkan tiga buah anak tangga lagi dibuat dengan bentuk anak tangga melingkar.

Kondisi fisik dari struktur kaki, baik kaki pengawak gede, kaki penampil (caping) maupun kaki paduraksa dan lelengen tembok saat ini dalam keadaan rusak berat. Kerusakan yang terjadi seperti adanya struktur yang pecah, bergeser, melesak dan amblas. Penyebab dari kerusakan ini, disamping oleh pengaruh alam, seperti gempa bumi, faktor usia, juga disebabkan oleh karena adanya getaran yang terjadi terus-menerus yang disebabkan oleh kendaraan yang melintas di depan Pura Gede Jembrana, mengingat lokasi pura ini berada di pinggir jalan raya jurusan Denpasar-Gilimanuk yang sangat padat dilalui oleh kendaraan berat. Kerusakan lainnya juga terjadi pada struktur kaki, seperti adanya permukaan struktur yang aus dan mengelupas oleh pengaruh kapilaritas air tanah dan hujan, tumbuhnya jasad-jasad renik/biologis (moss, algae,lichen) dan juga karena rendahnya kwalitas dari bahan yang dipergunakan.

 

  • Bagian Badan

Tidak jauh berbeda dengan struktur kaki, bagian badan dari kori agung ini juga merupakan struktur yang terbuat dari kombinasi antara unsur bata dan batu padas. Dilihat dari dimensi horizontal bagian badan terdiri dari, pengawak gede, pengawak penampil (caping), pengawak paduraksa serta pangawak lelengen kanan dan kiri. Pengawak gede adalah merupakan pangawak induk yang memikul beban tumpang pada bagian atasnya, sedangkan pengawak penampil, paduraksa dan lelengen, disamping mengimbangi bentuk arsitektur kori agung agar serasi, juga berfungsi sebagai penguat pengawak gede agar dapat menahan gerak horizontal yang mengakibatkan terjadinya gaya geser. Pengawak gede berukuran, panjang 240 cm, lebar 125 cm dan tinggi 540 cm. Pada bagian inilah dipasang pintu untuk akses jalan keluar masuk yang dapat menghubungkan antara jaba tengah (madya mandala) dengan jeroan (utama mandala). Penempatan pintu masuk mengambil posisi tepat pada titik pusat bangunan sehingga pengawak gede dibelah menjadi dua bagian, yaitu pengawak bagian kanan dan bagian kiri yang mengakibatkan adanya lorong pintu sedalam 120 cm, lebar 104 cm dan tinggi 275 cm. Diantara dinding lorong kanan dan kiri dipasang pintu kayu dengan ukuran lebar 68 cm dan tinggi 215 cm. Pintu kori agung ini dibuat dengan menggunakan kayu lokal (tahep) dengan  unsur-unsurnya terdiri dari adeg-adeg, ambang atas bawah, jejeneng, penitis dan daun pintu, diprofil dengan motif kupakan pintu Bali berhiaskan patra cina, punggel dan mas-masan. Untuk mengimbangi lorong dengan ukurannya yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi pintu maka diatas pintu masuk dipasang dua buah dedange dan satu buah ulap-ulap. Dedange dan ulap-ulap dipasang pada bagian depan dan belakang dengan motif ukiran maupun profil kupakan dibuat sama dengan kusen pintu.

Pengawak kanan dan kiri, dibuat dengan menggunakan struktur kombinasi antara bata dan batu padas. Struktut bata digunakan untuk membentuk pengawak sedangkan bahan batu padas digunakan untuk hiasan (ornamen). Ada perbedaan ragam hias pengawak antara sisi depan dan belakng. Pengawak gede bagian depan menggunakan hiasan    sulur-suluran dengan motif ukiran patra cina sedangkan pengawak gede bagian belakang menggunakan hiasan karang manuk dan ukiran dengan motif patra ulanda dengan bentuk batun timun. Demikian juga dengan hiasan kala di atas pintu masuk, bagian depan menggunakan relief cerita Ramayana dengan bentuk tokoh Rahwana mengendarai Wilmana, sedangkan bagian belakang memakai hiasan kala bersayap dengan lidah menjulur tanpa rahang bawah.

Pada bagian badan kori agung ini terdapat keunikan yang jarang ditemukan pada kori agung lainnya, yaitu terdapatnya lubang kecil dengan ukuran 5 cm x 5 cm pada posisi badan kanan dan kiri. Lubang ini berada dua lapis di atas penukub (lantai), yang kira-kira berada 10 cm di atas lantai, tembus dari depan sampai ke belakang. Konon lubang ini berfungsi untuk menghubungkan jaba tengah (madya mandala)   dengan jeroan (utama mandala). Sebagai rangkaian akhir dari struktur pengawak, di atas hiasan kala dipasang profil sesari, perbingkaian dan sisi genta (capon). Pada sudut-sudutnya dipasang hiasan simbar. Untuk menutup struktur pengawak pada ujung paling atas dipasang komponen penukub. Berbeda dengan pengawak gede, penampil (caping), paduraksa dan lelengen memiliki motif hiasan yang lebih rumit. Untuk mengantisipasi pandangan agar tidak kelihatan pengawak penampil terkesan tinggi dan kurus maka bagian pengawak ini, dari sisi vertikal dibagi menjadi dua bagian. Mengenai bentuk motif hiasan bentuknya hampir sama dengan pengawak gede, yaitu dengan hiasan batun timun, karang manuk serta ukiran daun dan bunga. Bagian atas dari rangkain pengawak penampil (caping) menggunakan bentuk profil yang sama dengan pengawak gede, yaitu profil sesari, perbingkaian, sisi genta (capon) dan motif simbar pada sudut-sudutnya. Sebagai komponen penutup digunakan penukub dengan ukuran bahan yang lebih tebal sehingga dapat memperkuat struktur badan. Pengawak paduraksa dibuat dengan bentuk yang sama dengan pengawak caping, baik bentuk maupun hiasannya.

Sesuai dengan fungsinya, struktur pengawak baik itu pengawak gede, pengawak penampil (caping) dan paduraksa adalah bagian penting yang berfungsi untuk menerima gaya tekan maupun geser. Menurut informasi dari pemangku pura dan pemuka adat, pada tahun 1976 terjadi gempa bumi yang melanda Kabupaten Jembrana. Gempa dengan kekuatan getaran yang cukup besar sempat meruntuhkan puncak bangunan kori agung dan dua buah atap penampil (caping) kanan dan kiri. Gempa ini juga sempat mengakibatkan pengawak gede dari kori agung ini bergeser sebesar 3 cm ke arah depan tepat di atas dedange. Kerusakan itu masih nampak dan belum sempat diperbaiki oleh pengempon pura. Pergeseran inilah yang semakin lama semakin parah, mengingat adanya getaran dari kendaraan-kendaraan yang melintas di depan Pura Gede Jembrana. Sampai sekarang pun bangunan kori agung ini masih nampak miring ke depan, kerusakan seperti ini harus segera mendapatkan penanganan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Kerusakan lainnya juga terjadi, seperti adanya gejala pelapukan pada unsur bata, adanya komponen yang patah bahkan ada komponen bangunan yang lepas dari posisinya dan juga ada komponen yang hilang. Kerusakan pada bagian pintu masuk juga dapat terlihat dengan jelas, seperti adanya gejala pelapukan, keropos karena dimakan rayap dan yang paling parah adalah stelan pintu telah mengalami perubahan akibat beberapa kali mendapatkan guncangan gempa dan getaran kendaraan-kendaraan yang lewat di depan pura.

 

  • Bagian Atap

Bagian atap dari kori agung ini secara keseluruhan terbuat dari struktur bata dan batu padas. Bagian atap dari pengawak gede merupakan atap berbentuk tumpang, dengan jumlah tumpang sebanyak tiga tumpang dan diakhiri dengan sebuah bentala sebagai kemuncaknya. Dari sisi ornamen/hiasan yang terdapat pada bagian tumpang pengawak gede ini, masing-masing terdiri dari karang bentulu pada bagian tengah atap tumpang pertama, dan juga terdapat hiasan ikut kledu dimasing-masing sudut atap, serta terdapat hiasan perbingkain yang berbentuk persegi empat panjang dengan karang tapel pada bagian tengahnya. Pada atap tumpang yang kedua terdapat hiasan karang guak pada masing-masing sudutnya, dan juga terdapat perbingkain berbentuk persegi empat panjang dengan hiasan karang tapel pada bagian tengahnya. Sedangkan pada bagian atap yang ketiga hanya terdapat hiasan berupa simbar dengan motif hias karang guak. Dan untuk bagian kemuncak dari atap pengawak gede ini berbentuk setengah oval dengan ornament hias berbentuk taluh kakul pada sisi-sisinya. Untuk atap bagian penampil/caping kanan-kiri berbentuk limas dengan kemuncak berbentuk persegi empat bertumpang dua dengan kemuncak berbentuk kubus sebagai bagian terakhir. Pada bagian atap ini terdapat hiasan ikut kledu pada masing-masing sudutnya, serta hiasan karang guak pada masing-masing sudut kemuncak. Untuk bagian atap paduraksa berbentuk limas tanpa tumpang, hanya terdapat kemuncak dengan motif hias suluran daun serta ornamen ikut kledu pada masing-masing sudutnya. Sedangkan untuk bagian atap lelengen, bentuknya hampir sama dengan bentuk atap paduraksa. Hanya saja bentuk kemuncaknya berbeda, bagian kemuncak dari atap lelengen ini berbentuk hiasan ikut kledu.

 

Data Keterawatan

Bangunan kori agung di Pura Gede Jembrana secara umum belum pernah mendapatkan usaha-usaha perawatan atau pemeliharaan baik itu secara tradisional maupun secara modern, hanya saja pernah dilakukan perbaikan pada bagian puncak yang runtuh oleh karena adanya gempa bumi pada tahun 1976. Kalau dilihat dari strukturnya bahwa bahan bangunan Kori Agung Pura Gede Jembrana terbuat dari kombinasi antara  batu padas dan bata. Dari hasil observasi di lapangan keadaan Kori Agung tersebut telah mengalami kerusakan atau pelapukan yang cukup memprihatinkan yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, seperti gempa bumi, getaran maupun asap kendaraan dan debu. Begitu juga adanya kapilarisasi air tanah dan hujan yang nantinya akan menambah kerusakan atau pelapukan yang lebih parah lagi. Selain yang disebabkan oleh faktor di atas juga telah terjadi pertumbuhan jasad-jasad organik, seperti moss, algae, lichen dan pertumbuhan rumput yang termasuk tumbuhan perdu lainnya.

Dengan demikian kori agung di Pura Gede Jembrana telah mengalami lima jenis kerusakan atau pelapukan yaitu kerusakan secara mekanis, fisis, chemis, biologis dan vandalisme.

  • Kondisi Fisik

Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa kondisi bangunan kori agung Pura Gede Jembrana kerusakannya dapat diidentifikasi sebagai berikut :

  • Kerusakan struktural

Berdasarkan pengamatan secara visual kerusakan struktur yang terjadi yaitu dengan terlihat adanya retakan-retakan pada bagian kaki, badan serta atap dari kori agung ini, selain itu terjadi kemiringan ke arah depan kira-kira sebesar 3 cm akibat dari adanya gaya dinamis, baik itu yang disebabkan oleh gempa bumi maupun getaran dari kendaraan yang lewat di depan Pura Gede Jembrana. Selain itu juga terjadi kerusakan material yang berupa  adanya gejala aus, penglupasan, retak maupun pecah di permukaan bahan komponen yang menyusun bangunan kori agung ini.

  • Kerusakan arsitektural

Merupakan Suatu kondisi yang tidak utuh , tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur arsitektural suatu Bangunan Cagar Budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek arsitektural suatu bangunan seperti : unsur-unsur dekoratif, relief, ukiran dan yang lainnya. Data-data kerusakan arsitektural ditinjau dari kelengkapan unsur atau komponen bangunan yang masih asli, yang telah diganti/diubah, dan bagian dari bangunan yang hilang berdasarkan pendekatan keaslian bentuk arsitekturnya. Berdasarkan pengertian tersebut dan juga dari hasil pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa bangunan kori agung di Pura Gede Jembrana ini telah mengalami kerusakan secara arsitektural, dengan adanya gejala retak, pecah, aus serta ada  komponen-komponen bangunan yang hilang.

 

  • Data Kerusakan

Berdasarkan sifat-sifatnya, faktor yang memicu proses degradasi bahan pada benda cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor perencanaan  (teknologi pembuatan) dan faktor menurunnya rasio kwalitas bahan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan seperti iklim, air, biologis (mikroorganisme), bencana alam dan vandalisme (manusia).

Dari segi bentuknya, bentuk degradasi yang terjadi pada bangunan cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerusakan dan pelapukan. Kerusakan dan pelapukan mempunyai pengertian yang hampir sama, tetapi secara teknis istilah tersebut dapat dibedakan. Dimana yang dimaksud dengan kerusakan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan cagar budaya yang tidak disertai dengan perubahan sifat – sifat fisik dan kimiawi, sedangkan pelapukan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan cagar budaya yang disertai dengan adanya perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawinya.

Dari hasil pengamatan/observasi yang dilakukan maka teridentifikasi proses kerusakan atau pelapukan dan faktor-faktor penyebabnya.

A. Proses

Hasil pengamatan di lapangan maka Kori Agung di Pura Gede Jembrana telah mengalami kerusakan dan pelapukan secara mekanis, fisis, chemis, biologis dan vandalisme.  Adapun jenis kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada kori agung Pura gede Jembrana akan diuraikan di bawah ini :

  • Kerusakan mekanis adalah suatu kerusakan yang dapat dilihat secara visual berupa retak, pecah dan patah. Kerusakan ini terlihat pada bagian kaki, badan dan atap, namun dengan prosentase relatif kecil yaitu 4-6% Terkait dengan kondisi lingkungan terutama fluktuasi suhu udara, disamping tidak terlepas  dari gaya statis maupun gaya dinamis. Yang dimaksud dengan gaya statis adalah adanya tekanan beban dari atas terhadap lapisan batu di bawahnya, sedangkan yang dimaksud dengan gaya dinamis adalah suatu gaya yang dipengaruhi oleh faktor luar  (eksternal), seperti getaran, gempa bumi (faktor alam), getaran kendaraan bermotor dan tidak terlepas pula dari adanya polusi udara.

 

  • Kerusakan fisis adalah suatu kerusakan yang disebabkan oleh iklim setempat baik secara mikro maupun secara makro. Unsur iklim, suhu dan kelembaban merupakan faktor utamanya, besarnya amplitudo suhu dan kelembaban baik itu siang maupun malam hari akan sangat memicu terjadinya .kerusakan secara fisis. Kerusakan yang terjadi antara lain keausan ± 70% sedangkan pengelupasan ± 12% sampai dengan 15% dari keseluruhan permukaan bangunan kori agung.

 

  • Pelapukan chemis, merupakan kerusakan yang penyebab utamnya adalah air, baik itu air hujan maupun air kolam. Penyebab utama kerusakan yang terjadi pada kori agung adalah adanya kapilarisasi air tanah dan hujan, disamping itu udara yang terpolusi juga merupakan salah satu faktor pemicu kerusakan yang tidak dapat diabaikan. Dari hasil pengamatan di lapangan dapat diperkirakan pelapukan chemis (penggaraman) yang terjadi pada bangunan kori agung ini kurang lebih sebesar 45%.

 

  • Pelapukan biologis, jenis kerusakan atau pelapukan ini disebabkan oleh adanya pertumbuhan jasad-jasad renik (organik), gejala yang nampak pada pelapukan ini adalah berupa diskomposisi struktur material, pelarutan unsur dan mineral, adanya noda pada permukaan material dan sebagainya. Dan dari hasil pengamatan di lapangan dapat diketahui besarnya pelapukan biologis ini adalah: lichen ± 25 sampai dengan 30%, most ± 12%, algae ± 30 sampai dengan 35% serta adanya tumbuhan perdu ± 5%.

 

 

  • Vandalisme, jenis kerusakan ini terjadi disebabkan oleh ulah. manusia, seperti adanya tancapan paku, olesan semen maupun pc. Kerusakan jenis ini terjadi kira-kira sebesar 10% dari keseluruhan permukaan kori agung Pura Gede Jembrana.

 

 

 

B. Faktor

  • Internal

Faktor internal meliputi faktor perencanaan (teknologi perencanaan) dan faktor menurunnya rasio kekuatan dari bangunan cagar budaya itu sendiri. Yang dimaksudkan dengan faktor perencanaan adalah kesalahan atau ketidaksempurnaan perencanaan asli, kurangnya ilmu pengetahuan, bahan maupun faktor lainnya. Hasil observasi di lapangan faktor kerusakan secara internal antara lain terjadinya penuaan (aus, pengelupasan,dll).

  • Eksternal

Faktor eksternal adalah suatu faktor yang dipengaruhi oleh lingkungan seperti iklim, air, biologis, bencana alam, serta yang disebabkan oleh manusia.

 

Rencana Penanganan Pemugaran

Penanganan pemugaran Kori Agung di Pura Gede Jembrana akan dilaksanakan dengan sistem restorasi yaitu pemugaran total. Hal ini dilakukan mengingat kerusakan yang terjadi hampir diseluruh bagian bangunan, baik itu pada bagian kaki, badan dan bagian atap. Dalam rangka kegiatan pemugaran di sini perlu dibuatkan rencana penanganan pemugaran untuk memudahkan dalam proses pelaksanaannya nanti. Adapun rencana penanganan pemugaran teresebut adalah sebagai berikut :

  1. Pembongkaran
  • Pembersihan Lapangan

Mengawali kegiatan pemugaran dilakukan upaya pembersihan areal kerja dari hal-hal yang mengganggu aktivitas pemugaran. Pembersihan lapangan meliputi : pembersihan lingkungan situs dan pembersihan pada obyek pemugaran (bangunan yang akan dipugar)

  • Pembuatan Perantos atau Stager

Untuk dapat mencapai sasaran di tempat yang tinggi maka diperlukan perantos atau stager agar mudah dalam melakukan aktivitas. Perantos atau stager dibuat atau memasang stager yang terbuat dari besi dengan dikombinasikan dengan menggunakan bambu. Perantos atau stager ini dibuat dengan memperhitungkan kemudahan jangkauan diatas tempat yang tinggi dan juga faktor keselamatan bekerja.

  • Penurunan

Pembongkaran atau penurunan adalah merupakan salah satu upaya perbaikan struktur dan arsitektur suatu bangunan cagar budaya. Pada pelaksanaan kegiatan pembongkaran atau penurunan di sini dilakukan dengan menerapkan sistem registrasi, penggambaran tiap-tiap lapis, pemberian nomor kode pada tiap-tiap komponen bangunan, pemotretan tiap lapisan dan pencatatan hal-hal penting guna dipakai pedoman dalam upaya pemasangan kembali. Untuk mengetahui posisi titik bangunan setelah penurunan maka dipasang patok bouwplank pada keempat sisi bangunan, semua titik bangunan dipindahkan ke dalam bouwplank untuk dapat membantu dalam pemasangan kembali nantinya. Patok buowplank dipasang adalah setinggi lantai lorong bangunan kori agung.

 

2. Pemasangan Kembali

Komponen atau unsur asli siap dipasang apabila sudah mendapatkan perlakuan khusus dari tim konservasi, seperti pencucian/pembersihan mekanis basah dan kering, penyambungan pada unsur-unsur bangunan yang patah dan dibersihkan dari jasad yang mengganggu, maka kegiatan pemugaran dilanjutkan dengan upaya pemasangan unsur asli dan unsur pengganti. Sebelum dilakukan pemasangan maka langkah- langkah persiapan perlu dilakukan seperti yang diuraikan akan di bawah ini :

  • Pekerjaan Tanah
    • Galian Tanah

Guna mendapatkan hasil pemugaran yang baik, penelitian terhadap tanah mutlak harus dilakukan melalui penggalian pondasi untuk mengetahui struktur tanah dan daya dukung tanah yang dimiliki oleh tanah dasar. Penggalian dilakukan sampai pada lapisan tanah keras untuk mendapatkan kepastian tanah sebagai penopang bangunan dapat memikul beban bangunan di atasnya.

    • Urugan Pasir

Pasir urug yang berada di bawah pondasi berfungsi untuk meratakan tekanan sebelum sampai pada tanah dasar . Ketebalan urugan pasir di bawah pondasi adalah setebal 20 cm, ditabur merata pada dasar galian, dipadatkan dan disiram dengan air secukupnya.

  • Pekerjaan Pasangan dan Perkuatan Struktur
    • Plat lantai kerja beton

Plat beton lantai kerja dipasang di atas urugan pasir agar dapat berfungsi untuk menerima beban secara merata yang ditimbulkan oleh berat bangunan itu sendiri. Beton ini dibuat tanpa tulangan dengan campuran 1:2:3

    • Beton bertulang

Untuk perkuatan bangunan kori agung,  dipakai kontruksi beton bertulang, mulai dari kaki bangunan, badan dan atap disiapkan kontruksi beton bertulang seperti foot plat, kolom, sloof, ring balok, plat atas dan plat bawah lantai. Untuk besi tulang pada tiap-tiap kolom, foot plat, sloof dan ring balok digunakan Ø 12 mm untuk tulang pokok dan  Ø 6 mm untuk tulang pembagi. Khusus untuk plat atas dan plat bawah lantai digunakan besi beton Ø 10 mm. Adonan beton sebagai bahan pengikat kontruksi digunakan campuran              1Pc : 2Psr : 3Krk, dengan menggunakan material berkwalitas tinggi yang bebas dari kandungan humus, lumpur dan debu (lihat lampiran gambar rencana perkuatan struktur kori agung Pura Gede Jembrana)

    • Pondasi dan batu isian

Pondasi berfungsi untuk memikul berat bangunan sebelum diteruskan ke bawah. Maka pondasi amat perlu dibuat dengan kontruksi yang memadai untuk mendapatkan daya dukung yang baik. Material pondasi menggunakan pasangan batu kali dengan adonan 1Pc : 5Psr. Demikian juga dengan batu isian digunakan pasangan batu kali adonan 1Pc : 5Psr untuk dapat mengisi rongga diantara batu-batu luar sehingga tidak ada lagi  ruang  yang tak terisi.

    • Batu Luar

Untuk memasang unsur-unsur asli, kembali sistem registrasi seperti yang dipakai pada saat penurunan sangat diperlukan untuk dapat membantu mengetahui posisi tiap-tiap unsur bangunan sehingga akan dapat menghindari kesalahan pada saat pemasangan. Pemasangan batu bata maupun batu padas unsur asli menggunakan bahan perekat semen, dipasang dengan sistem susun tumpuk, dengan cara menggosokkan material yang satu dengan yang lainnya dengan dibubuhi perekat semen dicampur air sehingga mendapatkan hasil sesuai dengan struktur aslinya. Untuk unsur yang mengalami kerusakan yang berupa aus, pecah, patah dan hilang maka digunakan unsur pengganti dengan menggunakan bahan yang sama baik itu ukuran, warna dan kwalitasnya.

    • Pintu Dedange

Setelah pemasangan unsur asli selesai sampai di permukaan lantai, bersamaan dengan itu juga dipasang bagian kusen dan dedange yang terletak di bagian lorong dari kori agung. Dilihat dari kondisi fisiknya baik itu kusen maupun dedangenya sudah sedikit mengalami pelapukan. Tetapi hal itu dapat diatasi dengan memberikan/mengoleskan cairan anti rayap.

 

3. Finishing

  • Finishing bata dan batu padas pasangan baru

Untuk mendapatkan hasil yang sesuai, mendekati sturktur asli maka dilakukan upaya pembersihan terhadap unsur pengganti terutama di bagian muka pasangan agar sesuai dengan aslinya. Upaya ini diperlukan untuk dapat menyesuaikan antara unsur asli dan unsur pengganti agar kelihatan sama baiknya dilhat dari pola maupun teknis pengerjaan, sehingga dapat menampakkan kesan kompak, serasi, harmonis dan indah.

  • Penggambaran

Sebagai langkah terakhir dari proses kegiatan pemugaran, dilakukan penggambaran hasil pemugaran. Gambar ini disebut gambar purna pugar sebagai bentuk pertanggung jawaban pemugaran  secara teknis maupun arkeologis.

 

Rencana Penanganan Konservasi

Rencana penanganan pemeliharaan yang berupa tindakan konservasi yaitu meliputi penentuan prosedur, metode, teknis, bahan, peralatan, tenaga (jumlah kompetensi) dan biaya. Salah satu bentuk penanganan yang direncanakan adalah perawatan secara kuratif. Kegiatan perawatan ini dimaksudkan untuk menanggulangi segala permasalahan kerusakan maupun pelapukan. Dasar yang digunakan dalam kegiatan penanganan ini meliputi perawatan secara tradisional maupun modern.

A. Perawatan Tradisional

Perlakuan konservasi secara tradisional dilakukan dengan mempergunakan peralatan seperti solet, sapu lidi, sikat ijuk, kapi serta peralatan lainnya. Tindakan ini efektif bila kerusakan secara biologis seperti moss, algae dan lichen telah mengering dan mati.

B. Perawatan Modern

Perawatan modern adalah perawatan yang dilakukan dengan mempergunakan bahan kimia. Adapun jenis penanganan perawatan modern yang dilakukan adalah : pembersihan, perbaikan, konsolidasi, pengawetan dan pemberian lapisan pelindung (coating). Jenis kegiatan perawatan secara modern adalah sebagai  berikut:

  • Pembersihan
    • Pembersihan Mekanis Kering

Pembersihan di sini dilakukan adalah dengan cara pembersihan mekanis kering, sasaran dari pembersihan disini addalah debu, rumah serangga, begitu juga pertumbuhan jasad-jasad renik yang telah mati yang ada diseluruh permukaan bangunan itu sendiri.

    • Pembersihan mekanis Basah

Kegiatan pembersihan mekanis basah disini dengan mempergunakan bahan kimia jenis AC 322 dengan tujuan untuk membunuh jasad-jasad renik yang sangat membandel dan masih aktif.

  • Perbaikan

Adapun beberapa cara untuk menangani jenis kerusakan yang terdapat pada kori agung  di Pura Gede Jembrana adalah sebagai berikut :

  • Penyambungan

Kegiatan ini dilakukan pada batu yang pecah maupun yang patah. Adapun bahan yang dipergunakan adalah DF 614 dengan perbandingan 1 : 4

  • Kamuflase

Sasaran dari kegiatan ini adalah pada bagian batu yang telah disambung, dengan tujuan untuk menyangga dan memperkuat bekas sambungan tadi. Bahan yang dipergunakan adalah bubuk bata dan semen dengan perbandingan 1 : 6

  • Konsolidasi

Untuk memperkuat struktur bata yang telah lapuk maka sangat perlu dilakukan konsolidasi. Adapun bahan yang dipergunakan adalah paraloid B-72 dengan bahan pelarut Ethyl Acetate dengan konsentrasi 3 %

  • Pengawetan

Untuk pengawetan bata dipergunakan bahan Nyvar X-1 dengan konsentrasi 5 %. Pengawetan dilakukan pada semua permukaan batu.

  • Pelapisan Pelindung (coating)

Tindakan pemberian lapisan pelindung sasarannya adalah diseluruh permukaan karena berada di tempat yang tidak terlindung.

  • Kedap Air.

Pemasangan kedap air disini sangat diperlukan dengan tujuan untuk menghindari akan terjadinya kapilarisasi, baik itu air tanah maupun air hujan.

 

Rencana Penanganan Lingkungan

Dalam upaya pelestarian terhadap bangunan cagar budaya yang terdapat di Pura Gede Jembrana setelah dilakukannya pemugaran perlu diimbangi dengan upaya atau usaha untuk penataan lingkungan, agar keberadaan bangunan cagar budaya tersebut tampak serasi atau menyatu dengan lingkungan di sekitarnya. Dilihat dari tempat atau letak dari bangunan  cagar budaya yang terdapat di Pura Gede Jembrana  yang merupakan bagian dari konsep pembagian halaman atau mandala pura maka keberadaannya tidak dapat diganggu gugat lagi. Disini hanya dapat dilakukan usaha-usaha untuk memperindah lingkungan yang ada di sekitar bangunan cagar budaya. Usaha-usaha penataan lingkungan yang dapat dilakukan adalah dengan menata kembali tembok keliling/tembok penyengker yang mengelilingi areal Pura Gede Jembrana, karena dilihat keadaannya sekarang tembok keliling/tembok penyengker dari Pura Gede Jembrana ini keadaannya sudah banyak yang rusak. Bahkan untuk tembok pada bagian depan yang berbatasan langsung dengan jalan raya tingginya hampir sama dengan tinggi trotoar. Hal ini terjadi karena adanya peninggian aspal jalan yang dilalsanakan hampir setiap tahun. Berdasarkan akan keadaan tersebut sebaiknya tembok keliling/tembok penyengker ini dibuat lebih tinggi, sehingga nampak serasi dengan kori agung. Disamping itu penataan dari masing-masing mandala/halaman pura perlu ditata ulang kembali, melihat keadaan sekarang pada masing-masing mandala pura tidak terdapat pepohonan yang berfungsi sebagai peneduh, sehingga pada masing-masing mandala/halaman tersebut terkesan panas.  Selain ditanami dengan pepohonan yang berfungsi sebagai peneduh, dimasing-masing mandala/halaman pura juga dapat ditanami dengan pohon-pohon bunga yang bunganya dapat dimanfaatkaan sebagai sarana persembahyangan. Keberadaan berbagai macam vegetasi ini tentunya akan menampakkan kesan yang indah dan serasi dengan bangunan cagar budaya. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam penataan lingkungan di sekitar bangunan cagar budaya adalah adanya saluran drainase yang baik, sehingga kapilarisasi air tanah dan air hujan tidak akan mempengaruhi bangunan cagar budaya tersebut.

 

Simpulan

  1. Kori agung yang teradapat di Pura Gede Jembrana merupakan tinggalan arkeologi yang penting dan harus mendapatkan perhatian dari semua pihak agar kelestariannya dapat dipertahankan demi generasi yang akan datang.
  2. Berdasarkan ciri-ciri arsitektur, kori agung Pura Gede Jembrana diperkirakan berasal dari abad………
  3. Tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura  Gede Jembrana dapat dijadikan sebagai suatu bahan kajian bagi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan  dalam bidang sejarah, arkeologi, budaya dan arsitektur
  4. Untuk mengantisipasi gejala kerusakan yang terjadi pada bangunan cagar budaya (kori agung) yang terdapat di Pura Gede Jembrana perlu mendapatkan penanganan pemugaran secara total (retorasi) dan juga penanganan konservasi, sehingga bangunan cagar budaya ini kelestariannya tetap terjaga
  5. Penanganan keadaan lingkungan perlu mendapatkan perhatian, karena dengan keberadaan lingkungan yang asri akan dapat mewujudkan keindahan dan keserasian lingkungan pura.

Saran

  1. Pada saat pelaksanaan pemugaran nantinya, hendaknya prinsip-prinsip pemugaran benda cagar budaya benar-benar diperhatikan, yang meliputi tentang keaslian bentuk, bahan, warna, tata letak serta teknologi pengerjaannya. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
  2. Keberadaan tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Gede Jembrana perlu kiranya diperkenalkan kehadapan khalayak umum, karena ini merupakan hal yang sangat penting bagi kita semua dan merupakan pencerminan jati diri bangsa.

 

Daftar Pustaka

Agung, A.A. Ngurah. 1982. Laporan Pemugaran Pura Maospahit Tonja   Badung,Bali dalam : Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali

Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta

Anonim. Profil Desa Batuagung Tahun 2009 – 2010. Desa Batuagung, Kecamatan Jembrana, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.

Arnawa, I G L B. 2004. Laporan Evaluasi Pemugaran Candi Bakungan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali – NTB dan NTT

Astawa, A.A. Oka. 2003. Laporan Kekunaan di Pura Luhur Camenggaon, Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Balai Arkeologi Denpasar

Cahyandaru, Nahar. 2007. Konservasi BCB Bata dan Permasalahannya. Makalah dalam Relik. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi

Ismijono. 1987. Teknik Pemugaran BCB dan Situs. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Pemugaran dan Konservasi BCB Tingkat Direktorat. Yogyakarta 1 – 3 April 1997

Ismijono. 2011.    Metode Dan Teknik Pemugaran Bangunan Cagar Budaya. Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Tenaga Teknis Pemugaran Tingkat Dasar. Magelang/Borobudur, Julu 2011.

Koentjaraninggrat. 1984. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta

Purniti, Ni Komang Aniek,dkk.2007. Laporan Studi Teknis Arkeologi Gapura Kuna Puri Andul Desa Batuagung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali

Putra, I Gusti Made. 2006. Tinjauan Candi Dari Sudut Pandang Arsitektur. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Dengan Tema Candi Sebagai Tempat Suci. Denpasar 16 Maret 2006

Rena, I Gusti Made. 2007. Pemugaran Bangunan Bata di Bali.  Dalam Majalah Sudamala, Balai Pelestarian  Peninggalan Purbakala Bali

Suarbhawa, I Gusti Made. 2009. Prasasti Banjar Nusa Mara Desa Yeh Embang Kangin. Dalam Forum Arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar.

Sutaba, I Made, dkk. 1992. Laporan Purna Pugar Pura Pegulingan Basangambu Manukaya, Tampaksiring Gianyar. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali –  NTB – NTT – Timtim

Suwara, I Gusti Ngurah,dkk.2009. Sejarah Pura Gede Jembrana. Tim Khusus Kabupaten Jembrana

Widiarta, I Wayan, dkk. 2000. Konservasi Bata Bangunan Prasada di Pura Sada Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali –  NTB – NTT

Winarno, Suyud. 2000. Pengkajian Kualitas Bata Situs – Situs di Indonesia. Bahan Lokakarya Pengembangan Metode dan Teknik Konservasi Bangunan Bata di Trowulan. Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Purbakala