Latar
Pulau Sumba merupakan pulau yang sangat kaya akan tinggalan tradisi megalitik yang berlanjut (living megalithic tradition). Hasil budaya di Pulau Sumba memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan tradisi megalitik dari masa prasejarah. Adapun tinggalan megalitik yang terdapat di Pulau Sumba antara lain berbentuk kubur batu dolmen (reti), batu tegak (penji), arca megalitik (megalithic statue), susunan batu temu gelang (stone enclosure) dan teras berundak. Tradisi megalitik Sumba bercirikan megalitik tua yang sudah dibangun dan dipahat dalam kualitas tinggi. Kualitas tinggi dimaksud antara lain dalam bentuk menhir yang dipahatkan dengan berbagai pola hias yang menggambarkan manusia, binatang, benda alam (matahari, bulan dan bintang), benda buatan manusia (gong, parang dan perhiasan). Pola hias tersebut hampir dipahatkan pada seluruh bagian permukaan menhir (Kusumawati, 2010 : 193).
Pertumbuhan tinggalan tradisi megalitik berlanjut di Pulau Sumba sangat pesat dibandingkan dengan pulau-pulau lain, seperti Sabu, Alor, Flores, dan Timor. Tradisi megalitik Sumba sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, kepercayaan, kreativitas dan kemajuan pola pikir masyarakat Sumba. Kepercayaan megalitik pada masyarakat Sumba sangat kokoh yang bersumber pada pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Tradisi ini mempercayai bahwa kehidupan manusia akan terus berlanjut sampai pada kehidupan di akhirat (alam setelah mati). Kepercayaan tradisi megalitik menganggap bahwa orang yang meninggal akan terus hidup di dunia arwah seperti kehidupan manusia di dunia (Soejono dalam Kusumawati, 2010 : 194). Kehidupan di alam kematian masih mengenal tingkatan derajat dan martabat serta kehormatan. Kepercayaan ini dipegang oleh masyarakat dan akhirnya menyebabkan masyarakat akan selalu berusahauntuk memberikan perhatian pada orang yang meninggal agar tetap terhormat di alam arwah dengan perlakuan yang sebaik-baiknya. Hal ini akan menyebakan ahli waris raja atau bangsawan yang meninggal akan emlaksanakan upacara penguburan dengan sebaik-baiknya. Hal itu ditempuh antara lain dengan membuat kubur bagi raja/bangsawan dengan megah, berukuran besar, dan hiasan yang indah, selain itu kepada orang yang meninggal akan diberikan bekal kubur yang istimewa.
Satu dari tradisi megalitik yang sampai saat ini masih tetatp hidup dan terjaga dengan baik keberadaannya di Pulau Sumba adalah Kampung Tarung. Kampung Tarung adalah sebuah komplek perkampungan yang terdiri dari beberapa kampung tradisional, yang antara lain adalah Kampung Tarung, Kampung Waitabar, Kampung Bela Kiku, Kampung Kabatana dan Kampung Ngora Tuku. Keberadaan Kampung Tarung tidak terpisahkan dengan persebaran bangsa dan budaya Austronesia. Persebaran bangsa Austronesia sampai di Pulau Sumba tidak terpisahkan dari kemampuan mereka menciptakan perahu sebagai sarana perhubungan sebagai sarana migrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Kemampuan bangsa Austronesia dalam menguasi pembuatan perahu juga diimbangi dengan penguasaan mereka akan perbintangan. Hal inilah yang membuat mereka sampai menyebar ke sebagian benua Asia Tenggara (termasuk Pulau Sumba). Kedatangan bangsa Austronesia di Pulau Sumba diperkirakan terjadi pada abad pertama masehi, bersamaan dengan budaya perunggu dan besi (Kusumawati, 2010 : 193).
Tradisi megalitik Kampung Tarung yang masih hidup sampai saat adalah jalan untuk mengungkap dan merekontruksi kehidupan manusia dan budayanya. Bahwasannya tradisi megalitik yang berasal dari masa prasejarah tidak lagi memiliki data lengkap, tinggalan masa prasejarah telah banyak yang rusak, hilang dan pendukungnya tidak dijumpai lagi, sehingga dalam merekontruksi kehidupan prasejarah akan mengalami hambatan, karena data yang tidak lengkap. Berkenaan dengan hal tersebut keberadaan Kampung Tarung yang masih memiliki tradisi megalitik berkelanjutan sangat membantu dalam merekontruksi kehidupan dan budaya masyarakat masa lalu. Kampung Tarung akan memberikan data dan fakta bagi kita semua tentang tradisi megalitik, tahapan-tahapan dalam pendirian bangunan megalitik dan proses upacara yang menyertainya.
Letak dan Lingkungan
Wilayah Nusa Tenggara Timur topografinya secara umum sangat berbeda dengan topografi daerah Pulau Jawa atau pulau-pulau lainnya di Indonesia, karena hampir 70% terdiri dari wilayah perbukitan, pegunungan, dan dataran tinggi yang memiliki kemiringan lereng yang beraneka ragam, sedangkan wilayah datarannya sangat terbatas dan pada umumnya sangat sempit. Daerah Kabupaten Sumba Barat sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan gunung kapur dengan luas wilayah 737 km2 . Kemiringan tanah bervariasi di wilayah Kabupaten Sumba Barat, berkisar diantara 140 sampai dengan 400 . Kemiringan tanah yang mencapai angka 400 erat hubungannya dengan besarnya tingkat erosi yang melanda setiap wilayah yang ada di Kabupaten Sumba Barat. Keadaan tanah di Kabupaten Sumba Barat juga bervariasi untuk setiap daerah, terdiri dari jenis tanah mediteran, litosol, regosol, latosol, gramosol, dan alural warna hitam, coklat, dan merah keabu-abuan. Ketinggian daratan Kabupaten Sumba Barat berkisar antara 200 sampai dengan 600 meter di atas permukaan laut (BPS Kabupaten Sumba Barat, 2012).
Iklim daerah Kabupaten Sumba Barat dipengaruhi oleh dua perubahan arah angin dalam setiap tahunnya yang bertiup secara tetap pada waktu-waktu tertentu, masing-masing dari arah tenggara dan barat laut. Angin ini dikenal dengan nama angin musim, yang mengakibatkan musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan November, sedangkan musim hujan jatuh pada bulan Desember sampai dengan bulan April.
Kondisi lingkungan/alam Kabupaten Sumba Barat seperti disebut di atas memiliki kesamaan dengan lingkungan Kampung Tarung. Kampung Tarung berada di wilayah perbukitan dengan ketinggian 462 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan lereng yang cukup curam (berkisar antara 14o sampai dengan 40o). Adapun batas-batas Kampung Tarung adalah jalan-jalan kampung yang di sekelilingnya banyak ditumbuhi pepohonan dengan beraneka jenis dan ragam. Kampung Tarung secara administratif terletak di Desa Sobawawi, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat, dengan jarak orbitasi dari Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat berjarak sekitar setengah kilometer. Akses untuk menuju Kampung Tarung sudah dilalui oleh jalan-jalan desa yang kondisinya cukup baik dan dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan. Secara spesifik Kampung Tarung adalah sebuah komplek perkampungan yang terletak di tengah perkotaan Sumba Barat, dengan bangunan-bangunan rumah tradisional yang mengelilingi tinggalan-tinggalan megalitik yang berupa kubur-kubur batu dan dolmen.
Pola Pemukiman Kampung Tarung
Kampung atau desa adat di Sumba disebut juga sebagai Parona atau Parainga dan biasanya terletak di daerah perbukitan dengan tanah yang berkontur. Tiap kamping adat ini umumnya berbentuk persegi atau lonjong (Kusumawati, 2007 : 196). Pola pemukiman masyarakat Kampung Tarung tidak memiliki pola tertentu sehingga posisi dan arah letak rumah tidak diatur dalam suatu ketentuan atau peraturan adat, lebih memperhatikan topografi setempat. Akan tetapi, peletakan rumah menghadap timur dan barat dihindari karena diyakini bila menghadap barat, penghuni rumah dapat susut, sebagaimana terbenamnya matahari, bila menghadap timur diyakini akan menjadi panas dan mendatangkan bahaya. Pola pemukiman masyarakat Kampung Tarung terdiri dari rumah-rumah yang diorganisir mengelilingi suatu ruang terbuka yang disebut Talora. Di dalam talora terdapat kubur batu, dolmen, meja altar, monument batu yang berfungsi untuk upacara-upacara adat. Rumah dengan status tertinggi selalu berhubungan dengan Talora dan terletak di posisi tanah yang terbaik, biasanya di posisi yang tertinggi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pola pemukiman masyarakat Kampung Tarung umumnya berorientasi pada ruang tengah yang disebut Talora atau Natar. Ruang tengah tersebut berfungsi penting untuk upacara-upacara adat dan bermakna sakral. Posisi Kampung Tarung yang terletak di daerah perbukitan juga berfungsi sebagai pertahanan dan perlindungan terhadap serangan musuh.
Sistem Kepercayaan Masyarakat Kampung Tarung
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Tarung berdasarkan pada kepercayaan Marapu. Kepercayaan Marapu masih dipegang hingga kini meskipun beberapa penduduk telah memeluk agama lain seperti Kristen dan Islam. Marapu dapat dijelaskan sebagai suatu sistem kepercayaan masyarakat yang mempercayai bahwa arwah nenek moyang atau leluhur yang telah meninggal tetap hidup ditengah-tengah mereka. Inti kepercayaan Marapu adalah kepercayaan akan adanya wujud Ilahi yang dinamakan “Mawolu Marawi” atau “Pencipta segala sesuatu” yang berkuasa atas hidup matinya manusia serta seluruh alam dan iman atau leluhur (Kusumawati, 2007 : 198).
Kepercayaan Merapu sangat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan masyarakat Kampung Tarung, termasuk penataan pola kampung dan arsitektur rumah tinggal. Masyarakat Kampung Tarung percaya pada roh-roh orang/ leluhur yang meninggal masih tetap tinggal di tengah kampung dan menjadi bagian dalam masyarakat. Hal ini dapat kita lihat berbaurnya kubur-kubur batu di tengah-tengah pemukiman penduduk. Selain itu, roh nenek moyang akan dipanggil kembali ke rumahnya melalui upacara khusus. Roh tersebut dipercaya tinggal di bagian atap limas yang menjulang tinggi. Tempat tersebut tidak diperbolehkan dihuni oleh orang hidup dan digunakan untuk meletakkan benda-benda pusaka leluhur.
Pemberian ruang khusus untuk pemujaan Marapu juga terdapat di ruang tengah rumah. Ruang tersebut disebut Mata Marapu, pada umumnya terletak pada sudut depan rumah yang berseberangan dengan pintu masuk. Selain ruang tersebut, terdapat tiang utama rumah yang menjadi tempat berhubungan dengan Marapu yang melambangkan laki-laki dewasa sehingga istri dan menantu perempuan tidak diperkenankan memegang tiang tersebut.
Menurut Kusumawati (2007), sistem kepercayaan Sumba membagi dunia menjadi 3 bagian, yaitu dunia atas sebagai tempat para dewa dan arwah leluhur, dunia tempat kehidupan manusia dan dunia bawah sebagai tempat hewan. Kepercayaan ini diwujudkan dalam pembagian ruang rumah secara vertikal, bagian menara (uma deta) melambangkan dunia atas, ruang dalam rumah (uma bei) sebagai tempat kehidupan dan kolong (kali kambunga) sebagai tempat hewan. Dunia atas terbagi dalam 7 lapisan yang digambarkan pada 7 lapisan ikatan gording pada menara (uma deta). Bumi digambarkan menjadi 6 lapisan yang diwujudkan pada tata ruang dalam rumah adat, yaitu:
- Uma dalo, lapisan teratas tempat menyimpan bibit dan bahan makanan yang unggul
- Pedambahano, loteng panas di atas para-para api
- Pedalolo, loteng tempat menyimpan makanan sehari-hari
- Katedeng, tempat duduk dan tidur penghuni rumah
- Tabolo, balai pertemuan
- Katongatana, balai untuk pijakan kaki sebelum memasuki rumah.
Data Sejarah
Pulau Sumba di dalam Negarakertagama tetap bernama Sumba, seperti yang tercantum dalam pupuh 14. Orang Sika menyebutkan Pulau Sumba dengan nama Pulau Wio, dimana Wio menurut cerita rakyat Kroe Sika adalah seorang pedagang asal Pulau Sumba yang pergi berdagang ke Sika dan menikah dengan seorang gadis cantik dari Kroe Sika. Gadis ini merupakan jelmaan seekor anjing yang dikalungi emas, setelah dikalungi emas anjing ini berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik, kemudian dinikahi oleh Wio (Kolit, 1982 : 28 dalam Sumarja, 2007 : 69).
Pulau Sumba dikenal dengan pulau cendana atau Sandelwood Island, nama ini sudah dikenal sejak lama, karena dalam peta pigfetta (1522) telah tercantum nama Pulau Chendan yang tak lain adalah Pulau Cendana. Kemungkinan Pulau Sumba jaman dahulu sebagai penghasil kayu cendana yang sangat banyak. Pedagang Inggris sejak dahulu banyak yang berasal dari Mauritius datang membeli kuda ke Sumba. Sampai sekarang kuda-kuda Sumba terkenal dengan nama kuda sandel, karena berasal dari Sandelwood Island. Menurut suku bangsa Sumba, Pulau Sumba disebut dengan nama Tana Humba (Sumarja, 2007 : 69).
Suku Sumba diperkirakan berasal dari pulau-pulau di sebelah barat dan dari pulau-pulau sekitar Nusa Tenggara yang datang secara berkelompok. Baik di Haharu maupun di Pandawai para leluhur mengadakan musyawarah besar untuk menetapkan tata cara hidup bermasyarakat, menetapkan nama kelompoknya masing-masing, tempat kediaman, masalah perkawinan, kematian, kelahiran, beternak, bercocok tanam dan masalah-masalah lainnya. Setelah bersumpah untuk tetap bersatu dalam persekutuan dan persaudaraan, mereka kemudian berpisah sesuai dengan kelompok masing-masing. Ada yang menuju arah timur, ada yang menetap di bagian selatan, barat dan ada yang bermukim di utara Pulau Sumba. Tiap-tiap kelompok tersebut disebut dengan nama kabihu atau kabisu. Apabila kelompok-kelompok ini sudah mendapatkan tempat yang cocok untuk menetap maka mereka membentuk perkampungan (negeri) yang dalam bahasa daerahnya disebut dengan nama paraingu. Kelompok-kelompok yang pertama kali menduduki suatu wilayah akan menjadi tuan tanah atau pemimpin atau sering disebut dengan nama mangu tanangu. Sedangkan kelompok yang datang belakangan ke suatu kampung akan diberikan bagian tanah dari tuan tanah untuk ditinggali atau diolah sebagai areal persawahan/ladang. Secara umum pola perkampungan yang ada di Pulau Sumba, termasuk juga Kampung Tarung posisinya berada di wilayah perbukitan (dataran tinggi), hal ini bertujuan untuk menghindari wilayah mereka dari serangan musuh, baik itu musuh yang datang dari dalam maupun luar Pulau Sumba (Sumarja, 2007 : 70).
Selain urain tersebut di atas, keberadaan suatu pemukiman (kampung) di Pulau Sumba sering dihubungkan dengan situs dari masa pra-sejarah yang ditemukan di Melolo, Sumba Timur. Melolo merupakan situs kuburan kuno yang diperkirakan dari masa prasejarah, terdiri dari periuk dan tempayan yang berisi tulang manusia, diantaranya juga berisi beliung atau pahat batu persegi empat (rectangular stone adze). Dari temuan tersebut, didapati ciri-ciri kehidupan jaman neolitikum. Gelombang pendatang selanjutnya berasal dari Indocina yang disebut ras Melayu Muda. Ras tersebut telah mengenal pembuatan senjata, pertukangan dan benda-benda upacara, termasuk juga rumah panjang bertiang (rumah panggung), kain dan pendirian bangunan dengan batu besar yang merupakan ciri budaya megalitik sehingga dimulailah budaya megalitik di Sumba. Selanjutnya, Pulau Sumba masih didatangi oleh gelombang pendatang baru, termasuk dari Jawa di Jaman Majapahit sehingga terjadi asimilasi budaya.
Data Arkeologi
Kampung Tarung dengan tinggalan megalitiknya menunjukkan eksistensi yang sampai sekarang masih tetap berlanjut dan ini tidak terlepas dari persebaran budaya yang dibawa oleh bangsa Austronesia. Tradisi megalitik Kampung Tarung mempunyai ciri-ciri yang mengacu pada prinsip dasar megalitik di Indonesia bagian barat. Hal ini menunjukkan kesinambungan antara tradisi megalitik prasejarah dan tradisi megalitik Kampung Tarung. Adapun tinggalan-tinggalan megalitik yang terdapat di Kampung Tarung adalah sebagai berikut :
Rumah Adat
Rumah adat dalam masyarakat Kampung Tarung bukan sekedar rumah untuk tinggal, tetapi juga menggambarkan fungsi-fungsi sosial tertentu sehingga hampir setiap rumah mempunyai fungsi dan nama rumah yang berbeda. Rumah adat Kampung Tarung berbentuk rumah panggung yang terbuat dari bahan perpaduan antara kayu, bambu dan beratpkan alang-alang. Secara hirarkis vertikal rumah adat Kampung Tarung dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
- Lei Bungan (kolong rumah), yang digunakan sebagai tempat penampungan ternak dan berjemur.
- Rongu Uma (tingkat kedua), sebagai tempat tinggal sehari-hari. Terdapat ruang seperti pimudeta (bale-bale setinggi 1 atau tempat bersalin), keri penuang (kamar anak wanita) serta heda kabali mata (ruang tidur tamu). Pusat rumah merupakan perapian (rapu) yang melambangkan buh atau usus besar manusia. Di atas perapian terdapat hedi atau lemari gantung untuk penyimpanan alat dapur. Pani (ruang laki-laki), hadoku (kamar suami-istri), halibar (kamar tidur kakek-nenek).
- Uma Daluku (menara atau loteng) yang terdiri atas dua bagian, atas dan bawah. Bagian atas (hindi marapu) merupakan tempat tinggal Marapu yang hadir dalam wujud benda pusaka yang dikeramatkan. Bagian bawah untuk menyimpan padi dan bahan makanan. Bagian atas uma daluku hanya boleh dimasuki oleh kepala keluarga (bapak) karena dianggap dialah yang boleh berhubungan dengan Marapu.
Secara keseluruhan di Kampung Tarung terdapat beberapa rumah adat utama dengan fungsinya masing-masing, yaitu :
- Uma Rato, fungsinya sebagai Ina Ama, dan sebagai penunggu kedatangan Uma Tuba
- Uma Mawine, sebagai pennetu tibanya bulan suci
- Uma Wara, sebagai tempat untuk menempatkan tombak adat/ Nobu Wara
- Uma Dara, sebagai tempat untuk menempatkan kuda adat
- Roba Delo, sebagai tempat untuk menempatkan parang adat
- Uma Merapu Manu, fungsinya yaitu sebagai tempat untuk melaksanakan upacara Podu
- Uma Madiata, sebagai tempat untuk melakukan nyanyian lagu-lagu adat
- Wee Kadaa/Ledo Naba, sebagai tempat untuk menempatkan kudauntuk penerikan batu kubur dan sebagai pembawa air suci
- Ana Uma Madiata, fungsinya yaitu sebagai Kaito Utta-Poppu Winno
- Jaga Wogu/Pullu Batana, Fungsinya sebagai rumah induk tempat pelaksanaan ritual.
- Ana Wara Ana Uma, berfungsi sebagai tempat parang adat
- Uma Ana Wara Ana Uma, sebagai tempat menerima tamu pertama yang membawa babi hutan.
Kubur Batu
Hasil inventarisasi kubur batu yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Registrasi dan Penetapan Balai Cagar Budaya Bali mencatat jumlah kubur batu yang terdapat di Kampung Tarung berjumlah 31 buah. Kubur batu dibuat pada saat ada upcara penguburan, bahan baku berupa jenis batuan andesit atau batuan kapur yang biasanya diambil dari bukit atau sungai yang berjarak sekitar 2 sampai 5 kilometer dari Kampung Tarung. Bahan kubur batu dicari oleh petugas khusus yang ditunjuk langsung oleh ketua adat kampung. Pada saat bahan untuk kubur batu telah ditemukan, maka akan dilakukan upacara kurban sebagai tanda memulai pemotongan dan pemahatan batu. Lama pemotongan dan pemahatan bahan kubur batu tergantung dari status sosial orang yang akan dikubur. Untuk pemotongan bahan kubur batu dari golongan bangsawan dapat berlangsung berbulan-bulan. Pada tahap ini pemotongan bahan kubur batu sesuai dengan bentuk dan ukiran yang diinginkan oleh keluarga orang yang meninggal.
Setelah pemotongan bahan kubur batu selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara tarik batu. Sebelum pelaksanaan upacara tarik batu terlebih dulu disiapkan landasan kayu sebagai alat pengangkut batu besar. Upacara tarik batu biasanya diikuti dengan penyembelihan kerbau sebagai bahan makanan untuk orang-orang yang mengangkut batu kubur. Pengangkutan bahan batu kubur untuk sampai ke Kampung Tarung dapat berlangsung berhari-hari, hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh dan juga medan yang berat.
Pendirian kubur batu dilakukan dengan sistem ungkit, sehingga tahap demi tahap kubur batu akan mencapai ketinggian yang diinginkan. Penyangga pada saat pengungkitan berupa balok-balok kayu persegi empat untuk menjaga agar balok-balok kayu yang tersusun setelah pengungkitan tidak rontok.
Kubur Batu dan Dolmen
Kubur batu yang dilengkapi dengan dolmen yang terdapat di Kampung Tarung berjumlah 3 buah. Kubur batu dan dolmen yang terdapat di Kampung Tarung terdiri dari meja batu yang telah dipahat dengan bentuk persegi empat. Kaki-kaki terdiri dari balok batu yang dipahat dengan berbagai pola hias yang menggambarkan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda buatan manusia. Kubur batu dan dolmen ini dilengkapi dengan penji atau semacam arca perwujudan manusia.
Menhir
Berupa batu tegak, ada yang berdiri di tanah dan ada pula yang didirikan di atas meja batu. Menhir ini dipahatkan dengan pola–pola hias yang kaya dan dalam bentuk yang indah.
Arca Megalitik
Sebagian dipahatkan dalam bentuk tokoh manusia sederhana, skematis dan primitif yang terdiri dari bagian kepala, badan dan tanpa kaki.