Kearifan di bidang Iptek direpresentasikan oleh beberapa bentuk cagar budaya Bali antara lain: Nekara Pejeng, Prasasti Blanjong, Candi Tebing Gunung Kawi, dan Pura Kehen. Nekara Pejeng merupakan bentuk cagar budaya yang mencerminkan adanya penguasaan masyarakat lokal Bali di bidang pengetahuan dan teknologi pengecoran, peleburan dan pencetakan barang-barang logam (metalurgi). Penguasaan teknologi ini memerlukan kemampuan dan keterampilan tingkat tinggi di bidang teknik pengecoran, peleburan dan pencetakan barang-barang dari perunggu. Kemampuan tersebut telah dapat dikuasai pada Masa Perundagian dibuktikan dengan adanya temuan lima cetakan batu padas untuk membuat nekara di Pura Puseh Manuabe. Hiasan alat cetak nekara ini serupa benar dengan ragam hias nekara pejeng hanya saja bentuknya lebih kecil.
Berdasarkan alat cetak tersebut diduga teknik yang digunakan untuk embuat nekara adalah dengan teknik cetak lilin yang hilang atau “acire perdue”. Cetak lilin hilang dilakukan dengan membuat bentuk bendanya terlebih dahulu dari lilin. Bentuk lilin ini kemudian dihias dengan berbagai ragam hias. Cara membuat hiasan adalah dengan mencapkan pola hias pada permukaan lilin melalui cetakan-cetakan (sepeti contoh cetakan batu di Manuabe). Bentuk lilin yang telah lengkap ini dibungkus dengan tanah liat yang lunak. Pada bagian atas dan bawahnya diberi lubang. Dari lubang bagian atas dituang perunggunya dan lubang di bagian bawah sebagai tempat aliran lilin yang meleleh. Bila perunggu yang dituang delah dingin maka cetakan dipecah untuk mengambil bendanya yang sudah jadi. Cara ini meninggalkan sedikit corong sebagai akibat kurang sempurnanya penutupan lubang bagian bawah cetakan (Kartodirdjo, dkk, 1975: 214-242).
Selain itu, dugaan yang memperkuat tinggalan benda-benda perunggu di Bali merupakan produksi lokal adalah berdasarkan variasai temuan serta unsur-unsur pembentuk perunggu di Bali. Jenis-jenis temuan benda perunggu di Bali menunjukkan variasi yang beragam seperti nekara, kapak perunggu, gelang perunggu, pelindung jari tangan, kaki dan dada, serta jenis perhiasan lainnya. Bahkan diantara peninggalan perunggu tersebut ada yang menunjukkan bentuk variasi lokal yang khas seperti tipe nekara pejeng dan dalam ukuran kecil berbentuk moko, serta kapak perunggu berbentuk jantung. Demikian pula analisis kandungan unsur-unsur logam temuan benda perunggu Bali. Juga berbeda dengan tempat lainnya di Indonesia. Prosentase perbandingan campuran perunggu Bali adalah sekitar 75% tembaga, 20% timah hitam dan putih serta unsur-unsur logam lainnya. Sedangkan perunggu dari tempat lainnya di Indonesia prosentase campuran tembaganya lebih kecil sekitar 72% (Soejono, 1977; Mardika, 2001).
Penguasaan iptek dibidang metalurgi yang berasal dari masa prasejarah terus berlanjut sampai sekarang. Di Kabupaten Klungkung terdapat tiga sentra idustri kerajinan tempat mengerjakan benda-benda logam. Tempat dimaksud adalah Tihingan, Budaga, dan Kamasan. Di Desa Tihingan terkenal dengan produk Gamelan (Gong) dari bahan kerrawang. Di Budaga dikenal sebagai sentra idustri pembuatan barang-barang upacara dari logam seperti genta, ciwa krana, dan senjata dewata nawa sanga. Di Desa Kamasan terdapat idustri untuk membuat benda-benda dari logam seperti bokor (wadah banten), dan sangku thirta (tempat air suci). Di tempat ini juga terdapat pengerajin yang khusus memproduksi barang cinderamata dari bahan selongsongan peluru (Mardika, 2002).
Kearifan lokal bidang iptek pada masa klasik dicerminkan antara lain oleh Prasasti Blanjong yang menggunakan dua Bahasa (bilingual) dan dua huruf (bescrif) menunjukkan adanya kemahiran, pengenalan, dan wawasan pengetahuan masyarakat pada masa pemerintahan Sri Kesari Warmadewa abad X Masehi. Prasasti ini tergolong temuan langka dan hanya satu-satunya ditemukan di Bali. Umumnya prasasti yang ditemukan di Bali ditulis dengan menggunakan bahasa sansekerta ditulis dengan huruf Pre Nagari, atau menggunakan Bahasa Bali Kuna ditulis dengan huruf Bali Kuna (Kawi), sedangkan prasasti Blanjong dibuat dengan dua bahasa dan dua sistem aksara. Keistimewaan lainnya adalah penggunaan sistem silang dalam penulisan huruf dan bahasanya, yaitu: bahasa Sansekerta ditulis dengan huruf Bali Kuna (Kawi), sedangkan bahasa Bali Kuna ditulis dengan huruf Pre Negari. Fakta ini menunjukkan bahwa si penulis prasasti (citralekha) adalah orang yang telah mahir dalam pengetahuan bahasa, tata tulis, dan penggunaannya terutama pada kedua jenis bahasa dan huruf tersebut. Kemahiran tersebut tentu dilandasi oleh tradisi dan latar budaya yang berlaku pada masa itu dan tradisi sebelumnya.
Menurut Ardika (2010) penggunaan dua bahasa dan dua huruf dalam prasasti Blanjong khusus bahasa yang berkembang di India Utara lebih mencerminkan adanya pamer kekuatan/kemampuan “show of power” dari Raja Sri Kesari Warmadewa dalam pergaulan internasional. setidaknya pengenalan bahasa internasional tersebut merupakan modal budaya dalam pergaulan Bali ditingkat internasional. dengan begitu dapat dikatakan bahwa isi prasasti Blanjong mencerminkan adanya kearifan lokal di bidang iptek khususnya wawasan pengenalan bahasa asing guna menunjang pergaulan global.
Cagar budaya Candi Tebing Gunung Kawi merupakan situs bangunan kuno yang khas dan hanya ditemukan di Bali. Tidak seperti candi pada umumnya di Indonesia yang dibangun dari bahan batu padas atau batu bata yang disusun menjadi bangunan candi. Candi Tebing Gunung Kawi dan termasuk ceruk-ceruk pertapaanya dipahat langsung pada tebing alam. Pemahatan langsung di alam sudah tentu memerlukan penguasaan pengetahuan dan teknologi membuat bangunan (arsitektur) yang mumpuni. Para pemahat candi tebingmesti memiliki ketrampilan tertentu, selain penguasaan atas medan yang relatif sulit.
Demikian pula pemilihan lokasi banguanan pada tebing jurang dan daerah aliran sungai (DAS) menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah memiliki pengetahuan dan teknologi di bidang pemanfaatan lingkungan/alam. Mereka berupaya mencari lokasi yang cocok dan memenuhi syarat sesuai dengan yang diharapkan. Artinya, tidak semua lahan dapat digunakan untuk mendirikan tempat suci. Di India dikenal kitab penuntun untuk mendirikan bangunan dan menentukan lahan yakni kitab Manasara-Silpasastra dan Silpa Praksa. Kitab Manasara-Silpasastra menerangkan tentang cara memilih lahan untuk tempat berdirinya suatu bangunan suci. Silpa Praksa menjelaskan lahan macam apa yang boleh dipilih atau yang tidak boleh dipilih jenis tanahnya (Moendjarjito, 1993: 239-244). Di Bali juga dikenal kitab yang dijadikan sumber acuan para undagi dalam membuat bangunan yakni kitab Kosala Kosali dan Asta Bumi. Kitab Kosala (Kosali) membicarakan seluk beluk ilmu pertukangan dan Asta Bumi berisi tentang pemilihan lahan dan tata cara pengukuran tanah (Wiryani, 1982: 407-417). Kedua kitab ini masih diacu oleh para arsitek bangunan tradisional Bali (undagi) dalam melaksanakan pengetahuan dan ketrampilan tersebut merupakan kearifan yang telah ada pada masa sebelumnya dan terus dilestarikan sampai kini.
Selain Candi Tebing Gunung Kawi, cagar budaya Pura Kehen juga mencerminkan adanya kearifan lokal di bidang iptek. Struktur Pura Kehen menunjukkan keunikan karena memadukan unsur bangunan prasejarah dengan bangunan Pura masa klasik. Pura Kehen merupakan pura yang dibangun dengan struktur teras berundak-undak terdiri atas tujuh tingkatan (Sapta Loka/Sapta Mandala). Perpaduan ini merepresentasikan adanya pemikiran nenek moyang kita yang arif dan bijaksana untuk mentransformasikan nilai-nilai seni bangunan yang berkembang masa sebelumnya kedalam alam pikiran dan nilai-nilai baru menjadi satu-kesatuan yang utuh dan terpadu. Bentuk pura lainnya di Bali yang memadukan unsur teras berundak pada mandala pura adalah Pura Penulisan Kintamani dan Pura Besakih. Di Jawa perpaduan ini sesuai pula dengan bangunan Candi Borobudur yang memadukan unsur stupa dengan teras berundak. Kearifan dalam memadukan unsur-unsur budaya tersebut menjadikan terciptanya seni bangunan yang memiliki karakteristik yang khas berbeda dengan seni bangunan di tempat lain.
Kearifan lokal di bidang iptek ditunjukkan pula oleh tinggalan Inna Bali Hotel. Unsur-unsur arsitektus gaya Eropa telah diadopsi dalam pembangunan Hotel ini dan dipadukan dengan unsur gaya arsitektus tradisional Bali. Gaya arsitektur Eropa diperlihatkan oleh penggunaan balok-balok kayu yang kokoh, ukuran jendela, pintu dan langit-langit yang besar dan luas. Ragam hias pada sudut-sudut bangunan dan beberapa bagian tertentu tetap bernuansa ukiran Bali. Perpaduan yang menonjol adalah pada Bale Serba Guna yang dibuat seperti Balai Wantilan dengan tiang-tiang yang kokoh yang menjadi ciri arsitektus Eropa. Perpaduan gaya Eropa dan arsitektus Bali juga terdapat pada bangunan puri (Keraton) Denpasar yang terletak 500 meter sebelah utara hotel. Pintu masuk puri menunjukkan gaya Eropa. Demikian pula beberapa bangunan rumah raja seperti ruang pertemuan dan tempat tidur dibuat dengan gaya arsitektur Belanda (Mardika, dkk., 2010).