Oleh
Giri Prayoga, S.T
I Made Agus Sugiarta
I Gusti Ayu Agung Dhyani Dewi
I Kadek Adi
I Ketut Warsa
Latar Belakang
Pulau Sumba merupakan bagian dari gugusan pulau-pulau yang dahulu disebut sebagai Sunda Kecil yang terdiri atas Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor. Gugusan pulau-pulau ini kemudian diganti sebutannya menjadi ‘Nusa Tenggara’ oleh Prof. Muhammad Yamin dengan mengacu pada posisinya yang berada di sudut Tenggara gugusan kepulauan di Indonesia (Kapita, 1976).
Pulau Sumba mulai dikenal oleh para pelayar Eropa melalui peta yang dibuat oleh Pigafetta, salah seorang rekan pelayaran Magelhaens. Dalam peta itu Sumba diberi nama Chendan Island karena dikenal sebagai penghasil kayu cendana. Tetapi dalam perkembangannya, hasil kayu cendana kian merosot karena eksplorasi hutan yang tak terkendali. Sementara para pelayar Inggris menamai Sumba dengan sebutan Sandelwood Island karena mereka sering membeli kuda Sumba yang disebut kuda sandel (sandel horse) (Kapita, 1976).
Sebagai bagian dari wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, Pulau Sumba merupakan salah satu pulau di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki sebaran Kampung Adat dengan tradisi megalitik cukup banyak (Gambar 1). Untuk melihat identitas budaya masyarakat Sumba, ada tiga hal yang menjadi poin utama. Pertama, kepercayaan masyarakat Sumba berkaitan dengan pemujaan leluhur atau biasa dikenal dengan marapu. Kedua, tatanan tempat tinggal masyarakat setempat (kampung adat). Ketiga, tatanan berdasarkan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang biasa dikenal dengan kabihu.
Tradisi megalitik yang terdapat di Pulau Sumba sebagian besar merupakan Kubur Batu. Kubur batu merupakan bagian dari tradisi megalitik memuliakan leluhur dengan menempatkan pada kuburan yang terbuat dari batu besar. Sampai saat ini tradisi ini masih berlanjut dan merupakan bagian dari Agama Marapu.
Masyarakat Pulau Sumba menganut agama Marapu sebelum mengenal agama-agama lain. Marapu, yaitu agama lokal dengan basis pemujaan terhadap leluhur. Marapu bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang yang meyakini roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dengan sang pencipta. Penganut Marapu percaya akan adanya dewa- dewa yang hidup di sekeliling mereka. Mereka juga percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia masih tetap hidup dan menentukan masyarakat, sehingga kehidupan mereka memperlakukan arwah nenek moyang secara istimewa (Geria, 2014,dalam http://e- journal.uajy.ac.id/18956/2/MTA025791.pdf).
Menurut Kusumawati M et al, 2007 dalam http://e-journal. uajy.ac.id/18956/2/MTA025791.pdf, pandangan dunia masyarakat Sumba merupakan warisan dari nenek moyang yang berasal dari masa megalitik. Ciri-ciri yang memperkuat dugaan tersebut adalah pemanfaatan atau penggunaan batu sebagai salah satu unsur atau media dominan dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat, maupun dalam menciptakan ruang fisik arsitekturnya.
Menurut Geria, 2014 dalam http://e-journal.uajy.ac.id /18956 /2/ MT A025791 .pdf Marapu bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang yang meyakini roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dengan sang pencipta. Penganut Marapu percaya akan adanya dewa-dewa yang hidup di sekeliling mereka. Mereka juga percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia masih tetap hidup dan menentukan masyarakat, sehingga kehidupan mereka memperlakukan arwah nenek moyang secara istimewa.
Perkembangan pariwisata yang semakin pesat di wilayah Puau Sumba pada umumnya juga mendorong upaya-upaya peningkatan pengembangan destinasi di wilayah Kabupaten Sumba Tengah. Pengembangan destinasi wisata ini berkaitan dengan wisata alam dan wisata budaya. Seperti disampaikan oleh Arisanti, N. 2019 “Identitas budaya masyarakat Sumba Tengah ditandai dengan rumah adat, ritual marapu, dan tradisi megalitik. Selain itu, perkembangan industri pariwisata Sumba Tengah telah menjadikan kampung adat sebagai obyek wisata andalan yang berperan dalam menjaga eksistensi komunitas di kampung adat”. Maka selain pengembangan destinasi alam, saat ini pemerintah daerah sangat giat mengembangkan kampung adat sebagai destinasi wisata. Kampung adat yang didalamnya terdapat tradisi megalitik saat ini menjadi obyek dalam upaya pengembangan destinasi sekaligus menjadi obyek dalam usaha
pelestarian. Kondisi ini disampaikan oleh Lull, 1998 bahwa kebudayaan bergerak secara dialektis, yakni antara kekuatan untuk pelestarian dan kekuatan untuk mewujudkan sebuah perubahan, antara tradisi dan inovasi. Kampung adat kini berada diantara dua kekuatan yakni kemampuan untuk bertahan dan kebutuhan untuk berubah demi menjaga eskistensinya.
Pengembangan situs sebagai destinasi pariwisata dan juga tekanan perkembangan wilayah perkotaan merupakan dua alasan utama untuk melaksanakan kegiatan kajian zonasi pada Kampung Adat Pasunga. Hasil Zonasi diperlukan agar mampu memberikan arahan bagi pengembangan fasilitas wisata, pengembangan pemukiman dan fasilitas perkotaan di sekitar kampung adat sejalan dengan kaidah-kaidah pelestarian yang tercantum dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dengan demikian perkembangan pariwisata diharapkan dapat menjadi berkah bagi masyarakat sekitar Kampung Adat Pasunga dan sekaligus menjadi pemicu semangat masyarakat untuk tetap mempertahankan adat, tradisi serta budaya yang tercermin dalam setiap kegiatan serta bangunan yang terdapat di kampungnya.
Maksud dan Tujuan
Kegiatan Kajian Zonasi Cagar Budaya di Kampung Adat Pasunga, Desa Anakalang, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur dimaksudkan untuk mengumpulkaan data-data yang berkaitan dengan keberadaan Kampung Adat Pasunga secara spasial, kondisi lingkungan, dan arah kebijakan pemerintah dalam rencana tata ruang (RTRW). Sedangkan tujuannya adalah (1). Menyusun peta zonasi (pembagian ruang) di sekitar wilayah Kampung Adat Pasunga sesuai dengan Undang-Undang no 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. (2). Menentukan luasan area dan arahan pemanfaatan zonasi pada masing masing zona.
Metode
Untuk mencapai hasil sesuai dengan maksud dan tujuan kegiatan, harus memenuhi kaidah-kaidah metodologi yang digunakan dalam penelitian. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan lebih berbobot dan memiliki
nilai ilmiah. Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah :
- Kepustakaan merupakan salah satu acuan dalam pelaksanaan kegiatan zonasi dengan menelaah hasil-hasil penelitian terdahulu yang dipublikasikan. Selain itu studi pustaka merupakan metode untuk mendapatkan sumber-sumber data yang terkait dengan objek yang akan mendapatkan perlakuan pelestarian berupa zonasi.
- Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati langsung objek dan wilayah sekitar objek yang akan di zonasi untuk mengetahui kondisi kewilayahan dan lingkungan sekitar situs.
- Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan tokoh masyarakat, aparat desa, atau orang-orang yang mengetahui informasi tentang Objek yang Diduga Cagar Budaya/Cagar Budaya. Wawancara dilakukan dalam kegiatan ini dengan metode tanpa struktur.
Dalam proses pengolahan data dilakukan dengan mempergunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kejadian atau fakta, keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian berlangsung dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi. Penelitian ini menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, pertentangan antara dua keadaan atau lebih, hubungan antara variable yang timbul, perbedaan antar fakta yang ada serta pengaruhnya terhadap suatu kondisi, dan sebagainya (https :// www. linguistikid. com/2016/09/pengertian-penelitian-deskriptif-kualitatif.html).
Sasaran Kegiatan
Secara lokasional kegiatan Kajian Zonasi Kampung Adat Pasunga ini dipusatkan Kampung Pasunga, Desa Anakalang, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan secara substansial, kegiatan ini difokuskan pada Situs Kampung Adat Pasunga dan sekitarnya.
Letak dan Lingkungan
Pencapaian lokasi Kampung Adat Pasunga diawali dengan menggunakan transportasi udara dari Denpasar menuju bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya. Bandara Tambolaka merupakan bandara terdekat dengan wilayah Sumba Tengah. Hari pertama kami menginap di Tambolaka, dan melanjutkan perjalanan darat pada hari kedua menuju Sumba Tengah. Perjalanan ke Waibakul (ibu kota Sumba Tengah) membutuhkan waktu 2 jam, dengan melewati Kabupaten Sumba Barat. Tujuan pertama tim pada saat tibanya di Waibakul adalah melakukan koordinasi dengan pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Tengah, selanjutnya berkoordinasi dengan beberapa pihak yang memiliki keterkaitan dengan keberadaan Kampung Adat Pasunga.
Kondisi fisik umum wilayah Kabupaten Sumba Tengah nampak dari beberapa hal yang terdiri dari topografi, geologi, hidrogeologi, dan klimatologi. Beberapa hal ini yang memberikan pengaruh dominan pada kondisi fisik wilayah.
Topografi
Meizer dan Pfeiffer, 1964 dalam http://sbdkab.go.id/sbdku/halaman/detail/ membagi dataran Sumba dalam 7 jenis topografi, karena pembagiannya sangat sulit untuk diamati maka untuk lebih mempermudah pengamatan pembagian wilayah topografi dibuat dalam 5 kelompok.
- Wilayah gunung ditandai dengan kemiringan yang tinggi, wilayah ini meliputi gunung Tanadaro.
- Wilayah perbukitan ditandai dengan kemiringan yang lebih rendah dari wilayah gunung.
- Wilayah undukan dekat laut ditandai undukan dan jurang yang curam sepanjang pantai Selatan.
- Wilayah datar yang cukup luas dan dikelilingi bukit seperti dataran Anakalang.
- Wilayah dataran alluvial ditandai oleh dataran yang agak sempit sekitar sungai.
Keadaan kemiringan lahan di Wilayah Kabupaten Sumba Tengah terdiri dari lahan datar hingga berbukit dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar kurang lebih 0 hingga 800 MSL (Mean Sea Level). Untuk kemiringan lahan wilayah Kabupaten Sumba Tengah dan sepanjang pantai relatif datar.
Kondisi Geologi
Untuk kondisi geologi di Kabupaten Sumba Tengah lebih didominasi oleh kelompok batugamping koral yang relatif masih muda sehingga jenis tanah permukaannya relatif bervariasi yakni campuran antara batugamping, batugamping lempungan, sisipan napal pasiran dan napal tufan. Sementara
itu pada bagian pantai didominasi oleh formasi kaliangga yang terbentuk struktur lapisan batugamping trumbu (http :// sbdkab .go .id/ sbdku/halaman /detail/).
Kondisi Hidrologi
Kondisi hidrologi di Kabupaten Sumba Tengah sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) jenis, yaitu air tanah bebas, air tanah tertekan dan air permukaan. Air tanah bebas umumnya diangkat dan mengikuti kondisi morfologinya, sedangkan air tanah tertekan terletak jauh di dalam tanah dengan lapisan yang kedap air. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Sumba Tengah menggunakan air permukaan dengan membuat sumur gali dan lainnya menggunakan air tanah dalam. Kabupaten Sumba Tengah memiliki banyak sungai kecil dengan 2 buah sungai dengan panjang yang bervariasi, yang terletak di dua kecamatan yaitu Sungai Bewi dengan panjang 8 Km di Kecamatan Mamboro dan Sungai Pamalar di Kecamatan Umbu Ratu Nggai dengan panjang 6 Km.
Klimatologi
Seperti halnya di tempat lain di Indonesia, di Kabupaten Sumba Tengah dan Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya dikenal 2 musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik, sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Walaupun demikian, mengingat Sumba Tengah dan umumnya NTT dekat dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudra Pasifik sampai di Wilayah Sumba Tengah kandungan uap airnya sudah berkurang yang mengakibatkan hari hujan di
Sumba Tengah lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah yang lebih dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Sumba Tengah sebagai wilayah yang tergolong kering dimana hanya 4 bulan (Januari sampai dengan Maret, dan Desember) yang keadaanya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering. Temperatur rata-rata di wilayah Kabupaten Sumba Tengah berkisar antara 210C-340C. Temperatur udara rata-rata sekitar 270C, temperatur udara tertinggi 33,70C terjadi pada bulan November, sedangkan terendah 21,50C terjadi pada bulan Agustus.
Kampung Adat Pasunga
Secara astronomis Kampung Adat Pasunga terletak pada Zona 50 S, 782652,957 sebelah timur dan 8939087,869 sebelah selatan. Lokasi situs terletak di tengah kota dengan jarak kurang lebih 8 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sumba Tengah. Kampung Adat Pasunga sangat mudah dicapai karena berada di pinggir jalan raya antarkabupaten yang menghubungkan Kabupaten Sumba Barat dengan Kabupaten Sumba Timur, dan berseberangan dengan pasar tradisional Kecamatan Katikutana.
Pintu masuk situs Kampung Adat Pasunga ini berada di sebelah selatan menghadap ke selatan, terdapat dua buah jalan masuk dengan masing- masing terdapat gapura yang berisikan tulisan “Kampung Pasunga”. Secara umum Kampung Adat Pasunga ini telah memiliki batas berupa tembok keliling, walaupun hanya di bagian selatan, barat dan utara. Sedangkan bagian di sebelah timur belum memiliki batas yang pasti karena belum dilanjutkan pembuatan pagar keliling situs tersebut.
Batas situs Kampung Adat Pasunga ini terdiri dari :
- Bagian Utara : Jalan kampung dan pemukiman
- Bagian Timur : Jalan kampung dan pemukiman
- Bagian Selatan : Jalan raya dan Pasar Katikutana
- Bagian Barat : Jalan kampung dan pemukiman
Kondisi Kependudukan
Desa Anakalang memiliki luas wilayah 8,35 Km2, 10,59 persen dari luas total Kecamatan Katikutana, dengan luas total 78,83 Km2. Jumlah penduduk di Desa Anakalang 3.417 dengan luas wilayah 8,35, maka kepadatan penduduk mencapai 409 Jiwa/Km2 (berdasarkan data 2019). Jika dibandingkan dengan desa lainnya maka, Desa Anakalang memiliki kepadatan yang paling tinggi, sebagai perbandingan dalam data Badan Pusat Statistik tersebut nampak desa lainnya memiliki kepadatan bekisar dari 75 jiwa/km2 sampai 172 jiwa/km2. Kepadatan penduduk ini dapat menjadi gambaran perkembangan wilayah pemukiman yang akan menjadikan cagar budaya di dalamnya terdesak atau tidak. Sebagian besar penduduk kampung bermata pencaharian sebagai petani dan juga menggarap kebun.
Selain bermata pencaharian sebagai petani kebun, di setiap rumah juga terdapat hewan peliharaan yang berkaitan dengan kegiatan ritualnya. Hewan peliharaan ini berupa babi, kambing, dan ayam. Semua hewan ini sangat berkaitan dengan kegiatan ritual yang sering dilakukan pada wilayah kampung-kampung adat.
Sejarah
Berdasarkan pengetahuan Arkeologi, Pulau Sumba menjadi jembatan dalam persebaran budaya dari bagian barat yaitu Jawa, Bali, Sumbawa, dan Sumba. Kemudian ke arah timur Sumba yaitu Alor, Flores, bahkan sampai Timor. Dengan demikian maka Sumba sangat penting bila berbicara tentang living megalithic tradition. Menurut cerita rakyat setempat atau berdasarkan mitos, nenek moyang suku bangsa Sumba yang ada sekarang mula-mula datang dan berlabuh di suatu tempat dengan menggunakan perahu-perahu di muara Sungai Kambaniru yang dalam hikayat atau tradisi disebut dengan
“Pandawai-Mananga-bokulu”. Kelompok-kelompok yang lain mendarat di Tanjung Sasar di Sumba Timur, di mana berdiri dengan megah bukit atau Gunung Sasar yang sekarang dianggap sebagai tempat keramat. Kemudian mereka berpisah dalam kelompok-keompok ke tempat-tempat yang memungkinkan untuk hidup lebih baik. Ada yang berpindah ke arah Sumba Timur, Sumba Barat, hidup di pantai utara dan ada yang hidup di pantai bagian selatan Sumba (Kusumawati, Ayu dan Haris Sukendar, 2003).
Berdasarkan bahasa dan tutur kata suku bangsa Sumba baik Sumba Timur maupun Sumba Barat, kata Sumba diucapkan secara berbeda-beda. Bagi masyarakat di daerah Mamboro menyebut kata “sumba”, masyarakat Anakalang menyebut dengan “suba”. Orang-orang Wewewa menyebut “zumba”, orang Kodi menamakan “humba”. Menurut tokoh dari Pulau Sumba Oe Kapita, kata “sumba” atau “humba” berarti asli (Kapita 1976). Masyarakat Sumba yang masih mengikuti cara hidup masa prasejarah biasanya disebut dengan masyarakat “marapu” (Kusumawati, Ayu dan Haris Sukendar, 2003).
Berkaitan dengan sejarah Kampung Adat Pasunga, hanya dapat ditelusuri dari cerita tetua adat kampung. Berdasarkan wawancara yang kami lakukan, dihasilkan bahwa Kampung Adat Pasunga merupakan pengembangan dari Kampung Anakalang yang berada diatas bukit, sehingga umur Kampung Adat Pasunga lebih muda dari Kampung Anakalang.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Handini, 2019 “Kampung Pasungan didirikan oleh Umbu Kalung Dapamudang yang awalnya bertempat tinggal di Kampung Anakalang. Masyarakat Anakalang juga memiliki kampung lama yang menurut informasi sudah mulai ditinggalkan selama puluhan tahun saat perang antarsuku mulai berakhir, sekitar tahun 1945-1950”.
Jarak mata air terdekat (mata air Waibakul) dengan perkampungan adat di atas bukit (Kampung Anakalang, Kampung Wairasa dan Kampung Madidijawa) sekitar kurang lebih 1 km. Mata air Waibakul merupakan mata
air sungai bawah tanah yang tersingkap di permukaan sehingga volume air yang keluar stabil sepanjang tahun. Hal ini merupakan salah satu faktor banyaknya perkampungan yang didirikan di sekitar mata air ini seperti Kampung Pasunga, Galubua dan Laimotu (Handini, 2019).
Kusumawati, Ayu dan Haris Sukendar, 2003 memberikan pendapatnya pula berkaitan dengan alasan perpindahan kampung adat dari wilayah perbukitan menuju pada wilayah dataran. Kehidupan pada pemukiman di gunung kadang-kadang menghambat dalam berbagai hal, antara lain :
- Sulit melakukan kontak dengan kelompok masyarakat yang lain baik untuk perdagangan maupun barter.
- Kebutuhan-kebutuhan akan air baik untuk keperluan makan, minum, serta untuk keperluan yang lain untuk mandi, pembudidayaan tanaman, dan lain-lain tidak begitu menguntungkan.
- Lahan pengembalaan dalam pembudidayaan binatang sangat terbatas atau bahkan kadang-kadang tidak ada.
Ketiga hal yang menjadi kendala dalam kehidupan ini menimbulkan pertimbangan untuk memindahkan pemukiman yang telah memenuhi kehidupan yang lebih baik. Hal ini menimbulkan pindahnya kampung- kampung megalitik dari pegunungan atau gunung ke daerah dataran rendah yang memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.
Hasil wawancara ini belum dapat mencerminkan bagaimana dan pada tahun berapa kampung ini didirikan. Akan tetapi dari tinggalan yang nampak di wilayah kampung adat ini mencirikan tinggalan megalitik yang berlanjut sampai saat ini. Keterdapatan tinggalan megalitik yang masih tetap dipuja sampai saat ini terutama kubur batu (watu reti) dan menhir (kaduwatu).
Kubur batu di Kampung Adat Pasunga diperkirakan berasal dari periode yang berbeda. Beberapa diantaranya merupakan kubur batu yang telah berusia ratusan tahun dan memiliki nilai arkeologis, namun ada juga kubur batu yang baru didirikan (Handini, 2019).
Nilai Penting
Yadi Mulyadi dalam tulisannya dengan judul “Kajian Nilai Penting Cagar Budaya: Studi Kasus pada Bangunan Kantor Pengadilan Negeri Makassar dan Cagar Budaya di sekitarnya” menyebutkan dalam tahapan zonasi Bangunan Cagar Budaya ini diperlukan analisis dan kajian nilai penting untuk masing- masing objek bangunan bersejarah tersebut. Nilai penting Cagar Budaya meliputi nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Dokumen Hoi An Protocol 2001“Conserving the Past – An Asian Perspective of Authenticity in the Consolidation, Restoration and Reconstruction of Historic Monuments and Sites” menyebutkan juga bahwa “Assessment of the significance of a place, site or monument should be carried out as a necessary preliminary to any conservation action. Significance assessment is the process of studying and understanding the meanings and values of places, objects and collections. It involves three main steps; firstly, analyzing the object or resource; secondly, understanding its history and
context and thirdly, identifying its value for the communities which created and/or care for it.”
Nilai penting yang dimiliki oleh tinggalan arkeologi sangat besar pengaruhnya pada upaya apa yang harus dilakukan pada tinggalan tersebut. Nilai penting dari Cagar Budaya ini juga sangat jelas tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat 1 yaitu :
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaanya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”
Dalam pengertian tersebut, maka nilai penting yang mengikuti sebuah Cagar Budaya adalah Nilai Penting Sejarah, Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, Nilai Penting Pendidikan, Nilai Penting Agama, dan Nilai Penting Kebudayaan. Pengertian dari masing-masing nilai ini dapat dilihat pada Tanudirjo (2004) yang mengusulkan pedoman penentuan nilai penting yang terdapat dalam UU No. 5 tahun 1992 terdiri dari :
- Nilai Penting Sejarah, apabila sumber daya budaya tersebut dapat menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu;
- Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila sumber daya budaya itu mempunyai potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan tertentu. Bidang keilmuan yang dimaksud bukan hanya arkeologi, tetapi mencakup berbagai disiplin ilmu lainnya. Berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan nilai penting ilmu pengetahuan sumber daya budaya antara lain, Arkeologi, Antropologi, Ilmu-ilmu Sosial, Arsitektur dan Teknik Sipil, Ilmu-ilmu Kebumian, dan Ilmu-ilmu Lain.
- Nilai Penting Kebudayaan, apabila sumber daya budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas tertentu. Nilai etnik dapat memberikan pemahaman latar belakang kehidupan sosial, sistem kepercayaan, dan mitologi yang semuanya merupakan jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu, merupakan bagian dari jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu. Nilai estetik jika mempunyai kandungan unsu-unsur keindahan baik yang terkait dengan seni rupa, seni hias, seni bangunan, seni suara, maupun bentuk-bentuk seni lainnya, termasuk juga keserasian antara bentang alam dengan karya budaya. Menjadi sumber ilham yang penting untuk menghasilkan karya-karya budaya di masa kini dan mendatang. Nilai publik adalah potensi yang dimiliki oleh sumber daya budaya untuk dikembangkan sebagai sarana pendidikan masyarakat tentang masa lampau dan cara penelitiannya; menyadarkan manusia sekarang tentang keberadaannya, dan potensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata yang dapat menambah penghasilan masyarakat (Tanudirjo, 2004: 6-8).
Pada situs Kampung Adat Pasunga nilainya terdapat pada masyarakat yang merawatnya, karena bangunan ini merupakan warisan yang diciptakan oleh para pendahulunya untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal dan pelaksanaan ritual keagamaan dan tradisi pertanian.
Bagi komunitas adat yang berkaitan dengan bangunan Kampung Adat Pasunga nilai penting yang terdapat dalam bangunan ini adalah :
Nilai Sejarah
Nilai penting sejarah yang terkandung dalam keberadaan Kampung Adat Pasunga ini adalah sejarah keberadaan kampung adat dengan tradisi megalitik yang masih dipertahankan sampai saat ini. Nilai sejarah yang merupakan bagian dari tradisi megalitik yang kemudian berlanjut dan masih dijalankan sampai saat ini memberikan sebuah bukti akan keberadaan kampung ini sudah sejak zaman dahulu. Peninggalan megalitik yang masih terawat dengan baik dan juga ritual yang selalu dilakukan berkaitan dengan keterdapatan tinggalan megalitik tersebut mengindikasikan dan mensyaratkan nilai sejarah yang panjang dengan keberlanjutan yang sangat terjaga. Selain secara mandiri merupakan kampung dengan tradisi megalitik, Kampung Adat Pasunga merupakan bagian dari beberapa kampung adat yang tersebar dan terdapat di wilayah Anakalang yang secara keseluruhan berjumlah 17 Kampung Adat yang memiliki tradisi sama yaitu tradisi megalitik.
Nilai sejarah ini, diwariskan secara turun temurun pada generasi berikutnya tidak berdasarkan pada dokumen tertulis, akan tetapi diwariskan secara oral dan teladan yang diberikan secara langsung melaui tindakan-tindakan dan ragam ritual. Hal ini mungkin cara penyampian sejarah yang dirasa lebih efektif dilakukan oleh para tetua adat untuk mempertahankan nilai sejarah dari kampung adat ini.
Nilai Keagamaan dan Kebudayaan
Nilai keagamaan yang tertanam di Kampung Adat Pasunga ini adalah tradisi ke-agamaan yang masih melaksanakan ritual yang berkaitan dengan tradisi megalitik. Walaupun secara agama yang resmi diakui pemerintah secara keseluruhan masyarakat Pasunga menganut Agama Kristen. Ritual ritual yang berkaitan dengan kepercayaan lama (megalitik) masih dilakukan walaupun terjadi akulturasi dengan agama Kristen. Nilai keagamaan ini menjadi penting bagi para pencipta dan yang merawatnya, karena alasan nilai keagamaan menjadi roh dalam setiap ritual yang dilakukan pada kampung ini.
Selain berkaitan dengan keberadaan sejarah dan keagamaan, keberadaan Kampung Adat Pasunga ini memiliki peran penting dalam kegiatan ritual (kebudayaan) yang berkaitan dengan siklus kehidupan sebagai manusia. Siklus kehidupan yang terdiri dari kelahiran, beranjak dewasa, pembuatan rumah dan kematian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan manusia, sehingga terdapat ritual-ritual yang mengikutinya. Selain berkaitan dengan siklus kehidupan, tradisi yang dilakukan di Kampung Adat Pasunga juga berkaitan dengan siklus pertanian.
Ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan yang sangat terkenal di Sumba dan juga dilaksanakan di Kampung Adat Pasunga adalah ritual kematian dengan kegiatan tarik batunya. Sedangkan ritual yang berkaitan dengan tradisi pertanian ini dimulai dengan pesta mempertajam alat pertanian, memulai kegiatan bercocok tanam, sebelum kegiatan panen, dan pesta atas panen yang telah dihasilkan.
Nilai Ilmu Pengetahuan
Seperti yang disampaikan diatas, Nilai Ilmu Pengetahuan merupakan bagian potensi sumber daya budaya untuk dapat diteliti lebih lanjut dengan berbagai bidang ilmu. Kampung Adat Pasunga menyimpan banyak potensi yang dapat digali melalui penelitian-penelitian yang terdiri dari penelitian tentang arsitektur rumah adat, pola persebaran rumah adat, pemanfaatan pola ruang ritual dan profan dalam Kampung Adat Pasunga, dan beberapa kegiatan penelitian lainnya yang berkaitan dengan keberadaan pemukiman data dengan ritualnya. Nilai penting ilmu pengetahuan ini dapat memperkaya khasanah nilai budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.
Pola Pemukiman
Menurut Rapoport (1969), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu. Ketataruangan secara konseptual menekankan pada proses yang saling bergantung antara lain :
- Proses yang mengkhususkan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan fungsional tersebut;
- Proses pengadaan ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang bagi aktivitas seperti bentuk tempat kerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi; dan
- Proses pengadaan dan penggabungan tatanan ruang ini antara berbagai aktivitas dengan bagian atas ruang angkasa, serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya sehingga perlu dilihat dalam wawasan yang integratik.
Pola pemukiman pada Kampung Adat Pasunga ini dapat dilihat dari arah orientasi setiap rumah yang ada di kampung ini menuju ruang tengah kampung yang merupakan ruang terbuka. Orientasi seperti ini sebagai perwujudan dari masyarakatnya yang bersifat komunal yang mengutamakan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah.
Pola tatanan ruang kampung adat merupakan salah satu wujud kebudayaan dengan ide-ide atau gagasan yang berlaku dalam masyarakat karena arsitektur tradisional merupakan refleksi budaya masyarakat dan sebagai perwujudan sistem kepercayaan antarmanusia dengan sang pencipta.
Kampung adat adalah merupakan kebudayaan fisik, yang dalam konteks tradisional merupakan bentuk ungkapan yang berkaitan erat dengan kepribadian masyarakatnya. Ungkapan fisik sangat dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural dan lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang.
Perbedaan wilayah, kondisi alam dan latar budaya akan menyebabkan perbedaan dalam ungkapan arsitekturalnya. Menurut Rapoport (1969), faktor sosial budaya merupakan faktor penentu perwujudan arsitektur, karena terdapat sistem nilai di dalamnya yang akan memandu manusia dalam memandang serta memahami dunia disekitarnya.
Kampung Adat Pasunga memiliki pola pemukiman yang berbentuk seperti persegi memanjang ke arah utara dengan keletakan rumah pada sisi kiri dan kanan, sedangkan di bagian tengah terdapat kubur batu yang berjumlah 121 buah. Rumah adat Kampung Pasunga ini berada pada sisi kiri dan kanan dari
kubur batu, dibatasi oleh jalan setapak yang mengarah ke utara selatan. Rumah adat yang seluruhnya menghadap ke halaman kampung. Secara umum rumah di kampung ini terbagi menjadi 2 bentuk yaitu yang memakai menara dan yang tanpa menara. Jumlah secara keseluruhan rumah adalah 22 buah dengan jumlah 12 buah di sebelah barat dan 10 buah di sebelah timur. Pembagian di sebelah barat 9 buah rumah menggunakan menara dan 3 buah tidak sedangkan rumah pada sisi timur 7 buah bermenara dan 3 buah tidak. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan dikomparasikan dengan data google earth dari tahun 2009 sampai dengan saat dilakukan kegiatan lapangan nampak terjadi perubahan yang tidak terlalu signifikan pada pola pemukiman kampung tersebut (lihat gambar). Perubahan yang dapat diamati dari pembandingan gambar hasil citra google earth adalah :
- Terjadi perluasan jalan utama pada tahun 2012 yang nampak pada tahun 2009 nampak jalan utama masih sempit. Pengembangan ini tentu saja memberikan dampak semakin lancarnya arus transportasi yang berimplikasi pada semakin berkembangnya area di sekitar jalan utama tersebut.
- Pada periode 2009 sampai tahun 2012 nampak telah terjadi pembangunan rumah permanen di dalam kampung adat pada sisi tenggara.
- Pada periode 2013 sampai dengan 2017 terdapat pembukaan vegetasi yang dimanfaatkan sebagai area pemukiman baru baik di bagian barat maupun bagian timur. Dan pada periode ini juga dibangun pagar pembatas kampung adat pada bagian selatan, barat dan utara.
- Pada periode 2017 sampai dengan 2019 terdapat penambahan kubur batu yang cukup besar pada bagian barat daya dengan dimensi 6,5 meter berbanding 3,5 meter yang berjumlah 2 buah.
Perbandingan citra memberikan informasi adanya perubahan pola pemukiman, yang dari hasil pengamatan dan wawancara yang kami lakukan,
secara umum pasti akan terjadi perubahan yang signifikan dalam beberapa tahun ke depan, karena penambahan jumlah penduduk dan keterdapatan lahan yang dapat dimanfaatkan pada bagian belakang dari masing-masing rumah adat. Tidak terdapat aturan baku yang melarang pembangunan yang dilakukan oleh penduduk pada wilayah di belakang rumah adat yang ada sekarang.
Dari hasil wawancara yang kami lakukan, pertumbuhan penduduk ditampung pada wilayah kampung, akan tetapi jika terdapat keinginan masyarakat untuk membangun di luar kampung tetap diperolehkan. Pembangunan tambahan pemukiman di areal kampung dapat dilakukan selama lahan masih tersedia.
Pemetaan, Potensi, dan Ancaman
Pemetaan
Menggali potensi dan ancaman sebuah wilayah harus dilakukan secara menyeluruh. Potensi dan ancaman pada sebuah situs nampak dari kondisi lingkungan sekitarnya. Pengumpulan data yang berkaitan dengan kondisi lingkungan ini dilakukan dengan kegiatan pemetaan. Pemetaan menjadi pilihan dalam melakukan analisa potensi dan ancaman karena dari hasil pemetaan kita akan mendapatkan gambaran ruang dan kondisi lingkungan secara lebih komprehensif melalui peta situasi. Selain sebagai bagian dari upaya menggali potensi dan ancaman, peta situasi juga merupakan peta dasar untuk penarikan garis zonasi pada situs. Hal ini menyebabkan, pembuatan peta situasi menjadi bagian terpenting dari kegiatan kajian zonasi.
Dalam kegiatan ini tim melakukan pemetaan dengan memanfaatkan alat GPS Geodetik yang dikombinasikan dengan penggunaan UAV (Unmanned Areal Vehicle) /Drone. Pengambilan data citra foto udara dilakukan dengan Drone, sedangkan GPS Geodetik dimanfaatkan untuk menentukan titik ikat di darat.
Potensi
Potensi yang dimaksudkan dalam bahasan ini adalah kemampuan mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Cagar Budaya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengutamakan pelestarian. Berdasarkan hal tersebut, maka potensi terbesar yang kemungkinan digarap untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah potensi pariwisata.
Potensi pariwisata ini sebenarnya telah nampak dari hadirnya kunjungan wisatawan lokal maupun macanegara yang secara periodik datang ke kampung adat ini. Walaupun data ini kami dapat hanya dari hasil wawancara, dapat diperkirakan letak kampung adat yang berada di pinggir jalan utama antara Sumba Barat menuju Sumba Timur merupakan keuntungan tersendiri pada faktor aksesbilitas.
Keadaan dilapangan memperlihatkan belum adanya pengelolaan yang jelas terhadap potensi kunjungan wisatawan ini. Selain itu, kondisi rumah adat yang telah berubah dari atap ilalang menjadi atap seng juga menjadi kelemahan dalam menampilkan kesan rumah adat yang masih terjaga dari pengaruh modern. Fasilitas sanitasi standar telah tersedia, akan tetapi belum dirancang adaptif terhadap bangunan sekitarnya. Infomasi mengenai kampung adat juga nampak sangat minim.
Berdasarkan hasil wawancara kami dengan pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Tengah, terdapat keinginan masyarakat Pasunga untuk mengganti atap seng dari bangunan rumah adatnya dengan menggunakan ilalang.
Hal lain yang menjadi permasalahan adalah keterbatasan penginapan dan hotel. Selama melakukan kegiatan di lapangan, kami menginap di satu satunya hotel/penginapan yang terdapat di Anakalang. Sebenarnya hal ini dapat dimaksimalkan dengan memanfaatkan rumah adat sebagai penginapan sehingga para wisatawan dapat menikmati langsung kondisi masyarakat dan kegiatan sehari harinya.
Diversifikasi (penganekaragaman produk) perlu dilakukan, mengingat terdapat beberapa kampung adat yang memiliki ciri yang sama, sehingga
keunggulan harus ditempatkan dan digali lagi guna memberikan ciri khusus pada masing-masing kampung adat yang ada di sekitar wilayah Kampung Adat Pasunga.
Potensi lain yang dimiliki dan masih belum dikembangkan adalah alam yang masih asri dan terjaga kelestariannya dan juga jalur tracking dengan beberapa kampung adat yang berada di sekitar Kampung Adat Pasunga.
Ancaman
Masalah ancaman yang terdapat pada Kampung Adat Pasunga adalah ancaman yang akan mengganggu kelestarian cagar budaya tersebut. Faktor- faktor ancaman kerusakan cagar budaya terdiri dari :
- Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan kondisi yang ada pada cagar budaya itu sendiri, antara lain: usia, desain bangunan, struktur bangunan, daya dukung tanah, dan sifat alami bahan atau material. Dalam kurun waktu tertentu, faktor-faktor internal tersebut menjadi salah satu sumber “kelemahan bawaan” struktur bangunan, sehingga dapat berpengaruh terhadap soliditas bangunan.
- Faktor eksternal yaitu faktor yang berkaitan dengan kondisi lingkungan di sekitar cagar budaya berada, meliputi: unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (iklim, lingkungan, dan bencana alam).
Desa Anakalang dalam peta geologi masuk ke dalam batugamping Formasi Waikabubak berumur Miocene Atas-Awal Plistosen terbentuk sekitar 11-6 juta tahun yang lalu (Effendi dan Apandi 1993). Batugamping ini pada masa lalu terbentuk di lingkungan laut, jenis batugamping yang digunakan sebagai materi artefak megalitik, yakni batugamping bioklastik, batugamping kalkarenit dan batugamping kalsilutit (Handini, 2019).
Berdasarkan pengamatan di lapangan faktor internal yang mempengaruhi kondisi Cagar Budaya terdiri dari :
Usia
Secara nisbi, usia bangunan dan struktur yang terdapat di Kampung Adat Pasunga tidak dapat kami temukan, akan tetapi keberlanjutan tradisi megalitik telah memberikan informasi perkiraan bahwa struktur dan bangunan tersebut telah memiliki umur yang cukup tua. Struktur yang berupa susunan batu dengan bahan batugamping secara usia sangat tua, akan tetapi pada beberapa bahan yang terbuat dari batugamping sangat dipengaruhi oleh air hujan, sehingga rawan terjadi erosi bahan yang diakibatkan oleh air hujan. Beruntungnya kondisi cuaca di wilayah ini memiliki curah hujan yang cukup rendah, sehingga intensitas erosi bahan kubur batu hanya kecil.
Sedangkan bangunan utama yang menjadi bagian segala ritual yang terdapat pada kampung adat ini adalah rumah yang diberi nama Uma Adung. Bangunan ini memiliki usia cukup tua mengikuti umur dari kampung adat ini. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kaki, bagian badan dan atap. Bagian kaki terbuat dari kayu dan bambu, yang dalam hal ini dari sejak pendirian pasti sudah mengalami penggantian bahan, dan dalam hal ini pada bagian kaki dari bangunan ini sudah dibuatkan fondasi dari campuran semen dan pasir. Pada bagian badan secara sepenuhnya menggunakan bambu dan kayu (papan). Pada bagian atapnya, konstruksinya terbuat dari kayu dan bambu, sedangkan penutup atapnya terbuat dari seng. Secara usia bangunan ini juga tidak kami dapatkan informasinya.
Desain
Secara desain, bangunan dan struktur tersebut memiliki bentuk yang mengadaptasi kondisi iklim di sekitar wilayah Sumba Tengah, yang relatif memiliki suhu lebih rendah dari wilayah sekitarnya. Desain bangunan dan struktur sangat stabil, sehingga kemungkinan bertahan sangat panjang. Dengan desain yang secara umum memiliki denah segi empat dan memiliki atap dengan bentuk umum trapesium dengan atap yang menjulang tinggi ke atas. Desain rumah adat seperti ini secara menyeluruh terdapat di seluruh daratan Sumba.
Struktur
Struktur dalam hal ini adalah struktur bangunan. Secara umum struktur seluruh bangunan yang terdapat di Kampung Adat Pasunga ini tersusun atas batu, kayu, bambu dan seng. Bahan batu ditempatkan paling bawah dan batu tersebut menumpu bahan kayu yang dijadikan struktur utama bangunan. Fungsinya sama seperti umpak yang biasanya terdapat pada bagian bawah dari tiang utama, sedangkan rangka dari bangunan ini tersusun atas kombinasi kayu dan bambu, dengan penutup atap menggunakan seng. Solihin. L, (2018) berpendapat “Dari segi struktur bangunan, rumah adat Sumba yang memiliki atap yang tinggi ditopang oleh struktur yang kuat yang mencerminkan pengetahuan dan pengalaman orang Sumba di bidang arsitektur. Mereka mampu mengolah bahan baku dari alam, seperti kayu, bambu, alang-alang, dan tali dari rotan. Dalam membangun konstruksi, mereka juga memperhatikan beban bangunan, kondisi alam sekitar, serta terpaan angin untuk menghasilkan bangunan yang kukuh”.
Melihat kondisi lapangan pada bangunan dan struktur yang berupa menhir, kubur batu dan dolmen nampak dari segi struktur sangat stabil.
Daya Dukung Tanah
Kampung Adat Pasunga terletak pada wilayah dataran dengan topografi tinggian yang berbukit di bagian utara. Secara umum batuan pada wilayah ini merupakan batugamping. Untuk kondisi geologi di Kabupaten Sumba Tengah lebih didominasi oleh kelompok batugamping koral yang relatif masih muda sehingga jenis tanah permukaannya relatif bervariasi yakni campuran antara batugamping, batugamping lempungan, sisipan napal pasiran dan napal tufan. Dengan litologi seperti yang tersebut, maka berkaitan dengan daya dukung tanah, litologi batugamping pada wilayah dataran memiliki daya dukung yang cukup tinggi, sehingga ini bukan merupakan faktor ancaman.
Pada Foto 8 nampak keberadaan litologi berupa batugamping yang dimanfaatkan untuk membatasi areal tanah warga sebagai pagar. Hal ini dilakukan untuk lebih memaksimalkan tanah hasil lapukan untuk bisa dimanfaatkan sebagai tempat bercocok tanam. Karena lapukan tanah pada batugamping sangat tipis sehingga diperlukan perlakuan khusus untuk bisa tetap dijadikan tempat budidaya. Kondisi litologi yang cukup kompak dan topografi dataran menjadikan daya dukung tanah sangat tinggi.
Sifat Alami Bahan atau Material
Bahan dan material yang dimanfaatkan dalam bangunan dan struktur yang terdapat di Kampung Adat Pasunga ini secara umum terbagi menjadi empat bahan yaitu batu, kayu, bambu, dan seng. Bahan batu terdapat pada bagian struktur cagar budaya dan juga pada bagian kaki dari bangunan rumah adat. Bahan kayu dan bambu berada pada bagian badan dari rumah
adat dan juga bagian struktur atap. Sedangkan bahan seng merupakan bahan yang digunakan untuk bagian atap bangunan rumah adat.
Batu memiliki sifat alami yang sangat kuat dengan tidak mudah lapuk. Sedangkan kayu dan bambu secara umum memiliki sifat alami mudah lapuk dan mudah terbakar, dan seng secara umum memiliki sifat alami yang sangat mudah mengalami korosi dan mudah terbakar.
Faktor eksternal yang mengancam kelestarian Kampung Adat Pasunga ini adalah :
Iklim dan Lingkungan
Iklim dan lingkungan pada wilayah sekitar Kampung Adat Pasunga ini secara umum sama seperti di wilayah Indonesia lainnya yang memiliki iklim tropis. Kondisi ini memberikan pengaruh pada tingkat kelembaban bahan yang digunakan seperti bambu dan kayu. Sedangkan seng lama kelamaan akan mengalami korosi dengan perubahan musim dan terpaan air hujan. Sedangkan pada tinggalan yang berupa kubur batu, iklim dan lingkungan memberikan pengaruh pada kelembaban yang menyebabkan timbulnya jamur dan tumbuhan pengganggu (gulma). Selain lingkungan fisik, lingkungan sosial juga memberikan pengaruh pada keberadaan Kampung Adat Pasunga. Kebiasaan penduduk yang mendiami rumah adat tersebut. Salah satu hal yang nampak perlu diperhatikan bersama adalah pemanfaatan kubur batu sebagai tempat meletakkan benda-benda masa kini, menjemur dan hal-hal yang tidak berkaitan dengan fungsinya.
Binatang
Adanya binatang peliharaan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Adat Pasunga dapat juga menjadi sumber ancaman bagi kelestarian cagar budaya yang terdapat di kampung adat ini. Berdasarkan hasil pengamatan yang kami lakukan, terdapat beberapa jenis hewan peliharaan yang berkeliaran disekitar
kampung diantaranya, anjing, babi, dan kuda. Penempatan dan pemeliharaan dengan baik hewan peliharaan ini akan menjaga terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang kemungkinan terjadi pada cagar budaya yang ada.
Bencana Alam
Wisyanto, 2017 menyebutkan secara tektonik, Pulau Sumba merupakan bagian yang berbeda dari pulau-pulau lain di sekitarnya yang berupa busur gunung api (volcanic arc). Zona penunjaman (zona subduksi) Indonesia bagian selatan yang menghasilkan busur gunung api tersebut dimulai dari bagian barat laut Indonesia, yaitu di Teluk Bengal dan Laut Andaman ke selatan dan berbelok ke timur sejajar dengan panjang Pulau Sumatra dan Jawa sampai ke daerah sekitar Pulau Sumba dan terus ke timur mengikuti Sistem Busur Banda. Zona tektonik aktif ini merupakan interaksi antara Lempeng India- Australia yang menujam ke bawah Lempeng Eurasia dengan kecepatan 50-70 mm/th. Pulau Sumba memiliki posisi yang khas terkait dengan busur Sunda-Banda yang merepresentasikan sebuah potongan terisolasi dari kerak benua terhadap busur kepulauan volkanik aktif (Sumbawa, Flores) dalam cekungan muka busur. Pulau Sumba terletak pada transisi antara Palung Jawa (zona penunjaman) dengan Timor Trough (Zona tumbukan).
Batuan dasar Pulau Sumba merupakan bagian dari kerak kontinental yang sangat kompak. Perpaduan antara kompaknya batuan ini dengan tipisnya soil karena cepatnya proses pengangkatan daratan Sumba, menjadikan proses amplifikasi gelombang gempa tidak terjadi.
Berdasarkan histori gempa (catatan USGS) di Pulau Sumba dan sekitarnya, tercatat bahwa gempa yang terjadi pada kurun 2015 sampai 2016 dengan besaran 4-7 SR terdapat 41 kejadian (Wisyanto, 2017). Kondisi ini memberikan informasi bahwa kerawanan
terjadinya gempa di Pulau Sumba cukup tinggi, sehingga faktor terjadinya bencana gempa bumi ini dapat menjadi pertimbangan dalam upaya pelestarian cagar budaya yang terdapat di Kampung Adat Pasunga.
Ancaman dari alam dan terkadang merupakan kombinasi kelalaian manusia yang dapat mengancam keberadaan kampung adalah kebakaran. Kebakaran sebagian besar terjadi akibat dari kelalaian dalam hal kegiatan yang memanfaatkan api sebagai alat bantu dalam kehidupan masyarakat. Hal lain yang sering menjadi penyebab kebakaran adalah terjadinya arus pendek yang diakibatkan oleh kabel listrik tidak standar yang dimanfaatkan oleh warga. Kondisi bahan bangunan yang mudah terbakar (tersusun dari kayu dan bambu) menjadikan bahaya kebakaran sangat rawan terjadi di wilayah kampung ini.
Arah Kebijakan Pemerintah
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Tengah Nomor 1 Tahun 2011 tentang “Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Tengah Tahun 2009-2029” Kampung Adat Pasunga memiliki porsi yang cukup besar dalam pengembangan jaringan jalan, karena wilayah ini merupakan bagian dari jalur jalan utama Sumba Barat – Sumba Timur. Selanjutnya dalam Paragraf 2 Kawasan Stratiegis Dari Sudut Kepentingan Sosial Budaya, Pasal 43 menyebutkan :
- Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b, terdiri atas :
- kawasan kampung adat; dan
- kawasan cagar budaya Laitarung
- Kawasan kampung adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas :
- Desa Makata Keri di Kecamatan Katiku Tana yaitu kawasan Kampung Adat Kabunduk;
- Desa Anakalang di Kecamatan Katiku Tana terdapat Kampung Adat Pasunga;
- Desa Umbu Pabal di Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat terdapat Kampung Adat Kaba Jawa;
- Desa Anajiaka di Kecamatan Umbu Ratu Nggay terdapat Kampung Adat Dewa Kaworung;
- Desa Mara Desa di Kecamatan Umbu Ratu Nggay terdapat Kampung Adat Bolu Bokat dan Kampung Adat Marada Deta;
- Makam pertama Bupati I Pulau Sumba (Umbu Tipuk Marisi) di Desa Anajiaka Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat;
- Desa Malinjak di Kecamatan Katiku Tana Selatan terdapat Kampung Adat Kabela Wuntu, Galubakul, Matolang Randak, Anabura dan Waikawolu; dan
- Kampung adat Manua Kalada di Desa Wendewa Selatan, Kecamatan Mamboro.
- Kawasan cagar budaya Laitarung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ; huruf b yaitu berupa kawasan makam raja yang mempunyai nilai sejarah terdapat di Kampung Adat Laitarung, Desa Makata Keri, Kecamatan Katiku Tana.
Dokumen ini mengindikasikan telah masuknya Kampung Adat Pasunga dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana kegiatan pengembangan jaringan transportasi merupakan sebuah perhatian pemerintah daerah terhadap proses pelestarian Kampung Adat Pasunga.
Penempatan Kampung Adat Pasunga dalam rencana tata ruang yang berkaitan dengan kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya memberikan angin segar bagi upaya pelestarian dan masa depan yang baik bagi keberlangsungan keberadaan Kampung Adat Pasunga. Selain Undang- Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Perda RTRW ini memberikan kekuatan hukum yang lebih pasti dalam upaya pelestarian cagar budaya di tingkat kabupaten.
Prinsip Zonasi
Salah satu upaya pelindungan terhadap cagar budaya adalah kegiatan penentuan zonasi Cagar Budaya. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan pengertian zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. Zonasi dilakukan tanpa mengubah luas dan batas situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya yang telah ditetapkan, yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Berdasarkan beberapa konsep ini menunjukan bahwa keperluan zonasi adalah mutlak untuk melaksanakan upaya pelestarian cagar budaya berupa pelindungan. Sedangkan pada bagian lain dari Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa “Penetapan luas, tata letak dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat”, dalam hal ini zonasi juga mengemban tugas lain dari upaya pelestarian yaitu peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bisa direalisasikan dengan rencana pengembangan dan pemanfaatan situs cagar budaya. Maka dari itu kajian zonasi harus memberikan pelindungan terhadap situs cagar budaya sekaligus arahan pengembangan dan pemanfaatan yang tertuang dalam uraian pemanfaatan zona. Arahan pemanfaatan dan pengembangan ini tentu saja tidak mendetail, akan tetapi berupa arahan umum yang kemudian perlu diterjemahkan dalam kegiatan detail dalam studi yang berkaitan dengan master plan pelestarian cagar budaya.
Pasal 37 ayat 3 dalam Undang Undang No 11 Tahun 2010 menyebutkan “Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas :
- Zona Inti
- Zona Penyangga
- Zona Pengembangan; dan/atau
- Zona Penunjang
Penjelasan mengenai ketentuan dan persayaratan pembagian zona ini belum dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah seperti amanat pasal 74 “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan sistem zonasi diatur dalam Peraturan Pemerintah” sampai tulisan ini disusun, sedangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Zonasi telah dijabarkan pengertian masing-masing zona dan kriteria pemanfaatannya. Dalam RPP tersebut telah disebutkan pengertian masing-masing zona yaitu:
- Zona Inti, merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian dari situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya yang paling penting.
- Zona Penyangga, merupakan area yang melindungi zona inti.
- Zona Pengembangan, merupakan area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan dan kepariwisataan.
- Zona Penunjang, merupakan area yang diperuntukan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang untuk mendukung kegiatan usaha dan/atau rekreasi umum.
Walaupun masih dalam bentuk rancangan, pengertian masing masing zona ini dapat dijadikan pijakan untuk melakukan pembagian ruang dalam bentuk zonasi.
Dasar Penentuan Zona
Sebagai sebuah upaya untuk memunculkan batasan-batasan pemanfaatan ruang, maka diperlukan dasar yang jelas dalam penarikan dan penentuan batas tersebut. Dasar yang jelas diperlukan agar penarikan batas zona menjadi relevan terhadap perkembangan wilayah sekitar situs ke depannya. Dasar utama dalam penentuan zona pada Kampung Adat Pasunga ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, yang membagi sistem zona menjadi 4 yang terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan/atau zona pemanfaatan. Kemudian dilakukan analisis secara deskriptif kualitatif terhadap data-data yang telah diambil di lapangan, baik berupa data primer dan data skunder. Dari pengolahan terhadap data ini kemudian dihasilkan beberapa point penting yang kemudian memberikan refrensi terhadap penentuan zona pada Kampung Adat Pasunga yang terdiri dari :
- Kondisi fisik
- Sejarah dan nilai penting
- Pola pemukiman
- Potensi dan Ancaman
- Arah kebijakan pemerintah.
Analisis kualitatif dilakukan pada masing masing komponen, sehingga dapat diuraikan bagian mana dari komponen tersebut yang memiliki dukungan terhadap masing-masing zona yang telah ditentukan dalam undang-undang.
- Kondisi fisik
Kondisi fisik ini adalah komponen yang berkaitan dengan fisik wilayah sekitar Kampung Adat Pasunga. Berdasarkan data yang telah diuaraikan di atas, memberikan gambaran bahwa wilayah situs ini merupakan wilayah yang sedang berkembang menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat, baik berupa kegiatan perekonomian maupun sosial. Pembangunan pemukiman yang bersifat permanen sudah mulai dilakukan di sekitar situs, sehingga terjadi desakan
terhadap wilayah situs. Hal ini perlu diantisipasi dengan menetapkan kebijakan zonasi dengan arahan yang jelas.
- Sejarah dan nilai penting
Sejarah dan nilai penting ini lebih ditekankan pada zona inti, karena komponen inilah yang ingin dilestarikan yang tercermin dalam bangunan dan ruang budaya masa lampau yang masih dianut oleh masyarakat sekitar. Komponen ini akan menempati wilayah inti dari upaya pengamanan situs.
- Pola pemukiman
Pemukiman kuno merupakan wilayah inti yang juga sekaligus memiliki keunikan pola tersendiri. Pola pemukiman ini juga menjadi hal yang sangat penting karena merupakan penciri spasial dari keberadaan pemukiman kuno.
- Potensi ancaman.
Potensi ancaman ini sebagian besar berpengaruh pada zona inti, karena berkaitan dengan ancaman terhadap cagar budaya Kampung Adat Pasunga.
- Arah kebijakan pemerintah.
Arah kebijakan pemerintah ini berkaitan dengan zona inti dan juga berkaitan dengan pemanfaatan lahan di sekitar wilayah Kampung Adat Pasunga secara umum. Ini menjadi dasar dalam pengaturan ruang di sekitar wilayah Anakalang.
Dalam penentuan zona terdapat beberapa teknik dasar cara penentuan zonasi yang terdiri dari :
- Teknik blok, dapat diterapkan jika zonasi mencakup keseluruhan situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya menjadi satu kesatuan.
- Teknik sel, diterapkan pada wilayah yang mengandung sebaran situs cagar budaya yang jaraknya relatif dekat dan tidak teratur.
- Teknik gabungan, diterapkan pada satu kawasan cagar budaya jika persebaran situs cagar budaya tidak merata, karena ada situs cagar budaya yang terletak berdekatan sehingga dapat dijadikan blok dan ada situs yang letaknya berjauhan dengan situs lainnya sehingga dijadikan sel.
Mengamati kondisi keruangan situs dan potensi ancaman situs maka teknik gabungan menjadi pilihan dalam penentuan zonasi pada Kampung Adat Pasunga. Teknik gabungan ini berupa teknik sel pada zona inti dan blok pada zona penyangga dan pengembangan. Teknik blok yang digunakan adalah blok yang mengelilingi situs, karena secara konsep yang kami amati kampung ini adalah pusat kegiatan dari ritual, agama dan sosial dari wilayah sekitarnya, sehingga zonasi juga merefrensi hal tersebut menjadikan zona yang dibentuk adalah relatif melingkari keberadaan kampung adat.
Zonasi Kampung Adat Pasunga
Berdasarkan hasil analisa, pembagian zona pada Kampung Adat Pasunga ditetapkan hanya 3 zona yaitu, zona inti, zona penyangga dan zona pengembangan. Sedangkan zona pemanfaatan tidak kami tentukan karena di luar wilayah zona pengembangan, merupakan lahan yang sudah sangat berkembang dengan pemukiman yang sangat padat, sedangkan di bagian utaranya sudah dimanfaatkan untuk perkebunan yang menunjang kehidupan masyarakat sekitar kampung. Kemungkinan kombinasi antara keterdapatan cagar budaya dan aktivitas penduduk dalam kehidupan sehari- hari di wilayah ini akan dapat meningkatkan kesejahteran masyarakat. Terlebih lagi cagar budaya yang berupa Kampung Adat Pasunga ini memiliki keterikatan dengan kultur agraris dengan aktivitas ladangnya.
Zona Inti
Zona inti ini merupakan zona atau area pelindungan utama untuk bagian terpenting dari cagar budaya. Pelindungan utama ini kami batasi pada seluruh kubur batu, dolmen, menhir dan Uma Adung (rumah ada yang menjadi pusat ritual). Pembatasan zona inti ini kami lakukan dalam bentuk sel, terdapat dua bagian zona inti di dalam Kampung Adat Pasunga ini. Zona inti pertama terletak di bagian tengah kampung, yang memanjang dari utara ke selatan dengan batas berupa jalan setapak yang terletak disebelah kanan dan kiri wilayah kubur batu. Zona ini melebar pada bagian timurnya yang meliputi Uma Adung, sebuah rumah adat yang memiliki fungsi pada saat terdapat ritual. Zona inti yang kedua terdapat di bagian selatan dari wilayah Kampung Adat Pasunga, zona ini merupakan bagian kubur batu dengan dimensi yang lebih besar dan juga lebih variatif dengan keterdapatan hiasan kubur yang berupa ukiran berbentuk manusia yang memiliki arti kusus.
Secara umum wilayah zona inti ini merupakan tanah milik masyarakat Kampung Adat Pasunga. Dapat disampaikan bahwa kepemilikan lahan ini merupakan kepemilikan secara komunal yang mana dapat dimanfaatkan secara bersama sama sesuai dengan aturan adat yang telah mereka sepakati. Penarikan garis zona inti ini juga didasarkan pada hasil inventaris yang dilakukan oleh Tim BPCB Bali pada tahun 2013.
Saat ini pemanfaatan zona inti telah dilakukan oleh masyarakat hanya sebagai kelanjutan tradisi kubur batu dan juga tempat dilangsungkanya ritual upacara adat. Beberapa kubur batu yang kami amati telah bersifat permanen dan hanya bentuknya saja yang menyerupai kubur batu lama dengan desain yang modern, dan beberapa yang kami amati telah menggunakan keramik sebagai pelapisnya. Karena merupakan lahan yang hanya dimanfaatkan sewaktu waktu, maka kondisi zona inti ini nampak sangat tidak terawat. Pemanfaatan lain yang nampak di lapangan adalah tempat mengembalakan binatang peliharaan seperti kuda, serta nampak juga kubur batu dimanfaatkan sebagai tempat menjemur sesuatu.
Pada zona inti yang berupa bangunan Uma Adung saat ini dimanfaatkan sebagai hunian, dan didalamnya dilakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas penduduk yang mendiaminya.
Zona inti ini memiliki luas area yang dihitung berdasarkan luasan poligon pada citra drone teregistrasi mencapai 2.520,87 meter persegi. Arahan pemanfaatan lahan pada zona inti ini adalah :
- Upaya pelindungan cagar budaya yang berupa pengamanan, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya sesuai dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010.
- Kegiatan inventarisasi secara detail seluruh kubur batu, dolmen, menhir, baik dimensi dan bentuk untuk memastikan jumlah dan keberadaan benda-benda tersebut, serta melakukan identifikasi umur terhadap benda-benda tersebut.
- Tidak diperkenankan menempatkan benda lain yang memiliki fungsi berbeda dari fungsi lingkungan tersebut saat ini.
- Pembersihan lingkungan harus dilakukan secara periodik, sehingga tetap terjaga kelestarian cagar budaya yang terdapat didalamnya.
- Khusus untuk Uma Adung, tidak diperkenankan merubah bahan, bentuk, tata letak, dan gaya bangunan.
- Pada Uma Adung dapat dilakukan penyesuaian/ adaptasi untuk memenuhi kebutuhan akan ruang bagi penghuninya.
Secara umum seluruh kegiatan yang berkaitan dengan zona inti ini diwajibkan melakukan konsultasi dan pemberitahuan kepada instansi yang menangani masalah cagar budaya (Dinas Kebudayaan Kabupaten Sumba Tengah yang kemudian akan ditembuskan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali).
Kegiatan mendesak yang harus dilakukan pada zona inti ini adalah kegiatan inventarisasi secara detail keberadaan cagar budaya dan kegiatan penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Tengah. Kegiatan lain yang juga sangat mendesak dilakukan adalah melaksanakan pembersihan lingkungan di sekitar zona inti, karena dari pengamatan nampak sangat tidak terawat.
Zona Penyangga
Zona penyangga adalah zona yang melindungi zona inti. Zona ini dibatasi dengan bagian bangunan yang paling belakang dari setiap rumah adat yang terdapat di kampung ini. Batasan zona ini kami ambil berpedoman pada keberadaan seluruh rumah adat ini merupakan bagian penting yang sangat berkaitan dengan tinggalan cagar budaya yang ada di zona inti. Sesuai dengan pengertian dari zona penyangga dalah zona yang melindungi zona inti, maka wilayah seluruh rumah adat (fisik maupun manusianya) merupakan “wilayah” yang melindungi zona inti ini. Secara umum seluruh lahan yang merupakan zona penyangga ini adalah milik masyarakat Kampung Adat Pasunga. Penentuan batas ini juga diharapkan mampu mempertahankan kegiatan ritual-ritual adat yang telah ada cukup lama serta menumbuhkan beragam kreativitas baru masyarakat yang berkaitan dengan kebudayaannya.
Zona penyangga ini diharapkan mampu menyangga keterdapatan secara fisik seluruh cagar budaya yang terdapat di Kampung Adat Pasunga sekaligus menyangga ekonomi masyarakatnya.
Zona penyangga ini memiliki luas area 11.571,50 meter persegi yang meliputi bagian seluruh rumah adat yang ada di kampung ini sampai pada bagian belakang rumah adat tersebut. Batas belakang dari zona penyangga ini adalah batas paling belakang dari rumah adat yang sudah terbangun. Pada zona penyangga ini diupayakan menjadi wilayah yang dapat mempertahankan kelestarian Kampung Adat Pasunga dan juga berfaedah
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada zona ini arahan pemanfaatan ruangnya adalah sebagai berikut :
- Pemanfaatan sebagai ruang hunian bagi masyarakat Kampung Adat Pasunga.
- Melakukan pembatasan perubahan terhadap bangunan yang telah ada sekarang.
- Sosialisasi tentang masalah keamanan dalam hal penanganan potensi bencana kebakaran.
- Sosialisasi berkaitan dengan perilaku sehari hari masyarakat yang bisa mendukung pengembangan pariwisata.
- Pengembangan fasilitas pariwisata berbasis masyarakat (pengembangan penginapan di rumah penduduk, dan pengembangan hasil kebudayaan sebagai bagian dari pertujukan ataupun cendera mata).
- Dukungan fasilitas pariwisata sederhana yang beradaptasi dengan bentuk bangunan dan juga lingkungan.
- Pembuatan fasilitas pemadam kebakaran yang juga adaptif dengan lingkungan sekitar.
Perkembangan pola pikir dan teknologi informasi bukan tidak mungkin mengubah tradisi dan kelestarian Kampung Adat Pasunga. Hal ini harus diimbangi dengan usaha menjadikan objek cagar budaya sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan masyarakat pemiliknya, sehingga pelestarian menjadi sebuah kegembiraan bukan hanya beban bagi masyarakat pemiliknya. Tentu saja pemanfaatan ini memerlukan kajian dan penyeimbangan antara pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya , sehingga terjaga kelestariannya. Peluang ini dapat di elaborasi pada zona penunjang ini, dengan keterlibatan komponen pemerintah, masyarakat dan pihak swasta.
Zona Pengembangan
Zona pengembangan pada wilayah ini diarahkan untuk memfasilitasi zona penunjang. Merupakan area yang berfungsi untuk peningkatan potensi cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan dan kepariwisataan. Zona ini kami batasi sampai bagian pagar keliling/batas terluar dari Kampung Adat Pasunga (lihat Gambar). Hal ini dilakukan berdasarkan pada pengamatan lapangan yang memperlihatkan wilayah kampung ini cukup luas dan juga belum termanfaatkan secara maksimal.
Zona ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai area untuk peningkatan fasilitas dan utilitas kepariwisataan berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan. Zona ini juga diharapkan dapat menjadi buffer zone bagi tekanan perkembangan pemukiman yang timbul dari peningkatan jumlah penduduk sekitar kampung adat.
Zona pengembangan ini memiliki luasan 17.882,09 meter persegi. Arahan pemanfaatan ruang pada wilayah ini adalah :
- Tempat pembangunan fasilitas dan utilitas kepariwisataan.
- Penataan tanaman dan perkebunan masyarakat yang sekaligus dapat dijadikan daya tarik wisata.
- Bangunan permanen diizinkan dengan ketentuan tidak bertigkat dan keperluan untuk pemukiman masyarakat.
- Penempatan fasilitas dan utilitas untuk kepentingan kebencanaan (hidran, tempat berkumpul jika terjadi gempa bumi).
Zona ini diharapkan dapat menjadi tempat untuk peningkatan potensi cagar budaya sekaligus menjadi zona aman sementara dan fasilitas kebencanaan lainnya.
Pada zona pengembangan ini juga dapat dijadikan sebagai tempat perkenalan awal bagi keberadaan kampung-kampung adat di seluruh wilayah Kabupaten Sumba Tengah. Posisi Kampung Adat Pasunga ini sangat strategis yang terletak di pinggir jalan utama Sumba Barat-Sumba Timur, sehingga mendukung untuk menjadi pusat informasi. Hal lain yang patut juga dijadikan pertimbangan adalah kemungkinan memunculkan jalur tracking yang melibatkan beberapa kampung adat yang ada di sekitar Kampung Adat Pasunga. Kami mencatat terdapat beberapa kampung adat yang juga memiliki kesamaan tradisi dan bentuk rumah adat seperti Kampung Adat Pasunga. Hanya perlu sedikit diversifikasi produk yang ditonjolkan pada masaing-masing kampung adat sehingga tidak menimbulkan kebosanan para wisatawan ketika melakukan perjalanan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan dilanjutkan dengan pengolahan data, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
- Kampung Adat Pasunga merupakan salah satu kampung adat yang memiliki nilai penting sehingga perlu dilestarikan, dalam hal ini penentuan ruang pemanfaatannya
- Pembagian zona pada wilayah Kampung Adat Pasunga dan sekitarnya terdiri dari tiga zona yaitu :
- Zona Inti dengan luasan area 2.520,87 m2.
- Zona Penyangga dengan luasan area 11.571,50 m2.
- Zona Pengembangan dengan luasan area 17.882,09 m2.
- Arahan pemanfaatan zona inti adalah sebagai berikut :
- Upaya pelindungan cagar budaya yang berupa pengamanan, pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya sesuai dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010.
- Kegiatan inventarisasi secara detail seluruh kubur batu, dolmen, menhir, baik dimensi dan bentuk untuk memastikan jumlah dan keberadaan benda-benda tersebut, serta melakukan identifikasi umur terhadap benda-benda tersebut.
- Tidak diperkenankan menempatkan benda lain yang memiliki fungsi berbeda dari fungsi lingkungan tersebut saat ini.
- Pembersihan lingkungan harus dilakukan secara periodik, sehingga tetap terjaga kelestarian cagar budaya yang terdapat didalamnya.
- Khusus untuk Uma Adung, tidak diperkenankan merubah bahan, bentuk, tata letak, dan gaya bangunan.
- Pada Uma Adung dapat dilakukan penyesuaian/ adaptasi untuk memenuhi kebutuhan akan ruang bagi penghuninya.
- Arahan pemanfaatan zona penyangga adalah sebagai berikut :
- Pemanfaatan sebagai ruang hunian bagi masyarakat Kampung Adat Pasunga.
- Melakukan pembatasan perubahan terhadap bangunan yang telah ada sekarang.
- Sosialisasi tentang masalah keamanan dalam hal penanganan potensi bencana kebakaran.
- Sosialisasi berkaitan dengan perilaku sehari-hari masyarakat yang bisa mendukung pengembangan pariwisata.
- Pengembangan fasilitas pariwisata berbasis masyarakat (pengembangan penginapan di rumah penduduk, dan pengembangan hasil kebudayaan sebagai bagian dari pertujukan ataupun cendera mata).
- Dukungan fasilitas pariwisata sederhana yang beradaptasi dengan bentuk bangunan dan juga lingkungan.
- Pembuatan fasilitas pemadam kebakaran yang juga adaptif dengan lingkungan sekitar.
- Arahan pemanfaatan zona pengembangan adalah sebagai berikut :
- Tempat pembangunan fasilitas dan utilitas kepariwisataan.
- Penataan tanaman dan perkebunan masyarakat yang sekaligus dapat dijadikan daya tarik wisata.
- Bangunan permanen diizinkan dengan ketentuan tidak bertingkat dan keperluan untuk pemukiman masyarakat.
- Penempatan fasilitas dan utilitas untuk kepentingan kebencanaan (hidran, tempat berkumpul jika terjadi gempa bumi).
Saran
Hasil kajian ini tentu saja tidak akan bermanfaat jika hanya merupakan dokumen pertanggungjawaban kegiatan. Beberapa saran yang dapat kami sampaikan untuk dapat lebih menambah manfaat laporan ini adalah :
- Hasil kajian ini belum mendapatkan feedback dari instansi pemerintah yang terkait dan masyarakat yang ada di sekitar Kampung Adat Pasunga, sehingga diperlukan kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun sebelum hasil kajian ini dimanfaatkan sebagai aturan yang disepakati bersama.
- Kajian ini hanya berdasarkan data saat ini dan estimasi ke depan, maka untuk menjaga kemungkinan kesalahan dalam estimasi dan prediksi yang kami lakukan, sehingga hal ini perlu dievaluasi bersama (setelah disepakati) dalam jangka waktu paling lama 10 tahun ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010, “Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya”.
Anonim, 2011, “Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Tengah Tahun 2009– 2029”.
Anonim, 2019, “Kecamatan Katikutana Dalam Angka 2019”, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Tengah.
Arisanti, N, 2019, “Eksistensi Kampung Adat di Sumba Tengah”, Forum Arkeologi Volume 32 Oktober 2019, Balai Arkeologi Bali.
Engelhardt, R, A., and Pamela Rumball Rogers, 2009 “Hoi An Protocols For Best Conservation Practice In ASIA”, UNESCO Bangkok.
Handini, R., 2019., “Pola Pemukiman Kampung Adat Anakalang : Keberlanjutan Budaya Megalitik di Sumba Tenggah, KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 28 No.2, November 2019.
Kusumawati, A, dan Haris Sukendar., 2003, “Sumba Religi dan Tradisinya”, Balai Arkeologi Denpasar.
Oe Kapita, 1976, “Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya”, Percetakan BPK, Gunung Mulia.
Muliadi, Y., “Kajian Nilai Penting Cagar Budaya : Studi Kasus pada Bangunan Kantor Pengadilan Negeri Makassar dan Cagar Budaya di sekitarnya”.
Rapoport, Amos., 1969 “House, Form and Culture”, Englewood Cliffs, United State of America, Prentice-Hall Inc.
Solihin, L., 2018., “Uma Mbatangu, Arsitektur Tradisional Sumba di Kampung Adat Ratenggaro”, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wisyanto, 2017., “Analisis Gempa Sumba Barat 2016 Atas Minimnya Dampak yang Ditimbulkan”, Jurnal Alami (ISSN : 2548-8635), Vol. 1, No. 1, Tahun 2017.
http://e-journal.uajy.ac.id/18956/2/MTA025791.pdf http://sbdkab.go.id/sbdku/halaman/detail/sbd-sekilas