Peninggalan purbakala Goa Gajah baru dikenal masyarakat luas pada tahun 1923 melalui laporan L.C. Heyting, seorang pejabat pemerintah Hindia-Belanda di Singaraja. Dalam laporan itu disebutkan sebuah goa dengan dinding muka penuh pahatan. Dari keterangan dan foto-fotonya dapat pula diketahui pelataran depan goa terdapat beberapa arca lepas, yaitu 6 tokoh arca wanita (arca pancuran), sebuah arca ganesha, sebuah arca siwa, sebuah arca hariti, arca ganesha di dalam pelinggih disebelah barat mulut goa, dan pada dinding masuk goa dijumpai tulisan singkat (Heyting, 1923).
Pada tahun 1925 dilakukan penelitian oleh Stuterheim dan menemukan peninggalan-peninggalan baru di antaranya:
- Di dalam goa terdapat sebuah arca ganesha dam trilingga
- Di halaman goa berupa arca pancuran wanita
- Di depan goa terdapat 3 buah arca wanita, 2 buah arca raksasa
- Di dalam pelinggih/gedong terdapat arca ganesha, arca hariti dan arca jongkok. Disamping peninggalan tersebut ditemukan pula pahatan stupa berbentuk payung bersusun 13 di komplek Tukad Pangkung.
Pada tahun 1931 Conrat Spies menemukan pula peninggalan yang cukup penting di komplek Tukad Pangkung berupa stupa bercabang tiga yang terpahat pada dinding batu yang telah runtuh dan tergeletak di dasar Tukad Pangkung.
Sejak tahun 1950, setelah Dinas Purbakala Republik Indonesia membuka kantor Seksi Bangunan Cabang Bali yang berkedudukan di Gianyar dibawah pimpinan J.L Krijgman, penelitian terhadap peninggalan purbakala di Goa Gajah mendapat perhatian secara khusus.