Inventarisasi Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali

0
6012

Latar Belakang

Pulau Bali yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura (The Island of Thousand Temples), sangat kaya dengan warisan budaya kebendaan atau cagar budaya. Peninggalan-peninggalan berupa candi, pura, gua, prasasti, arca-arca, alat-alat batu, dan sebagainya telah banyak diteliti. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa populasi cagar budaya hampir merata di seluruh  wilayah Pulau Bali, namun Kabupaten Gianyar memiliki cagar budaya yang paling banyak dibandingkan dengan kabupaten dan kota lain yang ada di Propinsi Bali. Peninggalan di Kabupaten Gianyar banyak ditemukan di Daerah Aliran Sungai Pakerisan, khususnya di Desa Manukaya, Tampaksiring, Pejeng dan Bedulu.

Penelitian yang dilakukan terhadap cagar budaya atau yang diduga cagar budaya yang ada di Kabupaten Gianyar memperlihatkan adanya berbagai aspek kehidupan atau latar budaya yang melatarbelakangi keberadaan warisan budaya kebendaan tersebut. Khususnya budaya Hindu Budha. Besarnya potensi kepurbakalaan yang ada menyebabkan banyak diantara peninggalan tersebut belum dapat diinventarisir dan diteliti. Hasil penelitian terhadap cagar budaya atau yang diduga cagar budaya diharapkan akan dapat menjadi sumber data sejarah budaya, khususnya sejarah budaya daerah Bali.

 Padatnya populasi cagar budaya di sekitar Daerah Aliran Sungai Pakerisan membuktikan Sungai Pakerisan mempunyai nilai penting bagi kehidupan manusia di masa lampau. Hal  ini menyebabkan Sungai Pakerisan menjadi pilihan bagi masyarakat di masa lampau sebagai suatu tempat pemukiman dan aktivitas kehidupan keagamaan.

 Pemilihan lokasi  di Daerah Aliran Sungai Pakerisan sebagai tempat aktivitas tidak hanya oleh masyarakat dan penguasa pada masa Bali Kuna, pada masa belakangan pun, lokasi ini tetap dipilih menjadi lokasi suatu aktifitas.  Pada jaman Kerajaan Gianyar, di bagian hulu Sungai Pakerisan pernah berdiri sebuah pesanggrahan (bangunan peristirahatan) milik Kerajaan  Gianyar.  Selanjutnya pada jaman kemerdekaan Presiden Soekarno memilih tempat ini sebagai lokasi Istana Kepresidenan.

Pendirian  Istana Kepresidenan Tampaksiring ini melengkapi bangunan istana lainnya yang ada di Indonesia,  yaitu Istana Bogor, Istana Merdeka Jakarta, Istana Cipanas dan juga Istana Gedung Agung Yogyakarta. Istana Tampaksiring ini merupakan satu-satunya istana yang dibangun pasca-Indonesia merdeka.

Istana Kepresidenan Tampaksring  merupakan sebuah lokasi dengan luas 19 ha yang didalamnya terdapat 4 bangunan utama berupa wisma dan bangunan pendukung lainnya yang difungsikan sebagai tempat peristirahatan presiden beserta keluarga dan tempat menerima tamu-tamu negara. Keempat bangunan wisma dibangun dengan fungsinya masing-masing dan dibangun secara bertahap. Wisma Merdeka dan Wisma Yudistira dibangun pada tahun 1957, Wisma Negara dan Wisma Bima selesai dibangun tahun 1963.

Berdasarkan kriteria cagar budaya seperti yang termuat dalam Undang-undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, keempat wisma di  Istana Tampaksiring memiliki beberapa kriteria untuk dapat disebut sebagai bangunan yang diduga sebagai cagar budaya (warisan budaya kebendaan). Berdasar umur, dan nilai penting yang dikandungnya, bangunan wisma di Istana Tampaksiring dapat didaftarkan untuk dikaji sebagai Bangunan Cagar Budaya.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang RI No. 11 Tahun 2010 ini, terutama pada Bab VI bagian Kesatu Pasal 28, 29 dan 30 yang mengamanatkan perlu dilakukan pendaftaran warisan budaya kebendaan sebagai bagian dari proses penyusunan Register Nasional. Penyusunan Register Nasional merupakan upaya penting untuk mengetahui jumlah kekayaan cagar budaya secara nasional. Sehubungan dengan hal tersebut dilakukan pendaftaran sebagai langkah awal dalam pencatatan objek yang akan diusulkan sebagai cagar budaya kepada pemerintah kabupaten/kota. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, kegiatan pendaftaran menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Tetapi karena belum terbentuknya Tim Pendaftaran Cagar Budaya dan Tim Ahli Cagar Budaya di sebagian besar daerah kabupaten/kota, maka proses pendaftaran dibantu oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Subdit. Registrasi Nasional) dan pengkajian sebagai cagar budaya diambil alih oleh Tim Ahli Cagar Budaya Tingkat Nasional.

Terkait dengan hal tersebut di atas, pada tahun 2015 ini, Subdit. Registrasi Nasional mendaftarkan keempat Bangunan Wisma Istana Tampaksiring untuk ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Tingkat Nasional. Untuk melengkapi kekurangan data, maka dilakukan kegiatan Inventarisasi dan Pemetaan Istana Tampaksiring untuk merekam data verbal maupun data viktorial.

Maksud dan Tujuan

Kegiatan Inventarisasi Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali, dimaksudkan untuk merekam/mengumpulkan data verbal (jumlah, bentuk, jenis, ukuran dan kondisi) dan piktoral (foto dan peta) Istana Tampaksiring.  Sedangkan tujuannya adalah untuk melengkapi data  terkait pengusulan Istana Kepresidenan Tampaksiring sebagai Bangunan Cagar Budaya Tingkat Nasional oleh Subdit. Registrasi Nasional, dan untuk menghimpun data dalam rangka menyusun Daftar Induk Inventarisasi Warisan Budaya/Cagar Budaya di Propinsi Bali, dalam rangka penyempurnaan data yang telah ada sebelumnya.

Metode  

Untuk memperoleh hasil yang maksimal, dalam pelaksanaan kegiatan Inventarisasi Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali menggunakan beberapa metode, yaitu :

  1. Observasi, yaitu tehnik pengumpulan data yang secara langsung dilakukan pada  objek yang menjadi sasaran kegiatan, dalam hal ini melalui pengamatan langsung ke lokasi-lokasi yang mengandung warisan budaya.
  2. Wawancara adalah tehnik pengumpulan data melalui kegiatan wawancara tanpa struktur dengan pihak-pihak yang mengetahui tentang objek penelitian.    Metode wawancara ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan akurat mengenai keberadaan situs dan warisan budaya yang ada di dalamnya.
  3. Studi Kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui data pustaka atau sumber-sumber tertulis lain yang memiliki kaitan dengan objek  yang menjadi sasaran kegiatan.

Dari ketiga metode tersebut di atas akan dilakukan analisis data sehingga dapat diproses untuk selanjutnya disusun dalam bentuk sebuah laporan.

Letak dan Lingkungan

Secara administratif Istana Kepresidenan termasuk dalam wilayah Dusun Manukaya Anyar, Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Karena terletak di wilayah Tampaksiring, maka istana yang didirikan pada masa Presiden Soekarno ini disebut dengan Istana Kepresidenan Tampaksiring. Tampaksiring sendiri merupakan nama sebuah lokasi yang cukup tua di Bali. Nama Tampaksiring sangat terkait dengan cerita rakyat tentang Mayadenawa, sebuah cerita yang menyebutkan asal usul nama sebuah desa/lokasi yang dilalui Mayadenawa ketika melarikan diri dari kejaran Dewa Indra. Dalam cerita tersebut juga disebut asal usul nama Desa Manukaya.

Desa Manukaya sendiri merupakan sebuah desa yang menjadi bagian Kecamatan Tampaksiring yang juga sangat kaya akan tinggalan arkeologi. Secara makro wilayah ini merupakan dataran tinggi dengan hawa yang cukup sejuk dan cenderung dingin pada malam hari. Kawasan yang menjadi hulu Sungai Pakerisan ini mempunyai curah hujan juga cukup tinggi. Di wilayah ini juga terbentang sawah-sawah yang menjadi bagian dari Lansekap Subak DAS Pakerisan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.

Istana Kepresidenan terletak pada salah satu bagian wilayah Desa Manukaya, pada ketinggian 600 m di atas permukaan air laut. Di sekelilingnya terhampar kawasan yang asri, perkampungan khas Bali, persawahan berteras di seberang timur  dan berdampingan dengan Pura Tirta Empul. Bangunan-bangunan utama istana berdiri di atas tanah yang berbukit. Diantara bangunan-bangunan yang ada tertata pertamanan yang asri, yang berupa hamparan rumput hijau, diselingi pohon-pohon besar yang lebih tua daripada bangunan-bangunan itu sendiri. Semua ini membuat suasana Istana Tampaksiring tenang dan teduh. Untuk mencapai Istana Kepresidenan dapat melalui jalan jurusan menuju ke Tampaksiring. Setelah melewati pasar Tampaksiring dan Pertigaan Tampaksiring-Tirta Empul-Tegallalang dapat mengambil jalan lurus yang menuju ke utara ± 200 m akan dapat ditemui lokasi istana yang berada di sisi timur jalan. Dari jalan akan terlihat sebuah lokasi dengan tembok keliling stil Bali dengan 3 buah pintu masuk yang berupa candi bentar.

Peta Lokasi Istana Kepresidenan Tampaksiring
Sumber : BPCB Bali dan Istana Kepresidenan Tampaksiring

Latar Sejarah

Istana ini berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan yang berhawa sejuk dan jauh dari keramaian kota.  Sebuah tempat yang cocok bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara. Istana Tampaksiring merupakan satu-satunya Istana Kepresidenan yang dibangun setelah Indonesia merdeka. Kelima istana lainnya merupakan bangunan yang telah berdiri sejak jaman kolonialisme Belanda, antara lain Istana Negara dan Istana Merdeka (Jakarta), Istana Bogor (Bogor), Istana Cipanas (Cipanas), serta Gedung Agung (Yogyakarta). Istana Tampaksiring biasanya digunakan oleh presiden untuk beristirahat, melakukan rapat kerja, serta melakukan perundingan luar negeri. Pada tanggal 27 April 2007, misalnya, Istana Tampaksiring menjadi saksi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.

Istana ini dibangun secara bertahap. Arsiteknya adalah R.M. Soedarsono. Yang pertama kali dibangun adalah Wisma Merdeka dan Wisma Yudistira, yaitu pada tahun 1957. Pembangunan dilanjutkan pada tahun berikutnya dan kesemuanya selesai dibangun pada tahun 1963, yaitu dengan berdirinya Wisma Negara dan Wisma Bima.

Di salah satu sudut kawasan Istana Tampaksiring, menghadap Pura Tirta Empul, dahulu terdapat “pesanggrahan” (bangunan peristirahatan) milik Kerajaan Gianyar. Di atas lahan tersebutlah didirikannya Wisma Merdeka. Pertimbangan mengapa lokasi Tampaksiring dipilih sebagai lokasi istana adalah hawanya yang sejuk dan letaknya yang jauh dari keramaian kota (jauh dari hiruk pikuk), cocok bagi sebuah tempat peristirahatan.

Nama Tampaksiring sendiri diambil dari nama lokasi dimana istana tersebut berada. Nama Tampaksiring mempunyai sejarah yang panjang. Nama Tampaksiring berasal dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu “tampak” dan “siring”, yang masing-masing bermakna telapak dan miring. Konon, menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan sakti, namun sayangnya ia bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya sebagai dewa serta menyuruh rakyat menyembahnya. Akibat dari tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan bala tentaranya. Mayadenawa pun lari masuk hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap para pengejarnya tidak mengenali jejak telapak kakinya.

Namun, ia dapat juga tertangkap oleh para pengejarnya. Sebelumnya, ia dengan sisa kesaktiannya berhasil menciptakan mata air yang beracun yang menyebabkan banyak kematian para pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air tersebut. Batara Indra kemudian menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air beracun itu yang kemudian bernama “Tirta Empul” (“air suci”). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya itu terkenal dengan nama Tampaksiring.

  • Istana Kepresidenan Tampaksiring
Site Plan Istana Kepresidenan Tampaksiring
Sumber : Istana Kepresidenan Tampaksiring
  • No. Inventaris  : 3/14-04/ST/223
  • Nama :  Istana Kepresidenan Tampaksiring
  • Alamat  : 
    • Dusun  : Manukaya Anyar
    • Desa : Manukaya
    • Kecamatan : Tampaksiring
    • Kabupaten : Gianyar
    • Propinsi : Bali
  • Koordinat : 50 L 0314371 UTM 9069516
  • Luas Lahan :  19 ha
  • Arah Hadap :  –
  • Bahan  :  –
  • Batas-batas  :
    •  Utara  : Jl. Mawar, rumah penduduk                                            
    • Timur   : Kompleks Pura Tirta Empul
    • Selatan : Tegalan
    • Barat  : Jl.  Ir. Soekarno
  • Periode :  Kemerdekaan
  • Latar Budaya  :  –
  • Deskripsi  :  Komplek Istana Kepresidenan Tampaksiring merupakan sebuah lokasi yang difungsikan sebagai tempat peristirahatan bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara. Istana Tampaksiring terdiri atas empat gedung utama (wisma) dan bangunan-bangunan penunjang lainnya. Bangunan-bangunan utama ini dibangun menyebar di atas lahan seluas 19 ha dan karenanya jarak antara gedung utama yang satu dan gedung yang lain relatif jauh, namun masih berada dalam jarak tempuh jalan kaki yang justru dapat menyehatkan badan. Dua gedung utama diberi nama Wisma Merdeka dan Wisma Negara. Dua gedung utama yang lainnya diberi nama Wisma Yudistira dan Wisma Bima. Wisma Merdeka dan Wisma Negara dibangun sisi timur areal istana, tepat di atas lereng timur. Wisma Yudistira dibangun di sentral areal istana, sedangkan Wisma Bima dibangun di sisi selatan areal istana, dengan arah hadap utara. Selain empat gedung utama, di Istana Tampaksiring juga dibangun beberapa bangunan tambahan sebagai penunjang berbagai aktifitas rutin dan kegiatan kenegaraan yang dilakukan di lingkungan istana. Bangunan tambahan tersebut diantaranya adalah : pendopo beraksitektur khas Bali, wantilan, perpustakaan, dapur, paviliun, gedung perkantoran, Gedung Istura, garase dan Gedung Konferensi. Gedung Konferensi dibangun untuk kepentingan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 7 – 8 Oktober 2003.  Diantara bangunan-bangunan yang ada tertata pertamanan yang asri, yang berupa hamparan rumput hijau, diselingi pohon-pohon besar yang lebih tua daripada bangunan-bangunan itu sendiri. Semua ini membuat suasana Istana Tampaksiring tenang dan teduh.
  • Wisma Merdeka
Denah Wisma Merdeka
Sumber : Istana Kepresidenan Tampaksiring
  • No. Inventaris  : 2/14-04/BNG/23
  • Bahan : Kayu, pc
  • Warna : Abu-abu
  • Luas : 1.200 m2
  • Periodisasi : Kemerdekaan
  • Kondisi : Utuh, terawat
  • Deskripsi : Wisma Merdeka adalah bangunan yang dibangun sebagai tempat beristirahat/menginap bagi presiden dan keluarga. Bangunan yang memiliki luas 1.200 m2 ini terdiri atas beberapa bagian. Ruang tidur I dan ruang tidur II Presiden, ruang tidur keluarga, ruang tidur dokter pribadi presiden, dan ruang kerja. Ruang makan dan ruang tamu adalah bagian terluas di Wisma Merdeka. Beberapa bagian wisma memakai dinding terawangan, yaitu tembok dengan ukiran timbul dan berlubang khas Bali. Banyak dijumpai elemen arsitektur dari ukiran kayu yang dicat dengan nuansa warna biru dan emas. Atap bangunan terbuat dari sirap. Ruang Tamu Wisma Merdeka berfungsi sebagai tempat menerima tamu negara dengan perangkat duduk bergaya neoklasik dengan balutan polister berwarna krem. Ruang tamu keseluruhan ruangan pada wisma ini berhiaskan patung-patung, lukisan-lukisan pilihan, dan perabotan-perabotan yang serasi dengan nuansa dan fungsi wisma. Dari sebelah kiri ruang tamu ke arah kaki bukit terlihat kompleks Pura Tirta Empul yang anggun dan penuh kedamaian yang dilatari oleh aliran air bersih yang terus mengalir dari mata air Tirta Empul. Riwayat terjadinya Tirta Empul (air suci) ini direkam ke dalam hiasan relief khas Bali di dinding kanan serambi belakang wisma. Pada masa kepresidenan pertama Republik Indonesia, Wisma Merdeka difungsikan sebagai tempat Presiden Soekarno untuk mencari inspirasi, merumuskan pemikiran-pemikiran, dan menuliskan pidato-pidatonya
Wisma Merdeka tampak selatan (depan)
Sumber : Dokumentasi BPCB Bali
  • Wisma Negara
Denah Wisma Negara
Sumber : Istana Kepresidenan Tampaksiring
 
  • No. Inventaris  : 2/14-04/BNG/24
  • Bahan : Kayu, pc
  • Warna : Abu-abu
  • Luas : 1.476 m2
  • Periodisasi : Kemerdekaan
  • Kondisi : Utuh, terawat
  • Deskripsi : Wisma Negara dibangun pada tahap kedua dan selesai pada tahun 1963. Wisma Negara mempunyai luas 1.476 m2. Bagian utama Wisma Negara juga sama dengan bagian utama Wisma Merdeka. Wisma ini dibangun di atas tanah berbukit dan kedua bukit yang menopang kedua wisma itu dipisahkan oleh celah bukit yang sedalam 15 meter. Wisma Negara digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu Negara. Antara Wisma Merdeka dengan Wisma Negara dihubungkan oleh jembatan penghubung sepanjang 40 meter dan lebar 1.5 meter. Tamu-tamu negara dari negara-negara sahabat, yang datang berkunjung untuk membina persahabatan, selalu diantar melalui jembatan ini. Itulah sebabnya, jembatan ini disebut Jembatan Persahabatan. Bangunan Wisma Negara dibagi menjadi beberapa ruangan, yaitu  lobby, ruang kerja, ruang tidur utama, ruang makan,
Wisma Negara tampak depan (barat daya)
Sumber : Dokumentasi BPCB Bali
  • Wisma Yudistira
Denah 4. Denah Wisma Yudistira
Sumber : Istana Kepresidenan Tampaksiring
  • No. Inventaris  : 2/14-04/BNG/25
  • Bahan : Kayu, pc
  • Warna : Abu-abu
  • Luas : 1.825 m2
  • Periodisasi : Kemerdekaan
  • Kondisi : Utuh, terawat
  • Deskripsi : Wisma Yudhistira terletak di tengah kompleks Istana Tampaksiring, dengan luas 1.825 m2. Wisma ini merupakan tempat menginap  para menteri dan pejabat tinggi negara yang sedang berkunjung ke Istana Tampaksiring. Kamar-kamar yang ada di wisma ini juga dimaksudkan sebagai tempat peristirahatan.
Wisma Yudistira tampak timur
Sumber : Dokumentasi BPCB Bali
  • Wisma Bima
Denah Wisma Bima
Sumber : Istana Kepresidenan
  • No. Inventaris  : 2/14-04/BNG/26
  • Bahan : Kayu, pc
  • Warna : Abu-abu
  • Luas : 2.310 m2
  • Periodisasi : Kemerdekaan
  • Kondisi : Utuh, terawat
  • Deskripsi  : Wisma Bima memiliki luas 2.310 m2. Wisma ini selesai dibangun pada 1963. Nama Wisma diambil dari nama putra kedua pendawa. Wisma ini berfungsi sebagai tempat beristirahat para pengawal serta petugas yang melayani Presiden beserta keluarga atau tamu negara beserta pengiringnya.
Wisma Bima tampak depan (utara)
Sumber : Dokumentasi BPCB Bali

Pembahasan

Istana Tampaksiring berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga dan juga bagi tamu-tamu negara yang berkunjung ke Bali. Pertimbangan pemilihan lokasi Tampaksiring udara yang sejuk serta letaknya yang jauh dari keramaian kota sehingga dinilai cocok bagi sebuah tempat peristirahatan. Istana Tampaksiring mulai dibangun pada tahun 1957 sampai dengan tahun 1963. Istana Tampaksiring merupakan satu-satunya Istana Kepresidenan yang dibangun setelah Kemerdekaan Indonesia dan dipandang memiliki nilai penting untuk dijadikan sebagai Bangunan Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Seiring berjalannya waktu, fungsi dari Istana Kepresidenan Tampaksiring mengalami perkembangan. Selain sebagai tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan Kepresidenan, Istana Kepresidenan Tampaksiring juga berfungsi juga sebagai objek pariwisata. Masyarakat umum dapat mengunjungi Istana Tampaksiring dalam waktu-waktu tertentu.

Menurut Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya bahwa bangunan cagar budaya merupakan susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Bangunan dapat dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya jika memiliki kriteria ;

  • Pasal 5
    • Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
    • Mewakili masa gaya paling singkat berusia (lima puluh) tahun;
    • Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
    • Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
  • Pasal 7
  • Berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
  • Berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.
  • Pasal 42

Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat nasional apabila memenuhi syarat sebagai :

  1. wujud kesatuan dan persatuan bangsa;
  2. karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia;
  3. Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia;
  4. bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di  masyarakat; dan/atau
  5. contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya, dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah.

Apabila dikaitkan dengan keberadaan Istana Tampaksiring khususnya 4 bangunan utama (wisma), maka Istana Tampaksiring memenuhi kriteria untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya, yaitu :

  1. Berusia lebih dari 50 tahun,
  2. Memiliki arti khusus bagi:
  3. Sejarah

Istana Tampaksiring merupakan tempat peristirahatan presiden dan wakil presiden berserta keluarga dan juga tempat para tamu penting Negara.

  • Ilmu Pengetahuan

Dari segi ilmu pengetahuan, penelitian terhadap istana ini dapat menambah pengetahuan mengenai bagaimana gaya bangunan serta ragam hias bangunan istana kepresidenan yang ada di Bali serta sistem pemerintahan.

  • Pendidikan

Istana Kepresidenan Tampaksiring dapat menjadi sarana pendidikan masyarakat mengenai sejarah dan perjalanan kepresidenan setelah kemerdekaan.

  • Kebudayaan

Istana Kepresidenan Tampaksiring memiliki unsur kebudayaan tradisional Bali yang diambil dari legenda daerah Bali.

Bangunan Istana Tampaksiring yang didirikan pada tahun 1957 hingga tahun 1963, yang artinya sudah berumur diatas 50 tahun, sehingga dapat dikategorikan “ cukup kuno”. Bangunan secara visual dapat dikatakan tidak memperlihatkan ciri arsitektur yang khas, tetapi tetap mengadopsi unsur arsitektur Bali dalam penggunaan bahan padas pada beberapa bagian bangunan, Artinya secara Secara kejamakannya bangunan/wisma termasuk dalam jenis bangunan yang relatif langka atau tidak jamak. Ketidakjamakan ini dari segi fungsi bangunan sebagai tempat peristirahatan presiden dan keluarga, dan didirikan oleh Presiden I Indonesia Soekarno. Bangunan ini  merupakan tempat peristirahatan presiden yang sudah difungsikan sejak tahun 1960an dan bertahan hingga saat ini. Sudah banyak kegiatan yang dilaksanakan, terutama kegiatan kenegaraan. Peran terhadap sejarah bangsa masuk kategori “cukup berperan”. Keberadaan Istana Tampaksiring sangat mempengaruhi lingkungan sekitar,  apalagi bangunan terletak di kawasan Tampaksiring yang merupakan kawasan yang kaya akan tinggalan arkeologi dari masa Hindu Budha.  Sehingga bangunan dapat dikatakan “mempengaruhi” sekitar kawasan karena keberadaannya mempengaruhi serta sangat bermakna untuk meningkatkan kualitas dan citra lingkungan di sekitarnya. Bentuk bangunan tidak mengalami perubahan dan cenderung sama secara fisik dengan keaslian bangunan. Sehingga bangunan masuk kategori “asli”.