PEMUGARAN BANGUNAN BATA DI BALI

0
3042

PEMUGARAN BANGUNAN BATA DI BALI

Ir. I Gusti Made Rena

 

  1. Bangunan Bata di Bali

Bangunan kuna sebagai benda cagar budaya tidak bergerak dibuat dari beberapa jenis bahan seperti batu, kayu, bata dan lain-lain. Bangunan kuno dapat dikelompokkan atas dasar bahan yang dipakai misalnya bangunan batu, bangunan kayu, bangunan bata dan lainnya. Bangunan batu misalnya candi, benteng dan lain-lain. Bangunan kayu misalnya rumah tradisional, masjid dan lain-lain serta bangunan bata seperti candi, pura dan lain-lain.

Di Bali ditetemukan beberapa bangunan bata yang pada umumnya masih berfungsi oleh nmasyarakat sebagai tempat pemujaan bagi umat Hindu. Di daerah Buleleng yaitu di Desa Kalibukbuk ditemukan stupa yang dibuat dari pasangan bata yang sekarang disebut sebagai Candi Kalibukbuk (abad 10). Di kabupaten Badung, terdapat beberapa pura yang di dalamnya terdapat bangunan kuno yang dibuat dari bata. Pura tersebut adalah Pura Maospahit Tonja (abad 16), yang di dalamnya terdapat dua prasada dari bata dan sebuah bangunan atau pelinggih yang disebut pelinggih gedong juga dibuat dari bata, sedangkan bangunan yang lain dibuat dari konruksi kayu. Pagar keliling dan gapura seluruhnya dibuat dari pasangan bata. Tidak jauh dari Pura Maospahit Tonja, terdapat pula sebuah prasada dari bata yang disebut Prasada Rambut Siwi (abad 16). Demikian juga halnya di Pura Maospahit Gerenceng (abad 16), hampir sebagian besar bangunan seperti cadi bentar, kori agung, pagar keliling dan beberapa pelinggih seluruhnya terbuat  dari pasangan bata. Bangunan bata tertinggi di Bali terdapat di Pura Sada, Kapal Mengwi, Badung berupa prasada dan selain prasada juga terdapat beberapa bangunan bata lainnya seperti gapura dan kori agung. Di kabupaten Jembrana juga terdapat bangunan bata yang disebut Candi Bakung (abad 17) yang terletak di dalam situs Pura Bakungan di ujung barat pulau Bali.

Pura Puseh dan Desa Tonja
Pura Puseh dan Desa Tonja

Penggunaan bata sebagai bahan bangunan berkembang diseluruh kabupaten di Bali dan merupakan tradisi yang masih berlanjut sampai saat ini. Dalam perkembangan selanjutnya pemakaian bata dikombinasikan dengan padas yang disusun sedemikian rupa sehingga memberikan keindahan bentuk dan warna yang berbeda. Pemakaian bata sebagai struktur bangunan juga sering dikombinasikan dengan pemakaian kayu sebagai struktur utama bangunan.

Jadi bangunan bata di Bali dapat dibedakan atas dasar pemakaian bahan bangunan sebagai berikut:

  1. Bangunan yang seluruh komponennya menggunakan bata
  2. Bangunan yang struktur utamanya menggunakan bata dan komponen lainnya dibuat dari bahan bangunan yang lain
  3. Bangunan yang struktur utamanya terbuat dari bahan lin (kayu) dan kompenen lainnya dibuat dari bata

 

  • Masalah Pemugaran di Bali

Pemugaran sebagai bagian dari pelestarian benda cagar budaya merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat strukturnya apabila diperlukan dan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkelogis, histortis dan teknis. Kegiatan pemugaran meliputi pemulihan arsitektur dan perbaikan struktur. Seperti halnya dengan bangunan kuna yang lainnya, bangunan bata yang ditemukan di Bali komponen strukturnya tidak lengkap. Candi Kalibukbuk misalnya, hanya ditemukan bagian kakinya saja. Prasada Pura Maospahit sebagian atapnya tidak ditemukan lagi. Demikian juga halnya dengan gapura Maospahit Gerenceng.

Sebagian bangunan living monument di Bali, maka aspek pemanfaatannya menuntut agar bangunan tersebut dapat dipugar kembali kepada bentuk aslinya secara legkap. Keutuhan bangunan ini berkaitan erat dengan persyaratan upacara ritual yang dilaksanakan sehingga bangunan dapat difungsikan lagi seperti fungsinya yang semula. Hal ini belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip keaslian dalam pemugaran yang meliputi keaslian bentuk, bahan, tata letak dan tehnik pengerjaan. Inilah yang merupakan permasalahan pokok yang dihadapi pada pemugaran bangunan living monument termasuk pemugaran bangunan bata di Bali. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan pendekatan aspek sosial lain terutama aspek religius, aspek budaya, aspek estetika dan aspek lainnya. Pendekatan yang dilakukan harus dapat mengakomodasikan tuntutan aspek pemanfaatan, tanpa bertentangan dengan prinsip-prinsip pemugaran sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang ada harus dijabarkan secara lebih terinci agar dapat dijadikan pedoman atau acuan dalam pelaksanaan pemugaran khususnya bangunan living monument

  1. Pemugaran Bangunan Bata di Bali

 

Kelayakan Pemugaran

Sebelum melaksanakan pemugaran terlebih dahulu diawali dengan studi pra pemugaran yang meliputi studi kelayakan dan studi teknis. Studi kelayakan merupakan langkah awal yang sangat penting artinya untuk menentukan apakah sebuah BCB (Benda Cagar Budaya) layak atau tidak untuk dipugar. Penentuan layak atau tidaknya pemugaran suatu BCB ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap data histories arkeologis dan data teknis. Sering muncul pertanyaan kalau hanya dipugar pemanfaatannya nanti untuk apa? Dari pertanyaan ini jelas aspek pemanfaatannya perlu dikaji secara khusus untuk melengkapi pertimbangan layak atau tidaknya pemugaran sebuah BCB.

Candi Bentar Pura Maospait Gerenceng
Candi Bentar Pura Maospait Gerenceng

Bangunan bata di Bali sebagian besar merupakan bangunan living monument yang masih difungsikan oleh masyarakat sebagai tempat pemujaan khususnya oleh umat Hindu di Bali, jadi dalam penentuan kelayakan pemugaran harus dipertimbangkan apakah bangunan tersebut berfungsi living monument ataukah dead monument. Sebuah BCB ditetapkan sebagai living monument apabila saat ditemukan masih difungsikan seperti fungsinya yang semula. Ketika candi Pegulingan ditemukan bangunannya sendiri sebenarnya tidak difungsikan seperti fungsinya yang semula. Tetapi mengingat lokasi temuan berada di dalam sebuah situs Pura Pegulingan yang masih disucikan oleh masyarakat setempat secara kontekstual Candi Pegulingan dianggap merupakan satu kesatuan fungsi ritual. Sedangkan Candi Kalibukbuk di Kabupaten Buleleng pada saat ditemukan tidak difungsikan sebagaiman fungsinya semula dan secara kontekstual belum ditemukan data-data bangunan lain yang mendukung adanya hubungan fungsi terhadap tinggalan tersebut. Hal ini perlu dikaji secara cermat apakah ditetapkan sebagai living monument atau dead monument dengan mempertimbangkan tradisi yang berlanjut dari masyarakat pendukungnya. Penetapan aspek manfaat ini akan mempengaruhi langkah-langkah teknis pemugaran selanjutnya. Penetapan ini bukan semata-mata aspek legalitas tetapi juga mempertimbangkan fungsi asli dari sebuah bangunan BCB. Sejauh mana fungsi asli ini bertahan tergantung kepada apresiasi masyarakat khususnya masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan. Ketika fungsi aslinya hilang oleh perkembangan yang terjadi di masyarakat maka munculah konsep adaptive reused untuk menyesuaikan kembali fungsi bangunan profane. Sedangkan pada bangunan sakral konsep fungsi betul-betul melekat dan menjadi jiwa dari konsep bentuk. Dengan demikian penetapan fungsi bangunan sakral bukan hal yang dipaksakan tetapi tumbuh, berkembang dan dilestarikan oleh masyarakat (preserved by practice)

 

Studi Teknis

Studi teknis pemugaran merupakan tindak lanjut dari studi kelayakan untuk menetapkan tatacara dan tehnik pelaksanaan pemugaran BCB. Penetapan tatacara dan teknik pelaksanaan pemugaran dilakukan berdasarkan hasil analisis data arsitektural , structural, keterawatan dan lingkungan. Data arsitektural bangunan meliputi bentuk, ukuran, bahan, ragam hias, tata ruang, tata letak bangunan, orientasi bangunan dan lain-lain. Data structural meliputi stabilitas serta daya dukung tanah, sitem struktu dan kontruksi pemakaian banhan bangunan dan tehnologi pengerjaannya. Data keterawatan meliputi kondisi keterawatan bangunan, kualitas bahan, kerusakan dan pelapukan. Sedangkan data lingkungan meliputi konsisi di sekitar bangunan yang merupakan lingkungan fisik seperti keadaan geotopografis, iklim flora dan fauna. Demikian juga lingkungan sosial seperti tata guna lahan, status kepemilikan dan lain-lain.

Berdasarkan konsisi bangunan serta tingkat keterawatannya dan dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sosial lainnya maka tata cara dan teknik pelaksanaan pemugarannya dapat berupa restorasi, rekontruksi, rehabilitasi atau konsilidasi.

  1. Restorasi meliputi perbaikan struktur dan pemulihan arsitektur bangunan yang lebih mengutamakan pada upaya mengembalikan keaslian bentuk BCB melalui proses pembongkaran seluruh bangunan dan memperkuat strukturnya bila diperlukan
  2. Rekontruksi meliputi pemulihan arsitektur banguna yang mengutamakan pemasangan kembali unsur bangunan asli yang ditemukan dengan cara anatilosis atau pemasangan bahan baru sebagai bahan pengganti unsur bangunan asli yang hilang atau rusak dengan cara analogi.
  3. Rehabilitasi meliputi perbaikan structural dan pemulihan arsitektur bangunan yang mengutamakan pada upaya untuk mengembalikan dan memeperbaiki bangian bangun yang rusak tanpa melalui proses pembongkaran seluruh bangunan.
  4. Konsolidsi meliputi perbaikan struktur bangunan yang lebih mengutamakan uapya untuk memperkuat stabilitas berdirinya bangunan dengan cara memberikan perkuatan yang sifatnya darurat atau permanent

Pemugaran bangunan bata di Bali meliputi beberapa jenis penanganan. Pemugaran Prasada Pura Maospahit dan Pura Rambut Siwi misalnya termasuk restorasi dan rekontruksi. Sedangkan Prasada Kapal jenis penanganannya adalah termasuk jenis rehabilitasi. Sedangkan konsilidasi bangunan bata di Bali belum pernah dilaksanakan. Jika Candi Kalibukbuk ditetapkan sebagai dead monument maka konsilidasi ini dapat menjadi alternative untuk dipertimbangkan sesuai dengan kondisi teknis dan keterawatannya.

 

  1. Pelaksanaan Pemugaran Bangunan Bata

 

Perbaikan Struktur

Perbaikan truktur bangunan tujuannya adalah agar bangunan yang telah mengalami perubahan atau kerusakan struktur dapat dibangun kembali dalam keadaan kuat dan stabil. Perbaikan struktur meliputi struktur utama bangunan dan perawatan bahan sebagai elemen struktur. Bila diperlukan struktur utama bangunan dapat diperkuat dengan penambhan system struktur baru di dalam bangunan. Perkkuatan system struktur ini dihitung sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbanngkan bentuk masa banguna ukuran, bahan yang diapkai serta system distribusi gaya beban bangunan.

Bangunan bata di Bali pada umumnya bentuknya tinggi dan ramping serta kualitas bata yang dipakai relative rendah. Dalam pemugaran bangunan bata di Bali juga diberikan perkuat struktur beton bertulang pada bagian dalam bangunan agar bangunan lebih kuat dan stabil. Sitem kontruksinya tetap memakai sitem gosok dengan perekat semen. Pemakaian struktur beton dan perekat semen dapat menimbulkan dampak negative pada bata sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi adanya kontak antar semen dengan bata. Pemugaran Prasada Maospahit menggunakan perkuatan struktur beton bertulang di dalam bangunannya dengan sistem kontruksi tetap menggunakan sistem gosok dengan perekat semen. Pada bagian-bagian tertentu dipasang lapisan kedap air (Araldite TAR) untuk mencegah peresapan air ke dalam bangunan dan mengurangi adanya kontak antara bata dengan air.

Perawatan bata sebagai bahan bangunan pada umumnya hampir sama dengan perawatab batu yaitu melalui pembersihan mekanis kering maupun basah dan pembersihan chemis dengan menggunakan AC 322. perlu diperhatikan bahwa porositas bata dangat tinggi dan riskan terhadap air sehingga pembersihan basah harus dilalukan dengan hati-hati agar tidak merusak bata itu sendiri.

 

Pemulihan Arsitektural

Pemulihan arsitektural sangat erat kaitannya dengan usaha pengembalian bentuk asli dari bangunan yang dipugar. Selain keaslian bentuk maka keaslian bahan, keaslian tata letak dan keaslian teknik pengerjaan harus tetap dipertahankan. Kegiatannya ,eliputi penentuan tata letak bangunan dengan sistem koordinat maupun sistem bouwplank. Kegiatan pokok dari pemulihan arsitektural adalah pemasangan unsur bangunan yang terdiri dari hasil pembongkaran, unsur temuan dan unsur temuan dan unsur bahan pengganti. Pemasangan unsur hasil pembongkaran dilakukan sesuai dengan system regitrasi yang dipakai pada saat pembongkaran.

Pemasangan unsur temuan dilakukan berdasarkan hasil anastilosis sedangkan pemasangan unsur pengganti dilakukan dengan cara analogi dan pemasangan unsur pengganti dilakukan apabila unsur bangunan asli dalam keadaan rusak atau hilang. Unsur pengganti harus memenuhi syarat-syarat teknis serta kualitas bahan yang sesuai dengan bahan aslinya.

Pemulihan arsitektural dalam pemugaran bangunan bata di Bali juga meliputi pemasangan ketiga unsur tersebut diatas. Pemasangan unsur hasil bongkaran dilakukan sebatas data temuan sisa bangunan yang ada. Sedangkan pemasangan unsur temuan tidak dapat sepenuh dilakukan dengan cara anastilosis. Pada umumnya uansur temuan yang ada tidak dapat dipastikan kedudukan aslinya secara tepat. Unsur temuan tersebut dipasang kembali hanya sebagai contoh untuk mewakili kedudukan temuan tersebut. Sedangkan pemasangan unsur pengganti dilakukan untuk mengganti semua unsur bangunan yang hilang atau rusak, sehingga bentuk bangunan menjadi utuh kembali. Dengan adanya penggantian seluruh unsur bangunan yang hilang atau rusak tersebut maka sebelumnya dibuat sebuah perkiraan bentuk dengan pembuatan gambar rekontruksi diatas kertas. Gambar rekontruksi ini kemudian dijadikan pedoman pemulihan arsitektur dalam pelaksanaan pemugaran. Pembuatan gambar rekontruksi anastilosis secara maksimal. Apabila cara-cara anastilosis dan analogi tersebut tidak dapat dilakuakn secara maskimal maka dilakukan beberapa metode pendekatan sebagai berikut

  1. Studi Perbandingan

Studi perbandingan dilakukan pada bangunan yang memiliki kesamaan bentuk, bahan serta periodenisasi bangunan. Disamping itu juga dilakukan dengan memperhatikan langgam atau gaya arsitektur bangunan dan teknik pengerjaan seperti pemakaian ornament dan lain-lain. Hal ini dilakukan pada saat pemugaran Prasada Rambut Siwi dan sebagaiperbandingan adalah Prasada Ratu Dalem Ketut di Pura Mahospahit Tonja.

  1. Stusi Dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan dokumen bangunan, baik berupa gambar maupun foto asli yang masih ada. Berdasarkan foto perspektif yang ada dapat dibuat gambar obyek yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan pemugaran. Untuk pemugaran bangunan bata di Bali samapai saat ini belum pernah menemukan dokumen (foto asli) bangunannya, tetapi metode ini pernah dipergunakan pada saat pemugaran Meru Tumpang 11 di Pura Taman Sari Klungkung

  1. Norma-norma Arsitektur Tradisional

Norma-norma arsitektur Bali yang masih dipertahankan oleh masyarakat Bali dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan perkiraan bentuk bangunan. Dalam hal ini perlu dilakukan koordinasi dengan masyarakat setempat unuk mendapatkan informasi lain yang berkaitan dengan bentuk bangunan secara lengkap.

 

III Penutup

 

  1. Kesimpulan
  1. Bangunan bata di Bali ditemukan di beberapa tempat seperti Candi Kalibukbuk, Candi Bakungan, Prasada Mahospahit, Prasada Rambut Siwi, Prasada Kapal dan lain-lain. Pada umumnya bangunan bata yang ditemukan di Bali bersifat living monument.
  2. Pemugaran bangunan bata di Bali pada umumnya mengacu kepada prinsip dan cara penanganan yang sesuai dengan pemugaran bangunan pada umumnya.
  3. Aspek pemafaatan menjadi pertimbangan yang penting dalam menentukan kelayakan pemugaran khususnya pada bangunan living monument. Bangunan yang bentuknya belum lengkap tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan upacara tertentu sesuai sengan ajaran agama Hindu di Bali.
  4. Pada hakeketanya pemugaran adalah pengembalian bentuk asli dari bangunan yang dipugar. Oleh karena itu pemulihan arsitektur untuk mengembalikan bangian banguan yang rusak/hilang tetap dilakukan dengan cara analogi dan anastilosis secara maksimal. Jika data-data yang ditemukan tidak lengkap dapat dilengkapi dengan melakukan studi perbandingan, studi dokumen, studi arsitektur tradisional dan lain-lainnya.

 

  1. Saran
  1. Dalam pelaksanaan studi kelayakan sebagai langkah awal pemugaran  harus mempertimbangkan aspek pemanfaatan, terutama pada bangunan living monument. Hal ini penting untuk menentukan langkah penanganan dalam studi teknis selanjutnya
  2. Dalam pemulihan arsitektur terutama pada pemasangan unsur pengganti perlu mempertimbangkan aspek estetika dalam teknik pengerjaannya. Jika unsur asli yang diganti memakai ornamen dan bentuk serta jenis ornamen diketahui secara pasti, maka perlu dipertimbangkan agar unsur penggantinya juga dapat diberikan ornamen yang sesuai dengan aslinya