Pura Meduwe Karang terletak di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, berjarak sekitar 15 Km sebelah timur Kota Singaraja. Posisi pura berada dipinggir jalan raya sebelah utara jalan dan menghadap ke arah barat yang secara geografis berada pada koordinat 80 04’ 40.36” LS, 1150 10’ 33.89” BT, dan pada ketinggian 26 meter di atas permukaan laut.
Nama Pura Meduwe Karang berasal dari dua kata yaitu meduwe dan karang. Meduwe berarti mempunyai (dari kata duwe=punya+me) dan karang berarti tegalan. Jadi meduwe karang berarti mempunyai tanah atau tegalan. Sesuai namanya, maka pura ini erat kaitanya dengan orang-orang yang berkecimpung di idang pengolahan tanah seperti lahan kering (tegalan) dan kebun (abian). Pura Maduwe Karang difungsikan sebagai sarana pemujaan bagi masyarakat yang melakukan/memiliki lahan pertanian berupa tanah tegalan dan perkebunan. Dengan demikian sesungguhnya Pura Maduwe Karang termasuk pura subak Abian (pengulun carik/tegalan).
Pendirian Pura Meduwe Karang berawal dari perpindahan penduduk Desa Bulian, terletak sekitar 7 km di arah selatan menuju ke arah utara hingga sampai disekitar pura ini. Perpindahan tersebut dilakukan guna mencari lahan garapan baru sebagai akibat pertambahan penduduk yang bertambah padat. Karena relatif jauh dan kondisi alam yang berat mereka menginginkan mempunyai tempat pemujaan seperti yang ada di desa asalnya. Pura asalnya yakni Pura Delod Guwub dijadikan acuan dalam pendirian pura yang baru ini. Gagasan pendiri pura dimulai tahun 1890, yang dikerjakan oleh undagi Nyoman Ragia dan Wayan Jenang, dibantu oleh beberapa tukang antara lain Tantra, Made Jiwa, dan Wayan Tebus (Arjana & Kusmada, 1980: 15-26).
Pengemong pura pada awalnya adalah 15 Desa Adat di wilayah Kubu Tambahan, namun karena terlalu lama tidak dilaksanakan upacara piodalan (agung) makin lama pengemong makin menyusut dan kurang jelas lagi jumlahnya. Piodalan terakhir dilakukan tahun 1939. Sekarang ini Pura Meduwe Karang disungsung oleh Krama Desa Adat yang berdiam di sekitar pura berjumlah 37 kepala keluarga.
Struktur Pura Meduwe Karang dibagi menjadi tiga halaman, yaitu: halaman luar (jabaan), halaman tengah (jaba tengah), dan halaman dalam (jeroan). Pada halaman jabaan terdapat tiga deretan patung besar dan kecil. Patung-patung ini menggambarkan cerita Ramayana khususnya saat peperangan antara prajurit kera yang dipimpin oleh Sugriwa melawan Kumbakarna (lebih dikenal dengan episode “Kumbakarna kerebut”). Deretan patung dari utara ke selatan adalah sebagai berikut:
- Deretan pertama adalah patung Singa muka, Dalem, Patih Prahasta, Gawa-gawa, Sarpa Muka, dan Aswa Muka.
- Deret kedua: Utsata, Sempati, Lembu Muka, Bisma Muka, Menda, Kebo Muka, Jembawan, dan Srenggi Muka.
- Deret ketiga: Rama, Laksamana, Wibisana, Sugriwa, Anggada, Anila, Anoman, Andala, Gowaksa, Durwada, Gowaja, Mong Muka, dan Asti Muka.
Pintu masuk dari halaman luar ke halaman tengah berupa Candi Bentar yang dihiasi dengan ukiran seperti lazimnya. Di halaman jaba tengah terdapat patung-patung petani. Selain itu, terdapat bangunan bale gong yakni tempat untuk menabuh gamelan.
Untuk memasuki halaman dalam pura terdapat pintu masuk berbentuk Candi Kurung. Di halaman jeroan terdapat beberapa pelinggih seperti; padmasana di sudut timur laut (sebaga stana Dewa Siwa), di sebelah kiri dan kanan terdapat pelinggih gedong sari. Sebelah kanan merupakan pelinggih Ratu Ngurah Penaban Sari sebagai manifestasi Dewa Wisnu. Ketiga bangunan ini dihubungkan dengan bebaturan serta dilengkapi dengan candi bentar kecil-kecil. Pada bagian tangga menuju pelinggih utama terdapat deretan patung menggambarkan tokoh Panca Pandawa yakni tokoh Nakula-Sahadewa (satu patung), Arjuna, Bima, dan Yudistira. Pada bagian depan bebaturan terdapat hiasan relief ceritera Ramayana. Selain itu, juga terdapat patung Rama dan Rahwana beserta prajuritnya. Pada pilar bebaturan terdapat pula patung Durga.
Upacara besar di Pura ini (piodalan) dilakukan tiap tahun sekali yakni pada hari Purnama Sasih Kawulu (sekitar bulan maret). Pada saat itu masyarakat sekitar (penyungsung pura) datang membawa sesajen untuk memohon keselamatan dan menghaturkan ucapan terima kasih atas anugerah yang diberikan berupa hasil panen. Para petani ada pula yang datang membawa sesajen berupa kacang-kacangan, setelah itu dibawa pulang dijadikan bibit untuk ditanam diladangnya. Para petani tidak lupa pula memohon air suci (thirtha) yang dipercikkan pada ladangnya dengan harapan mendapatkan berkah kesuburan. Jelaslah Pura Meduwe Karang terkait dengan fungsi religius magis atau untuk permohonan kesuburan tanaman para petani.
Terdapat beberapa macam bentuk Benda Cagar Budaya ditemukan di Pura Meduwe Karang. Di halaman dalam pura yakni pada bagian belakang pelinggih Padmasana terdapat hiasan Arca Wisnu di atas Garuda. Di Halaman ini terdapat pula beberapa arca seperti: Arca Dewi Durga, Tokoh Pewayangan yang menunjukkan oposisi biner (Rwa Bhineda) antara simbol kebaikan Rama, Sugriwa, Punakawan (Merdah dan Tualen), dan simbol kebatilan Arca Rahwana, Marica, dua Punakawannya (Delem serta Sangut).
Di bebaturan pelinggih utama terdapat beberapa relief menarik antara lain: (1) Relief dengan kamasutra, terdapat dibagian depan dan belakang (samping utara), (2) Relief yang menggambarkan seorang ibu dengan dua anak yakni pojok timur laut (disebut relief KB atau semboyan dua anak cukup), (3) Relief yang menggambarkan seorang tokoh raja terdapat di depan tepatnya di pojok barat laut dan barat daya bebaturan. Tokoh yang digambarkan adalah Raja Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti atau Ki Barak Panji Sakti, dan (4) relief tokoh bersepeda memakai pakain Bali. Relief keempat yang dipahat dibagian utara bangunan utama pura ini menarik perhatian karena keunikannya. Seperti yang diinformasikan oleh jupel:
“Relief ini yang ingin selalu dilihat para tamu asing di pura ini. Menurut cerita orang tua, konon pada awal pembangunan pura ini sering berkunjung orang asing bernama Tuan Neuwekamp (seorang peneliti) untuk melihat-lihat orang-orang yang sedang mengerjakan pura tersebut. Jalinan persahabatan ini menginspirasi tukang disini untuk mengabadikannya “sosok tuan itu” dalam suatu bentuk ukiran seorang “bule” berpakaian adat Bali sedang menarik sepeda” (wawancara September 2011).
Berdasarkan ciri-ciri fisik dari patung dan ukiran di Pura Meduwe Karang menunjukkan keunikan dibandingkan daerah lainnya di Bali dan dianggap berciri khas Buleleng. Bentuk seni patung dan seni ukirnya menunjukkan ketegasan dan kemeriahan. Selain itu, penggambaran tokoh maupun ekspresinya dilakukan secara bebas tanpa terikat secara ketat dengan pakem yang berlaku. kreatifitas dan daya ekspresi dari gaya buleleng ini merupakan cermin kearifan lokal di bidang estetika bentuk tokoh seperti seorang tokoh “bule” memakai pakaian adat menaiki sepeda dengan ban yang distilir serta pahatan tokoh “ibu dengan dua anak cukup” yang dipahatkan di Pura Maduwe Karang adalah benar-benar terobosan estetika yang inovatif dan kreatif karena tidak lazim pada bangunan pura pada umumnya.
Pura Meduwe Karang telah terdaftar sebagai cagar budaya. Secara umum kondisi pura terawat baik, namun karena cuaca alam Buleleng relatif pluktuatif menyebabkan sekarang ini keadaan relief tampak ditutupi oleh lumut. Beberapa relief dan patung juga mengalami keausan. Untuk menjaga dan merawat Situs Meduwe Karang telah pula diangkat jupel (juru pelihara situs). Akan tetapi, sejak tahun 2010 setelah jupel meninggal belum terdapat pengganti yang definitive sebagai Jupel Pura Meduwe Karang.