Inventarisasi dan Pendokumentasian Objek Yang Diduga Cagar Budaya Di Kabupaten Timor Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur

0
5333

Kegiatan Inventarisasi Cagar Budaya atau Objek Yang Diduga Cagar Budaya di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini dilaksanakan pada tanggal 13-20 Juli 2013, melibatkan sebuah tim yang beranggotakan 4 orang antara lain Andi Syarifudin S.S, Nyoman Adi Suryadharma, SS, Dewa Gede Pariasa, I Made Adi Putra. Adapun jangkauan pelaksanaan kegiatan ini meliputi pencatatan, pemotretan, penomoran, pengukuran, pendeskripsian dan penggambaran setiap tinggalan arkeologi baik benda, bangunan, struktur, maupun situs. Adapun objek yang diduga cagar budaya yang dituju di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah :

  • Sumur Tua / Mata Air

secara admnistrasi Sumur Tua Kota Soe ini bersda di Desa Kotae , Kecamatan Kota Soe, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. situs ini memiliki Luas Lahan  : Lebar  Belakang : 15 meter, Lebar Depan : 5 meter, Panjang bagian Timur : 25 meter , dan Panjang bagian Barat : 21 meter. secara Geografis berada pada Koordinat 51 L 0640123, 8909067 UTM. dengan batas-batas, Utara : Kebun, Timur : Jalan, Selatan : Jalan, Barat : Kebun. Sampai saat ini Situs ini di kelola oleh Ibu Yet Bolang, dan status kepemilikan oleh Keluarga Bolang.

Deskripsi situs : Kisah unik mata air di Kota Soe, pada tahun 1965 air yang ditimbah dari mata air kampung aman yang terlatak 500 meter arah selatan dari mata air oebesi oleh beberapa perempuan, secara mengejutkan berubah menjadi anggur setelah didoakan. Anggur itu kemudian dipakai dalam perayaan, sakramen, perjamuan kudus yang dilakukan digedung kebaktian GMIT Maranatha Soe sebagai darah kristus yang dicurahkan untuk pengampunan. Atas dasar peristiwa itulah, di Soe menjadi perhatian dunia, terutama dalam lingkungan gereja. Atas kerjasama pemerintah timor tengah selatan, jemaat GMIT Maranatha Soe telah menjadikan mata air kampung aman, yang disebut-sebut sebagai sumber air yang kemudian berubah menjadi anggur, yang juga pada masa lalu memiliki arti khusus bagi penyebutan nama Kota Soe, sebagai situs yang dipakai untuk jiarah religius.

  • Benteng Tradisional None

Secara Administrasi Benteng tradisional None berada di Desa Lelat, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Situs ini memiliki Luas Lahan : 80 m x 44 m. secara Geografis berada di Koordinat 51 L 0654893, 8912697 UTM. Dengan batas-batas, Utara : Jurang, Timur : Jalan dan kebun, Selatan : Jurang, Barat : Jurang. Situs Benteng Tradisional None ini memiliki Latar Budaya “Tradisi Berlanjut” yang telah diwarisi dari jaman dahulu. Situs ini dimiliki oleh Masyarakat Adat Suku Tauho, dan di kelola oleh Bapak Kores Tauho. Benteng none berdiri sejak tahun 1820. Sudah mencapai sembilan generasi sampai saat ini. Benteng none ini masih di lestarikan. Sejak sembilan generasi yang lalu, mereka selalu berperang tetapi perang bukan perang internasional melainkan perang antar suku lokal, yaitu: MOLLO – AMANUBAN – AMANATUN. Posisi benteng none di bawah raja Amanuban. Sebelum mereka pergi perang, mereka membentuk tiga tempat altar atau kepercayaan mereka pada saat perang, yaitu: PENE – OTE NAUS – BOL NU’UT. PENE, merupakan tempat melihat musuh, apakah kedatangan musuh dari bagian mana. Ketika musuh sudah ada, maka mereka tidak terpaksa keluar untuk menghadapi musuh dalam perang. Mereka ke salah satu tempat untuk melihat apakah di saat perang mereka kalah atau menang. Tempat itu yaitu : OTENAUS. OTENAUS adalah suatu tempat untuk mencek posisi apakah di sat perang itu mereka menang atau kalah. Caranya tikam tombak di tiang dan mengukur apakah kuku itu sentuh dan di pakai dengan sebutir telur. Kalau kukuh itu tidak sentuh di tiang dan apaabila di pecahkan telur dapat darah, maka itu kalah. Kalau kuku sentuh di tiang dan pecahkan telur tidak ada darah maka akan menang dalam peperangan. Kalau kuku tidak sentuh di tiang dan pecahkan 7 telur tidak ada darah, maka mereka tidak keluar dari benteng , tetapi mereka kembali ke pene untuk mengganti posisi. Setelah ganti posisi maka kembali lagi ke ote naus, untuk mencek ulang. Kalau mencek posisisinya bagus maka mereka mengutus dua orang duduk di di bol nu’ut. Sedangkan yang lain keluar menghadapi musuh di tempat kejadian. Sampai ditempat kejadian mereka mendapat musuh enath itu musuh di tembak, di tobak, atau di potong. Jika di potong putus kepala musuh itu langsung di bawah ke benteng. Samapai di benteng mereka akan membuat upacara kemenangan selamah 4 hari 4 mala. setelah 4 hari 4 malam selesai maka mereka bawah kepala musuh itu kepada raja. Maka raja percaya langsumg memanggil mereka ke MEO BOL NU’UT : lubang peletakan senjata tumbuk. Orang – orang yang menghadapi musuh di saat perang dari 9 generasi itu ialah : ONI TAUHO, BOY TAUHO, KAO TAUHO. Mereka ini ini penjaga benteng dan di sebut panglima perang atau MEO. Bukti-bukti peninggalan : lopo umek bubu. Ada 2 buah umek bubu dan 2 buah lopo, juga ada Pagar batu, Lopo umek bubu, Pene, Bak-bak, Otenaus, Bol nu’ut, tol fuat, Senapan Tumbuk dan Tombak. UMEK BUBU : Tempat untuk menyimpan makanan, memasak, tidur, dan tmpat untuk bersalin. LOPO : Tempat pertemuan, terima tamu, hidangan, juga tempat tidur. TOL FUAT : tempat gantungan isi perut hewan di saat upacara apapun. TOL LE’O : tempat persembahan dan meminta makanan, hewan, dan hujan. BAK – BAK merupakan Tempat meletakan benih – benih.

  • Makam Raja Bill Nope

Secara Administrasi Situs Makam Raja Bill Nope berada di Desa Niki-niki, Kecamatan Amanuban, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. secara Geografis berada pada koordinat 51 L 0661534, 8914440 UTM. Situs ini memiliki Luas lahan 1 Hektar dengan Batas-batas, Utara : Ladang, Timur : Jalan, Selatan : Rumah Keluarga Bill Nope, Barat : Desa Bone. Latar Budaya dari Situs Makam Raja Bill Nope ini adalah Masa Kolonial, status kepemilikan di miliki oleh Keluarga Bill Nope, dan dikelola oleh Keluarga Bill Nope.

Deskripsi Situs : Perang Timor pecah pada tahun 1905, yang diserang oleh kolonial Belanda.Tempat pertama di wilayah Timor yang dimasuki tentara Belanda adalah kampung bi kau niki karenadi tempat itu berkumpul para Raja Timor dengan para Amaf dengan mengatur strategi perlawanan bila perang tiba. Tempat berikutnya yang diserang dan terjadi pertempuran sengit adalah di Kolbano. Pihak sekutu berhadapan dengan Raja Boi Kapitan, Esa Taneo, dan Pehe Neolaka tahun 1907. Selanjutnya para Raja lari berhamburan dan membantuk kekuatan untuk melawan penjajah, mencari tempat perlindungan dan membentuk benteng pertahanan. Pada abad ke 18 lebih kurang tahun 1866 sebelum terjadi peperangan atau sebelum kota niki-niki itu diserang oleh penjajah maka ada dua kubu di Amanuban (AmaNuban adalah salah satu wilayah kekuasaan) di Timor yang mana ke dua kubu besar ini akan melakukan voting atau ujian untuk menentukan siapa yang akan menduduki tahta keRajaan amaNuban yang berpusat di Tunbes dan kemudian dibawa ke Niki-Niki, yaitu kubu yang menamakan dirinya Suku Nuban dan kubu lain yang disebut Nope.

  • Sisa-sisa Peninggalan Kerajaan Amanuban

Secara Administrasi beradi di Desa Pili, Kecamatan Ki’e, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. secara geografis situs ini berada di Koordinat 51 L 0667073, 8920598 UTM. Situs ini Luas Lahan ± 15 Km mengelilingi bukit. dengan batas-batas, Utara : Hutan, Timur  : Hutan, Selatan : Hutan, Barat : Hutan. situs ini memeiliki latar Budaya “Tradisi Lokal” jenis siitus berupa kerajaan. Situs ini merupakan milik dari Masyarakat Lokal dan dikelola Bapak Markus Nubatonis yang juga sebagai Juru Pelihara Situs.

Deskripsi Situs : Situs ini merupakan Bekas kerajaan Amanuban ini dibangun di satu bukit dengan luas satu areal bukit. bahan bangunan yang digunakan adalah batu-batu alam andesit yang keras dan besar. Pagar Keliling halaman pertama memiliki ukuran, Tinggi : 165 cm, Tebal : 100 cm, Panjang : ± 3 Km mengelilingi bukit, Lebar Pintu : 208 cm. Di halaman kerajaan terdapat sebuah gundukan yang menurut cerita masyarakat turun-temurun adalah sebuah tempat penyimpanan harta karun kerajaan seperti benda-benda yang dianggap sakral. masyarakat menyebut tempat ini “kumbang” yamg memiliki ukuran, Tinggi Keseluruhan dari permukaan tanah : 1,5 meter. dengan Diameter keseluruhan 450 cm, diameter tutup 55 cm.

Balai Pertemuan Raja Amanuban terdiri dari dua lantai yang memiliki ukuran, Lantai 1, Luas : 640 cm X 640 cm, Tinggi : 53 cm, Lantai 2, Panjang : 560 cm, Lebar 475 cm, Tinggi : 30 cm. Di bagian atas lantai terdapat 1 meja dan 1 kursi untuk Raja Amanuban saat berbicara dengan rakyatnya. berbahan batu andesit diperkuat dengan semen, berbentuk persegi dengan ukuran, Kursi : P : 50 cm, L : 39 cm, dan T : 45 cm, Meja : P : 87 cm, L : 46 cm, dan T : 57 cm. balai pertemuan Raja Amanuban ini telah di perbaiki oleh Dinas Pariwisata setempat pada tahun 2012.

Balai Gong atau Lonceng ini berada di sebelah Barat Laut dari balai pertemuan. terdiri dari 2 lantai menggunakan bahan btu alam andesit dan sudah diperkuat dengan semen. balai ini memiliki ukuran, Lantai 1, Panjang : 451 cm, Lebar : 343 cm, dan Tinggi : 27 cm. Lantai 2, Panjang : 407 cm, Lebar 290 cm, dan Tinggi : 22 cm. fungsi balai ini adalah untuk tempat lonceng yang digunakan untu memanggil masyarakat adat jika ada berita dari raja atau jika ada rapat. sama dengan tempat duduk Raja Amanuban, balai gong ini sudah diperbaiki oleh Dinas Pariwisata setempat pada tahun 2012.

Selain itu di halaman ini terdapat juga beberapa “lopo” yang berbahan dari batu alam dibuat bulat dengan lubang di bagian dalamnya. fungsi lopo ini adalah sebagai salah satu pelengkap bangunan tradisional yang ditaruh di bagian atas tiang-tiang penyangga atap. Lopo ini memiliki ukuran, Tebal : 16 cm, Diameter Lubang : 35 cm, Diameter keseluruhan : 140 cm.

Sisa – sisa tembok halaman utama kerajaan juga masih terlihat jelas, berada di sisi Timur Laut halaman menghadap Utara – Selatan. tembok ini memiliki ukuran, Tinggi : 260 cm, Tebal : 100 cm. terlihat juga sisa-sisa atau bekas tangga dari gerbang.

Pada Halaman utama terdapat beberapa struktur yang merupakan bekas dari keberadaan kerajaan Amanuban, seperti struktur istana yang berbentuk lingkaran dengan ukuran Diameter : 19 meter. bahan yang digunakan adalah batu-batu alam andesit besar disusun meninggi. Monumen perpisahan ini merupakan monument yang dibuat sebelum 160 marga berpisah. monument ini berbentuk lingkaran denga ukuran, Diameter : 284 cm, Tinggi : 114 cm. monumen ini menggunakan bahan batu alam andesit yang disusun meninggi, di bagian atas terdapat satu batu kecil yang bertuliskan bahasa lokal “Soe Leonuban”, yang menurut masyarakat skitar batu ini memiliki nilai keramat.

Tidak jauh dari monumen tersebut terdapat struktur makam raja Amanuban pertama yang berbentuk persegi dengan bahan batu andesit besar disusun tinggi. makam ini memiliki ukuran, Panjang : 465 cm, Lebar : 235 cm, Tinggi : 88 cm. makam ini berorientasi Timur – Barat, bagian kepala di sisi Timur dan kaki di sisi Barat.

  • Benteng Pertahanan Desa Fotilo, dan Makam Masal Desa Fotilo

Secara Administrasi Situs ini berada di Desa Fotilo, Kecamatan Amanatun Utara, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Secara Geografis Situs ini berada di titik Koordinat Benteng : 51 L 0685634, 8923204 UTM. dan kuburan masal berada pada titik Koordinat 51 L 0685477, 8923347 UTM. stus ini berada di ketinggian 262 Meter Dpl. Situs ini memiliki batas-batas, Utara : Kampung Adat, Timur : Jalan Desa, Selatan : Sungai, Barat : Pemukiman. jenis situs adalah Benteng pertahanan dan kuburan masal. pemilik sittus adalah masyarakat adat, dan Bapak Hendrik Tafuli sebagai pengelola situs sekaligus juru pelihara situs.

Deskripsi Situs : Benteng ini didirikan diatas gundukan tanah (bukit kecil) di sisi Selatan kampong adat. bahan yang digunakan adalah batu-batu alam (kars/kapur) yang disusun meninggi. saat ini sudah mengalami perbaikan dan menggunakan bahan perekat semen untuk memperkuat struktur tersebut. tinggi benteng saat ini sudah tidak sama dengan tinggi aslinya dikarenakan sebagian dari batu-batunya dimanfaatkan untuk pembangunan Sekolah Dasar yang berada di dekat benteng. ukuran benteng saat ini adalah, Tinggi : 90 cm, Tebal : 30 cm, Panjang 16 meter, Lebar 7,30 meter. Fungsi asli benteng ini merupakan benteng pertahanan yang di buat oleh Sekitafuli pada saat melawan Belanda pada tahun 1907 masehi.

Tidak jauh dari pemukiman dan benteng dibuat monumen penghormatan terhadap keluarga Sekitafuli yang dibunuh oleh Belanda pada tahun 1907. monumen ini dibuat dengan bahan batu andesit yang di tata menumpuk berbentuk lingkaran dengan ukuran, Tinggi : 35 cm, Diameter lingkaran : 355 cm. Saat ini areal disekitar dimanfaatkan sebagai tempat penguburan oleh masyarakat desa.

  • Makam Pahlawan Fotilo

Secara Administrasi Situs ini berada di Desa Lila, Kecamatan Amatun Utara, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Secara Geografis Situs ini berada di titik Koordinat 51 L 0688869, 8936880 UTM, dan luas lahan 1 Hektar dengan Batas-batas, Utara : Makam, Timur : Makam, Selatan : Makam, Barat : Makam. Latar Budaya Situs merupakan masa Kolonial, jenis pemakaman, dimiliki oleh masyarakat, dan dikelola oleh masyarakat.

Deskripsi  Situs : Makam Pahlawan Sekitafuli ini berada di areal pemakaman umum. Struktur ini berbentuk limas yang terdiri dari bagian dasar, badan dan atap. pada bagian atap terdapat patung yang merupakan perlambangan dari Pahlawan Sekitafuli. Menurut cerita rakyat setempat, bahwa setelah Sekitafuli ini melakukan penembakan terhadap elanda, dia melarikan diri ke daerah ini dengan kuda. Sekitafuli meninggal di daerah ini karena sakit, dan seluruh keluarganya dibantai oleh Belanda dan di makamkan di Kuburan Masal di Desa Fotilo. Makam ini memiliki hubungan erat dengan Benteng Pertahanan yang terdapat di Desa Fotilo. Makam ini memiliki ukuran, Diameter Lingkaran : 380 cm, Tinggi keseluruhan : 250 cm.