I Made Sutaba
(telah dimuat dalam Buletin Sudamata tahun 2017)
Indonesia dalam lintasan sejarah
Tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini, bangsa Indonesia telah melewati masa sejarahnya yang sangat panjang. Perjalanan sejarah ini, terbukti dari temuan penting berupa cagar budaya (cultural heritage), situs arkeologi dan sejarah (archaeological and historical sites) dan lain-lainnya, yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Sumbawa, Sumba, Papua dan lain-lainnya. Penyelidikan arkeologi yang telah dilakukan selama ini menunjukkan, bahwa Indonesia adalah salah satu negeri yang sangat kaya akan cagar budaya yang beraneka ragam, baik bentuk maupun fungsinya. Berdasarkan analisis kuantitatif dan kualitatif, maka cagar budaya ini dapat dianggap sebagai sumberdaya arkeologi (archaeological resources) yang sangat potensial, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan bangsa Indonesia, sehingga dapat dihitung sebagai warisan budaya bangsa yang tidak ternilai.
Kajian cagar selalu menarik perhatian, baik karena bentuk maupun fungsinya yang sangat variatif atau ada suatu signifikansi yang dikandungnya. Menghadapi keadaan semacam ini, maka para ahli arkeologi telah berhasil menyusun suatu pengelompokkan cagar budaya antara lain, ialah berdasarkan bahan-bahannya, yaitu ada yang dibuat dari batu, kayu atau bambu dan logam. Pengelompokkan lainnya, ialah berdasarkan kronologi atau zamannya, yaitu cagar budaya yang berasal dari zaman prasejarah, seperti dolmen, menhir, sarkofagus dan yang berasal dari zaman sejarah adalah prasasti, arca-arca kuno, candi dan lain-lainnya.
Selain itu, cagar budaya dapat juga digolongkan tangible (bendawi), yang dapat disaksikan dengan kasat mata, sebagian lagi adalah yang intangible (tidak bendawi), seperti perilaku, sikap masyarakat dan lain-lainnya.
Para ahli arkeologi juga mengelompokkan cagar budaya itu sebagai benda-benda moveable (dapat dipindahkan) dan yang immoveable (tidak dapat dipindahkan dari tempat aslinya), karena bentuknya yang sangat monumental atau karena ada pertimbangan lainnya, seperti Candi Borobudur, Pura Besakih dan lain-lainnya.
Cagar budaya masih dapat juga digolongkan berdasarkan fungsinya pada waktu ditemukan oleh para peneliti atau oleh masyarakat setempat di antaranya, adalah cagar budaya yang sudah tidak lagi berfungsi sakral atau sudah kehilangan fungsinya yang primer (dead monuments), sehingga menjadi barang-barang profan. Perubahan fungsi cagar budaya semacam ini dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu karena telah terjadi suatu perubahan pandangan masyarakat atau karena umurnya sudah sangat tua dan mungkin masih ada lagi faktor-faktor lainnya. Sebagian lagi ada sejumlah cagar budaya yang masih berfungsi sakral bagi masyarakat setempat ketika diteliti, bahkan ada yang masih berlanjut sampai sekarang (sacred living monuments), seperti sebagian dari tahta batu yang terdapat di Kabupaten Tabanan dan sejumlah arca nenek moyang di Kabupaten Gianyar. Berkaitan erat sekali dengan penggolongkan cagar budaya seperti dikemukakan di atas, perlu kiranya dicatat di sini, bahwa cagar budaya itu mempunyai karakteristik yang amat spesifik, yaitu terbatas (finite) dalam jumlah, langka, rapuh, fragmentaris atau tidak pernah lengkap atau utuh dan tidak ada duanya. Dengan mengetahui karakteristik cagar budaya yang serba terbatas seperti disebutkan di atas, maka para ahli arkeologi tentu akan melaksanakan segala tindakan atau kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kearkeologian yang lazim berlaku.
Pesan-pesan Sejarah
Cagar budaya Indonesia sebagai bukti-bukti atau dokumen sejarah tentu mengandung sejumlah pesan-pesan yang pada suatu saat akan merefleksikan hubungan bangsa kita dengan lingkungan alam di sekitarnya dan juga relasinya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Oleh karena cagar budaya ini bersifat jamak, maka cagar budaya ini dapat dikaji secara multidisipliner untuk mendapat gambaran yang lebih luas. Sebagai bagian dari kebudayaan bangsa, cagar budaya ini adalah warisan budaya bangsa yang mengandung nilai-nilai sosial-budaya yang penting. Di samping itu, cagar budaya dapat juga dianggap sebagai akar budaya bangsa (national cultural roots) yang sudah membangun jatidiri bangsa kita yang diwarnai oleh corak lokal atau kearifan lokal yang khas. Sebagai akar budaya bangsa, cagar budaya ini tentu menjadi sangat potensial bagi pembangunan bangsa kita ke depan.
Kecuali untuk menyusun kembali sejarah bangsa dan membangun jatidiri bangsa seperti dipaparkan di atas, cagar budaya Indonesia mempunyai manfaat penting yang tidak sedikit dalam menghadapi pengaruh budaya global, multikultural, pembangunan industri pariwisata (budaya) dan lain-lainnya yang tidak akan pernah berhenti, karena terdapat peluang yang sangat besar untuk memanfaatkan teknologi informatika yang sangat canggih. Di antara manfaat cagar budaya yang perlu dicermati, ialah untuk membangun kesadaran sejarah bangsa, membangun budaya sendiri dalam rangkuman bhineka tunggal ika dalam NKRI. Dalam hal ini pembangunan ketahanan budaya, national and character building seyogianya dilaksanakan oleh Pemerintah secara terencana dan berkelanjutan dengan memberdayakan segenap bangsa melalui segala jalur yang tersedia, seperti pendidikan dan lain-lainnya dan dengan menerapkan berbagai strategi yang dipandang perlu dan berguna.
Pelestarian Cagar Budaya
Sampai sekarang sebagian dari masyarakat di Tanah Air kita masih mempertanyakan pelestarian cagar budaya, yang tidak jarang memerlukan tenaga, biaya, sarana dan waktu yang tidak sedikit. Adapun pertanyaan yang seringkali timbul, ialah mengapa cagar budaya yang sudah tua, yang seringkali disebut juga sebagai barang-barang antik (antiquities) dan dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan modern dewasa ini, harus dilestarikan dengan susah payah. Pertanyaan semacam ini, adalah suatu gejala sosial yang wajar dalam masyarakat kita yang sedang berkembang, karena sebagai pemilik dan pewaris cagar budaya mereka memang berhak untuk bertanya dan berhak juga untuk mendapat jawaban atau penjelasan yang memadai. Sikap semacam ini, mungkin sekali muncul, karena sebagian masyarakat kita tidak mempunyai pengetahuan, pengertian dan pemahaman tentang cagar budaya. Gejala sosial ini, dapat saja terjadi, mungkin karena sosialisasi mengenai cagar budaya di Tanah Air belum sampai jauh kepada masyarakat kita yang tidak sedikit jumlahnya dan belum tentu dapat dicapai dengan mudah, karena faktor-faktor geografis.
Sehubungan dengan pertanyaan di atas, perlu kiranya dikemukakan di sini, bahwa pelestarian cagar budaya yang selama ini dilaksanakan oleh Pemerintah kita sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk melestarikan fisik atau bangunan sebuah cagar budaya, tetapi juga bertujuan untuk melestarikan lingkungan alam di sekitarnya bersama-sama dengan nilai-nilai sosial-budaya termasuk nilai-nilai sejarah yang dikandungnya. Selain itu dapat ditambahkan di sini, bahwa pelestarian cagar budaya mencakup pekerjaan yang tidak sedikit dan selain memerlukan dana yang cukup besar, juga tenaga-tenaga yang terdidik dan mempunyai pengalaman kerja yang cukup. Adapun cakupan pelestarian cagar budaya itu, adalah pemeliharaan sehari-hari, perlindungan melalui jalur juridis (formal) (legislagi, atau law enforcement) dan pemugaran dan konservasi. Semua kegiatan ini akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga kearkeologian di Tanah Air bersama masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan kaidah-kaidah setempat yang berlaku dalam masyarakat kita. Selain itu semua kegiatan di atas akan dilaksanakan secara teknis-arkeologis, artinya diperlukan suatu kajian yang cermat secara teknis dengan bertumpu kepada kajian arkeologis. Berkaitan dengan pelestarian cagar budaya ini, perlu kiranya dicatat di sini, bahwa semua Negara di dunia ini melaksanakan pelestarian cagar budaya miliknya sebagai bukti-bukti sejarah yang sangat berharga dengan caranya masing-masing. Dalam hal semacam ini Perserikatan Bangsa-bangsa melalui UNESCO telah malakukan sejumlah besar pelestarian Warisan Budaya Dunia di berbagai Negara termasuk di Indonesia dan dengan mengeluarkan sebuah konvensi mengenai perlindungan Warisan Budaya Dunia. Sementara itu Pemerintah kita sudah mengeluarkan Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai upaya memberikan perlindungan hukum kepada cagar budaya kita sebagai bukti sejarah, yang merupakan warisan budaya bangsa yang sangat penting dalam rangka pelestarian dan pemanfaatannya.
Kecuali alasan-alasan atau pertimbangan di atas, pelestarian cagar budaya kita memang perlu dilaksanakan, karena kekayaan bangsa ini terbukti tidak pernah bebas dari segala kemungkinan yang dapat merusak, bahkan dapat menghancurkannya. Selama ini ada bermaca-macam faktor yang dapat merusak antara lain, ialah umurnya yang semakin tua, bahan-bahan yang digunakan tidak tahan lama dan lingkungan alam dengan iklim yang tidak menentukan merupakan bahaya yang tidak dapat dianggap ringan. Bencana alam, seperti gunung meletus, banjir, tanah longsor dan tsunami dapat menjadi bencana yang tidak mudah diatasi. Pencurian dan perdagangan cagar budaya tertentu atau pengerusakan, merupakan bahaya lain yang dapat merusak kelestarian cagar budaya, yang bekerjasama dengan sindikat atau mafia cagar budaya dengan jaringannya yang sangat luas. Masih ada bahaya lainnya yang tidak kalah beratnya, ialah jika pada suatu saat masyarakat di sekitar sebuah cagar budaya melupakan cagar budaya itu, karena bermacam-macam faktor yang tampaknya rumit, misalnya telah terjadi perubahan dalam tatanan masyarakat yang sangat mendasar. Perubahan semacam ini dapat saja mengubah pandangan, sikap atau perilaku masyarakat terhadap cagar budaya tadi, sehingga akhirnya mereka melupakannya.
Dalam konteks pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya sebagai daya tarik para wisatawan di Tanah Air ternyata dapat menimbulkan gangguan yang cenderung dapat merusak kelestarian sebuah cagar budaya dan lingkungannya. Tampaknya industri pariwisata budaya yang berkembang dengan hegemoninya sudah membuat pencemaran dengan timbunan sampah yang tidak menentu. Di berbagai cagar budaya yang sudah laku keras seperti Candi Borobudur telah terdesak oleh Taman Wisata Borobudur dan demikian juga Candi Prambanan, sehingga candinya sebagai sumber kekuatan daya tarik menjadi tersembunyi di belakang bangunan-bangunan Taman Wisata Borobudur dan Prambanan. Kejadian semacam itu terjadi juga di daerah Bali, seperti Pura Tanah Lot menjadi sesak karena pembangunan fasilitas pariwisata, sehingga sulit untuk mendapatkan celah atau ruang yang nyaman untuk menikmati pesona pura dengan gemuruhnya gelombang samudra. Hal semacam ini juga dapat ditemukan di Pura Uluwatu, Pura Goa Gajah, Candi Tebing Gunung Kawi dan lain-lainnya.
Demikianlah gambaran ringkas mengenai pelestarian cagar budaya di Tanah Air kita, yang akan kami tutup dengan suatu kesimpulan sementara sebagai berikut, yaitu (a) pelestarian cagar budaya bangsa menjadi semakin penting, karena merupakan bukti-bukti sejarah bangsa yang otentik, yang kelestariannya selalu terancam bencana kerusakan; (b) pelestarian cagar budaya, adalah tuntutan sejarah bangsa, karena mengandung nilai-nilai sosial-budaya yang merupakan pesan-pesan sejarah yang dapat dijadikan guru sejarah; dan (c) pelestarian cagar budaya bangsa, adalah bagian penting dari pembangunan ketahanan budaya bangsa, karena pelestarian cagar budaya tidak hanya sekedar melestarikan fisik bangunannya bersama lingkungan alam di ekitarnya, tetapi sekaligus juga melestarikan nilai-nilai sosial-budaya yang dikandungnya yang merupakan kapital yang tidak ternilai harganya.
Seiring dengan kesimpulan di atas, maka dapat kami sarankan kepada Pemerintah (a) supaya mengerahkan semua sumberdaya yang dimilikinya untuk melestarikan cagar budaya yang merupakan akar budaya bangsa supaya ke depan bangsa kita tidak kehilangan jatidiri di tengah-tengah pergaulan dunia yang sangat tidak menentu; (b) memberdayakan seluruh bangsa untuk melestarikan cagar budaya sebagai kekayaan bangsa yang harus dihormati bersama dan (c) ke depan pembangunan industri pariwisata (budaya) dengan segala fasilitasnya agar tidak lagi bersifat eksploratif-eksploitatif, melainkan lebih bersikap protektif dan lebih berbasis budaya dan masyarakat setempat (S-21122015).