Latar Belakang
Besarnya potensi kepurbakalaan yang ada di wilayah kerja BPCB Gianyar, khususnya Provinsi NTT, menimbulkan konsekuensi masih banyak diantara warisan budaya kebendaan tersebut yang belum dapat diinventaris keberadaannya. Inventarisasi terhadap peninggalan itu diharapkan akan dapat menjadi sumber data sejarah budaya untuk kepentingan pendidikan maupun dalam rangka pelestariannya. Inventarisasi merupakan langkah yang amat penting untuk dilakukan dalam upaya pelestarian terhadap warisan budaya kebendaan/cagar budaya. Mengingat warisan budaya mempunyai sifat yang terbatas dan tidak dapat diperbarui. Berkaitan dengan inventarisasi, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 52 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya disebutkan bahwa salah satu fungsi BPCB adalah melaksanakan dokumentasi dan publikasi cagar budaya. Jadi kegiatan pendokumentasian dengan inventarisasi termasuk di dalamnya, merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh BPCB. Kegiatan inventarisasi terhadap potensi cagar budaya diharapkan akan menghasilkan suatu daftar warisan budaya/cagar budaya yang dapat memberikan gambaran tentang persebaran warisan budaya/cagar budaya yang ada di wilayah kerja masing-masing BPCB.
Sebagai warisan budaya kebendaan masa lalu yang sangat beragam, peninggalan tersebut dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang lebih kecil berdasarkan bahan, jaman, fungsi maupun jenisnya. Berdasarkan bahan, bukti fisik tersebut dapat terbuat dari batu, padas, tanah liat, logam, dan lain-lain. Kalau berdasarkan zaman, warisan tersebut ada yang berasal dari zaman prasejarah, masa klasik Hindu-Budha, masa Islam, masa kolonial dan masa kemerdekaan. Berdasarkan fungsi, warisan budaya tersebut dapat berfungsi sakral dan profan. Berdasarkan jenis, sesuai dengan Undang-undang No. 11 tahun 2010, dapat dibedakan menjadi benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan.
Sejarah Pulau Timor, khususnya Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang sangat panjang telah meninggalkan bukti-bukti fisik hasil kegiatan manusia pendukungnya di masa lampau. Bukti fisik tersebut berupa sejumlah peninggalan arkeologi yang ditemukan tersebar di wilayahnya, diantaranya berupa rumah adat, goa, gereja dan benda-benda lainnya.
Upaya-upaya pelestarian terhadap warisan budaya/cagar budaya di Kabupaten Timor Tengah Utara akan diupayakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar. Hal tersebut dimulai dengan dilaksanakannya kegiatan dokumentasi berupa inventarisasi warisan budaya/cagar budaya yang ada di Kabupaten Timor Tengah Utara. Dari hasil kegiatan ini akan diketahui langkah-langkah pelestarian yang perlu dilaksanakan. Disamping kegiatan ini juga untuk melengkapi daftar warisan budaya/cagar budaya Provinsi NTT.
Maksud dan Tujuan
Kegiatan Inventarisasi Warisan Budaya di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi NTT, dimaksudkan untuk lebih menyempurnakan kwalitas dan kwantitas data yang telah ada. Dalam arti hasil yang diperoleh benar-benar merupakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, baik mengenai jumlah, jenis dan berbagai aspek penting lainnya. Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah sebagai bahan dalam penyusunan Daftar Induk Inventarisasi Warisan Budaya/Cagar Budaya yang tersebar di Kabupaten Timor Tengah Utara, sehingga dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya.
Metode
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, baik di lapangan maupun dalam penyusunan laporan, maka dalam pelaksanaan kegiatan ini mempergunakan metode kerja sebagai berikut:
- Pengumpulan data
- Obervasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan langsung pada objek yang menjadi sasaran.
- Wawancara, yakni teknik pengumpulan data melalui kegiatan wawancara tanpa struktur dengan pihak-pihak yang mengetahui keberadaan situs.
- Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data melalui sumber-sumber tertulis yang memiliki kaitan dengan objek yang diteliti.
- Pengolahan data
- Data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan kepustakaan, selanjutnya direduksi, diolah dan dianalisis secara deskriftif.
Letak dan Lingkungan
Kabupaten TTU adalah salah satu dari 6 (enam) kabupaten/kota yang ada di daratan Timor dan 21 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tanggara Timur (NTT). Ditinjau dari aspek letak wilayah, Kabupaten TTU termasuk salah satu kabupaten wilayah perbatasan karena berbatasan langsung dengan negara RDTL dan 4 (empat) kabupaten di Propinsi NTT. Batas-batas wilayah administratif Kabupaten TTU adalah :
- Selatan : wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan
- Utara : wilayah Ambenu-Republik Demokratik Timor Lest (RDTL) dan Laut Sawu.
- Barat : wilayah Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan
- Timur : wilayah Kabupaten Belu.
Kabupaten TTU merupakan daerah daratan dengan luas 2.669,70 km2 atau sekitar 5,48% dari luas daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sedangkan sebagian wilayah TTU yang berbatasan dengan Laut Sawu atau lazim dikenal dengan sebutan wilayah pantai utara (pantura) memiliki luas lautan ± 950 km2 dengan panjang garis pantai ± 50 km. Secara administrasi pemerintahan, Kabupaten TTU terdiri dari 24 kecamatan dan 174 kelurahan/desa (31 kelurahan dan 143 desa). Kecamatan-kecamatan di Kabupaten TTU yaitu : Miomaffo Barat, Miomaffo Tengah, Musi, Mutis, Miomaffo Timur, Noemuti, Bikomi Selatan, Bikomi Tengah, Bikomi Nilulat, Bikomi Utara, Naibenu, Noemuti Timur, Kota Kefamenanu, Insana, Insana Utara, Insana Barat, Insana Tengah, Insana Fafinesu, Biboki Selatan, Biboki Tanpah, Biboki Moenleu, Biboki Utara, Biboki Anleu dan Biboki Feotleu.
Secara astronomis, posisi Kabupaten TTU terletak di antara titik koordinat 90o 02′ 48″ – 90o 37′ 36″ Lintang Selatan serta antara 1240 04′ 02″ – 1240 46′ 00″ Bujur Timur. Secara geografis pada umumnya merupakan tipologi desa daratan (163 desa) dan hanya 11 desa yang termasuk tipologi desa kawasan pantai yaitu : Desa Oepuah dan Oepuah Utara di Kecamatan Biboki Moenleu; Kelurahan Humusu C, Humusu Oekolo dan Desa Oesoko di Kecamatan Insana Utara; Desa Nonotbatan, Maukabatan, Tuamese, Oemanu, Motadik dan Kelurahan Ponu di Kecamatan Biboki Anleu. Dilihat dari aspek rona fisik tanah, wilayah dengan kemiringan kurang dari 40 % meliputi areal seluas 2.065,19 km2 atau 77,4 % dari luas wilayah TTU; sedangkan sisanya 604,51 km2 atau 22,6 % mempunyai kemiringan lebih dari 40 %. Wilayah dengan kemiringan kurang dari 40 % sebagian besar berada pada ketinggian kurang dari 500 m dari permukaan laut yakni seluas 1676,51 km2 atau 62,8 %. Berdasarkan data Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor (1974) memperlihatkan bahwa di Kabupaten TTU ditemukan 3 (tiga) jenis tanah yaitu : Litosol seluas 1.666,96 km2 atau 62,44 %, tanah Kompleks seluas 479,48 km2 atau 17,96 % dan tanah Grumusol 523,26 km2 atau 19,60 %. Hasil survei penyusunan rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten TTU memperlihatkan bahwa dari aspek kedalaman efektif tanah komposisi arealnya sebagai berikut: tanah dengan kedalaman efektif kurang dari 30 cm seluas 35.316 ha (13,2%); kedalaman 30-60 cm seluas 73.201 ha (27,4%); 60-90 cm seluas 16.354 ha (6,1%) dan kedalaman efektif diatas 90 cm dengan luas 142.099 ha (53,2 %). Kemampuan dan daya tahan tanah yang rawan erosi seluas 105.226 hektar (39,4%), dan sisanya 161.744 hektar (60,6%) merupakan tanah dengan struktur yang relatif stabil. Secara parsial tanah labil yang rawan erosi terdapat pada tiga wilayah kecamatan yakni Miomaffo Barat 37.921 hektar, Biboki Selatan 28.538 hektar, dan Biboki Utara 28.538 hektar (http://www.ttukab.go.id).
Sejarah
- Masa tahun 1915-1958
Kabupaten TTU yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 69 tahun 1958 (Lembaran Negara tahun 1958 no. 122) awalnya disebut Onderafdeeling Noord Miden Timor semasa pemerintahan Hindia Belanda. Berdasarkan pada BS/Gubernemen nomor 9 – 10 tahun 1915 Onderafdeeling Noord Miden Timor meliputi gabungan tiga wilayah kerajaan/swapraja yaitu swapraja Miomaffo, Insana dan Biboki. Pusat penyelenggaraan pemerintahan Onderafdeeling Noord Miden Timor berkedudukan di Noeltoko yakni antara tahun 1915 – 1921, kemudian pada tahun 1921 Controleur Pedemors (Pemimpin Oderafdeling) memindahkan pusat penyelenggaraan pemerintahan dari Noeltoko ke Kefamenanu.
Sesuai ketentuan Pemerintahan Hindia Belanda tentang aturan pemerintahan kerajaan yang diberlakukan bagi semua swapraja yang ada di Timor, setiap onderafdeling dipimpin oleh controleur berkebangsaan Belanda dibantu seorang petugas pangreh praja orang Indonesia. Struktur kekuasaan yang dibentuk pemerintahan Hindia Belanda tersebut dipadukan dengan sisa-sisa struktur pemerintahan asli sehingga mulai dari struktur kekuasaan yang paling tinggi sampai terendah berturut-turut : (1). Controleur, (2). kepala Swapraja membawahi fetor, (3). temungkung membawahi wakil temungkung yang membawahi rakyat.
Berdasarkan struktur pemerintahan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda tersebut maka Onderafdeeling Noord Miden Timor membawa 3 kepala swapraja, 18 kefetoran dan 176 temungkung.
- Swapraja Miomaffo (Kepala : G. A. Kono) memiliki 8 kefetoran, meliputi Tunbaba, Manamas, Bikomi, Noemuti, Nilulat, Noeltoko, Naktimun dan Aplal.
- Swapraja Insana (Kepala : L. A. N. Taolin) memiliki 5 kefetoran, meliputi Oelolok, Ainan, Maubesi, Subun dan Fafinesu.
- Swapraja Biboki (Kepala : L. T. Manlea) memiliki 5 kefetoran, meliputi Ustetu, Oetasi, Bukifan, Taitoh dan Harneno.
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 struktur organisasi pemerintahan yang ditetapkan Belanda tidak diubah namun yang berubah adalah nama daerah pemerintahan dan jabatannya. Oderafdeling diubah menjadi Bunken yang dipimpin oleh Bunken Kanrikan. Sedangkan struktur pemerintahan asli dibawah Kanrikan mulai dari kepala swapraja sampai wakil temungkung tetap dipertahankan.
Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya raja-raja (Kepala Swapraja) seluruh keresidenan Timor dalam Konferensi Malino tanggal 18 Juli 1946 mendukung penggabungan keresidenan Timor, Flores, Sumba dan daerah taklukannya dengan Bali, Lombok dan pulau-pulau selatan menjadi suatu daerah otonom dalam lingkup Pemerintahan Republik Indonesia, yang kemudian dikenal dengan wilayah Propinsi Sunda kecil.
Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 1946 raja-raja (Kepala Swapraja) seluruh keresidenan Timor mengadakan sidang di Kota Kefamenanu guna membentuk Timor Eiland Federatie (gabungan kerajaan afdelling Timor). Dalam sidang tersebut, H. A. Koroh (Raja Amarasi) dan A. Nisnoni (Raja Kupang) terpilih masing-masing sebagai ketua dan ketua muda Timor Eiland Federatie. Raja-raja Timor Tengah Utara yang hadir dalam sidang tersebut adalah Sobe Senak dari Kerajaan Swapraja Miomaffo, L. Taolin dari Kerajaan Insana dan L. Manlea dari Kerajaan Biboki Utara. Masih dalam forum yang sama berhasil dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Timor Eiland Federatie yang susunan keanggotaannya berdasarkan asal kerajaan/swapraja. Swapraja Miomaffo mendudukan P. Koning, Swapraja Insana mendudukan Th. Van de Tilart dan Swapraja Biboki mendudukan H. Van Wissing.
Dalam tahun 1949 terjadi reorganisasi Timor Eiland Federatie menjadi daerah Timor dan kepulauannya yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Timor dan Kepulauannya nomor 10/DR tanggal 29 April 1949. Sesuai reorganisasi tersebut dipilih kembali anggota-anggota DPRD Timor dan kepulauannya mewakili wilayah kerajaan yakni Tan Soe Fat (mewakili kerajaan Miomaffo), L. Taneo (Insana) dan L. Atie (Biboki).
Sidang DPRD Timor dan kepulauannya di Kupang tanggal 10-12 Mei 1950 dan juga disetujui secara aklamasi dewan raja-raja Timor dan kepulauannya yang menghasilkan resolusi mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Negara Indonesia Timur supaya secepat mungkin Negara Indoensia Timur dibubarkan dan dilebur ke dalam Republik Indonesia serta menganjurkan agar daerah Timor dan pulau-pulaunya dijadikan bagian dari Republik Indonesia.
- Pembentukan Kabupaten Dati II Timor Tengah Utara
- Masa 1958 – 1961
Berdasarkan Undang-Undang nomor 64 tahun 1958 (lembaran Negara no. 115 tahun 1958) Propinsi Sunda Kecil dipecah menjadi daerah Swatantra tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Kemudian berdasarkan Undang-undang nomor 69/1958 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II, maka daerah swatantra tingkat I Nusa Tenggara Timur dibagi menjadi 12 daerah swatantra tingkat II termasuk daerah tingkat II Timor Tengah Utara.
Kabupaten Dati II Timor Tengah Utara dibentuk meliputi 3 wilayah bekas kerajaan/swapraja, 18 kefetoran dan 176 ketemungkungan. Secara de yure Kabupaten TTU ada sejak diundangkannya UU no. 69 tahun 1958 tanggal 9 Agustus 1958, namun secara de facto baru dimulai pada bulan Nopember 1958 bersamaan dengan pelantikan pejabat sementara Kepala Daerah Tingkat II TTU yang dijabat oleh D. C. Saudale. Setahun kemudian tepatnya tanggal 1 Maret 1959 dilantik pula pejabat sementara sekretaris daerah yang dijabat oleh G. M. Parera. Antara tahun 1958 – 1960 anggaran belanja dari ketiga swapraja tersebut belum dicabut, dan baru pada 1 Januari 1961 disatukan dalam Anggaran Belanja Daerah Tk. II Timor Tengah Utara berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur nomor 81/Des.65/2/23 tanggal 15 Desember 1960. Dengan diberlakukannya keputusan Gubernur tersebut, maka secara diam-diam penghapusan daerah swapraja Miomaffo, Insana dan Biboki telah dilakukan secara de facto, sedangkan de yure baru pada saat diundangkannya Undang-undang no 18 tahun 1965 tanggal 1 September 1965.
- Masa 1962 – sampai sekarang
Selanjutnya sesuai Peraturan Daerah Kabupaten TTU nomor 11 tahun 2000 dilakukan peningkatan status tiga kecamatan perwakilan menjadi kecamatan definitif yakni perwakilan kecamatan Miomaffo Timur menjadi kecamatan Noemuti, perwakilan Kecamatan Insana menjadi Kecamatan Insana Utara dan perwakilan Kecamatan Biboki Utara menjadi Kecamatan Biboki Anleu. Dengan demikian sampai dengan tahun 2003 terdapat 9 kecamatan serta 126 desa dan 33 kelurahan atau 159 desa/kelurahan. Pada penghujung tahun 2004 terjadi lagi pemekaran desa sesuai amanat Surat Keputusan Bupati TTU no 44 tahun 2004 dibentuklah tiga desa di Kecamatan Insana dan satu desa lainnya di Kecamatan Insana Utara. Dengan demikian sampai dengan akhir tahun 2004 secara administratif Kabupaten TTU terdiri dari 9 wilayah kecamatan serta 126 desa dan 33 kelurahan atau 159 desa/kelurahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten TTU Nomor 08 Tahun 2007, maka jumlah kecamatan di wilayah Kabupaten TTU sampai dengan saat ini adalah 24 kecamatan atau bertambah sebanyak 15 kecamatan baru yang dimekarkan dari 9 kecamatan sebelumnya, dengan desa/ kelurahan sebanyak 174 buah atau bertambah sebanyak 11 desa/ kelurahan. (Disarikan dari buku Gerakan Cinta Hari Esok Kabupaten Dati II TTU memasuki abad 21 dan sumber-sumber lainnya).
Sesuai Keputusan Gubernur KDH Tk. I NTT tanggal 1 Nopember 1971 nomor 41 tahun 1971 maka Bupati KDH Tk. II TTU mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 26 Oktober 1972 tentang pengangkatan para kepala desa, panitera desa, pamong desa dan pesuruh desa se Kabupaten TTU yang masa jabatannya baru berakhir pada tahun 1977. Pada tahun 1978 jumlah desa 112 buah sama seperti periode 1969-1971 namun tersebar dalam 5 wilayah kecamatan, 3 perwakilan kecamatan dan 1 Kopeta Kota Kefamenanu. Kemudian menindaklanjuti surat edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 8 September 1976 nomor Pem.2/3/35 tentang pembentukan dan pemekaran desa maka berturut-turut tahun 1993 jumlah desa kelurahan menjadi 115 buah dan tahun 1997 telah menjadi 118 buah desa/kelurahan. Seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan kinerja pelayanan publik yang prima dari institusi pemerintah, maka sesuai surat Keputusan Gubernur NTT nomor 20/1999 tanggal 29 Mei 1999, jumlah desa kelurahan sebanyak 127 pada tahun 1998 dimekarkan lagi menjadi 159 buah pada tahun 1999. Dan saat ini jumlah Desa dan Kelurahan sebanyak 175 dengan Kecamatannya menjadi 24 Kecamatan sejak Tahun 2008 (http://www.ttukab.go.id).
Situs Altar Persembahan Bukit Sasi
- No.Inventaris : 3/16-21/STS/02
- Alamat
- Desa/Kelurahan : Sasi
- Kecamatan : Kefamenanu
- Kabupaten : Timor Tengah Utara
- Provinsi : Nusa Tenggara Timur
- Koordinat UTM : 50 L 0661777 UTM 8950122
- Luas : –
- Kondisi : Tidak terawat
- Batas Langsung
- Utara : Hutan
- Timur : Hutan
- Selatan : Hutan
- Barat : Hutan
- Pemilik : Raja Usbana
- Pengelola : Masyarakat Adat
- Deskripsi : Bukit Sasi lokasinya agak jauh dari perkampungan masyarakat. Situs ini berada pada sebuah bukit di dekat bekas landasan pesawat yang dibuat pada saat Jepang menduduki TTU. Situs ini hanya bisa dicapai dengan kendaraan roda dua sebatas sampai di kaki bukit saja. Sedangkan untuk mencapai objek warisan budaya yang berada di tebing bukit harus ditempuh dengan berjalan kaki (mendaki) kira-kira sejauh 1 km. Lingkungan bukit yang merupakan sebuah hutan ini masih alami dengan berbagai jenis vegetasi.
Altar Persembahan
- No.Inventaris : 4/16-21/STR/02
- Tempat Objek : Bukit Sasi
- Bahan Utama : Andesit
- Warna : Putih kecokelatan
- Ukuran
- Panjang : 2,5 m
- Lebar : –
- Tinggi 1,66 m
- Periodisasi : Prasejarah
- Kondisi : Tidak terawat
- Deskripsi : Merupakan sebuah objek yang terbuat dari susunan batuan alam yang disusun sedemikian rupa. Altar ini dibuat di atas sebuah bongkahan batu karang. Bagian atas altar datar dan bagian badan (bawah) mengikuti bentuk batu karang di bawahnya. Dinding belakang posisinya lebih tinggi dari permukaan altar. Sebagian permukaan batu tertutup oleh lumut kerak.