SITUS MANIKLIYU

0
2336
Nekara wadah kubur dari Manikliyu, Bangli

Situs Manikliyu terletak di Banjar Manikliyu, Desa Manikliyu, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, sekitar 87 Km di sebelah timur laut Denpasar. Situs Manikliyu berada di tengah-tengah tanah perkebunan yang secara geografis berada pada koordinat 80 17’ 24.23” LS, 1150 17’ 17.40” BT, dan pada ketinggian 1.072 di atas permukaan air laut.

Sarkofagus Manikliyu

Situs Manikliyu ditemukan secara tidak sengaja oleh Pan Suki ketika mencangkul dikebunnya, ia menemukan peti batu yang dianggap benda aneh. Didorong rasa ingin tahu  kemudian peti batu tersebut dibuka bersama beberapa warga. Setelah dibuka ternyata di dalamnya terdapat tulang manusia. Temuan tersebut selanjutnya dilaporkan ke aparat desa dan peristiwa tersebut sampai pula ke Balai Arkeologi Denpasar. Berdasarkan informasi itu, pada bulan Maret dan Juni tahun 2007 Tim Balai Arkeologi melakukan ekskavasi dan mendapatkan beberapa temuan, seperti dua buah sarkofagus, nekara perunggu (sebagai wadah kubur), rangka manusia, dan bekal kubur berupa periuk, spiral, penutup jari dari perunggu, dan manik-manik (Gede, 1997: 39-46).

Tutup Kubur Nekara

Tinggalan cagar budaya di Situs Manikliyu menarik perhatian karena merupakan kompleks cara penguburan tanpa wadah dan dengan wadah. Pola kubur tanpa wadah ditemukan berupa  rangka yang dikubur secara langsung  di tanah dengan posisi mayat membujur dan disertai bekal kubur, seperti spiral perunggu pada bagian kepala, pinggang, gelang pada kaki, dan disampingnya terdapat sejumlah gerabah sebagai bekal kubur.

Cara penguburan dengan wadah di situs manikliyu adalah menggunakan nekara perunggu dan sarkofagus. Kubur memakai wadah nekara sangat jarang di Indonesia maupun di Bali. Kubur nekara manikliyu berukuran tinggi 120 cm dan diameter bidang pukulnya 77 cm. pada bagian bahu terdapat hiasan horizontal, pola hias garis tumpal berlawanan arah, pola hias huruf f, dan pola hias kedok muka berpasangan. Di dalam nekara ditemukan rangka dengan posisi terlipat, disertai bekal kubur berupa gerabah, benda perunggu seperti  spiral, gelang, serta pelindung jari, dan manik-manik (Gede, 1997: 39-45).

Sedangkan, kubur dengan sarkofagus berjumlah dua buah (A dan B). keduanya terbuat dari batu padas yang dicekungkan, bentuknya persegi panjang, dan pada setiap bidang samping terdapat tonjolan yang berfungsi untuk mengikat tali pada saat menguburkan sarkofagus keliang lahat. Di dalam sarkofagus tidak ditemukan rangka, yang sudah hancur menjadi tanah. Sarkofagus (A) termasuk tipe besar berukuran panjang 206 cm, dan sarkofagus (B) termasuk tipe madya berukuran panjang kurang dari 200 cm, melihat tipe sarkofagus ini, umumnya posisi mayat yang dikubur adalah membujur (Maha Wiranata, 1997: 19-27).

Penyertaan benda-benda lain sebagai bekal kubur bagi seseorang yang meninggal merupakan suatu tradisi yang berkembang sejak zaman prasejarah. Kebiasaan ini berdasarkan pada kepercayaan bahwa orang yang meninggal rohnya masih hidup terus di dunia arwah sehingga harus dibekali dengan benda-benda terpenting miliknya sendiri. Tujianya ialah agar dengan perlengkapan ini roh tersebut dapat meneruskan kehidupannya dengan baik di dunia arwah. Selain itu roh nenek moyang yang telah meninggal dianggap bersemayam ditempat-tempat yang tinggi seperti gunung. Hal ini tampak pula pada orientasi penguburan situs Manikliyu yang mengarah ke Gunung Penulisan yakni dengan posisi kepala di timur laut dan kaki di barat daya. Tradisi penyertaan bekal kubur dan gunung sebagai tempat bersemayangnya roh suci leluhur berawal sejak masa prasejarah ini tetap berlanjut menjadi keyakinan masyarakat Bali hingga sekarang.

Berdasarkan variasi penguburan di situs ini yakni penguburan tanpa wadah dengan penguburan memakai wadah menunjukkan bahwa tidak semua orang dikubur dalam wadah sarkofagus maupun nekara. Ada dugaan penguburan memakai wadah digunakan untuk kelompok masyarakat tertentu seperti kepala suku maupun orang yang mempunyai kedudukan terkemuka dikelompok masyarakatnya. Ini berate pada masa itu telah ada struktur sosial masyarakat yang terdiri atas pada pemimpin, kelompok-kelompok ahli dibidang pekerjaan tertentu (misalnya undagi pembuat nekara dan sarkofagus, pande logam) dan masyarakat umum. Proses penguburan dengan sarkofagus membutuhkan partisipasi sumberdaya manusia yang cukup banyak dan biaya yang relatif besar. Oleh karena itu, prosesi penguburan dengan sarkofagus ini hanya bisa dilakukan jika terdapat pola-pola hubungan kerja sama yang teratur dan gotong royong. Sesuai kenyataan yang masih berkembang  sampai sekarang pada masyarakat Marapu di Sumba bahwa penguburan dengan kubur batu membutuhkan tenaga manusia yang cukup banyak dan dalam suasana hidup kekeluargaan yang saling bekerja sama (Kusumawati, 2003: 49-74). Kenyataan ini membuktikan bahwa nilai solidaritas yang dicerminkan pada tradisi penguburan  dengan sarkofagus telah ada sejak masa prasejarah dan terus berlanjut hingga sekarang.

Sebagai tindak lanjut dari temuan di Situs Manikliyu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut, pertama masyarakat dan pemerintah melakukan upacara pengabenan terhadap rangka manusia yang ditemukan di situs tersebut. Hal ini dilakukan karena menurut keyakinan masyarakat Situs Manikliyu dianggap sebagai kuburan. Pengabenan ini dilakukan guna menjaga keamanan dan keselamatan penduduk. Kedua temuan nekara perunggu dan bekal kubur untuk sementara disimpan di Balai Arkeologi Denpasar. Ketiga, dua buah sarkofagus dan sebuah batu bundar yang dulunya dipergunakan sebagai  tutup nekara masih berada pada posisi aslinya di kotak galian (in situ) dan dibuatkan bangunan pelindung oleh pemerintah Kabupaten Bangli  untuk menjaga keamanan situs ini dari terik sinar matahari dan hujan. Keempat, situs ini belum mendapatkan SK penetapan sebagai cagar budaya, namun telah mendapatkan perlakuan pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya berupa Inventarisasi, Konservasi, dan Jupel (juru pelihara situs).