Pura Tirta Empul

0
17245

Pokja Pengembangan dan Pemanfaatan

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI


Letak dan Lingkungan

Pura Tirta Empul berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Desa ini mempunyai lingkungan alam yang menghijau menggambarkan kesuburan dengan hamparan tanah pertanian yang produktif. Di desa ini terdapat beberapa buah sungai, antara lain yang terpenting ialah Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu, merupakan sumberdaya alam yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya. Kedua sungai tersebut mendapatkan air dari sumbernya di kaki pegunungan Kintamani, sehingga hampir tidak pernah kekurangan cadangan air.

Air dari sungai-sungai itu selanjutnya dialirkan ke sawah-sawah pertanian dengan harapan agar mendapatkan hasil pertanian yang melimpah. Kecuali kedua sungai tersebut di atas, Desa Manukaya juga mempunyai sejumlah mata air yang cukup besar, terdapat di antara Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu, yaitu petirtaan Pura Tirta Empul dan petirtaan Pura Mangening yang dianggap suci dan mendapat resapan air yang tidak pernah kering dari kaki pegunungan Kintamani (Sutaba, 2007 : 5).

Hutan di bagian perbukitan atau di daerah dataran tinggi Desa Manukaya dengan berbagai pepohonan antara lain, ialah ada yang menghasilkan buahbuahan seperti durian, mangga, pisang, telah menciptakan suasana yang memberikan kesan tersendiri. Di tengah-tengah hutan yang serba hijau, terdapat sejumlah fauna sebagai penghuninya, ternyata telah melengkapi ekosistem desa tersebut. Dari bagian dataran tinggi menurun ke arah selatan, terdapat dataran rendah yang dimanfaatkan sebagai permukiman penduduk dengan membangun desa untuk tempat hunian. Sebagian dari dataran ini adalah tanah sawah pertanian yang subur karena mengandung endapan material vulkanik dari Gunung Batur yang meletus berkali-kali. Tanah sawah penduduk yang berteras-teras adalah ekosistem kehidupan alami yang sangat menarik dan menawarkan keharmonisan, keseimbangan hidup, kepada masyarakat pemukimnya.

Bentang alam dan lingkungan hidup seperti di atas, memperlihatkan wajah yang sarat dengan tinggalan sejarah masa lalu, yang sudah lama menarik perhatian para ahli arkeologi, sejarah, dan kebudayaan. Dua di antara sungaisungai tersebut di atas, yakni Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu menjadi terkenal dalam sejarah Bali Kuno. Di sepanjang aliran kedua sungai ini telah dibangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih menjadi kawasan sakral (sacred area) bagi masyarakat (Sutaba, 2007 : 6).

Penelitian arkeologi yang dimulai pada awal abad XX telah mendapatkan bukti-bukti bahwa kawasan ini memang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi yang sampai sekarang masih berfungsi sakral (sacred living monuments), tersebar di Desa Panempahan, Desa Manukaya, dan Tampaksiring. Padatnya populasi pusaka budaya di kawasan ini dapat dipandang sebagai suatu indikasi mengenai pemukiman masyarakat dan padatnya hunian atau tingginya mobilitas sosial yang terjadi di masa lalu. Konsentrasi pusaka budaya di desa ini dapat pula dianggap bahwa peradaban Bali Kuno lahir di kawasan budaya ini. Pusaka budaya yang tersebar di kawasan ini salah satu diantaranya adalah Pura Tirta Empul.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa Desa Manukaya adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Tampaksiring. Desa ini berjarak 18 km dari ibukota Kabupaten Gianyar dan 38 km dari Kota Denpasar. Desa Manukaya relatif datar, dengan beberapa buah sungai kecil membelah desa dan mengalir ke sawah-sawah yang ada di wilayah desa tersebut. Pertanian basah yang relatif subur telah menghasilkan padi yang berlimpah, sementara pertanian kering yang cukup luas dapat menghasilkan berbagai komoditi, seperti kacang tanah, jagung, ketela pohon, dan ketela lambat. Lahan perkebunan yang ada di wilayah Desa Manukaya menghasilkan cengkeh, kopi, panili, dan kelapa.

Secara geografis Desa Manukaya memiliki posisi yang strategis, karena berada di jalur pariwisata yang berhubungan dengan jalur wisata Kintamani dan Besakih. Secara topografis bentuk lahan di wilayah ini adalah berupa dataran yang cukup subur dan terletak pada ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut. Curah hujan dalam setiap tahunnya mencapai 1488 mm, dengan suhu udara yang cukup sejuk sekitar 27 OC (Balai Penyuluh Pertanian Tampaksiring, 2007).

Secara administratif wilayah Desa Manukaya terdiri atas sembilan desa adat dan 13 banjar/dusun. Kesembilan desa adat tersebut ialah Desa Adat Manukaya Let, Manukaya Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan, Basangambu, Maniktawang, dan Mancingan. Sedangkan ke-13 banjar yang ada di wilayah Desa Manukaya adalah Banjar Manukaya Let, Tatag, Bantas, Manukaya Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan, Basangambu, Belahan, Maniktawang, dan Panedengan.

Adapun batas teritorial Desa Manukaya adalah sebagai berikut.

  1. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pengelumbaran (Bangli).
  2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Susut Bangli.
  3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tampaksiring (Gianyar), dan
  4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Pupuan Tegallalang (Gianyar).

Pura Tirta Empul dapat dicapai dengan mudah, karena telah dihubungkan oleh jalan raya yang sangat baik. Dari Kota Denpasar, perjalanan akan menempuh jarak lebih kurang 32 km melalui jurusan Desa Bedulu-Pejeng- Tampaksiring. Untuk sampai di lokasi, pada pertigaan jalan sebelum memasuki area Istana Presiden Tampaksiring terdapat jalan membelok ke kanan. Setelah menempuh jarak sekitar 600 meter maka tibalah di Pura Tirta Empul.

Secara astronomis, posisi Pura Tirta Empul terletak pada koordinat 1150 18’43’ Bujur Timur dan 80 10’30’ Lintang Selatan serta berada pada ketinggian 479 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata pada situs ini adalah 230C dan curah hujan pertahun mencapai 1618 mm, dengan kelembaban udara 76%. Kondisi klimatologis seperti itu menyebabkan suhu yang sejuk di dalam pura. Lingkungan mikro yang cukup lembab ini mungkin disebabkan oleh karena letak Pura Tirta Empul boleh dikatakan paling rendah jika dibandingkan dengan tempat sekitarnya yang merupakan perbukitan kecil. Tempat yang rendah ini tampaknya disebabkan karena pusaka budaya ini berorientasi pada mata air yang pada umumnya terdapat pada bagian yang paling rendah.

Memasuki areal Pura Tirta Empul, tampak panorama yang cukup indah. Tidak jauh dari pura, tepatnya di sebelah timur sungai kecil terdapat puluhan kios yang menjual barang cendramata. Selain itu, terdapat pula halaman parkir yang cukup luas untuk menampung kendaraan pengunjung. Fasilitas ini tersedia karena Pura Tirta Empul merupakan salah satu daya tarik wisata dan mendapat kunjungan wisatawan yang cukup banyak.

Sebagaimana namanya, situs Pura Tirta Empul mempunyai sumber mata air yang sangat jernih. Mata air yang dianggap suci ini terletak di bagian halaman tengah pura, lalu dialirkan ke kolam permandian yang ada di halaman luar melalui lubang pancuran dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan yang berada di sisi timur pura. Mata air ini oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumber kekuatan magis yang dapat memberi kehidupan dan kemakmuran serta menyucikan diri.

Keadaan pura saat ini secara keseluruhan terawat dengan baik, karena merupakan daya tarik wisata yang secara langsung mendapat pengawasan dari pemerintah maupun desa adat setempat. Sebagai daya tarik wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan, kawasan ini telah ditatat sesuai dengan konsep pelestarian yang diamanatkan oleh Undang-undang Benda Cagar Budaya. Selain itu, diupayakan pula untuk membedakan kawasan yang bersifat profan dan sakral. Kawasan sakral sama sekali tidak boleh ada bangunan lain kecuali terkait dengan kegiatan upacara keagamaan. Sedangkan kawasan profan diperuntukkan untuk kepentingan umum seperti toilet, artshop, lahan parkir, tiketing, warung makan, dan sebagainya.

 

Struktur Pura

Secara horizontal Pura Tirta Empul terbagi atas tiga bagian, yaitu jaba pura (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam). Pembagian atas tiga halaman seperti itu tampaknya mempunyai dasar pemikiran filosofis, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka. Jaba pura melambangkan bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan jeroan melambangkan swarloka yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa.

Adapun struktur tiga bagian Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut:

  1. Jaba pura, adalah halaman paling luar. Di hadalam ini terdapat balai wantilan dan sebuah kolam. Balai wantilan adalah bangunan terbuka berfungsi sebagai tempat keramaian pada waktu upacara piodalan, sebagai tempat mengadakan sabungan ayam yang berfungsi tabuh rah (korban darah), tempat pertemuan, dan tempat untuk kepentingan upacara lainnya. Sedangkan kolam yang berada di sebelah barat balai wantilan berfungsi untuk memperindah areal pura, dengan sejumlah ikan hias di dalamnya. Pada bagian barat kolam berdiri beberapa buah bangunan sebagai tempat untuk memajang barangbarang kerajinan/souvenir yang diperjualbelikan kepada para pengunjung. Barang-barang souvenir di tempat ini dikelola oleh sebuah koperasi dibawah koordinasi Bendesa Adat Manukaya Let. Kompleks kolam ini dibatasi oleh tembok penyengker berbentuk persegi empat dengan arsitektur tradisional Bali. Di bagian utara halaman luar juga terdapat dua buah pelinggih apit lawang yang mengapit pintu masuk menuju kolam di mana orang melakukan prosesi melukat (menyucikan diri).
  2. Jaba tengah, adalah halaman tengah dari Pura Tirta Empul. Di halaman ini terdapat taman suci, yaitu berupa kolam dengan ukuran panjang 20 meter dan lebar 10 meter. Kolam yang berbentuk persegi empat panjang ini pada bagian tengahnya terdapat mata air yang muncul dari dalam tanah (tirta empul). Tirta berarti ”air suci” dan empul artinya air yang memancur dari 103 tanah (kelebutan). Selanjutnya, air dari sumber mata air ini dialirkan ke kolam permandian yang lebih rendah di sebelah selatan melalui 26 buah pancoran. \Empat buah pancoran berada pada kolam paling barat berderet dari utara ke selatan, dan 22 buah pancoran berderet dari timur ke barat menghadap ke selatan. Masing-masing pancoran menurut tradisi masyarakat setempat mempunyai nama tersendiri, di antaranya pancoran penglukatan, pebersihan, sudamala, panglebur gering, dan panegtegan. Pada pancuran yang menghadap ke selatan inilah banyak orang menyucikan diri (melukat), yaitu mandi dengan tetap menggunakan pakaian adat dan pada umumnya mereka juga memper-sembahkan sesajen berupa canang sebelum melukat. Pada harihari tertentu, misalnya hari raya (Umanis Galungan, Umanis Kuningan, Banyu Pinaruh), Purnama (bulan terang), Tilem (bulan mati) atau pada hari libur banyak orang melukat di kolam tersebut, hingga penuh sesak. Di kolam ini orang tidak diperkenankan memakai sabun, tidak diperkenankan mencuci pakaian, serta diwajibkan menghaturkan sesajen seperlunya. Selain taman suci dan kolam permandian, pada halaman ini juga terdapat beberapa bangunan, seperti Bale Pegat, Bale Agung, dan Bale Gong. Bale Pegat terletak di bagian barat halaman ini, Bale Agung di bagian timur, dan Bale Gong di sebelah selatan menghadap ke arah utara. Di tengah-tengah halaman ini juga terdapat tinggalan megalitik berupa batu yang masih disucikan oleh masyarakat setempat.
  3. Jeroan, adalah halaman yang paling dalam, paling hulu, dan merupakan bagian halaman yang tersuci. Di halaman ini terdapat pelinggih- pelinggih/ (bangunan suci) untuk memuja Tuhan, para Dewa, atau Bhatara-bhatari. Untuk mencapai tempat ini harus melalui sebuah pintu masuk yang disebut candi bentar. Halaman ini ditempatkan lebih tinggi dari halaman tengah, sehingga secara keseluruhan bentuk denah pura bertingkat-tingkat semakin meninggi. Bangunan suci terpenting yang terdapat di sini adalah bangunan tepasana berbentuk segi empat menyerupai bangunan candi. Bangunan suci dengan tinggi lebih kurang 5 meter ini adalah tempat bersthananya Dewa Indra, seperti yang diceritakan dalam kitab Usana Bali. Di depan pelinggih inilah biasanya orang atau masyarakat bersembahyang mohon keselamatan, kebahagiaan, ketentraman lahir dan batin. Selain pelinggih tepasana, di halaman ini masih terdapat banyak pelinggih yang lain, berderet dari barat ke timur, antara lain bale priasan, bale pemereman, bale pewedan, pelinggih Mayadanawa, bale priasan Dewa, gedong pengemit, gedong dewa, bale penyimpenan, gedong limas, gedong sari, dan bale pengaruman. Di bagian barat halaman ini terdapat bale penandingan dan bale gong, sedangkan di bagian selatan menghadap ke arah utara terdapat bale peselang dan bale pecanangan.

Selain ketiga halaman pura tersebut, masih ada satu halaman khusus yang terletak pada sudut barat laut pura, yaitu halaman penyucian di halaman ini terdapat beberapa buah bangunan yang berfungsi untuk melakukan persiapan upacara. Bangunan yang terdapat di halaman ini antara lain, bale penandingan, bale penyelaman, bale gede, bale pertemuan, dan bale kulkul.

 

Sejarah Pura

Pura Tirta Empul merupakan representasi dari pura taman air yang dikembangkan oleh para penguasa di masa lalu. Pemilihan mata air sebagai lokasi tempat suci tampaknya sangat sesuai dengan konsep India Kuno yang mensyaratkan bahwa lokasi sebuah kuil sedapat mungkin harus berdekatan dengan sumber air (Acharya, 1933 : 13-14). Karena itu, tidaklah mengherankan jika di sepanjang daerah aliran Sungai Pakerisan ditemukan cukup banyak bangunan bersejarah berbentuk candi atau pura, seperti Candi Gunung Kawi, Candi Mangening, Pura Pengukur-ukuran, Candi Tegallinggah, dan Tirta Empul itu sendiri.

Untuk dapat mengungkap sejarah pendirian Pura Tirta Empul, ada beberapa sumber tertulis yang dapat digunakan, antara lain Prasasti Manukaya dan pustaka lontar Usana Bali. Prasasta Manukaya adalah sebuah prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu, sekarang prasasti tersebut tersimpan pada sebuah palinggih (bangunan suci) di Pura Puseh Desa Manukaya.

Sejak tahun 1924 Prasasti Manukaya telah menarik perhatian di kalangan para ahli purbakala, khususnya ahli purbakala dari Belanda. Diantara mereka yang menaruh minat besar terhadap prasasti ini adalah W.F. Stutterheim. Stutterheim adalah orang pertama yang berhasil membaca Prasasti Manukaya dan kemudian diterbitkan dalam bukunya yang berjudul Oudheden Van Bali (Stutterheim, 1929: 68-69). Selanjutnya prasasti ini dibaca ulang oleh R. Goris dan diterbitkannya dalam bukunya yang berjudul Prasasti Bali I (Goris, 1954: 75-76).

Prasasti Manukaya yang sangat disucikan oleh masyarakat setempat dipahatkan pada sebuah batu kedua sisi, namun huruf-huruf yang terpahat sudah demikian ausnya, sehingga tidak semua isi prasasti dapat dibaca. Sisi pertama (A) terdiri atas 15 baris tulisan, sedangkan sisi kedua (B) terdiri atas 8 baris tulisan. Prasasti Manukaya menggunakan bahasa dan huruf Bali Kuno. Sisi A yang masih dapat dibaca antara lain menyebut tahun dikeluarkan prasasti yaitu 882 Saka /960 Masehi, serta menyebut nama raja Jayasingha Warmadewa. Selain itu, prasasti ini juga memuat perintah raja untuk memugar atau memperbaiki telaga atau tirtha di air Mpul (sekarang Tirta Empul di Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air. Telaga itu sampai saat ini masih dianggap suci oleh masyarakat terutama sekaa barong di daerah Gianyar. Setiap tahun sekali diadakan odalan, dan prasasti batu tersebut diarak ke Pura Tirta Empul untuk disucikan. Dengan demikian, jika angka tahun prasasti tersebut di atas dianggap sebagai tahun berdirinya tempat suci ini, maka dapat dipastikan bahwa umur Pura Tirta Empul saat ini sudah mencapai 1050 tahun.

Selain keterangan prasasti tersebut di atas, sejarah Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat yang berkembang hingga saat ini yang bersumber dari Kekawin Usana Bali. Isi lontar itu terutama mengisahkan bahwa pada zaman dahulu pasukan apsara dari surga yang dipimpin oleh Dewa Indra berangkat dari Kahyangan ke Bali. Dewa Indra dengan pasukannya turun di Kahyangan Basukih, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan ke barat untuk menyerang Raja Mayadanawa di Bedahulu. Raja Mayadanawa adalah raja yang sangat sombong, angkuh dan melarang rakyat mengadakan persembahan kepada Dewa. Sikap Mayadanawa yang demikian menyebabkan para Dewa menjadi marah. Dewa Indra dengan Patih Citranggada, Citrasena dan Jayanta beserta pasukankannya membagi tugas mengatur siasat perang untuk melawan Mayadanawa. Suara kendang berdentuman alunan gong bergemuruh, bendera berkibar, bala tentara berjalan menjejal menuju Desa Bedahulu.

Mayadanawa menghina dan mencela tiada henti-hentinya dengan sombong, congkak, dan kasar, diikuti oleh raksasa yang lain. Mengetahui akan musuhnya datang, pasukan Mayadanawa segera menghadang. Maka terjadilah pertempuran yang sangat dasyat antara pasukan Dewa Indra melawan pasukan Mayadanawa. Beribu-ribu pasukan bertempur bergemuruh hingga banyak korban bergelimpangan.

Entah beberapa lama perang berlangsung, akhirnya pasukan Dewa Indra berhasil mendesak mundur pasukan Mayadanawa. Dari keretanya Mayadanawa melihat kekalahan pasukannya, sehingga ia turun ke medan perang. Pertempuran dasyat kembali terjadi. Mayadanawa sangat marah gemertak giginya dan bersuara menggelegar. Mayadanawa menantang berperang berhadap-hadapan (perang tanding), sementara Dewa Indra dengan tenang terus mendesak raksasa itu dengan melepaskan beberapa anak panah.

Karena terdesak, Mayadanawa akhirnya melarikan diri ke arah utara dan terus dikejar oleh pasukan Dewa Indra. Sampai di Desa Manukaya, raja Mayadanawa berubah wujud menjadi manuk (ayam jantan). Akhirnya manuk ini dipanah oleh Dewa Indra, maka matilah raksasa itu. Konon darah Mayadanawa dari mulutnya menyembul pusaran air, aliran air Petanu namanya. Air sungai itu tidak boleh diminum, tidak boleh digunakan untuk mandi atau cuci muka karena air itu dipercaya bersumber dari darah raksasa (Pupuh xv : 1).

Sementara itu, di sebelah selatan desa Manukaya terdapat suatu tempat yang bernama Alas Pagulingan. Di tempat inilah Patih Kalawong (Patih Mayadanawa) membuat tirta mala yang menyebabkan kematian pasukan apsara. Melihat keadaan seperti itu, lalu Dewa Indra menciptakan air suci. Air ini lalu diperciki kepada para pasukan apsara yang telah mati, sehingga berhasil hidup kembali. Air suci ini kemudian bernama Tirta Empul.

Jika kaum Brahmana dan ksatria mandi dan cuci muka di sini, wajah dan tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka. Jika kaum Wesya dan Sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang berbudi luhur akan mendapat keberuntungan. Mereka yang datang diharapkan menghaturkan sesaji diiringi puja mantra memuja Dewa Siwa. Untuk jelasnya berikut dikutipkan Kakawin Usana Bali Pupuh xiv 1-4 (Kusuma : 2005, 74-75) sebagai berikut.

Pupuh xiv

  1. Byaktitan patining mahasura Maya radin atisaya tustaning sabhuwana, hyang sakra ndan asighra mantuk umareng nguwu saha balakusa wahana kabeh, ndararyan tepining nadi parama nirmala siratelas adyu sahyas asalin, ngka muja ribhatara suksma siwa tarppana ginawayarat kasugatin.
  2. Airampul pengaranya dengku lingiramarapati kateka tekeng helem ike, atyanteki pawitraning parama tirtha saphala gumawe suka parimita, monsang brahmana yan ksimatriya kuneng mahasa-hasa lanadyusa sring arahup, mukta klesa sarira punyaguna labda tinemu nira papa pataka hilang.
  3. Towi praptanira agawe widhi-whidana gelaring anustanakya tinata, mudhra mantra tkeng pranayana jiwas marana sahaja kuta mantra ri tengah, sang weruh mangkana bhagya yadjapi tatar weruh irika 101 manganugraha nemu phala, ngkana jadma nijadma sidha bayu manggihing ika sang atirthayatra ri helem.
  4. Yadyastun hana waisya sudra tuwisawakan ika jadi tuccha jati datenga, byakta mangguha sasinadhyan ika yan duga-duga ring ulahnya labha katemu, nahan pajarira Hyang Indra ri sedengnira lumekasaken siwaccana widhi, matrongkara sakeng langit kusuma warssa jaya-jaya susiddi rasthu.

Artinya :

  1. Setelah kematian Mayadanawa dunia menjadi tentram, Dewa Indra kembali ke pesanggrahannya diikuti oleh seluruh pasukannya, beristirahat di tepi sumber air ciptaannya itu lalu mandi dan mengganti busana, selanjutnya memuja kehadapan Dewa Siwa agar dianugrahi kebahagiaan.
  2. Kata Dewa Indra ”ini ku namai air empul” sampai kelak, siapa yang diperciki air ini akan mendapat keberhasilan dan keselamatan, jika kaum Brahmana dan Kesatrya mandi dan cuci muka di sini, wajah dan tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka.
  3. Mereka yang datang diharapkan menghaturkan sesaji walaupun sangat sederhana, diiringi puja mantra sambil memuja kehadapan Dewa Siwa yang di tengah, bagi yang mengetahui akan berbahagia dan bagi yang belum mengetahui akan dianugrahi kesuksesan, mereka yang melakukan tirtayatra di sana akan mendapat keselamatan di kemudian hari.

Jika kaum wesya dan sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang berbudi luhur mendapat keberuntungan. Begitulah permohonan Dewa Indra saat memuja Dewa Siwa, terdengar sabda dari angkasa kemenangan yang mengharumkan.

 

Data Arkeologi

Seperti pada umumnya pura-pura di Bali, Pura Tirta Empul secara horizontal terbagi atas tiga halaman, yaitu halaman luar, halaman tengah, dan halaman dalam. Pada halaman luar (jaba) terdapat beberapa bangunan seperti wantilan dan kolam beserta ikan hias untuk memperindah pura. Di halaman tengah terdapat beberapa bangunan, antara lain, Bale Pegat, Bale Agung, Bale Gong, dan Taman suci. Pada halaman dalam yang merupakan halaman tersuci terdapat sejumlah bangunan suci pemujaan seperti Bale Piyasan, Bale Pemereman, Bale Pawedan, Pelinggih Mayadanawa, Pelinggih Patih Mayadanawa, Bale Priyasan Dewa, Gedong Pengemit, Gedong Dewa, Tepasana, Gedong Sari, Bale Pengaruman, dan Bale Peselang.

Tinggalan arkeologi yang merupakan ciri kekunaan Pura Tirta Empul terdapat di halaman tengah dan halaman dalam pura. Beberapa tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut.

  1. Empat buah batu alam

Batu-batu alam ini berada di halaman dalam pura, letaknya di dekat bangunan Gedong Sari. Batu-batu alam ini masih dianggap suci oleh masyarakat pengempon pura. Dari pengamatan yang seksama dapat dikatakan bahwa batu-batu itu kemungkinan besar adalah menhir atau tahta batu yang terkait untuk kepentingan keagamaan. Menhir adalah batu tegak yang didirikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang. Menhir dapat berdiri tegak atau berkelompok. Menhir merupakan refresentasi monumen megalitik yang didirikan oleh sekelompok masyarakat di tempat-tempat tertentu dan akan melegitimasikan hubungan antar kelompok masyarakat dengan leluhur atau nenek moyangnya. Sementara itu tahta batu adalah salah satu hasil teknologi batu yang mula-mula berfungsi sakral sebagai tahta arwah nenek moyang atau pemimpin yang dihormati. Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tahta batu itu dibangun dengan teknik susun tumpuk, yaitu dengan jalan menyusun tumpuk batu-batu menurut keperluan tanpa mengubah bentuk aslinya (Sutaba, 1995: 74-75). Dalam perkembangan selanjutnya, teknik susun tumpuk telah mengalami penyempurnaan sehingga menjadi teknik susun timbun dalam pembangunan candi-candi. Dengan demikian terbukti bahwa teknik susun tumpuk telah menjadi dasar teknik pembangunan yang berkembang belakangan di daerah Bali. Di Kabupaten Gianyar hanya ditemukan dua buah tahta batu, yaitu sebuah tahta batu yang dibuat dari sebuah batu kali yang dipangkas menjadi bagian sandaran dan alas tempat duduk. Tahta batu ini sampai sekarang dipandang sebagai media pemujaan yang sakral disimpan di Pura Sakenan, Ubud, bersama-sama dengan bentuk-bentuk megalitik lainnya. Tahta batu yang kedua, adalah deretan tahta batu disusun memanjang, ditemukan di Desa Lebih yang juga berfungsi sakral. Menurut fungsinya dewasa ini, tahta batu itu berfungsi sebagai media pemujaan kepada leluhur atau pemimpin dengan harapan dapat memberi kesejahteraan kepada masyarakat.

  1. Lingga-Yoni

Lingga yoni terdapat pada sebuah pelinggih arca di halaman tengah di sebelah barat kolam suci Tirta Empul. Lingga yang terletak (berdiri) pada lubang yoni dibuat dari bahan batu padas, dengan ukuran tinggi 21 cm dan lebar 16 cm. Sedangkan yoni yang berada di bawahnya, bagian sisinya berukuran 50 cm. Sebagai sarana peribadatan benda ini diketahui melambangkan kesatuan Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Parwati. Adakalanya yoni ditemukan tanpa ada lingganya. Sedangkan lingganya dapat diwujudkan dalam bentuk phalus sebagaimana dijumpai di Pura Pusering Jagat, di Desa Pejeng, Gianyar. Pasangan lingga-yoni pada umumnya dijumpai pada bilik candi-candi Hindu, di daerah Jawa Timur maupun Jawa Tengah untuk menggantikan arca Dewa yang seharusnya terdapat dalam sebuah candi. Ada kalanya kedua benda itu dijumpai tanpa ada suatu bangunan yang diduga memiliki kaitan dengan keberadaannya, misalnya lingga-yoni sebagai lambang kesuburan.

Yoni adalah benda berbentuk seperti lumpang batu yang mempunyai cerat pada salah satu sisinya. Menurut kepercayaan Hindu, yoni merupakan simbol pasangan Dewa Siwa dalam wujud lingga. Oleh karena itu, yoni mempunyai pasangan berupa lingga yang bentuknya seperti tiang atau batu penumbuk yoni juga merupakan lambang unsur wanita, sedangkan lingga merupakan lambang unsur laki-laki. Persatuan kedua unsur tersebut dianggap sebagai lambang penciptaan dan kesuburan (Kempers, 1956 : 42-43).

  1. Arca Binatang

Tokoh binatang tentu paling mudah diketahui karena jelas identitasnya. Namun, dalam kaitannya dengan dunia kedewataan, arca binatang seringkali bukanlah binatang dalam arti biasa, tetapi merupakan kendaraan Dewa tertentu, sehingga kehadiran tokoh ini seringkali dapat dijadikan petunjuk mengenai Dewa Utama yang hadir bersamanya. Di Pura Tirta Empul ditemukan dua arca binatang, yaitu lembu dan singa yang ditempatkan bersama-sama dengan lingga-yoni tersebut di atas. Sebuah arca lembu dari bahan batu padas ditemukan di Pura Tirta Empul. Arca lembu berukuran panjang:  90 cm, tinggi: 48 cm, dan lebar 36 cm, berbahan batu padas. Arca lembu dalam sikap telungkup di atas lapiksegi empat panjang dalam keadaan aus. Sebuah arca singa juga ditemukan di Tirtha Empul dengan ukuran tinggi 59 cm,lebar: 58 cm, dan tebal 32 cm, berbahan batu padas. Binatang ini pada umumnya dijumpai sebagai arca, baik sebagai kendaraan Dewa Siwa maupun sebagai musuh Durga (Mahisa Asura). Arca lembu pada umumnya ditampilkan sebagai binatang dalam posisi mendekam. Sebagai wahana Dewa Siwa, lembu biasanya ditampilkan terpisah dari Siwa. Namun sebagai musuh Durga, lembu (bersama asura) selalu digambarkan dalam bentuk adegan di mana Du  rga dalam posisi menginjaknya. Penggambaran seperti itu ditemukan di Pura Bukit Dharma, Desa Kutri, Gianyar. Sedasdngkan Arca Singa terutama yang terbuat dari bahan batu padas umumnya dipajang sebagai penjaga bangunan suci.

  1. Fragmen Bangunan dan Bangunan Tepasana

Tidak jauh dari temuan arca perwujudan, ditemukan pula fragmen bangunan. Berdasarkan bentuknya, fragmen bangunan ini diperkirakan merupakan bagian dari susunan atap prasada atau candi. Fragmen yang berbahan dari batu padas ini pada bagian sisi-sisinya telah ditumbuhi lumut, sedangkan bagian sudut dan bawahnya dalam keadaan aus. Selain fragmen bangunan, di Pura Tirta Empul terdapat bangunan utama, yaitu tepasana yang mirip dengan bentuk candi. Candi adalah salah satu ba ngunan keagamaan yang mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buddha. Dari kitab Negarakertagama dan Pararaton diperoleh keterangan bahwa pembangunan candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi didirikan sebagai tempat untuk mengabadikan dharma-Nya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya (Seokmono, 1993 : 67). Secara konseptual bentuk fisik candi yang menjulang tinggi merupakan replika gunung, tempat bersemayam para Dewa dan roh-roh suci. Candi yang berfungsi sebagai kuil pemujaan agama Hindu dan Buddha biasanya mempunyai ruang untuk menempatkan arca/patung yang menggambrkan Dewa, sekaligus raja titisannya. Di Bali, roh leluhur lebur menyatu dengan Dewa yang di dunia manusia diwakili oleh raja. Dengan demikian, pemujaan terhadap Dewa agama Hindu dan Buddha waktu itu merupakan bentuk baru dari pemujaan terhadap roh leluhur atau nenek moyang (Atmosudiro, 2001 : 47).

Secara vertikal candi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap candi. Ketiga bagian itu melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, bhuwah loka, dan swahloka. Kaki candi melambangkan bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Di dalam kaki candi di bagian tengah terdapat sumuran untuk menempatkan pripih, yaitu wadah berisi kepingan-kepingan logam, batu mulia, dan biji-bijian, yang menjadi media bagi para Dewa untuk memasukkan ”zat inti” kedewaannya. Tubuh candi melambangkan bhuwahloka, yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, Dalam tubuh candi di atas sumuran itulah ditempatkan arca Dewa atau obyek pemujaan lainnya. Sedangkan atap candi melambangkan swahloka, yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa. Bangunan tepasana di Pura Tirta Empul yang mirip dengan candi berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Indra.

  1. Petirtaan

Sebagaimana telah disebutkan di atas di kompleks situs Pura Tirta Empul terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Mata air ini terletak di bagian halaman tengah pura dan merupakan air suci yang dimanfaatkan untuk kepentingan upacara keagamaan. Selain itu masyarakat meyakini bahwa mata air tersebut memiliki kekuatan magis yang dapat menghilangkan segala macam mala (kotor) dalam tubuh manusia. Sumber mata air itu dialirkan ke kolam permandian yang ada di halaman luar pura. Di situlah pada hari-hari tertentu banyak orang datang dan melukat untuk membersihkan tubuhnya/ menyucikan dirinya. Di Pura Tirta Empul sekarang terdapat tiga buah kolam, yaitu kolam utama sebagai pusat sumber air, sedangkan kolam kedua dan ketiga sebagai tempat penampungan air melalui beberapa pancuran yang berjajar dari barat ke timur. Dari satu mata air yang dianggap suci, air dialirkan melalui pancuran yang dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya. Di antara air suci (tirta) itu, ada di antaranya yang berfungsi untuk pembersihan, untuk pengobatan, untuk menghilangkan kutukan, dan untuk upacara keagamaan. Tidak terhitung jumlah orang yang datang menyucikan diri ke kolam suci Pura Tirta Empul. Dari hari biasa sampai pada hari tertentu yang dianggap suci, jumlah umat yang datang sungguh luar biasa. Mereka rela menunggu giliran dalam antrean panjang, dengan kesabaran dan ketulusan hari untuk memohon berkah dari yang Maha Kuasa. Air dari kolam ini sebagian dialirkan ke jaringan irigasi untuk mengairi sawah di Desa Pejeng, dan sebagian lagi dialirkan ke sebuah kolam permandian yang ada di sebelah timur, dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan yang berada di sisi timur pura.