Latar
Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan prilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berdasarkan amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk kemakmuran rakyat. Sesuai amanat Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda Cagar Budaya, bangunan Cagar Budaya, struktur Cagar Budaya, situs Cagar Budaya dan kawasan Cagar Budaya di darat dan di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Cagar Budaya memiliki sifat yang rapuh dan akan mengalami degradasi. Pada dasarnya semua benda yang ada di dunia ini akan mengalami degradasi dan bahkan pada akhirnya mengalami proses pelapukan menjadi tanah (soilingprocess). Seiring dengan perjalanan panjang waktu, interaksi benda dengan lingkungan akan mengakibatkan penuaan alami (natural ageing). Apalagi Cagar Budaya bersifat finite (terbatas), baik itu bentuk, jumlah, maupun jenisnya dan bersifat non renewable (tidak terbaharui). Selain itu, tidak jarang material Cagar Budaya yang sampai ke tangan kita tidak dalam keadaan utuh dan dalam kondisi yang fragile (rapuh). Alur panjang waktu dari masa lalu mengakibatkan Cagar Budaya mudah mengalami kerusakan dan pelapukan (degradable).
Upaya pelestarian dilakukan secara berkesinambungan sesuai dengan tugas dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya, yaitu: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaaatan terhadap Cagar Budaya di wilayah kerjanya, baik berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya baik yang berada di darat maupun di air. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada anggaran tahun 2019 akan dilakukan Kegiatan Konservasi Cagar Budaya di Masjid Bayan Beleq, Kabupaten Lombok Utara. Namun berdasarkan hambatan yang terjadi di lapangan maka kegiatan konservasi dialihkan ke situs Taman Narmada khusunya Bangunan Bale Loji (bale gede). Alasan terjadinya pengalihan kegiatan konservasi Masjid Bayan Beleq sudah terlampir.
Letak dan Lingkungan
Taman Narmada terletak di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat atau sekitar 10 kilometer sebelah timur Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Taman yang luasnya sekitar 2 ha (hektar are) ini dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem, sebagai tempat upacara Pakelem yang diselenggarakan setiap purnama kelima tahun Caka (Oktober-November). Selain tempat upacara, Taman Narmada juga digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja pada saat musim kemarau.
Dengan batas-batas situs yaitu;
Sisi Utara : Jalan Raya
Sisi Timur : Pemukiman
Sisi Barat : Jalan Raya
Sisi Selatan : Pemukiman
Nama Narmada diambil dari Narmadanadi, anak Sungai Gangga yang sangat suci di India. Bagi umat Hindu, air merupakan suatu unsur suci yang memberi kehidupan kepada semua makhluk di dunia ini. Air yang memancar dari dalam tanah (mata air) diasosiasikan dengan tirta amerta (air keabadian) yang memancar dari Kensi Sweta Kamandalu. Dahulu kemungkinan nama Narmada digunakan untuk menamai nama mata air yang membentuk beberapa kolam dan sebuah sungai di tempat tersebut. Lama-kelamaan digunakan untuk menyebut pura dan keseluruhan kompleks Taman Narmada.
Latar Sejarah
Situs Taman Narmada terletak di Kelurahan Lembuak, Kecamatan Narmada, Kebupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dibangun di atas lahan seluas 60.250 m² dengan luas bangunannya yaitu 1.249 m². Proses pembangunan Situs Cagar Budaya Taman Narmada membutuhkan waktu selama 27 tahun, sejak tahun 1852 hingga 1879. Pendirian taman ini dilakukan oleh Kerajaan Mataram dari dinasti Karangasem, pada masa Raja I Gusti Ngurah Ketut Karangasem dan I Gusti Gde Karangasem. Pengaruh Kerajaan berlatar Hindu yang pernah menguasai Lombok turut mempengaruhi dalam penamaan Narmada. Nama Narmada berasal dari anak Sungai Gangga di India yang dianggap suci oleh umat Hindu. Latar agama Hindu pada situs ini tidak terlepas dari invasi kerajaan Hindu Bali ke Lombok. Hal ini bermula ketika Kerajaan Selaparang di Lombok mulai jatuh, setelah itu Kerajaan Karangasem memulai penaklukan hingga akhirnya berhasil menguasai wilayah Lombok pada tahun 1740.
Dahulu taman ini digunakan sebagai tempat peristirahatan raja yang sering digunakan pada musim kemarau atau bisa disebut juga istana musim panas dan juga digunakan sebagai tempat upacara pakelem atau upacara meras danoe yang biasa dilakukan pada bulan Oktober-November. Pada Kompleks Taman Narmada juga terdapat replika ‘Telaga Segara Anak’ yang berada di Gunung Rinjani. Fungsi dari replika tersebut untuk kepentingan upacara karena raja telah berusia lanjut dan secara fisik tidak kuat lagi memimpin upacara langsung di telaga yang berada di puncak Gunung Rinjani tersebut. Struktur bangunannya dirancang memusat karena Kompleks Taman Narmada menyerupai Gunung Rinjani dan di tengah halaman pura dibuat lebih tinggi sebagai tanda bangunan yang disucikan. Bangunan yang disucikan tersebut yakni pelinggih atau meru yang merupakan tempat bersemayamnya para dewa.
Sumber informasi awal mengenai Kompleks Taman Narmada tercantum dalam tulisan dan peta situasi yang disusun oleh P. de Roo de la Faille dalam Tijdschrift voor Indische Taal-Land en Volkenkunde, XLI, 1899. Sebagaimana telah disebutkan di bagian terdahulu. Pada tahun 1986/1987 situs tersebut dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar. Pada tahun 2011 dilakukan pemugaran kembali pada Balai Loji dan beberapa bagian lainnya. Secara keseluruhan keadaan taman masih relatif baik, walupun terdapat bagian taman yang perlu perbaikan. Secara garis besar, Situs Cagar Budaya Taman Narmada dibagi menjadi dua kelompok bangunan. Kelompok pertama yaitu kelompok bangunan bersifat sakral (disucikan), yakni kelompok bangunan yang ada di sebelah timur berupa Pura Kelasa berbentuk meru yang diumpamakan sebagai puncak Rinjani dan Kelebutan tempat sumber/mata air “air awet muda”. Kelompok kedua yaitu kelompok bangunan yang bersifat profan, berada di sebelah barat berupa Bale Mekedas atau Bale Agung; Bale Loji; Bale Terang dan Bale Tajuk (sebelah barat/atas Telaga Ageng, kini sudah tidak ada).
Penataan ruang di Situs Cagar Budaya Taman Narmada menggunakan konsep sanga mandala, yaitu penataan ruang menjadi sembilan area sesuai dengan pembagian tri angga (pembagian tiga ruang dalam nista, madya, dan utama). Sanga Mandala yang biasa diterapkan pada penataan kompleks puri-puri agung Bali, ternyata diterapkan secara khusus pada kompleks Taman Narmada. Narmada bukan hanya taman, melainkan juga tempat persemayaman raja di kala musim kemarau, jadi merupakan istana yang terintegrasi dengan taman yang dilengkapi kolam-kolam. Di Taman Narmada terdapat bagian halaman yang dinamakan Bancingah/Bencingah yang dalam sistem penataan Sanga Mandala merupakan area paling profan berupa halaman pintu masuk. Di Taman Narmada area Bancingah juga merupakan halaman paling depan sebelum menuruni kolam utama yang besar (Telaga Segara Anak). Berdampingan dengan Bencingah terdapat halaman tempat berdirinya Bale Mukedas yang merupakan area nistaning madya. Dalam kompleks puri, Bale Mukedas dinamakan juga dengan Bale Angin-angin atau Bale Lembu Agung, tempat raja beristirahat sambil melihat lingkungan purinya. Dalam hal ini raja Mataram-Cakranegara naik ke panggung Bale Mukedas untuk melihat suasana Taman Narmada. Bagian penting dari Taman Narmada adalah area uttamaning uttama, yaitu bagian bukit tempat berdirinya Pura Kalasan yang merupakan pura dalam Taman Narmada. Bukit tersebut dipandang sebagai tiruan Gunung Rinjani sebagai jelmaan Mahameru bagi wilayah Lombok. Mata air kelebutan yang selalu mengeluarkan air untuk mengisi kolam-kolam Taman Narmada berada di bagian tengah taman, di area madyaning-madya. Dengan demikian penataan Sanga Mandala agaknya diterapkan dalam Taman Narmada secara kreatif dengan menyesuaikan kondisi lanskap, memadukan konsep taman dan istana (puri) raja. Menurut fungsinya bangunan-bangunan di dalam Kompleks Taman Narmada ini dikelompokkan menjadi: Bangunan tempat persemayaman raja dan keluarga
Bangunan tempat persemayaman raja dan keluarga
- Bangunan tempat persemayaman raja dan keluarga
Kelompok bangunan ini terdiri dari beberapa bagian atau halaman, berturut-turut dari utara ke selatan disebut Jabalkaf, Mukedas, Pasarean, Pawargan, Petandakan dan Loji-loji. Setiap halaman dikelilingi oleh tembok bata dan dihubungkan satu dan lainnya oleh sebuah pintu.
- Jabalkaf (terletak di area madya)
Halaman ini terletak paling depan di antara halaman yang lain. Pintu masuk halaman menghadap ke utara berbentuk gapura paduraksa yang pada kedua daun pintunya terdapat relief Rama dan Sinta. Pada bagian depan pintu berdiri dua arca Dwarapala, pada halaman ini juga terdapat dua kolam yang disebut Telaga Kembar dan dua bangsal. Bangsal yang terletak di depan gapura paduraksa yang menghubungkan halaman Jabalkaf dengan halaman Mukedas ini merupakan sebuah bangunan terbuka bertiang enam beratap genteng yang berfungsi sebagai tempat penjagaan.
- Mukedas
Di dalam halaman ini terdapat bangunan loji, sangah, dan dua bangunan bangsal. Bangunan loji merupakan sebuah rumah kecil tersusun dari tembok bata dan lantai dari semen. Bangunan ini mempunyai serambi terbuka dan kamar-kamar yang terletak pada sebelah kiri dan kanannya. Selain itu pada halaman Mukedas terdapat sebuah gudang dan bangunan tempat tinggal budak (panjak) raja. Berdasarkan peta situasi yang dibuat oleh Roo de la Faille, tahun 1899 dalam TBG.No.41 berjudul “Bij de situatie kaart van Het lustverblijgf te Narmada, Lombok”, terdapat enam bangunan yang terdapat pada halaman Mukedas, namun kini hanya dua yang masih berdiri dengan kokoh, yaitu bangunan loji dan sangah. Pada bagian Mukedas inilah yang digunakan sebagai tempat menginap raja atau Anak Agung dengan istrinya.
- Pasarean
Pada halaman ini terdapat bangunan loji, Bale Pawedan, bangsal, dan Bale Terang yang merupakan satu-satunya bangunan yang masih berdiri dengan kokoh. Bentuk dan fungsi bangunan loji dan bangsal serupa dengan yang terdapat pada halaman Mukedas, sedangkan Bale Pawedan merupakan sebuah bangunan terbuka bertiang empat beratap genteng. Bale Pawedan memiliki fungsi sebagai tempat membaca kitab Weda. Bangunan Bale Terang berbentuk panggung, terdapat dua kamar dan sebuah ruang terbuka yang diberi pagar. Kedua kamar digunakan sebagai tempat raja Anak Agung beristirahat, sedangkan ruang terbuka merupakan tempat raja menikmati pemandangan sekitar pada pagi hari. Bagian bawah Bale Terang dimanfaatkan sebagai gudang.
- Pawaregan
Pada halaman Pawaregan dahulu terdapat sebuah bangunan rumah tinggal juru masak raja yang sekaligus berfungsi sebagai dapur. Tidak diketahui bagaimana bentuk serta wujud bangunan tersebut hingga kini. Pada tahun 1978 di halaman ini dibangun sebuah aula.
- Petandakan
Dahulu pada halaman ini terdapat sekelompok bangunan yang terdiri dari 4 rumah kecil, sebuah bangunan loji, tempat raja menerima mahkota, para pangeran, atau pedanda. Seluruh bangunan tersebut sudah tidak ada. Pada tahun 1978 di halaman ini dibangun dua bangunan Baruga Sekepat (rumah makam).
- Bancingah
Kata Bancingah dapat diartikan sebagai halaman belakang (achterplein) atau dapat pula berarti bangsal dengan pintu-pintu pada keempat sisinya. Halaman ini terletak di sebelah selatan halaman Petandakan dengan ketinggian yang lebih rendah, sehingga untuk menuju ke halaman tersebut harus melalui beberapa anak tangga (undakan). Di dalam Hikayat Menak dan Rengganis, Bancingah biasanya dipakai sebagai tempat manangkil (rapat) Wong Agung Tuan Jayengrana dengan para senopatinya untuk membicarakan peperangan. Bancingah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Bancingah Dalam dan Bancingah Luar.
Bancingah Dalam terletak di bagian dalam tembok keliling bangunan tempat tinggal. Dahulu pada bagian ini terdapat dua bangsal penjagaan dan sebuah kubah kecil yang terletak di sudut tenggara. Dua bangsal pada Bancingah Dalam digunakan pula sebagai tempat penyimpanan tombak. Seluruh bangunan tersebut sudah hancur dan hanya menyisakan tembok keliling dengan dua gapura bentar yang menghadap ke timur dan tenggara. Gapura yang menghadap ke tenggara merupakan akses menuju ke Bancingah Luar. Bancingah Luar yang terletak di bagian luar tembok keliling terdiri atas dua bagian, yaitu pelataran yang tinggi dan rendah. Pada bagian pelataran rendah terdapat bangunan dengan atap mirip kubah yang disebut Balai Tajuk, berdenah segi empat, bertiang empat, dan beratap genteng.
- Bangunan pemandian
Bangunan pemandian terletak di sebuah lembah yang terdiri atas tiga kolam atau telaga. Kini hanya dua kolam yang tersisa, yakni Kolam Padmawangi dan Telaga Segara Anak, sementara satu kolam lain sudah dibongkar beserta sebuah gapura paduraksa yang merupakan pintu masuk kolam tersebut. Setelah dibongkar, di atas lahannya dibangun sebuah kolam renang berukuran 50 x 15 meter. Kolam renang ini dibangun pada tahun 1967 dengan nama Kolam Renang Ikan Duyung.
Kolam Padmawangi terletak sekitar 25 meter di sebelah utara Kolam Renang Ikan Duyung pada sebuah dataran yang lebih tinggi. Kolam ini dinamakan Padmawangi karena ditumbuhi banyak bunga padma yang harum mewangi. Di sebelah selatan kolam ini terdapat cungkup Air Awet Muda yang di dalamnya terdapat mata air yang diyakini memiliki khasiat awet muda. Oleh umat Hindu di Lombok mata air ini dipercaya merupakan pertemuan dari tiga mata air yang terdapat di Lingsar, Suranadi, dan Narmada. Konon kolam ini merupakan tempat mandi dayang-dayang istana yang dipandangi oleh sang raja dari sebuah bangunan yang bernama Balai Terang. Setelah raja memandangi dayang-dayang tersebut, kemudian akan dipilih di antara mereka yang akan dijadikan selir.
Pada dataran yang lebih rendah dari Kolam Padmawangi terdapat Telaga Segara Anak yang merupakan kolam terbesar di Kompleks Taman Narmada. Telaga Segara Anak digunakan sebagai tempat melaksanakan upacara Pakelem, diberi nama Segara Anak karena merupakan miniatur Danau Segara Anak yang terdapat di Gunung Rinjani. Berdasarkan peta Roo de la Faille, telaga ini diberi label Telaga Ageng. Pada tepian telaga di bagian paling timur terdapat sebuah pancuran berbentuk gajah dalam posisi setengah berdiri. Di hadapan pancuran ini terdapat arca berwujud kesatria di atas lapik segi empat. Tangan kiri arca sedang memegang sebuah busur panah, tangan kanan memegang anak panah sambil menarik tali busur panah dan membidik ke arah pancuran gajah. Berdasarkan peta, dahulu arca ini dikawal oleh dua arca pendamping yang diberi label Sangaji oleh Roo de la Faille, namun kini kedua arca tersebut sudah tidak ada. Pada sisi utara telaga terdapat sebuah miniatur candi yang terbuat dari bata yang berfungsi pula sebagai pancuran. Di bagian puncak miniatur candi terdapat relief bulan/matahari yang terbuat dari tembaga yang kini disimpan oleh pengelola Taman Narmada.
- Bangunan pemujaan atau pura
Bangunan pemujaan yang terdapat di Kompleks Taman Narmada adalah Pura Kelasa. Pura ini merupakan salah satu pura tertua di Lombok yang berstatus sebagai pura jagat, yang berarti bahwa seluruh pemeluk Hindu, khususnya di Lombok, diperbolehkan melakukan upacara religi di Pura Kelasa. Berdasarkan arah hadap meru, pura ini menghadap ke selatan, namun jika diperhatikan arah hadap kori agungnya, Pura Kelasa menghadap ke arah barat. Khusus untuk bangunan pura ini dipergunakan juga sistem pembagian tiga halaman yang mengacu kepada konsep Triloka yang terdiri: halaman Jaba paling luar, Jaba tengah, dan daleman /Jeroan.
Jaba Luar terbentuk dari 5 sampai 6 undakan yang makin ke arah belakang (Jaba Dalam/Jeroan) semakin tinggi. Halaman Jaba Tengah berupa pelataran terbuka (tanpa tembok), terutama sisi barat dan selatan. Terdapat dua pintu masuk berbentuk gapura bentar, yaitu gapura yang menghadap ke barat dan gapura yang menghadap ke selatan. Di bagian belakang gapura yang menghadap ke barat terdapat dua bangunan Bale Dana yang merupakan bangunan terbuka (tanpa dinding) dan bertiang enam. Beberapa sebutan lain bangunan Bale Dana adalah Bale Gong (tempat menyimpan/menabuh gamelan) dan Bale Kembar (bentuknya sama).
Halaman terdalam, yakni Jaba Dalam (Jeroan), merupakan bagian yang paling suci yang dikelilingi oleh tembok bata. Pintu masuk Jeroan ada dua, yaitu Gapura Kori Agung dan Gapura Kori, yang keduanya berada pada posisi tegak lurus dengan gapura bentar yang terdapat pada halaman Jaba Tengah. Gapura Kori Agung merupakan gapura yang berukuran relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan Gapura Kori (gapura beratap). Gapura ini menghadap ke arah barat, pada bagian puncaknya terdapat hiasan kala dan pada bagian depan gapura terdapat dua arca Dwarapala yang sedang memegang gada.
Pada bagian dalam halaman Jeroan terdapat lima bangunan. Empat bangunan di antaranya disebut meru atau sanggah yang terletak di sisi utara dan menghadap ke selatan. Keempat meru diberi nama sesuai dengan nama batara atau dewa yang diwujudkan dalam setiap bangunan. Berturut-turut dari arah barat ke timur keempat meru tersebut yaitu meru untuk Sang Hyang Luruning Akasa, meru untuk Dewa Siwa, meru untuk Batara Rinjani, dan meru untuk Batara Gunung Agung. Tiga di antara keempat meru terbuat dari kayu jati beratap tembaga, sedangkan sebuah meru (paling timur) lainnya terbuat dari bata dan semen tanpa atap. Ketiga meru tersebut terletak di atas sebuah batur dari bata, terdapat hiasan piring keramik yang menempel pada keempat sisinya. Jika dilihat dari bangunan meru Dewa Siwa yang paling besar dan terletak di tempat yang paling tinggi, maka Dewa Utama yang dipuja di Pura Kelasa adalah Dewa Siwa. Bangunan kelima yang terdapat pada halaman Jeroan adalah Pawedayaan (Pawedan), berbentuk bangunan tanpa dinding, bertiang 12, dan beratap genteng.
Bangunan Pawedayaan berfungsi sebagai tempat para pedanda membaca kitab Weda selama upacara religi berlangsung. Selain itu bangunan ini juga digunakan sebagai tempat meletakkan sesaji. Pada bagian luar keempat sudut tembok Jeroan terdapat miniatur candi yang terbuat dari bata yang disebut Paduraksa.
- Taman
Di Situs Cagar Budaya Taman Narmada juga terdapat beberapa telaga/kolam, yaitu Telaga Padmawangi, Telaga Pemandian (sekarang kolam renang Ikan Duyung); Telaga Ageng Narmada (sebagai perumpamaan Danau Segara Anakan), dan Telaga Kembar serta beberapa taman atau pralaba pura (dahulu terdapat mata air) disebut Taman Bidadari (sebelah barat daya); Taman Gandari (sebelah timur) dan Kebun Peresak (sebelah selatan Telaga Ageng). pada Telaga Ageng terdapat Wewantekan atau Candrasengkala, berupa patung/gambar yang diartikan sebagai angka tahun, yaitu; Patung Brahma (angka 8); Air Telaga (angka 4); Patung Gajah (angka 8); dan gambar Matahari (angka 1) yang melambangkan angka tahun 1884 S atau 1926 M, yaitu dilakukannya pemugaran Telaga Ageng oleh Punggawa I Gusti Bagus Jelantik Blambangan.
Sejumlah bangunan yang terdapat pada Situs Cagar Budaya Taman Narmada sudah tidak lengkap lagi karena pengaruh alam, perombakan, perbaikan dan belakangan ini terdapat upaya pengembangan lahan untuk parkir kendaraan. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak terkait.
Konservasi Cagar Budaya
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, konservasi adalah pelestarian; pemeliharaan dan perlindungan sesuatu untuk mencegah kemusnahan (kerusakan dan sebagainya) dengan cara pengawetan. Dalam bidang cagar budaya juga digunakan istilah konservasi. Secara umum, konservasi cagar budaya sebenarnya memiliki cakupan yang luas dan bisa diartikan sebagai pelestarian atau perlindungan itu sendiri.
Sementara itu, dalam lingkup yang lebih sempit konservasi dapat diartikan sebagai tindakan pemeliharaan, pengawetan, atau treatment tertentu yang diaplikasikan pada material cagar budaya. Kegiatan ini lebih difokuskan pada upaya untuk membersihkan cagar budaya dari faktor penyebab kerusakan dan pelapukan dan upaya untuk membersihkan cagar budaya dari faktor penyebab kerusakan dan pelapukan dan upaya mengawetkan material cagar budaya agar tidak terjadi degradasi lebih parah.
ada dasarnya cagar budaya perlu dikonservasi supaya tetap “ada”, supaya pesan “nilai” dan data masa lalu dapat tersampaikan pada generasi sekarang dan generasi berikutnya walaupun tidak seutuhnya. Konservasi terhadap material cagar budaya yang selama ini dilakukan untuk mempertahankan keberadaan dan kuantitas fisik cagar budaya yang diharapkan akan membawa konsekuensi terhadap pelestarian nilai-nilai historis, arkeologie, dan nilai penting lainnya yang terkandung dalam material cagar budaya. Nilai kesejarahan (historis), nilai otentisitas (authenticity), nilai kelangkaan (rarity), nilai pendidikan (educational), dan berbahgai data yang terkandung dalam cagar budaya menjadikan cagar budaya penting untuk dilestarikan. Cagar budaya merupakan aset budaya bangsa yang dapat menjadikan identitas dan karakter bangsa. Mengacu pada pemahaman konservasi baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit di atas, pada dasarnya konservasi cagar budaya tetaplah bertujuan melestarikan cagar budaya dengan melindungi materinya, menjaga kualitas dan nilainya, dan mempertahankannya untuk generasi mendatang.
Pada dasarnya semua benda yang ada di dunia ini termasuk cagar budaya akan mengalami degradasi dan bahkan pada akhirnya mengalami proses pelapukan menjadi tanah (soiling process). Seiring dengan perjalanan panjang waktu, interaksi benda dengan lingkungan akan mengakibatkan penuaan alami (natural ageing). Apalagi cagar budaya bersifat finite (terbatas) baik bentuk, jumlah, maupun jenisnya dan bersifat non renewable (tidak terbaharui). Dan tidak jarang, material cagar budaya yang sampai ke tangan kita tidak dalam keadaan utuh dan dalam kodisi yang rapuh (fragile). Alur panjang waktu dari masa lalu mengakibatkan cagar budaya mudah mengalami kerusakan dan pelapukan (degradable). Mengingat perlu dilakukan tindakan konservasi secara tepat terhadap cagar budaya.
Ada prosedur konservasi cagar budaya yang harus diikuti sebelum melakukan tindakan penanganan konservasi secara langsung terhadap material cagar budaya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan penanganan yang dapat mengancam atau memberikan dampak negatife terhadap material cagar budaya dan nilai penting yang dikandungnya. Permasalahan pada material cagar budaya dapat berupa kerusakan atau pelapukan. Kerusakan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada bahan tanpa diikuti oleh perubahan unsur-unsur penyusunannya, seperti retak dan pecah. Sementara kehancuran menunjukkan kondisi yang lebih parah dari rusak, kondisi ambruk, bentuk asli tidak tampak lagi, tapi unsurnya tidak hilang. Pelapukan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada suatu benda yang diikuti oleh perubahan yang terjadi pada suatu benda yang diikuti oleh perubahan unsur-unsur penyususnnya baik sifat fisik (desintegrasi) maupun kimiawinya (dekomposisi), seperti : korosi. Dan cagar budaya dikatakan musnah apabila bentuk asli cagar budaya tidak ditemukan lagi, contoh : terbakar habis.
Permasalahan pada cagar budaya tersebut, sesuai dengan prosedur koservasi akan ditindaklanjuti dengan melakukan observasi lapangan (konservasi). Observasi lapangan merupakan pengamatan awal untuk mengetahui permasalahan pada cagar budaya dengan melakukan perekaman data dan dokumentasi objek dan lingkungannya. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan analisis untuk mengetahui jenis dan kualitas bahan, faktor penyebab, proses, gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi, dan analisis komprehensif terhadap objek dan lingkungannya. Faktor penyebab kerusakan dan pelapukan cagar budaya bisa berupa faktor intrinsic dan ekstrinsik. Faktor intrinsic berasal dari material cagar budaya sendiri yang meliputi jenis bahan, sifat-sifat fisik maupun kimiawinya, dan teknolgi pembuatan benda. Sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari lingkungan di sekitar material cagar budaya baik berupa faktor biotik (seperti : flora, fauna, dan vandalism) maupun faktor abiotic (seperti : iklim, gempa bumi, dan lain-lain). Proses kerusakan dan pelapukan pada cagar budaya dapat terjadi melalui proses kerusakan mekanis, proses pelapukan fisik, proses pelapukan kimiawi, dan proses pelapukan biologi. Analisis komprehensif terhadap cagar budaya tersebut dilakukan untuk meminimalisir intervensi secara langsung terhadap material cagar budaya. Sebelum tindakan langsung pada material cagar budaya, terlebih dahulu juga dilakukan pengujian konservasi dalam rangka menentukan metode, teknik dan bahan konservasi yang tepat. Kemudian baru dilakukan penanganan konservasi baik berupa pembersihan, perbaikan, kamuflase (penyelarasan), konsolidasi (perkuatan), pengawetan, dll. Prosedur konservasi merupakan upaya mempertahankan keaslian bahan (authenticity). Karena pada dasarnya cagar budaya akan bernilai tinggi jika dalam kondisi otentik atau asli.
Kondisi Fisik
Berdasarkan observasi di lapangan, dapat disimpulkan bahwa kondisi bangunan loji secara umum masih cukup baik. Hanya beberapa bagian telah mengalami kerusakan atau pelapukan seperti adanya rumah serangga (insekta), serta banyaknya debu yang menutupi kayu (cagar budaya bale loji) dibagian sisi barat kayu penyangga usuk (apit-apit) lapuk dan sudah lepas begitu juga dibagian langit-langitnya sudah lapuk.
Data Keterawatan
Berdasarkan jenis kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada bangunan loji (bale gede), dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis kerusakan/pelapukan, yaitu: kerusakan mekanis, kerusakan fisis dan pelapukan chemis serta pelapukan biotis. Dari hasil pengamatan dapat disampaikan kondisi benda ada yang mengalami satu jenis kerusakan dan ada satu benda yang mengalami lebih dari satu jenis kerusakan.
Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis adalah suatu proses kerusakan yang disebabkan oleh adanya gaya statis maupun dinamis. Adapun bentuk dari kerusakan ini berupa: retak, miring, melengkung, melesak. Jenis kerusakan ini terjadi dengan persentase 5%.
Kerusakan Fisis
Bentuk dari kerusakan Fisis berupa aus dan pengelupasan pada permukaan Benda Cagar Budaya. Penyebab dari kerusakan ini adalah faktor–faktor fisis seperti: suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan penguapan. Jenis kerusakan ini terjadi dengan persentase 100%.
Pelapukan Chemis
Pelapukan chemis terjadi sebagai akibat atau adanya reaksi kimia. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, dan suhu. Pelapukan chemis yang terjadi sekitar 3%.
Pelapukan Biotis
Pelapukan Biotis disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme seperti: insexta dan rumah serangga. Jenis pelapukan ini terjadi dengan persentase 7 %.
Vandalisme
Perbuatan merusak yang dengan sengaja memberikan lapisan cat kepada cagar budaya yang terdapat di bangunan bale loji (bale gede) Taman Narmada. Dengan presentase 90%
Penanganan Konservasi
- Diagnosis
Untuk menangulangi kerusakan dan pelapukan yang lebih parah, maka dilaksanakan kegiatan konservasi agar kelestarian Cagar Budaya tetap terjaga. Pada prinsipnya pelaksanaan konservasi dilakukan dengan tiga tahapan yaitu:
- Pembersihan mekanis.
- Pembersihan secara tradisional (larutan tembakau, cengkeh, gambir dan pelepah pisang)
Adapun luas permukaan bangunan loji (bale gede), yaitu 288 m². Tahapan penanganan yang dilakukan terhadap Bangunan Bale Loji (bale gede) berupa pembersihan mekanis, pembersihan tradisional (larutan tembakau, cengkeh, gambir dan pelepah pisang).
- Kegiatan Konservasi
- Pembersihan secara Mekanis
Pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat, yang diantaranya: sikat ijuk, sikat gigi, sudip bambu, kuas eterna dan dissecting set. Pembersihan ini bertujuan untuk membersihkan semua debu dan rumah serangga. Pembersihan ini dilakukan dengan hati-hati agar Cagar Budaya tidak tergores.
- Pembersihan secara tradisional
Pembersihan secara tradisional dengan menggunakan larutan tembakau, cengkeh, gambir, dan pelepah pisang yang direndam selama 1 hari (24 jam). Aplikasi bahan tradisional ini yaitu dengan cara digosok-gosokkan agar air larutan meresap ke dalam cagar budaya (kayu). Pembersihan dengan larutan ini mempunyai dua fungsi satu sebagai pembersih dan kedua sebagai insektisida tradisional yang bisa membunuh insekta di dalam kayu.
Simpulan/ Saran
Dari hasil Konservasi Bangunan Bale Loji (bale gede) sementara dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Situs Taman Narmada merupakan Situs Cagar Budaya yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram dari dinasti Karangasem yang mendapat pengaruh Kerajaan berlatar Hindu yang dilindungi oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
- Sebagain bangunan yang terdapat di Situs Taman Narmada dalam keadaan baik dan terawat.
- Tindakan pelestarian yang perlu dilakukan kepada Pemerintah Daerah (Dinas Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat), dan instansi terkait yang menangani masalah cagar budaya agar benar-benar dapat memperhatikan, memahami dan melestarikan peninggalan Cagar Budaya tersebut, sesuai Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
- Peran pihak pemilik, pengelola, dan masyrakat Kelurahan Lembuak, Kecamatan Narmada, Kebupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat sangat diperlukan terutama dalam bentuk perawatan secara tradisional agar dapat dilakukan secara rutin dan berkelanjutan.