KAJIAN ZONASI DI SITUS BENTENG MAKES

0
2233

Pokja Pengamanan dan Penyelamatan

BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI


Latar Belakang

Untuk melindungi sumber daya arkeologi yang ada di Kabupaten Belu, khususnya Bneteng Makes di Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur dipandang perlu untuk melakukan upaya-upaya pelestarian guna melestarikan tinggalan arkeologi agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Upaya pelestarian sangat penting dilakukan mengingat tinggalan arkeologi memiliki sifat yang tidak dapat diperbaharuai dan mudah lapuk dimakan usia.

Upaya pelindungan keberadaan cagar budaya dari ancaman setelah dilakukan upaya-upaya pelestarian dipandang perlu untuk melakukan pelindungan cagar budaya yang dilakukan dengan menentukan batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem zonasi berdasarkan hasil kajian untuk penetapan luas, tata letak dan fungsi zona dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sebagai tantangan dalam pelestarian yang sering menimbulkan masalah karena adanya pandangan yang mempertentangkan antara pelestarian dan pembangunan. Seakan-akan pelestarian selalu menghambat dan menghalangi pembangunan atau pengembangan suatu area yang mengandung cagar budaya. Sesungguhnya proses pelestarian dan pembangunan harus dapat berjalan searah dan bahkan dapat saling mendukung. Situasi sinergis ini terjadi apabila perencanaan pelestarian dan pengembangan di area yang mendukung cagar budaya dapat dilakukan secara terpadu dan terkoordinasikan. Bahkan pembangunan dan pengembangan area dapat menjadi faktor pendukung penyajian dan pelestarian nilai-nilai penting dari cagar budaya yang ada disekitarnya. Disamping itu kondisi situs dan kawasan kebanyakan telah mengalami degradasi mulai dari sejak dibuat, dipakai dan kemudian ditinggalkan hingga ditemukan. Degradasi tersebut meliputi penurunan kualitas berupa kerusakan situs akibat penurunan daya dukung, erosi, dan longsor. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi dan berbagai perubahan lingkungan yang terjadi dewasa ini, banyak terjadi penciutan lahan, perubahan batas, dan sebagainya.  Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah maka perlu menentukan menetapkan batas situs cagar budaya dengan konsep zonasi, yaitu dengan membagi ke dalam zona inti, penyangga, pengembangan, dan penunjang. Dalam penerapan konsep ini akan menghadapi masalah yang berbeda-beda, ada yang kondisinya masih baik sehingga akan mudah dalam melakukan zonasi, namun banyak pula yang kondisi sudah rusak parah sehingga perlu dilakukan secara hati-hati dan cermat.

Untuk melindungi cagar budaya serta mewujudkan pelestarian, Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali membentuk sebuah tim untuk melakukan kegiatan zonasi di Benteng Makes Kampung untuk menentukan batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruangnya, agar keberadaannya tidak terdesak oleh kepentingan-kepentingan yang tidak memperdulikan cagar budaya sebagai sebuah tinggalan bersejarah yang memiliki nilai-nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan serta dapat menambah aset daerah bila ditinjau dari aspek pemanfaatan cagar budaya pada masa kini.

 

Letak dan Lingkungan

Kabupaten Belu adalah sebuah kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kabupaten ini beribukota di Atambua. Memiliki luas wilayah 1.284,94 km², terbagi dalam 12 kecamatan, 12 kelurahan dan 96 desa, termasuk 30 desa dalam 8 kecamatan perbatasan. Secara astronomis Kabupaten Belu terletak pada 1240 – 1260 derajat Bujur Timur dan 9 – 10 derajat Lintang Selatan dengan keadaan morfologi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit dan bergunung-gunung dengan derajat kemiringan (>50%). Kabupaten Belu memiliki iklim tropis dengan musim hujan yang sangat pendek (Desember-Maret) dan musim kemarau yang panjang (April-November). Temperatur di Kabupaten Belu memiliki rata-rata suhu sebesar 27,6 o C dengan interval suhu 21,5o – 33,7o C. Temperatur terendah (21,5oC) terjadi pada bulan Agustus dan temperatur tertinggi (33,7o C) terjadi pada bulan November.

Wilayah Kabupaten Belu berbatasan dengan:

Utara    : Selat Ombai

Selatan : Kabupaten Malaka

Barat    : Kabupaten Timor Tengah Utara

Timur    : Timor Leste

Benteng 7 lapis Makes terletak di bawah kaki Gunung Lakaan, di sekitar benteng terdapat pemandangan alam yang indah seperti padang sabana dan panorama perbukitan yang sanga tindah. Untuk menuju ke Benteng Makes di butuhkan sekitar 2 jam perjalanan darikota Atambua, Ibukota Kabupaten Belu. Medannya pun cukup menantang karena harus melewati jalan berbukit-bukit, tempat ini cukup menarik dan sering dimanfaatkan oleh komunitas-komunitas tertentu seperti fotografer yang mengambil foto landscape atau komunitas pencinta alam yang ingin menapaki alam Lakaan yang masih alami, atau komunitas motor trail Belu yang ingin menapaki bebatuan Lakaan yang menantang.

Secara Geografis DesaDirun berbatasan dengan :

Sebelah Utara berbatasan dengan DesaTohe Kecamatan Raihat

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sisi Fatuberal Kecamatan Lakmanen Selatan

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Leowalu Kecamatan Lamaknen dan Desa Ekin Kecamatan Lamaknen Selatan

Sebelah Barat berbatasan dengan DesaMa”udemu Kecamatan Lamaknen.

Status kepemilikanlahan Benteng Makes

Menurut keterangan dari ketua adat Bapak Petrus Hale Oan bahwa kepemilikan lahan dari Benteng Makes adalah milik dari Suku Mone Sogo Humametan. Sedangkan di luar Benteng Makes merupakan kawasan hutan lindung status kepemilikanoleh Negara.

Faktor keterancaman

  • Longsor : mengingatposisiBenteng Makes terletak di atasbukit.
  • Pohon tumbang : karena di dalam Benteng Makes banyak sekali tumbuh pohon-pohon besar
  • vandalisme : karena selama kami melakukan kegiatan banyak sekali pengunjung yang masuk tanpa ada pengawas.

 

Latar Sejarah

Sesuai  berbagai  penelitian  dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah “Suku Melus“. Orang Melus dikenal dengan sebutan “Emafatuk  Oan Ema Ai Oan“, (manusia penghuni  batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar dan bertubuh pendek. Semua para pendatang yang menghuni Belu  sebenarnya  berasal  dari “Sina Mutin  Malaka”.  Malaka  merupakan tanah  asal-usul  pendatang di  Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu  terdapat  berbagai  versi  cerita. Kendati demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data. Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari  tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga bersaudara itu menurut para tetua adat masing-masing daerah berlainan. Dari Makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusaen), Suku Mataus (Sonbai), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe(Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbai (Dawan).

Namun menurut beberapa makoan asal Besikama  yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain. Ketiga orang bersaudara dari Malaka tersebut bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang
jelas dengan persekutuan yang akrab dengan masyarakatnya. Kedatangan mereka dari tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.

Dari semua pendatang di Belu, pimpinan  dipegang  oleh “Maromak
Oan“ Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing  Maromak Oan kekuasaannya juga  merambah  sampai  sebahagian daerah Dawan (Insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Belu, Maromak Oan memiliki perpanjangan tangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada di Fatuaruin, Sonbai dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan Insana. Maromak  Oan  sendiri  menetap  di Laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali. Para pendatang di Belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana  yang  terjadi  sekarang. Menurut para sejarawan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi pemerintah  jajahan Belanda untuk mempermudah system pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan  pemerintahan adat tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja-raja dengan apa   yang disebutnya “Zaman Keemasan Kerajaan”. Apa yang kita catat dan dikenal  dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu).

Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang   berkuasa   di   daerah   Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan system pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh  wilayah  Belu  sebagai  Loro dan Liurai. Tercatat nama-nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Herneno dan Insana  Nain  serta  Nenometan  Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, Manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.

Sesuai   pemikiran   sejarawan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As  Tanara  membawahi  dasi  sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat,  Asumanu,  Lasaka,  Dafala, Manukleten, Sorbau,  Lidak,  Tohe Maumutin dan Aitoon. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan   nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rinbesi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbauan di bagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang  satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal-usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.

 

Tinggalan Arkeologi

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Situs Benteng Makes merupakan peninggalan tradisi megalitik dimana prinsip dasar dalam kepercayaan megalitik bersumber pada kepercayaan terhadap arwah nenek moyang atau dalam perilaku yang menitikberatkan pada konsepsi kepercayaan yang berorientasi pada kekuatan supernatural. Mereka percaya bahwa seseorang yang telah meninggal rohnya akan selalu melindungi dan mempengaruhi kehidupan bagi mereka yang ditinggalkan, hal ini kemudian menimbulkan adanya kepercayaan animisme dan dinamisme. Penganut tradisi ini percaya bahwa roh nenek moyang yang mereka puja berada pada batu-batu besar, bangunan yang bersifat monumental, pohon-pohon besar dan kekuatan alam. berdasarkan pandangan-pandangan tersebut di atas kita dapat melihat bahwa semuanya berakar pada kebudayaan setempat. Meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia, alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam.

Data Cagar Budaya

  • Situs Cagar Budaya  : Benteng Makes

  • Inventarisasi : 3/16-04/STS/3
  • Luas Lahan : –
  • Koordinat UTM : 51 L 0729241 UTM 8992109
  • Ketinggian :  1282 m dpl
  • Batas-batas
    • Utara : areal hutan negara
    • Timur : tebing (areal hutan negara)
    • Selatan : areal hutan negara
    • Barat : areal negara
  • Latar Budaya : tradisi megalitik
  • Jenis Situs : hutan
  • Kepemilikan : Negara
  • Pengelola : Dinas Kehutanan Kabupaten Belu
  • Deskripsi :  berupa lokasi yang berada pada sebuah puncak bukit yang dikenal dengan nama Bukit Makes, yang secara administrative  termasuk dalam wilayah Dusun Nwawain, Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen. Untuk mencapai lokasi struktur berlatar belakang budaya megalitik ini harus melewati jalan yang terjal dan menanjak yang terbuat dari kapur. Saat ini akses jalan memang sudah ada tetapi bukan dibuat khusus untuk mencapai lokasi benteng. Dari Kantor Desa Dirun lokasi tinggalan berjarak ± 3 km ; 2,1 km perjalanan dengan menelusuri jalan menanjak yang berkapur dan 0,9 km perjalanan dengan menelusuri jalan yang tidak permanen berupa padang savana. Untuk mengakses bagian dalam lokasi ini dapat melalui pintu utama yang ada di sisi barat daya dan pintu  di sisi barat laut. Secara astronomis  Situs Batu Temu Gelang Makes ini terletak pada posisi 51 L 0729241 UTM 8992109, dengan ketinggian 1282 m dpl. Berdasarkan  pengamatan di lapangan, kondisi lingkungan Batu Temu Gelang Makes tidak terawat karena keseluruhan arealnya ditumbuhi semak belukar dan beberapa pohon besar. Keberadaan semak belukar dan pohon-pohon besar ini menyebabkan lokasi ini dari kejauhan tampak seperti sebuah hutan kecil. Disamping akar-akar tumbuhan dapat merusak bentuk struktur yang ada, juga menjadi suatu kendala untuk dapat mengamati situasi dan denah struktur megalitik ini secara  Berdasarkan informasi yang didapat keseluruhan struktur  terdiri atas 7 lapis, dengan batu temu gelang berada di posisi paling dalam. Batu Temu Gelang Makes merupakan sebuah tinggalan  dengan latar budaya megalitik yang berfungsi sebagai tempat untuk melakukan pemujaan dan musyawarah. Karena berlapis-lapis itulah masyarakat menyebut tinggalan ini sebagai sebuah benteng. Antara satu tembok dengan tembok yang lainnya terdapat area (lahan) dengan keluasan yang berbeda-beda dan kontur tanah yang tidak rata. Selain temuan utama berupa batu temu gelang dan benteng, di lokasi ini juga ditemukan keberadaan beberapa struktur batu berbentuk bulat, yang secara local disebut dengan bosok dan struktur batu berbentuk persegi empat yang berupa makam. Struktur-struktur ini sebagian besar terdapat pada bagian inti dan sisi utara lokasi/situs.

 

  • Benteng (Batu Temu Gelang)

  • Bahan : Batu gamping (kapur) dan metamorf
  • Warna : Abu-abu
  • Koordinat : 51 L 0729241 UTM 8992109
  • Latar Budaya : tradisi megalitik
  • Kondisi : kurang terawat
  • Deskripsi : merupakan sebuah tinggalan tradisi megalitik yang didirikan di atas perbukitan yang bernama Makes. Struktur ini terdiri atas 7 lapis. Lapis atau tembok 1 sampai 6 (dihitung dari sisi luar) yang dibuat dari jenis batuan koral gamping difungsikan sebagai pelindung batu temu gelang “Saran Mot”, yang menjadi inti dari struktur ini. Masing-masing lapis mempunyai pintu sebagai akses masuk ke areal berikutnya. Lapis 1 (terluar) mempunyai 2 buah pintu masuk, Pada lapis 1 juga terdapat dua buah bastion. Ketinggian tembok lapis 1 ini bervariasi, selain karena kontur tanah yang tidak rata, juga karena ketinggian susunan batunya yang tidak sama.

 

  • Tahta Batu

  • Lokasi : sisi utara lapis 1
  • Bahan : batu kapur dan metamorf
  • Warna : Abu-abu
  • Ukuran :
    • Tinggi : 1 m
    • Diameter         : 1,30 m
  • Koordinat : 51 L 729338 UTM 8992249
  • Latar Budaya : tradisi megalitik
  • Kondisi  : utuh, kurang terawat
  • Deskripsi : berupa sebuah struktur yang terdiri atas dua bagian ; bagian bawah berbentuk bulat silinder yang terbuat dari susunan batu kapur dan bagian atas berupa susunan tiga buah batu lempeng.

 

  • Tahta Batu

  • Lokasi : sisi utara areal 2
  • Bahan : batu kapur
  • Warna : Abu-abu
  • Koordinat : 51 L 0729341 UTM 8992218
  • Latar Budaya : tradisi megalitik
  • Kondisi  : tidak utuh, kurang terawat
  • Deskripsi : berupa susunan batu kapur yang berbentuk bulat silinder.

 

  • Tahta Batu

  • Lokasi : sisi utara areal 2
  • Bahan : batu kapur dan batu metamorf
  • Warna : Abu-abu
  • Koordinat : 51 L 0729344 UTM 8992213
  • Latar Budaya : tradisi megalitik
  • Kondisi : utuh, kurang terawat
  • Deskripsi : berupa sebuah struktur yang terdiri atas dua bagian ; bagian bawah berbentuk bulat silinder yang terbuat dari susunan batu kapur dan bagian atas berupa susunan 4 buah batu lempeng, dengan ukuran makin ke atas makin kecil.

 

  • Tahta Batu

  • Lokasi : sisi utara areal 2
  • Bahan : batu kapu dan batu metamorf
  • Warna : Abu-abu
  • Koordinat : 51 L 0729335 UTM 8992202
  • Latar Budaya : tradisi megalitik
  • Kondisi : tidak utuh, kurang terawat
  • Deskripsi : berupa susunan batu kapur yang diatasnya terdapat 2 buah batu lempeng.

 

  • Makam

  • Lokasi : sisi utara areal 2
  • Bahan : batu kapur dan batu metamorf
  • Warna : Abu-abu
  • Koordinat : 51 L 729333 UTM 8992216
  • Latar Budaya : tradisi megalitik
  • Kondisi : kurang terawat
  • Deskripsi : merupakan sebuah makam berbentuk persegi empat, yang terdiri atas dua bagian ; bagian yang lebih tinggi dengan sebuah arca menhir tercantap di atas dan bagian yang lebih rendah.

 

Pengertian  dan Prinsip–Prinsip Zonasi

Mengacu pada aspek pemanfaatan cagar budaya, tujuan pelestarian dapat diarahkan untuk mencapai nilai manfaat (use value), nilai pilihan (optional value), dan nilai keberadaan (existence value). Dalam hal ini, nilai manfaat lebih ditujukan untuk pemanfaatan cagar budaya pada saat ini, baik untuk ilmu pengetahuan, sejarah, agama, jatidiri, kebudayaan, maupun ekonomi melalui pariwisata yang keuntungannya (benefit) dapat dirasakan oleh generasi saat ini. Hal yang perlu dipahami dengan baik adalah, bahwa manfaat ekonomi ini bukanlah menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan cagar budaya sebagai objek wisata, tetapi merupakan dampak positif dari keberhasilan pemanfaatan cagar budaya dalam pariwisata. (Mulyadi, 2012).

Penentuan batas situs adalah kegiatan utama yang dilakukan untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian cagar budaya dan situs sesuai dengan data yang ada dengan tujuan untuk mengetahui secara pasti letak geografis situs/benda cagar budaya terhadap daerah dan lingkungannya. Dalam pelaksanaan pemetaan harus mencantumkan data yang ditemukan di lapangan, seperti lingkungan alam, contour, pemukiman, toponim, batas kepemilikan tanah, dan lain-lain. Untuk menentukan ketinggian permukaan tanah situs/cagar budaya yang dipetakan dapat mengacu pada gambar top card yang secara lengkap menyajikan data yang diperlukan. Pemetaan yang dilaksanakan di situs Kampung Bena adalah untuk mendapatkan peta situasi disesuaikan dengan kondisi saat ini. Di samping itu pula kegiatan pemetaan ini untuk mengetahui sampai sejauh mana bats-batas situs, sehingga memudahkan langkah dalam mengantisipasi atau mempertahankan kelestarian dan keharmonisan situs dengan  jalan membuat zoning.

Dalam rangka pelestarian cagar budaya kegiatannya tidak hanya ditujukan pada pemugaran bangunan akan tetapi termasuk pula penataan situs yang merupakan satu kesatuan peninggalan untuk kepentingan perlindungan da pengembangan pemanfaatannya. Tata cara kegiatan penataan ini pada dasarnya ditetapkan dengan mengacu pada nilai sejarah dan keaslian lingkungan masa lalu yang merupakan satu kesatuan budaya pada masanya. Langkah-langkah kegiatannya secara teknis dilakukan dengan berpedoman pada hasil kegiatan zonasi yang mencakup penentuan batas situs, zoning, serta penataan situs dan lingkungannya. Sebagai dasar penentuan batsa situs dapat dilakukan dengan berpedoman pada :

  1. Batas asli, yaitu batas asli situs yang ditandai dengan persebaran unsur-unsur bangunan terkait dengan kontekstual bila masih ditemukan.
  2. Geotopografi, yaitu batas situs yang ditandai dengan keadaan lingkungan alam, seperti lereng, sungi, jalan, dan sebagainya.
  3. Kelayakan pandang, yaitu batas situs yang ditandai dengan kelayakan pandang dalam rangka mengapresiasikan nilai keagungan yang dilakukan melalui pandangan mata secara horizontal atau kesesuaian lain yang disepakati.

Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya sesuai dengan kebutuhan, ketentuan-ketentuan zonasi tersebut dicantumkan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010  tentang cagar budaya. Dalam pasal 72 Undang undang tersebut juga diatur mengenai penetapan batas-batas keluasan dan pemanfatan ruang dalam situs dan kawasan berdasarkan kajian, sedangkan pasal 73 ayat 3 menyebutkan sistem zonasi yang terdiri dari :

  • Zona inti
  • Zona penyangga
  • Zona pengembangan
  • Zona penunjang

Selanjutnya dalam pasal yang sama ayat (4) dijelaskan bahwa penetapan luas tata letak dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya zonasi merupakan sistem tata ruang dalam situs atau kawasan cagar budaya yang meliputi penentuan batas-batas keruangan dan fungsi masing-masing ruang.

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem zonasi dijelaskan dalam penjelasan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 yang menguraikan mengeai :

  • Zona inti adalah area perlindungan utama untuk menjaga bagian dari situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya
  • Zona penyangga merupakan area yang melindungi zona inti.
  • Zona pengembangan merupakan area yang diperuntukkan bagi pengembangan potensi cagar budaya untuk kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya,  kehidupan budaya tradisional, keagamaan dan pariwisata.
  • Zona penunjang adalah area yang diperuntukkan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.

Zonasi dibuat setelah suatu lokasi ditetapkan sebagai situs cagar budaya atau satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Zonasi dilakukan tanpa mengubah luas dan batas situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya yang telah ditetapkan. Zonasi merupakan salah satu upaya perlestarian melalui perlindungan dengan mencegah dengan mencegah dan menaggulangi kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan.

Zonasi dibuat berdasarkan kriteria lokasi atau satuan ruang geografis yang sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya yang :

  1. Rawan ancaman yang disebabkan faktor alam maupun manusia;
  2. Mempunyai potensi pengembangan dan pemanfaatan; dan/atau
  3. Memerlukan pengelolaan khusus.

Zonasi dibuat berdasarkan hasil kajian terhadap ruang situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya untuk kepentingan pelindungan cagar budaya, dan berdasarkan prinsip: Pelindungan, Keseimbangan, Kelestarian, Koordinasi, dan Pemberdayaan masyarakat. Zonasi dilakukan dengan membagi ruang menjadi beberapa zona berdasarkan tingkat kepentingan dan rencana pemanfaatannya, yaitu:

  1. Zona Inti, merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian dari situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya yang paling penting
  2. Zona Penyangga, merupakan area yang melindungi zona inti
  3. Zona Pengembangan, merupakan area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi cagar budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan
  4. Zona Penunjang, merupakan area yang diperuntukkan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang untuk mendukung kegiatan usaha dan/atau rekreasi umum.

Zona Inti, Zona Penyangga, Zona Pengembangan, dan Zona Penunjang, dapat dimanfaatkan untuk rekreasi, edukasi, apresiasi, dan religi. Zonasi pada satu Kawasan Cagar Budaya dapat terdiri atas lebih dari satu Zona Inti. Komposisi jumlah zona, penempatan, dan keluasannya dibuat berdasarkan keadaan dengan mengutamakan pelindungan benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, dan/atau lansekap budaya yang berada di dalam situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya.

Pemanfaatan Zona Inti didasarkan pada kriteria :

  1. Mutlak untuk mempertahankan keaslian cagar budaya;
  2. Tidak boleh merusak atau mencemari cagar budaya maupun nilainya;
  3. Tidak boleh mengubah fungsi, kecuali tetap mempertahankan prinsip pelestarian cagar budaya;
  4. Tidak boleh untuk kepentingan komersial, kecuali memenuhi kepatutan;
  5. Tidak boleh didirikan bangunan baru atau fasilitas lain kecuali taman, fasilitas pelindung, dan fasilitas Pengamanan; dan
  6. Tidak menjadi ruang kegiatan yang bertentangan dengan sifat kesakralan.

Pemanfaatan Zona Penyangga didasarkan pada kriteria :

  1. Mutlak untuk melindungi zona inti;
  2. Tidak boleh untuk kepentingan komersial, kecuali memenuhi kepatutan;
  3. Tidak boleh didirikan bangunan baru atau fasilitas lain kecuali taman, fasilitas pendukung, dan fasilitas pengamanan; dan
  4. Boleh untuk ruang kegiatan yang tidak bertentangan dengan kelestarian.

Pemanfaatan Zona Pengembangan didasarkan pada kriteria :

  1. Mengembangkan nilai manfaat dari cagar budaya;
  2. Dapat dipergunakan untuk tempat fasilitas umum;
  3. Dapat dipergunakan untuk kawasan permukiman dan fasilitas pendukung; dan/atau
  4. Dapat untuk kepentingan komersial dengan mempertahankan nilai lingkungan budaya.

Pemanfaatan Zona Penunjang didasarkan pada kriteria :

  1. Diperuntukkan bagi penempatan sarana dan prasarana penunjang;
  2. Untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum; dan
  3. Luas zona penunjang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat.

Penentuan luas zona, batas zona, dan sistem zona dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal terhadap cagar budaya maupun lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menentukan luas zona, batas zona, sistem zona, dan tata letak dengan memperhatikan:

  1. Kepentingan negara, kepentingan daerah, dan kepentingan masyarakat;
  2. Kepadatan serta persebaran cagar budaya dan/atau objek yang diduga cagar budaya dalam satuan ruang geografis;
  3. Pelestarian kebudayaan pendukung cagar budaya yang masih hidup di masyarakat; dan
  4. Lingkungan alam.

Penentuan batas zona dapat dibedakan atas :

  1. Batas asli, merupakan batas cagar budaya yang masih dapat dikenali berdasarkan sebaran dan kepadatan temuan arkeologi
  2. Batas budaya, merupakan batas kewilayahan menurut kesepakatan pendukung yang berbeda atau persebaran kelompok etnik tertentu.
  3. Batas arbitrer, merupakan batas yang ditentukan berdasarkan kebutuhan Pengamanan, batas wilayah pemerintahan, atau batas Kepemilikan tanah.
  4. Hubungan kontekstual, merupakan batas antara cagar budaya dengan lingkungan alam dan sosial budaya.
  5. Cakupan pandangan, merupakan batas pandangan mata terhadap bangunan cagar budaya atau struktur cagar budaya.
  6. Batas alam, merupakan batas yang terbentuk secara alamiah.

Teknik dasar cara penentuan zonasi dilakukan dengan :

  1. Teknik blok, dapat diterapkan jika zonasi mencakup keseluruhan situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya menjadi satu kesatuan.
  2. Teknik sel, diterapkan pada wilayah yang mengandung sebaran situs cagar budaya yang jaraknya relatif dekat dan tidak teratur.

Teknik gabungan, diterapkan pada satu kawasan cagar budaya jika persebaran situs cagar budaya tidak merata, karena ada situs cagar budaya yang terletak berdekatan sehingga dapat dijadikan blok dan ada situs yang letaknya berjauhan dengan situs lainnya sehingga dijadikan sel.

 

Zonasi Situs Benteng

Kajian zonasi Situs Benteng Makes (Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kab. Belu, NTT), menghasilkan 3 zona, dimana zona yang dimaksud adalah zona cagar budaya berupa sistem tata ruang dalam situs atau kawasan cagar budaya yang meliputi penentuan batas-batas keruangan dan fungsi masing-masing ruang dilihat dari aspek arkeologi, budaya, nilai adat/ istiadat setempat yang disesuaian dengan ketentuan pelestarian cagar budaya UU No.11 Tahun 2010, dengan zona terdiri atas Zona inti, Zona Penyangga, dan Zona Pengembangan.

  • Zona Inti

Zona inti adalah area perlindungan utama untuk menjaga bagian dari situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, atau struktur cagar budaya. Batas-batas zona inti Situs Benteng Makes adalah :

  • Di sebelah utara : Struktur benteng
  • Di sebelah selatan : Tebing & kawasan hutan
  • Di sebelah timur :  Struktur benteng, kontur alam berupa bebatuan tebing dan bebatuan karst
  • Di sebelah barat : Struktur benteng

Penetuan luasan zona inti Situs Benteng Makes dengan menarik garis sepanjang zona inti dalam bentuk area (polygon) diperkirakan kurang lebih mencapai 24.209,45 m2.

  • Zona Penyangga

Zona penyangga merupakan area yang melindungi zona inti dari kemungkinan pemanfaatan ruang disekitar situs/kawasan yang tidak sesuai dengan akidah pelestarian situs/kawasan cagar budaya. Zona penyangga untuk Situa Benteng Makes ditentukan dengan menarik garis sejauh 50 m dan disesuaikan dengan kontur alam disekitar zona inti, dengan masing-masing batas zona penyangga adalah :

  • Di sebelah utara : Lahan kosong dengan kontur alam berupa bebatuan karst
  • Di sebelah selatan : Tebing bebatuan karst dan kawasan hutan
  • Di sebelah timur : Tebing bebatuan karst dan kawasan hutan
  • Di sebelah barat : lahan kosong yang saat ini dimnfaatkan untuk lahan parkir

Penetuan luas Zona Penyangga sama halnya dengan zona inti, yaitu dengan menarik garis zona berupa area (polygon) sehingga diperoleh untuk luas zona penyangga Benteng Makes kurang lebih mencapai 34.488 m2.

  • Zona Pengembangan

Zona pengembangan, merupakan area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi Cagar Budaya untuk kepentingan rekreasi, konservasi lingkungan alam, lanskapbudaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan dengan tetap memperhatikan kelestarian situsnya sehingga dapat ditentukan Zona Penyangga Benteng Makes berada di sebelah barat daya dari zona inti maupun zona penyangga dengan batas-batas zona adalah :

  • Di sebelah utara : Lahan kosong dengan kontur tanah miring dan berupa bebatuan karst
  • Di sebelah selatan : Lahan kosong, kawasan hutan, jalan setapak menuju situs
  • Di sebelah timur : zona penyangga (lahan yang dimanfaatkan untuk parkir)
  • Di sebelah barat : Lahan kosong dengan kontur tanah miring dan berupa bebatuan karst.

Luas zona pengembangan Situs Benteng Makes kurang lebih mecapai 6.855 m2.

Citra Situs Benteng Makes

Kegiatan zonasi di Situs Benteng Makes dilakukan pada saat ini dengan melihat bahwa rawan ancaman yang disebabkan faktor alam maupun manusia dan mempunyai potensi pengembangan dan pemanfaatan. Dalam penentuan tata ruang atau zona suatu situs cagar budaya perlu adanya suatu kerjasama yang sinergis antar instansi terkait ini terjadi apabila perencanaan pelestarian dan pengembangan di area yang mendukung cagar budaya dapat dilakukan secara terpadu dan terkoordinasikan. Bahkan pembangunan dan pengembangan area dapat menjadi faktor pendukung penyajian dan pelestarian nilai-nilai penting dari cagar budaya yang ada disekitarnya.

Sebagai tantangan dalam pelestarian yang sering menimbulkan masalah karena adanya pandangan yang mempertentangkan antara pelestarian dan pembangunan. Seakan-akan pelestarian selalu menghambat dan menghalangi pembangunan atau pengembangan suatu area yang mengandung tinggalan sejarah dan purbakala atau cagar budaya pada umumnya. Sesungguhnya proses pelestarian dan pembangunan harus dapat berjalan searah dan bahkan dapat saling mendukung. Selain itu kondisi situs dan kawasan kebanyakan telah mengalami degradasi mulai dari sejak dibuat, dipakai dan kemudian ditinggalkan hingga ditemukan. Degradasi tersebut meliputi penurunan kualitas berupa kerusakan situs akibat penurunan daya dukung, erosi, dan longsor. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi dan berbagai perubahan lingkungan yang terjadi dewasa ini, banyak terjadi penciutan lahan, perubahan batas, dan sebagainya. Kerusakan lingkungan pada akhirnya akan menjadi bencana bagi kelestarian situs, dan oleh karena itu perlu ditata kembali yang sedapat mungkin sesuai dengan desain aslinya.

Kondisi saat ini yang dapat dilakukan dalam kegiatan zonasi adalah menentukan zona inti dan zona penyangga. Zona inti tersebut adalah situs Benteng Makes itu sendiri yang batas-batasnya berupa lereng.

Sesuai dengan uraian di atas kondisi Situs Benteng Makes saat ini relatif aman dari pemanfaatan ruang yang mengancam kelestariannya karena belum menjadi konsentrasi pemukiman. Kelestarian akan terancam bila pengembangan dan pemanfataan situs ini yang tidak sesuai dengan kaidah pelestarian dan penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang tidak tertata dengan baik serta vandalisme. Kegiatan utama dari pelestarian adalah perlindungan dalam hal ini harus mampu memberi perlindungan pada cagar budaya agar dapat bertahan lebih lama sehingga dapat dikembangkan untuk pendidikan, penelitian dan laian-lain dan dapat pula dimanfaat untuk ilmu pengetahuan, keagamaan, dan kepariwisataan yang bermanfat untuk kesejahteran masyarakat sepanjang tidak mengurangi nilai-nilai yang terkandung dalam cagar budaya dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

 

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, sebagai penutup dari laporan ini dapat disampaikan beberapa simpulan dan rekomendasi sebagai berikut :

  1. Benteng Makes di Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kab. Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan situs cagar budaya yang bercirikan tradisi megalitik.
  2. Pemanfaatan ruang disekitar Situs Benteng Makes relatif terkendali sehingga potensi keterancamannya cukup minim.
  3. Zona inti dari Situs Benteng Makes adalah 24.209,45 m2, merupakan area perlindungan utama untuk menjaga bagian terpenting dari cagar budaya.

Rekomendasi

Berdasarkan  hasil kegiatan zonasi yang telah dilakukan dapat direkomendasikan sebagai berikut :

  1. Dari hasil zonasi yang telah dilakukan perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar situs agar tidak terjadi kendala atau hal-hal yang tidak diinginkan di masa yang akan datang.
  2. Pemerintah Daerah dalam melakukan proses pembangunan di wilayahnya terutama dalam hal pengembangan dan pemanfaatan ruang diharapkan tetap memperhatikan aspek kelestarian cagar budaya baik secara fisik maupun nilai..
  3. Masyarakat setempat atau pemilik cagar budaya harus mendukung dan ikut melakukan upaya pelestarian cagar budaya yang dimiliki karena masyarakat pemilik/masyarakat setempat merupakan ujung tombak dalam melakukan pelestarian cagar budaya yang ada di daerahnya.

 

Daftar Pustaka

  1. Anonim, 2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta
  2. Anonim, 2010. Draf Pedoman Penataan Situs Dan Kawasan Cagar Budaya.  Direktorat Peninggalan Sejarah dan Purbakala
  3. Anonim, 2010, Draf Pedoman Zonasi Situs dan Kawsan Cagar Budaya. Direktorat Peninggalan Sejarah dan Purbakala