Latar Belakang
Sejarah Bima yang sangat panjang telah meninggalkan bukti-bukti fisik hasil kegiatan manusia pendukungnya di masa lampau. Bukti fisik tersebut berupa sejumlah peninggalan arkeologi yang ditemukan tersebar di seluruh wilayahnya. Sebagai warisan budaya masa lalu yang sangat beragam, peninggalan tersebut dapat dikelompokkan menjadi kelompok yang lebih kecil berdasarkan bahan, jaman, fungsi maupun jenisnya. Berdasarkan bahan, bukti fisik tersebut dapat terbuat dari batu, padas, tanah liat, logam, dan lain-lain. Kalau berdasarkan zaman, warisan tersebut ada yang berasal dari zaman prasejarah, masa klasik Hindu-Budha, masa Islam, masa kolonial dan masa kemerdekaan. Berdasarkan fungsi, warisan budaya tersebut dapat berfungsi sakral dan profan. Berdasarkan jenis, sesuai dengan Undang-undang No. 11 tahun 2010, dapat dibedakan menjadi benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan.
Besarnya potensi kepurbakalaan yang ada di wilayah kerja BPCB Gianyar, khususnya Provinsi NTB menyebabkan banyak diantara warisan budaya tersebut belum dapat didokumentasi keberadaannya. Dokumentasi terhadap peninggalan itu diharapkan akan dapat menjadi sumber data sejarah budaya untuk kepentingan pendidikan maupun dalam rangka pelestariannya. Pendokumentasian yang berupa pencatatan dan perekaman penting untuk dilakukan mengingat sifat warisan budaya yang terbatas dan tidak dapat diperbarui.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 52 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya disebutkan salah satu fungsi BPCB adalah melaksanakan dokumentasi dan publikasi cagar budaya. Jadi kegiatan dokumentasi merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh BPCB. Kegiatan dokumentasi diharapkan akan menghasilkan suatu daftar warisan budaya/cagar budaya yang dapat memperlihatkan persebaran warisan budaya/cagar budaya yang ada di wilayah kerja masing-masing BPCB.
Upaya-upaya pelestarian terhadap warisan budaya/cagar budaya di Kabupaten Bima telah diupayakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, diantaranya berupa penempatan juru pelihara, pemetaan dan dokumentasi. Terkait dengan dokumentasi warisan budaya di Kabupaten Bima baru tercatat 4 lokasi yang sudah diinventaris diantara sekian lokasi yang mengandung warisan budaya, yaitu Candi Tebing Wadu Pa’a Kelurahan Kananta, Kecamatan Soromandi ; Benteng Asa Kota II Desa Punaki Punti, Kecamatan Soromandi ; Rumah Adat Lengge dan Rumah Belanda Desa Maria, Kecamatan Wawo. Sesuai dengan tugas dan fungsi BPCB berupa dokumentasi cagar budaya dan karena besarnya potensi warisan budaya yang terdapat di Kabupaten Bima, maka tahun anggaran 2014 ini dilaksanakan inventarisasi lanjutan untuk melengkapi data warisan budaya yang telah ada sebelumnya.
Maksud dan Tujuan
Kegiatan Inventarisasi Warisan Budaya di Kabupaten Bima, Provinsi NTB, dimaksudkan untuk lebih menyempurnakan kwalitas dan kwantitas data yang telah ada. Dalam arti hasil yang diperoleh benar-benar merupakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, baik mengenai jumlah, jenis dan berbagai aspek penting lainnya. Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah sebagai bahan dalam penyusunan Daftar Induk Inventarisasi Warisan Budaya/Cagar Budaya yang tersebar di Kabupaten Bima, sehingga dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya.
Metode
Untuk memperoleh hasil yang maksimal di lapangan, maka dalam pelaksanaan kegiatan ini mempergunakan metode kerja :
- Obervasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan langsung pada objek yang menjadi sasaran.
- Wawancara, yakni teknik pengumpulan data melalui kegiatan wawancara tanpa struktur dengan pihak-pihak yang mengetahui keberadaan situs.
- Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data melalui sumber-sumber tertulis yang memiliki kaitan dengan objek yang diteliti.
Letak dan Lingkungan
Kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pemekaran dari Kabupaten Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan. Topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur pegunungan sementara sisanya (30%) adalah dataran. Sekitar 14% dari proporsi dataran rendah tersebut merupakan areal persawahan dan lebih dari separuh merupakan lahan kering. Dilihat dari ketinggian dari permukaàn laut, Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan Sape dan Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut.
Luas wilayah Kabupaten Bima setelah pembentukan Daerah Kota Bima berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 adalah seluas 437.465 Ha atau 4.394,38 Km² (sebelum pemekaran 459.690 Ha atau 4.596,90 Km²) dengan jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata 96 jiwa/Km².
Wilayah Kabupaten Bima beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan relatif pendek. Keadaan curah hujan tahunan rata-rata tercatat 58.75 mm, maka dapat disimpulkan Kabupaten Bima adalah daerah berkategori kering sepanjang tahun yang berdampak pada kecilnya persediaan air dan keringnya sebagian besar sungai. Curah hujan tertinggi pada bulan Februari tercatat 171 mm dengan hari hujan selama 15 hari dan musim kering terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September dimana tidak tejadi hujan. Kabupaten Bima pada umumnya memiliki drainase yang tergenang dan tidak tergenang. Pengaruh pasang surut hanya seluas 1.085 Ha atau 0,02% dengan lokasi terbesar di wilayah pesisir pantai. Sedangkan luas lokasi yang tergenang terus menerus adalah seluas 194 Ha, yaitu wilayah Dam Roka, Dam Sumi dan Dam Pelaparado, sedangkan wilayah yang tidak pernah tergenang di Kabupaten Bima adalah seluas 457.989 Ha.
Di Kabupaten Bima terdapat lima buah gunung, yakni:
- Gunung Tambora di Kecamatan Tambora
- Gunung Sangiang di Kecamatan Wera
- Gunung Maria di Kecarnatan Wawo
- Gunung Lambitu di Kecamatan Lambitu
- Gunung Soromandi di Kecamatan Donggo, merupakan gunung tertinggi di wilayah ini dengan ketinggian 4.775 m.
Batas-batas wilayah Kabupaten Bima adalah :
- Utara : Laut Flores
- Selatan : Samudera Indonesia
- Barat : Kabupaten Dompu
- Timur : Selat Sape
Pada tahun 2007 terjadi pemekaran wilayah dengan penambahan 4 kecamatan baru, yaitu: Parado, Lambitu, Soromandi, dan Pali’belo. Dengan adanya pemekaran ini, sekarang Kabupaten Bima memiliki jumlah kecamatan sebanyak 18 wilayah.
Berdasarkan letak administrasi, lokasi kegiatan tersebar di 5 kecamatan, yaitu Wawo, Monta, Bolo, Lambu dan Sape. Sedangkan menurut kondisi lingkungan, lokasi kegiatan tersebar di daerah pegunungan dengan ketinggian 728 dpl sampai di daerah dataran rendah dengan ketinggian 19 m dpl.
Sejarah
Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu/Budha. Hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’a yang terletak di pesisir barat ujung utara Teluk Bima. Penduduk yang mendiami daerah Bima menyebut diri mereka Dou Mbojo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Kerajaan Bima dahulu terpecah–pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan
3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur
Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima, cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : Darmawangsa, Sang Bima, Sang Arjuna, Sang Kula dan Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil di sebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.
Kira-kira pada awal abad XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam.
Dalam kancah politik Nusantara, pada abad ke-17, Bima mengalami berbagai pergolakan, baik di dalam tubuh Bima sendiri maupun di wilayah timur Nusantara. Hubungan bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik, selain karena persamaan ideologi kerajaan (Islam), juga karena adanya hubungan darah di antara pemegang kekuasaan kedua kerajaan. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar ini terjalin sampai pada turunan yang VII, yaitu pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa.
Kontak pertama Bima dengan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda bernama Steven van Hegen pada 1605. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Dalam perjanjian tahun 1669 itu, Bima memberikan kebebasan pada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan. Setiap terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian diantara elit penguasa di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas kekuasaannya di wilayah itu. Untuk mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa.
Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim pada tanggal 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Met Bima”. Perjanjian tersebut antara lain berisi :
- Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan.
- Sultan Bima berjanji tidak melakukan kerja sama dengan bangsa kulit putih lain.
- Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
- Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda.
Walau pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan [suarantb.com].
- Tempayan Batu So Jalamba
Secara administrasi lokasi ini termasuk dalam wilayah Desa Kambilo Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima. Lokasi tempayan berada padatitik koordinat 50 L 0708399 UTM 9057910, dengan ketinggian 728 m di atas permukaan laut. Lokasi tempayan berada jauh dari pemukiman, tepatnya berada pada sebuah bukit yang dikenal dengan nama So Jalamba. Lingkungan lokasi Tempayan masih sangat alami dengan berbagai jenis vegetasi.
- Tempayan Batu So Jalamba
- No. Inventaris : 3/15-09/ST/7
- Alamat :
- Dusun :
- Desa : Kambilo
- Kecamatan : Wawo
- Kabupaten : Bima
- Provinsi : NTB
- Koordinat : 50 L 0708399 UTM 9057910, 728 m dpl
- Luas Lahan : ± 0,5 ha
- Batas-batas :
- Utara : Kebun
- Timur : Kebun
- Selatan : Kebun
- Barat : Kebun
- Periode : –
- Latar Budaya : Tradisi megalitik
- Pemilik : Alm. Haji Yahya
- Pengelola : Alm. Haji Yahya
- Deskripsi : Lokasi ini merupakan sebuah tegalan/kebun yang di dalamnya tersimpan dua buah tempayan batu. Lokasi kedua tempayan agak berjauhan, ± berjarak 30 m.
- Tempayan Batu
- No. Inventaris : 1/15-09/BND/9
- Ukuran
- Tinggi : 121 cm
- Diameter : 69 cm
- Tebal : 10 cm
- Bahan : Padas
- Kondisi : Bagian bibir pecah
- Deskripsi : Tempayan ini berbentuk bulat lonjong, dengan kedalaman 82 cm, permukaan benda seluruhnya ditumbuhi lumut dan lumut kerak.
- Tempayan Batu
- No. Inventaris : 1/15-09/BND/10
- Ukuran
- Tinggi : 154 cm
- Diameter : 66 cm
- Tebal : 9 cm
- Bahan : Padas
- Kondisi : Utuh
- Deskripsi : Tempayan ini berbentuk bulat lonjong, kedalaman 104 cm, permukaan benda seluruhnya ditumbuhi lumut dan lumut kerak.
- Makam Kuna Simpasai
Secara administrasi lokasi ini termasuk dalam wilayah Desa Simpasai, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima. Lokasi makam berada pada titik koordinat 50 L 0683650 UTM 9039331, dengan ketinggian 76 m di atas permukaan laut. Lokasi makam berada di wilayah pemukiman, tepatnya berada pada sebuah pemakaman umum. Makam kuna ini berada di tengah-tengah makam baru lainnya.
- Situs Makam Kuna Simpasai
- No. Inventaris : 3/15-09/ST/8
- Alamat :
- Dusun : –
- Desa : Simpasai
- Kecamatan : Monta
- Kabupaten : Bima
- Provinsi : NTB
- Koordinat : 50 L 0683650 UTM 9039331, 76 m dpl
- Luas Lahan : 6 m x 6 m = 36 m2
- Batas-batas :
- Utara : Kuburan umum
- Timur : Kuburan umum
- Selatan : Kuburan umum
- Barat : Kuburan umum
- Periode : Penyebaran Agama Islam
- Latar Budaya : Islam
- Pemilik : Masyarakat Desa Simpasai
- Pengelola : Masyarakat Desa Simpasai
- Deskripsi : Lokasi ini merupakan sebuah areal pemakaman umum yang diperuntukan bagi anggota masyarakat Desa Simpasai. Lokasi ini berada di pinggir jalan raya, tepatnya di belakang Puskesmas Pembantu Desa Simpasai, sehingga lokasi ini sangat mudah dicapai. Makam kuna ini berada diantara makam-makam yang lain, tanpa adanya pembatas. Lingkungan makam masih alami, dengan vegetasi beberapa pohon kamboja dan seluruh areal ditumbuhi rerumputan. Di belakang areal makam (bagian timur) terdapat sebuah bukit.
- Makam
- No. Inventaris : 4/15-09/STR/5
- Ukuran
- Panjang : 143 cm
- Lebar : 80 cm
- Bahan : Batu
- Kondisi : Utuh
- Arah hadap : –
- Deskripsi : Tokoh yang dimakamkan adalah seorang penyebar agama Islam yang berasal dari Makasar. Makam ini terdiri atas 2 bagian, yaitu
- bagian dasar yang berupa sebuah gundukan tanah yang tertutup rumput, tanpa adanya penanda batas makam dengan areal sampingnya ;
- nisan, berupa 4 batu berdiri (menhir) yang terbuat dari batu alam yang ditancapkan di keempat sisi makam. Keempat batu berdiri tidak mempunyai tinggi yang sama.