Evaluasi Pemugaran Kori Agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba

0
5809

Latar

downloadArkeologi dewasa ini mencoba melirik budaya hidup (living culture) yang berlanjut dari masa lalu untuk dijadikan suatu data perbandingan dalam menarik berbagai eksplanasi mengenai masa lalu manusia. Indonesia dengan kemajemukan latar belakang, etnis, kepercayaan dan agama, lintas sejarah serta budaya sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mencari benang merah penghubung kebudayaan masa lalu, sebab sebagian dari masyarakat kita masih memiliki pola hidup sederhana yang merupakan kelanjutan pola hidup masa lalu (Hakim, 1997). Kori Agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba merupakan salah satu living monument yang sampai saat ini masih difungsikan sebagai instrument dalam mendukung pelaksanaan ritual di Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba. Kori Agung ini adalah hasil karya arsitektur yang merupakan  kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Keberadaan kori agung Merajan Agung Kaleran Kaba-kaba keberadaannya bersamaan dengan mulai berdirinya Puri Kaba-kaba. Dimana kita ketahui bahwasannya Puri Kaba-kaba berdiri setelah keberhasilan penaklukan Kerajaan Majapahit terhadap Pulau Bali. Puri Kaba-kaba merupakan salah satu pusat kerajaan yang berada di Kabupaten Tabanan. Warga puri ini adalah generasi penerus atau keturunan dari “Si Arya Belog”. Dalam sejarah Bali kuna terakhir, disebutkan bahwa Kerajaan Bedahulu berhasil ditaklukkan melalui eksvansi  Patih Gajah Mada. Eksvansi patih Gajah Mada ke Bali banyak diikuti oleh para arya, para arya mengikutinya antara lain adalah Arya Belog, Arya Sentong, Arya Kenceng, Arya Damar dan Arya Kuta Waringin. Dengan berhasilnya penaklukkan Bali oleh Kerajaan Majapahit, para arya ini diberikan masing-masing wilayah untuk ditempati. Arya Belog berkedudukan di Kaba-kaba, Arya Sentong di Carang Sari, dan arya-arya lain juga diberikan masing-masing diberikan wilayah untuk ditempati oleh “Dalem” yang merupakan penguasa di Bali (Kompiang, 42 : 2010).

Arya Belog mendirikan kerajaan Kaba–kaba, beristana di sebelah selatan Bale Agung, sebelah timur jalan. Wilayah kekuasaannya meliputi: sebelah utara sampai batas wilayan Tabanan, sebelah timur sungai Busak, sebelah selatan sampai ke laut, dan sebelah barat desa Pangragoan. Beliau juga membuat Parahyangan Pusering Jagat bernama Pura Gunung Agung. Arya Belog dalam memerintah memakai gurit wesi, artinya sekali berkata tidak dapat diubah.

Sebagai sebuah puri kuna, Puri Kaleran Kaba-kaba mempunyai cukup banyak peninggalan cagar budaya, baik itu yang berupa benda cagar budaya maupun struktur cagar budaya. Salah satu struktur cagar budaya yang terdapat di Puri Kaleran Kaba-kaba adalah sebuah kori agung yang terdapat di Merajan Agung atau tempat suci keluarga puri. Kori agung ini merupakan sebuah gapura kuna yang keberadaannya hampir bersamaan dengan keberadaan berdiri dan berkembangnya Puri Kaleran Kaba-kaba. Sebagai sebuah struktur kuna, kori agung ini pada awalnya telah banyak mengalami gejala kerusakan dan pelapukan. Melihat kondisi struktur cagar budaya yang terdapat di Puri Kaleran Kaba-kaba dalam kondisi yang telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan, maka pemerintah melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali melaksanakan kegiatan pemugaran yang berlangsung pada tahun 2008. Pemugaran  ini bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik kori agung ke bentuk aslinya melalui data-data yang ditemukan di lapangan dan dikerjakan sesuai dengan prinsip dan prosedur pemugaran bangunan atau struktur cagar budaya.

Sebagai bentuk kelanjutan dari pelaksanaan pemugaran terhadap kori agung Puri Kaleran Kaba-kaba, maka dilaksanakanlah   upaya pelestarian berupa kegiatan evaluasi pasca pemugaran.  Kegiatan evaluasi pasca pemugaran ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini dari struktur cagar budaya   yang terdapat di Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba.  Hasil kegiatan evaluasi pasca pemugaran ini akan menjadi bahan rekomendasi dalam upaya penanganan gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi setelah selesainya pemugaran beberapa tahun yang lalu.

Kegiatan evaluasi pemugaran kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba  dilaksanakan selama   4 hari, dimulai dari tanggal 7 sampai dengan 10 Pebruari  2015, dengan susunan tim sebagai berikut :

1. Ketua Tim Pengumpul Data Sejarah dan Arkeologis : A.A Gde Warmadewa,SS.
2. Pengumpul Data Teknis : I Made Susun
3. Pengumpul Data Keterawatan : Ida Bagus Putu Nama
4. Juru Gambar : I Nyoman Suka Adnyana

Letak dan Lingkungan

Puri Agung Kaleran Kaba-kaba secara administratif  termasuk ke wilayah Desa  Kaba-kaba, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Desa Kaba-kaba terletak di wilayah dataran, dengan ketinggian rata-rata 115 meter dari permukaan air laut, luas wilayah Desa Kaba-kaba mencapai 4,52 km2 atau mencapai 8,43% dari luas wilayah Kecamatan Kediri secara keseluruhan. Hasil sensus BPS Kabupaten Tabanan tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Kaba-kaba mencapai 8907 jiwa dengan kepadatan mencapai 1,524 per km2.

Desa Kaba-kaba yang  berada pada daerah dataran memiliki kemiringan lereng rata-rata 15%. Pola aliran sungai yang berkembang di wilayah ini, seperti halnya hampir sebagian besar wilayah tengah Pulau Bali adalah subpararel, dengan wilayah sungai yang curam. Tanah di wilayah ini memiliki tekstur halus-sedang dengan warna coklat tua. Batuan dasar di wilayah ini merupakan hasil aktivitas gunung api Batukaru dengan komposisi breksi gunungapi, lava dan tuff yang terbentuk pada kala Holosen. Proses geomorfologi yang terjadi di wilayah ini sebagian besar merupakan proses erosi, trasnportasi dan sedikit pengendapan. Penggunaan lahan yang nampak di wilayah ini adalah sebagai perswahan, tegalan, dan permukiman. Desa Kaba-kaba memiliki iklim yang tidak jauh berbeda dengan  desa lainnya di wilayah Tabanan yaitu 2 musim : Musim Kemarau dan Musim Hujan, dengan suhu rata-rata 21˚ sampai dengan 27˚ Celcius. Curah Hujan berkisar 253 mm, dengan jumlah bulan hujan 4 bulan.

Jarak tempuh dari Desa Kaba-kaba ke wilayah lain yang merupakan pusat Kecamatan  mencapai 8 km dengan waktu tempuh mempergunakan kendaraan bermotor mencapai 10 menit. Sedangkan jarak menuju pusat Kabupaten mencapai 10 km dengan waktu tempuh 15 meneit, dan jarak dengan ibu Kota Propinsi mencapai 21 km dengan waktu tempuh mencapai 1 jam. Ditunjang dengan prasarana jalan yang cukup baik sehingga masyarakat Desa Kaba-kaba  tidak kesulitan untuk beraktifitas.

Struktur Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-Kaba

Umumnya halaman atau mandala pura terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jaba sisi (nista mandala), jaba tengah (madya mandala) dan jeroan (utama mandala). Pembagian atas tiga halaman ini didasari atas konsep Triloka. Jaba sisi (nista mandala) dilukiskan sebagai Bhurloka yang dihubungkan dengan alamnya bhuta dan kala. Jaba tengah (madya mandala) dihubungkan dengan Bwahloka yang berkaitan dengan alam manusia dan jeroan (utama mandala) dihubungkan Swahloka yang berkaitan dengan alam para dewa beserta roh suci para leluhur (Rata, 1985:15). Intisari dari konsep ini adalah adanya perbedaan kesucian dari masing-masing halaman  pura tersebut. Jeroan (utama mandala) lebih suci dari jaba tengah (madya mandala) dan jaba tengah (madya mandala) ini memiliki tingkat kesucian yang lebih tinggi dari jaba sisi (nista mandala). Berdasarkan anggapan tersebut maka pada umumnya jeroan (utama mandala) memiliki posisi yang lebih tinggi dari jaba tangah (madya mandala) dan jaba sisi (nista mandala). Untuk meniggikan jeroan (utama mandala) dari halaman  yang lainnya dipergunakan undakan. Pembagian halaman  pura ini mengingatkan kita akan bangunan teras berundak yang merupakan bangunan pemujaan pada masa prasejarah. Ditambah lagi dengan adanya orientasi ke arah gunung semakin menegaskan akan hal ini. Sehingga secara umum konsepsi punden berundak adalah merupakan konsepsi dasar arsitektural dari bangunan pura-pura yang ada di Bali (Rata, 1979 :16).

Pembagian halaman pura yang memanjang ke belakang, dengan halaman yang posisinya terletak paling belakang merupakan halaman paling suci mengingatkan pada pembagian stuktur  halaman Candi Penataran yang ada di Jawa Timur. Halaman Candi Penataran juga terbagi menjadi tiga halaman, yang memanjang dari barat laut ke tenggara dan halaman terakhir dimana terletak candi induk  merupakan bangunan yang paling suci. Dalam Lontar Kusumadewa disebutkan bahwa sistem pendirian pura-pura  adalah serupa dengan sistem pendirian bangunan candi-candi di Majapahit. Bahkan di daerah Trowulan didapatkan relief yang serupa dengan bentuk  pura-pura maupun bentuk bangunan meru.

Pembagian halaman  pura selain terdiri dari tiga halaman, juga ada pura yang memiliki dua halaman. Goris dalam tulisannya yang berjudul Bali Atlas Kebudayaan menyebutkan bahwa pembagian halaman  pura yang terdiri dari dua bagian ini mempunyai hubungan atau kaitan dengan dua hal yang berbeda (rwa bhineda), seperti dunia atas berlawanan dengan dunia bawah, gunung berlawan dengan laut dan yang lainnya (Goris, t.t. : 36). Pendapat mengenai pembagian halaman pura yang menyerupai dengan pendapat Goris juga diungkapkan oleh Tim Peneliti Arsitektur Bali yang menyebutkan pembagian halaman  pura yang terdiri dari dua bagian merupakan lambang dari alam bawah (pertiwi) dan alam atas (akasa). Pembagian halaman  pura yang terdiri dari dua halaman maupun satu halaman  dapat pula karena pengaruh lingkungan geografis. Dalam hal ini diperkirakan karena luas areal tanah pura tidak memungkinkan untuk dibangunnya pura dengan tiga halaman, atau mungkin karena potensi penduduk yang menyungsung sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk mengelola pura yang terlalu besar. Dengan demikian apabila halaman pura hanya terdiri dari dua atau satu halaman maka bangunan di halaman pertama dan kedua biasanya digabungkan menjadi satu (Mantra, 1961 : 3).   Pura yang memiliki tiga halaman  biasanya antara jaba sisi (nista mandala) dan jaba tengah (madya mandala) dihubungkan dengan candi bentar, sedangkan antara jaba tengah (madya mandala) dengan jeroan (utama mandala) dihubungkan dengan sebuah bangunan kori agung. Demikianlah sedikit gambaran secara umum tentang pembagian struktur pura secara umum.

Berpijak dari uraian tentang struktur pura di atas, maka berikut ini  akan diuraikan sedikit tentang struktur Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba.  Secara struktur Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba terbagi menjadi tiga  halaman  yaitu : jaba sisi (nista mandala), jaba tengah (madya mandala) dan jeroan (utama mandala).  Denah struktur Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba  berbentuk persegi empat panjang, dengan orientasi arah barat-timur. Jaba sisi (nista mandala) Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba terletak di sisi paling barat dengan sebuah candi bentar sebagai akses untuk masuk ke areal ini. Di areal        jaba sisi (nista mandala) tidak terdapat bangunan atau pelinggih, hanya terdapat dua buah arca dwarapala yang diletakkan di depan candi bentar menuju ke areal jaba tengah (mandya mandala).

Areal selanjutnya Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba adalah jaba tengah (madya mandala). Jaba tengah (madya mandala) ini memiliki luas yang lebih luas daripada jaba sisi (nista mandala) dengan bentuk denah yang sama, yaitu persegi empat panjang. Akses untuk menuju jaba tengah ( madya mandala) adalah dengan melewati sebuah candi bentar. Terdapat beberapa buah bangunan dan pelinggih di areal jaba tengah (madya mandala), yang antara lain adalah pelinggih tugu penyepian, piyasan dan balai gong.

Bagian terakhir Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba adalah jeroan (utama mandala), yang merupakan areal tersuci. Jeroan (utama mandala) ini luasannya melebihi  areal jaba sisi (nista mandala) dan jeba tengah (madya mandala). Untuk menuju ke jeroan (utama mandala) dapat melalui kori agung dan sebuah pintu pemletasan yang terdapat di sisi selatan kori agung. Seperti umumnya jeroan (utama mandala) sebuah tempat suci, jeroan (utama mandala) Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba juga memiliki banyak bangunan dan pelinggih yang berkaitan dengan ritual keagamaan, adapun bangunan dan pelinggih yang terdapat di jeroan (utama mandala) Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba adalah sebagai berikut :

1. Pengayengan Ratu Penglingsir 12. Pelinggih Manik Galih
2. Pelinggih Ratu Ayah 13. Kemulan Agung
3. Pesaren 14. Pesimpangan Gunung Agung
4. Taksu Agung 15. Pelinggih Siwa
5. Menjangan Seluang 16. Meru Tumpang Tiga
6. Pesaren 17. Pejenengan Ratu Sakti
7. Ratu Biyang Geleh 18. Bedawang
8. Ratu Mujung 19. Bale Pelik
9. Ratu Meres 20. Bale Peselang
10. Pelinggih Batu Ngaus 21. Balai Penyimpenan
11. Pelinggih Rambut Sedana 22. Balai Pewedan

Selain bangunan dan pelinggih seperti disebutkan di atas, areal jeroan (utama mandala Merajan Agung Puri kaleran Kaba-kaba juga memiliki sebuah kolam yang cukup luas, berbentuk “L” membujur dari sisi barat ke timur dan dari utara ke selatan. Keberadaan kolam ini menambah kesan indah dan asri di areal jeroan (utama mandala) Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba.

Data Sejarah

Puri Kaba-kaba merupakan salah satu pusat kerajaan yang berada di Kabupaten Tabanan. Warga puri ini adalah generasi penerus atau keturunan dari “Si Arya Belog”. Dalam sejarah Bali kuna terakhir, disebutkan bahwa Kerajaan Bedahulu berhasil ditaklukkan melalui eksvansi  Patih Gajah Mada. Eksvansi patih Gajah Mada ke Bali banyak diikuti oleh para arya, para arya mengikutinya antara lain adalah Arya Belog, Arya Sentong, Arya Kenceng, Arya Damar dan Arya Kuta Waringin. Dengan berhasilnya penaklukkan Bali oleh Kerajaan Majapahit, para arya ini diberikan masing-masing wilayah untuk ditempati. Arya Belog berkedudukan di Kaba-kaba, Arya Sentong di Carang Sari, dan arya-arya lain juga diberikan masing-masing diberikan wilayah untuk ditempati oleh “Dalem” yang merupakan penguasa di Bali (Kompiang, 42 : 2010). Lebih jelasnya tentang sejarah berdirinya Puri Kaba-kaba akan disarikan dari Babad Kaba-kaba sebagai berikut di bawah ini :

Arya Belog mendirikan kerajaan Kaba–kaba, beristana di sebelah selatan Bale Agung, sebelah timur jalan. Wilayah kekuasaannya meliputi: sebelah utara sampai batas wilayan Tabanan, sebelah timur sungai Busak, sebelah selatan sampai ke laut, dan sebelah barat desa Pangragoan. Beliau juga membuat Parahyangan Pusering Jagat bernama Pura Gunung Agung. Arya Belog dalam memerintah memakai gurit wesi, artinya sekali berkata tidak dapat diubah. Setelah lama memerintah Arya Belog wafat, dibuatkan Pedharman Batur yang dipuja oleh keturunannya. Upacara pelebonnya memakai wadah kurang dari sebelas tingkat, sesuai dengan titah “Dalem”. Arya Belog meninggalkan seorang putera, yang menggantikan kedudukannya bergelar Arya Anglurah Kaba–kaba.

Setelah beberapa lama memerintah, Anglurah Kaba-Kaba tutup usia, meninggalkan 2 orang putra, yaitu: Anglurah Kaba-kaba dan  Kyai Buringkit. Arya Anglurah        Kaba – kaba menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Arya Dalem di Kaba-kaba. Beliau sering datang menghadap dan menunggu di Suweca-pura. Adiknya Kyai Buringkit menjadi raja muda berkedudukan di Jero Ajeng.  Sewaktu melaksanakan upacara perkawinan, Anglurah Kaba–kaba menyuruh adiknya Kyai Buringkit mewakili datang menghadap ke Dalem. Dalem menanyakan, mengapa Anglurah Kaba–kaba tidak datang, Kyai Buringkit menjawab, bahwa kakaknya tidak sempat datang karena sedang melaksanakan upacara perkawinannya dengan I Gusti Ayu Rai, puteri Pangeran Kapal. Mendengar jawaban Kyai Buringkit, Dalem segera memerintahkan agar isterinya Anglurah Kaba-kaba, I Gusti Ayu Rai segera dibawa ke Suwecapura.

I Gusti Ayu Rai segera dihadapkan kepada Dalem. Timbul hasrat Dalem untuk memberikan putera utama kepada Anglurah Kaba-kaba. Setelah I Gusti Ayu Rai dihamili oleh Dalem, diserahkan kepada Anglurah Kaba-kaba dengan syarat jangan dicampuri sebelum anak itu lahir, sebab itu benih dari Dalem, kelak akan melahirkan putera utama. Anglurah Kaba-kaba menjunjung amanat Dalem dan membawa isterinya pulang ke Kaba – Kaba. Setelah tiba waktunya, lahir putera Dalem. Mendengar berita kelahiran puteranya, Dalem menuju Kaba-kaba untuk menguji kemurnian benih beliau. Putera itu ditaruh di tanah, di sekitarnya diisi nasi dan ikan. Anjing-anjing dilepas semuanya galak-galak. Ternyata anjing-anjing tersebut tidak berebut, makan tertib dan tidak mengusik sang bayi. Sang bayi juga ditempatkan di atas lubang semut, disekitarnya ditaburi nasi. Semut-semut keluar dari liangnya tetapi berpencar takut pada bayi ini.

Dalem merasa bangga karena benih beliau tidak dicampuri oleh Anglurah Kaba-kaba. Semenjak itu putera tersebut diberi nama Arya Anglurah Agung Putera Teges. Dalem memberi anugerah: putera ini berhak memakai gapura tiga tutup, memberikan abdi Ki Pasek 5 kelompok, yaitu: Pasek Tangkas, Gelgel, Gaduh, Dahualing, dan Kedangkan.Diceritakan Arya Anglurah Kaba-kaba mempunyai putera kandung dari isteri yang lain, diberi nama Kyai Ngurah Keladian. Sementara itu Kyai Buringkit mempunyai putera seorang bernama Kyai Ngurah Buringkit, sama dengan nama ayahnya, tinggal di Jero Ajeng.

Pada suatu hari Kyai Buringkit melakukan perebutan kekuasaan. Rakyat terbagi–bagi dalam 2 kelompok, tetapi lebih banyak memihak raja, terutama ke 5 golongan Pasek di atas. Perang terjadi di sebelah utara Kaba-kaba. Saat itu Raja sedang beristirahat di Pura Resi. Laskar yang memihak raja sempat terdesak sebelum berhasil dihalau berkat kegigihan Ki Pasek lima. Pada tengah hari terdengar suara burung tuwu-tuwu yang nyaring, membangunkan baginda raja, hingga beliau terhindar dari serangan lawan. Semenjak itu beliau bersumpah tidak akan menyakiti dan memakan burung tuwu-tuwu sampai seketurunannya.

Beliau terus menuju ke kediaman Pendeta di Gerya Bayuh. Sampai di halaman gerya beliau melihat sumur meluap sampai tutupnya terangkat berayun-ayun. Raja begitu melihat laskar lawan datang, segera menyuruh seorang pelayan membuka tutup sumur. Laskar lawan yang melihat tutup sumur tersebut langsung lari bergulung-gulung. Itu sebabnya tempat itu diberi nama dusun Tegal Pegulungan. Tempat Ki Pasek lima mempertaruhkan nyawanya diberi nama dusun Tohjiwa. Raja kemudian mengejar laskar lawan yang lari ke utara dusun Tegal Pegulungan, sehingga terjadi perang yang sangat ramai. Tempat itu kemudian disebut dusun Perang.

Kyai Buringkit melarikan diri terus ke Utara. Anggota laskarnya banyak yang dibunuh oleh serangan Ki Pasek lima. Itu sebabnya tempat tersebut diberi nama dusun Dekdekan. Mulai saat itu Kyai Buringkit tidak diakui sebagai saudara Anglurah Kaba–kaba. Kyai Buringkit lalu pindah ke Timur ke desa Nyurang, menetap di sana. Lama–lama desa Nyurang berubah nama menjadi desa Buringkit. Setelah wafat Arya Anglurah Kaba-kaba, diganti oleh putra beliau keturunan Dalem, Anglurah Agung Putera Teges. Sebagai raja muda diangkat Kyai Ngurah Keladian. Raja ini juga melaksanakan kebijaksanaan gurit besi, sekali berkata tidak dapat diubah. Raja IV Kaba-Kaba ini mempunyai seorang putra, diberi nama Arya Anglurah Kaba-Kaba Suda Teges. Sedangkan Kyai Ngurah Keladian mempunyai 5 orang putera dan puteri, yaitu: Kyai Nyambu, Kyai Aseman, dua putri, dan yang sulung bernama Kyai Keladian sama dengan nama ayahnya.

Pada waktu itu di Suwecapura, Sri Aji Dalem Ketut Kepakisan wafat tahun 1460 M. Beliau diganti oleh puteranya Sri Aji Dalem Waturenggong. Sri Aji Dalem Waturenggong memerintahkan membuat Pedharman di Besakih untuk para leluhur beliau. Itulah sebabnya ada Pedharman Arya Belog, serta Arya Kaba-kaba di Besakih sekarang. Diceritakan 3 saudara: Kyai Nyambu, Kyai Aseman, dan Kyai Keladian merasakan tidak puas tinggal di Kaba-kaba karena tidak dapat memerintah, sebab sudah ada putera Dalem. Mereka bertiga berniat keluar ke desa-desa lainnya yang belum ada pemimpinnya. Gagasan Kyai Nyambu ini disetujui oleh ke dua adiknya, sekaligus didengar oleh Anglurah Kaba-kaba. Ketiga saudura itu disurutkan martabatnya oleh Anglurah Kaba-kaba, dijadikan kerabat jauh. Mereka bertiga kemudian pergi dari Kaba-kaba. I Gusti Nyambu ke desa Den Bukit, I Gusti Aseman berdiam di desa Abiansemal, I Gusti Kelaidan menuju Den Bukit tinggal di desa Pumahan.

Arya Anglurah Suda Teges dinobatkan menjadi raja, menggantikan ayahnya. Beliau beristerikan I Gusti Ayu Rai Arsa adik perempuan Kyai Nyambu. Beliau juga mendatangkan seorang Brahmana, Ida Pedanda Mas Timbul, pemberian dari Dalem Segening. Ida Pedanda Mas Timbul diberi tempat di sebelah Pura Gunung Agung, bernama Gerya Kawisunya. Leluhur Ida Pedanda juga dituntun dibuat stana berupa Padma di Pura Gunung Agung Kaba-kaba. Arya Anglurah Suda Teges berputera laki-laki seorang bernama Arya Anglurah Teges. Beliau juga sempat menghamili seorang pelayan bernama Ni Luh Kicen, melahirkan putera astra (tidak sah) bernama I Gusti Gunung, diberi tempat di Jero Gunung. Setelah beberapa lama memerintah Arya Anglurah Suda Teges wafat. Beliau digantikan oleh puteranya Arya Anglurah Teges.

Pada waktu Arya Anglurah Teges memerintah Kaba-kaba, yang menjadi Dalem di Suwecapura adalah Dalem Di Made (dalem terakhir) tahun 1665–1686 M. Dalem memerintahkan Arya Anglurah Teges ke Blambangan bersama Arya Anglurah Tabanan, dan Kyai Pacung untuk menghancurkan pemberontak. Arya Anglurah Teges tewas dalam peperangan di Bambangan, beliau diberi gelar Bhatara Raja Dewata Ring Blambangan. Arya Anglurah Teges meninggalkan 3 putra laki-laki, yaitu:  Arya Anglurah Yuda Teges (dari permaisuri), Kyai Ngurah Rai dan Kyai Ngurah Ketut dari isteri lain. Arya Anglurah Yuda Teges menggantikan kedudukan ayahnya, didampingi oleh Kyai Ngurah Rai menjadi Punggawa, berkedudukan di Jero Ajeng. Kyai Ngurah Ketut menjadi pucuk pimpinan para prajurit berkedudukan di Jero Oka. Kyai Ngurah Rai dan Kyai Ngurah Ketut, kemudian secara bersama-sama melakukan pemberontakan untuk mengambil alih kekuasaan. Berkat dukungan rakyat, usaha kedua pendamping raja ini dapat digagalkan. Raja kemudian menjadikan kedua saudaranya ini sebagai kerabat jauh.

Semenjak itu raja tidak percaya kepada keluarga, beliau memanggil Ki Pasek Gelgel, sehingga bertambah keluarga Pasek menjadi 7 (tujuh) kelompok di Banjar Pasekan. Kemudian diperintahkan oleh raja, kelompok Pasek pindah agar dekat dengan istana, tinggal di Banjar Buading. Raja juga meminta putera dari I Gusti Gede Bokah yang bernama I Gusti Gatra untuk menjaga Pelinggih Stana Bhatara Ratu Gede Jaksa. Itu sebabnya I Gusti Gatra bertempat tinggal di Dawuh Yeh Kaba-kaba. Arya Anglurah Yuda Teges, setelah tua dan wafat meninggalkan seorang putra bernama Arya Anglurah Gede Sena Teges, yang menggantikan kedudukan ayahnya. Arya Anglurah Sena Teges mempunyai 2 putra, yaitu I Gusti Ngurah Gede Teges dan adiknya I Gusti Ngurah Alit dari lain ibu. I Gusti Ngurah Alit rupanya lebih disukai oleh rakyat, menimbulkan kecemburuan kakaknya I Gusti Ngurah Gede Teges.

Pada suatu hari saat keduanya berburu, I Gusti Ngurah Alit dibunuh oleh kakaknya. Mayatnya dibuang di tengah ilalang, kemudian I Gusti Ngurah Gede Teges pulang ke istana. Ibu I Gusti Ngurah Alit yang bernama Ni Gusti Luh Patilik, dari Tumbak Bayuh menanyakan putranya. Dijawab oleh I Gusti Ngurah Gede Teges, bahwa adiknya telah mendahului pulang, mungkin mampir di mana. Setelah lama tidak datang Ni Gusti Luh Patilik mempunyai firasat yang buruk, ketika melihat anjing kesayangan I Gusti Ngurah Alit berguling-guling dilantai. Ni Gusti Luh Patilik mengikuti kemana anjing itu pergi. Rupanya anjing itu memberi petunjuk tempat mayat I Gusti Ngurah Alit berada. Mayat itupun ditemukan dan dibawa pulang ke istana, diupacarai dengan semestinya. Roh I Gusti Ngurah Alit dibuatkan Pelinggih Meru Tumpang 7, di atas pintu, sebab beliau dibunuh tanpa dosa. Itu sebabnya ada Meru Tumpang 7 di Saren Gede, bernama Ratu Myu di bawahnya ada patung anjing. Anglurah Gede Sena Teges, setelah beberapa lama memerintah, beliau wafat di Pesaren Ukiran, bergelar Bhatara Ring Ukiran. Puteranya yang pertama I Gusti Ngurah Gede Teges menggantikan kedudukannya, bergelar Anak Agung Ngurah Gede Teges. Anak Agung Ngurah Gede Teges mempunyai 2 putra, yaitu: I Gusti Ngurah Gede dan I Gusti Agung Ayu Oka.

Diceritakan I Gusti Agung Putu Agung, Raja mengwi yang sedang mengalami masa kejayaan bermaksud meluas daerah kekuasaan, menantang Anak Agung Ngurah Gede Teges, untuk mengadu kekuatan. Tantangan ini diterima. Anglurah Gede Teges berangkat ke Manghapura beserta 4 istri beliau, diiringi oleh kerabat dan laskar kerajaan.

Sesampai di Puri Mnghapura, disambut hangat oleh raja I Gusti Agung Putu Agung. Dibuat perjanjian siapa yang kalah, akan dijadikan saudara muda, dan daerah kekuasaannya akan menjadi bagian dari kerajaan pemenang. Setelah paham dengan perjanjian itu, keduanya bersiap-siap untuk mulai bertarung. Ketika pertarungan dimulai, salah seorang istri Anglurah Gede Teges menjerit, mendekap Anglurah Teges seraya memohon pertarungan agar dibatalkan. Isterinya mengetahui Anglurah Teges akan kalah, sebab melihat I Gusti Agung Putu kebal terhadap segala senjata. Dengan demikian Anglurah Gede Kaba-Kaba menyerah dan meminta agar tetap diberikan memerintah di Kaba-kaba. Permintaan ini dipenuhi oleh I Gusti Agung Putu, beliau diberikan seorang putri bernama I Gusti Agung Ayu Oka untuk dijadikan isteri. I Gusti Agung Ayu Oka kemudian sempat menjadi Raja (Ratu) VI Manghapura.

Diceritakan I Gusti Alit Mustika yang diperintahkan memperkokoh laskar di Uma Desa Tohjiwa dan  I Gusti Ketut Mel, keduanya merasa tidak puas terhadap akhir dari pertarungan di Manghapura. Merasa malu, belum apa-apa sudah menyerah. Mereka berdua akhirnya pergi meninggalkan Kaba-kaba menuju dan tinggal di Desa Bajra, sebab Desa Bajra sampai Pangragoan memang wilayah Kaba-kaba. Di desa Bajra I Gusti Alit Mustika menjadi pemuka berganti nama I Gusti Ngurah Bajra, dan I Gusti Ketut Mel menjadi Patih.

Diceritakan sekarang, setelah batas akhir masa penjelmaannya, Anglurah Gede Teges meninggal di Pesaren Ukiran, diberi gelar Bhatara Ring Pesaren Ukiran. Beliau digantikan oleh puteranya bergelar Anak Agung Ngurah Gede Teges, sama dengan gelar ayahnya. Diceritakan I Gusti Ngurah Bajra dan I Gusti Ketut Mel, yang mendendam rasa malu, setelah mendengar kematian Anglurah Teges, menghimpun kekuatan untuk menggempur, menguasai istana Kaba-kaba. Persiapan ini rupanya diketahui oleh Anglurah Teges, beliau minta bantuan ke Cokorda Singhasana Tabanan. Raja Tabanan menyanggupi, mengutus Ki Pasek Wanagiri untuk memimpin laskar Tabanan. Laskar Tabanan dan Laskar Bajra akhirnya bertemu di sebelah timur Desa Bajra. Laskar Bajra  yang jumlah sedikit dapat dikalahkan. Itulah sebabnya Desa Bajra, Pangragoan, dan Beda masuk wilayah kerajaan Tabanan.

Setelah beberapa lama memerintah, Anglurah Teges akhirnya wafat di Pesaren Gede. Setelah diupacarai diberi gelar Bhatara Ring Pesaren Gede. Beliau meninggalkan putra, yaitu: I Gusti Ngurah Gede dan I Gusti Agung Ayu Oka, diperisteri oleh I Gusti Ngurah Gede dari Puri Agung Kurambitan. I Gusti Ngurah Gede menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja Kaba-kaba bergelar Anak Agung Ngurah Gede Teges, sama dengan ayahnya.

Anglurah Gede Teges mengambil isteri dari Jero Ajeng berputra: I Gusti Ngurah Gede, I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Agung Ayu Ngurah. Setelah dewasa ke tiga putra putrinya, beliau pindah ke Pesaren Pelok. I Gusti Ngurah Gede tetap di Pesaren Gede, I Gusti Ngurah Rai mendirikan istana bernama Puri Kaleran. I Gusti Agung Ayu Ngurah diperisteri oleh Raja Mengwi Cokorda Agung Made Agung. Diceritakan Anglurah Gede Teges mengetahui saat akan ajal tiba. Beliau meminta salah seorang pendeta untuk mengikuti kepergiannya ke alam baka. Ida Pedanda Ketut Dawuh dari Gerya Dalem menyetujui permintaan Anglurah Gede Teges.   I Gusti Ngurah Gede yang diberitahu tentang hal ini menangis terguling-guling di halaman. Itu sebabnya tidak diperkenankan menghadap. Hanya I Gusti Ngurah Rai yang tabah, beliau  menghadap dan mendengarkan pesan-pesan rahasia ayahnya. Setelah selesai memberi pesan rahasia, baginda raja wafat bersamaan dengan Ida Pedanda Ketut Dawuh. Setelah diupacarai raja Anglurah Gede Teges diberi gelar Bhatara Ring Pesaren Pelok.

Sepeninggal Anglurah Gede Teges, yang berhak menjadi raja adalah I Gusti Ngurah Gede di Pesaren Gede, bergelar Anak Agung Ngurah Gede Teges. Tetapi beliau tidak mempunyai kepribadian untuk memerintah negara. Urusan kerajaan diserahkan kepada adiknya I Gusti Ngurah Rai, bergelar Anak Agung Sakti Kaleran di Puri Kaleran. Demikian diceritakan sejahtera rakyat Kaba-Kaba yang dipimpin oleh dua Puri, Puri Gede dan Puri Kaleran, diakui sampai sekarang. Anak Agung Ngurah Gede Teges belum berputra, beliau mengangkat putra Puri Kesiman Badung, putra dari Anak Agung Ngurah Gede, diberi nama Anak Agung Ngurah Badung. Setelah mengangkat putra barulah beliau berhasil mempunyai putra kandung, yang diberi nama Anak Agung Ayu Klungkung dan Anak Agung Alit Meranggi.

Anak Agung Alit Meranggi yang berkedudukan di Puri Ageng, dibunuh di Ubud dalam suatu perjamuan yang direncanakan oleh I Gusti Agug Putu Mayun dan I Gusti Agung Made Ngurah. Beliau bergelar Bhatara Ring Ubud, meninggalkan putra: Anak Agung Ngurah Leceng, Anak Agung Ngurah Mredah, Anak Agung Ayu Dibleg, dan Anak Agung Ayu Ceplok. Anak Agung Ngurah Badung berkedudukan di Jero Badung beputra perempuan: Anak Agung Ayu Anom dan Anak Agung Ayu Cuplek. Anak Agung Ngurah Rai di Puri Kaleran berputera 6 orang, yaitu: Anak Agung Ngurah Teges, Anak Agung Ngurah Mrenyang, Anak Agung Ngurah Selat, Anak Agung Ayu Dalem, Anak Agung Istri Agung, dan Anak Agung Ngurah Dawuh.

Pada tahun 1891 M, kerajaan Mengwi diserang oleh laskar gabungan dari kerajaan Badung, Tabanan, Ubud, dan Bangli. Penyerangan ini dilakukan atas amanat dari Dewa Agung Klungkung, Sesuhunan Bali–Lombok. Perintah ini dikeluarkan karena pihak kerajaan Mengwi sudah tidak setia lagi kepada Dewa Agung Klungkung. Pihak Mengwi menolak permintaan Dewa Agung untuk mengutus raja mudanya ke Smarapura. Selama peperangan berlangsung raja Kaba-Kaba mengungsi menuju ke kerajaan Tabanan. Sampai di desa Abian Tuwung disambut oleh I Gusti Nyambu, sebelum sampai di Tabanan. Sejak itu I Gusti Nyambu menjadi raga druwe, sama dengan raga druwe Jero Ajeng. Tempat kediaman Raja Kaba-kaba di Tabanan bernama Puri Teges.

I Gusti Agung Putu Mayun dan I Gusti Agung Made Ngurah yang memimpin laskar Mengwi di Kaba-kaba, menjarah harta pusaka Puri Kaba-kaba. Sementara itu laskar Kerambitan adalah laskar terdepan dari Tabanan, dan Laskar Badung yang dipimpin panglimanya Anak Agung Raka Debot menyerang Laskar Mengwi di Kaba-kaba. Laskar Mengwi secara keseluruhan dapat dikalahkan, dan berakhir dengan lenyapnya Kerajaan Mengwi 20 Juni 1891. Sejak itu Kaba-Kaba menjadi wilayah kerajaan Tabanan. Setelah kalahnya Mengwi Raja Kaba-kaba kembali ke negaranya. Diceritakan sekarang Raja Kaba-kaba Anak Agung Ngurah Gede Teges dan Anak Agung Ngurah Rai Sakti, masing-masing sudah tua dan wafat. Anak Agung Ngurah Gede Teges bergelar Bhatara Ring Pesaren Gede, dan Anak Agung Ngurah Rai bergelar Bhatara Sakti Kaleran.

Anak Agung Ngurah Gede Teges menggantikan menjadi raja Kaba-Kaba, menyandang gelar yang sama dengan ayahnya. Anak Agung Ngurah Gede Teges berkedudukan di Pesaren Tengah, bersama Anak Agung Ngurah Dauh. Anak Agung Ngurah Selat berkedudukan di Puri Kaleran. Anak Agung Ngurah Mrenyang berkedudukan di Pesaren Kauh. Anak Agung Istri Agung diperisteri oleh Brahmana dari Gerya Kawisunya, Mengwi.

Setelah beberapa lama memerintah Anak Agung Ngurah Gede Teges wafat, bergelar Raja Bhatara Putra. Meninggalkan putra : Anak Agung Ngurah Putu Keweh. Anak Agung Ngurah Putu Keweh, naik menggantikan ayahnya, bergelar Anak Agung Ngurah Gede Putra Teges. Beliau beristeri 6 orang, yang menjadi permaisuri adalah Anak Agung Ayu Dibleg, yang kemudian bergelar Anak Agung Ratu, putri Bhatara Ring Ubud. Dari permaisuri beliau berputra: Anak Agung Ngurah Gede Puger di Pesaren Tengah, Anak Agung Ngurah Mayun di Pesaren Kauh. Istri kedua seorang raga druwe dari Kelakahan, bernama I Gusti Ayu Kenol menurunkan: Anak Agung Sagung Putu Jigreg, dan Anak Agung Ngurah Rai Pegeg di Pesaren Tandakan. Istri ketiga bernama Ni Jro Sengguan dari Banjar Sengguan Kaba-kaba menurunkan: Anak Agung Ngurah Ketut Sregeg di Pesaren Mayasan. Ada tiga lagi isteri beliau, tetapi tidak menurunkan putra.

Diceritakan sekarang sudah memasuki tahun 1942 M, di mana raja-raja di Bali sudah tidak mempunyai kekuasaan. Pada saat itu Anak Agung Ngurah Mayun di Pesaren Kauh, terkena penyakit lumpuh, tidak bisa berjalan. Itu sebabnya beliau wafat dalam usia muda. Sehingga yang menjadi tetua di Puri Kaba-Kaba adalah: Anak Agung Ngurah Rai Pegeg, di Pesaren Tandakan, Anak Agung Ngurah Sregeg di Pesaren Mayasan, dan Anak Agung Ngurah Selat di Puri Kaleran.

Data Arkeologi

Data arkeologi adalah data tentang nilai penting bangunan cagar budaya terhadap sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan serta kebudayaan dan memiliki  tingkat keaslian yang meliputi bahan, bentuk, tata letak dan tehnik pengerjaan, selain itu data arkeologi juga meliputi data-data kontesktual yang berhubungan dengan benda-benda cagar budaya yang memiliki keterkaitan dengan suatu situs cagar budaya. Berkenaan dengan hal tersebut, data arkeologi yang terdapat di Puri Kaba-kaba  dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu data arkeologi yang berupa struktur cagar budaya dan benda cagar budaya.  Untuk lebih jelasnya mengenai data arkeologi yang terdapat di Puri Kaba-kaba  akan diuraikan sebagai berikut :

  • Struktur Cagar Budaya

Susunan  binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. Pengertian mengenai struktur cagar budaya tersebut di atas apabila dihubungkan dengan apa yang terdapat di Puri Kaleran Kaba-kaba mengarah kepada kori agung yang terdapat di Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba. Kori agung ini berfungsi sebagai pemedal (gapura) Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba.  Bentuk arsitektur kori agung ini secara umum sama dengan kori agung lainnya yang ada di lingkungan Puri Kaba-kaba, hanya saja kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba dibuat dengan ukuran yang lebih besar, sehingga terlihat lebih megah dan nampak berwibawa. Hal ini dapat dilihat dari posisi pintu masuk yang berada pada ketinggian 1,85 m dihitung dari permukaan halaman merajan, dengan 7 buah anak tangga. Pembuatan dengan ukuran yang berbeda dengan kori-kori lain yang terdapat di Puri Kaba-kaba kemungkinan disebabkan oleh fungsi kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba yang berhubungan dengan upacara/ritual yang dilaksanakan di Merajan Agung ini, sedangkan  kori-kori lain yang terdapat di Puri Kaba-kaba hanya berfungsi sebagai penghubung antar  mandala puri. Dilihat dari dimensi vertikal kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba terdiri dari struktur kaki, badan dan atap, sedangkan dilihat dari dimensi horizontal terbagi menjadi pengawak dan caping kiri-kanan.

  • Benda Cagar Budaya

Benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Puri Kaba-kaba sebagai salah satu kuna yang terdapat di Bali banyak menyimpan benda cagar budaya, baik itu dari masa Prahindu, Hindu-Budha serta benda cagar budaya masa perkembangan belakangan yang berakulturasi dan disakralkan di Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba. Benda cagar budaya tersebut antara lain berupa arca tradisi megalitik,  arca erotis, arca dwarpala, arca perwujudan dan arca bairawa. Adapun benda cagar budaya tersebut adalah sebagai berikut :

  • Dua Buah Arca Dwarapala

Arca dwarapala terdapat di sebalah kanan-kiri pintu masuk ke jaba tengah (madya mandala) merajan agung Puri Kaleran Kaba-kaba. Kedua arca ini dibuat dalam bentuk sederhana, raut wajah kedua arca dwarapala ini hampir sama dengan raut muka yang menyeramkan dan menakutkan, dengan ciri muka bulat, mulut lebar, taring keluar, hidung besar, mata bulat, telinga lebar, rambut ikal terurai, anatomi kurang proposional, tangan kanan diangkat di atas kepala, tangan kiri ditekuk membawa sesuatu (senjata). Kedua kaki ditekuk, kaki mengarah ke depan, sedangkan kaki kiri dilipat ke belakang.  Buah dada menonjol dan kemaluan besar, perut buncit. Arca ini memiliki kekuatan magis dari dalam untuk menjaga lingkungan merajan agung Puri Kaleran Kaba-kaba.

  • Arca Yama Raja

Arca Yama Raja terletak di halaman rumah salah satu anggota Puri Kaba-kaba. Pada awalnya arca ini terletak di halaman merajan agung, kemudian dipindahkan ke halaman rumah anggota salah satu keluarga puri, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian merajan agung atau menghindari warga masyarakat Kaba-kaba masuk ke halaman suci merajan agung dalam kondisi kotor (haid), karena dipercayai tempat ini setiap saat ada upacara di Desa Kaba-kaba, baik itu upacara kematian maupun upacara lainnya.  Seluruh masyarakat selalu memohon keselamatan sebelum upacara berlangsung agar upacaranya selamat dapat berjalan dengan lancer.  Arca Yama Raja ini diletakkan di atas altar, dikelilingi masing-masing sudutnya dengan onggokan batu alam. Arca Yama ini dalam posisi stengah duduk, kedua tangan diarahkan ke kepala, kaki kanan ditekuk dengan telapak tangan kaki menyentuh bagian dalam lutut kiri, kaki kiri dilipat ke belakang, mukanya bulat, mulut terbuka, taring mencuat keluar, hidung besar, mata bulat melotot, rambut panjang ikal terurai ke belakang, pada pipi kanan-kiri terdapat hiasan berbentuk lidah api, pada dada terdapat hiasan persegi empat, bagian dalam persegi empat dibagi menjadi sembilan kotak, pada masing-masing kotak   terdapat tulisan huruf Bali yang dibaca dari kiri ke kanan. Dengan penampilan arca Yama Raja seperti disebutkan di atas, dengan tubuh yang tidak proposional, raut muka yang seram dan dengan penambahan huruf suci sebagai pengider-ider arah mata angin, dapat diduga sebagai tempat memohon perlindungan untuk wilayah Desa Kaba-kaba.

  • Arca Erotis

Berbentuk sepasang arca laki-laki dan perempuan dalam sikap duduk berpelukan, kedua tangan kanan-kiri arca perempuan memeluk bagian  bahu arca laki-laki dan sebaliknya tangan arca laki-laki memeluk pula bagian bahu arca perempuan. Bagian kaki arca laki-laki menjepit pinggang arca perempuan, sedangkan kaki arca perempuan terlentang diduduki oleh arca laki-laki. Sehingga sepasang wajah arca ini terlihat berciuman yang penampilannya sangat romantis. Penggambaran kedua arca ini tidak natural, cenderung abstrak. Arca ini disimpan dalam pelinggih Ratu Panji, yang dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat memohon kesuburan/keturunan (anak). Tinggalan ini merupakan perpaduan unsure budaya Prahindu dan Hindu yang berlangsung sampai saat ini dan masih disakralkan sebagai media pemujaan untuk memohon kesuburan dan keselamatn secara umum.

Data Teknis

Data teknis adalah berupa data dasar, meliputi data yang menjelaskan tentang bentuk, ukuran, jenis bahan, kondisi dan tingkat kerusakan, baik kerusakan struktural maupun arsitektural, serta pelapukan bahan. Perolehan atau pengumpulan data teknis harus didasarkan pada konsep yang menjelaskan bahwa factor penyebab kerusakan bangunan cagar budaya terdiri dari dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan jenis dan sifat bahan, jenis dan sifat tanah dasar serta teknologi pembuatan. Sedangkan factor eksternal berhubungan dengan lingkungan biota (flora dan fauna) dan abiota (geotofografi dan iklim).

Kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba adalah struktur cagar budaya yang telah pernah mendapatkan upaya pelestarian pemugaran oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3 Bali) pada tahun 2008. Setelah 7 tahun pelaksanaan pemugaran kori agung ini maka dilaksanakanlah evaluasi pasca pemugaran untuk dapat mengetahui perkembangan yang terjadi terhadap hasil pemugaran. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejala kerusakan dan pelapukan pasca pemugaran dikumpulkanlah data terbaru tentang kondisi fisik kori agung ini, sehingga dapat diambil langkah antisipasi demi penyempurnaan hasil pemugaran. Informasi mengenai data terbaru tersebut dapat dilaporkan melalui data teknis seperti di bawah ini :

  • Struktur Kaki

Struktur kaki terdiri dari bataran, trap tangga depan dan belakang, lapik arca serta pipi tangga yang merupakan struktur inti yang terdapat pada bagian paling bawah kori agung. Dilihat dari tempatnya yang merupakan kaki sebuah struktur, maka struktur kaki ini adalah bagian penting yang berfungsi untuk menopang beban di atasnya. Struktur kaki kori agung dibuat dengan ukuran dimensi yang lebih besar dari ukuran bagian yang ada di atasnya, demikian pula dengan komponen yang dipergunakan relatif lebih kuat/besar dilihat dari jenis bahan maupun ukuran. Pada saat pelaksanaan pemugaran terhadap kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba struktur kakinya telah dilengkapi dengan perkuatan besi bertulang dengan menerapkan sistem perkuatan cakar ayam serta plat beton pada bagian bawah lantai. Berdasarkan pengamatan, sampai saat ini struktur kaki kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba tidak menampakkan adanya perubahan yang mengarah pada gejala kerusakan dan pelapukan yang relatif besar, walaupun adanya guncangan yang terjadi karena gempa bumi di Pulau bali. Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada struktur kori agung ini hanya berupa adanya aus, penggaraman, sementasi dan adanya pertumbuhan jasad-jasad organik (moss, algae dan lichen) yang prosentasenya relatif kecil dari keseluruhan permukaan bidang kori agung.

  • Struktur Badan

Struktur badan kori agung terdiri dari bagian pengawak, caping, kusen pintu, dedange dan struktur subeng. Komponen  pembentuk struktur badan kori agung dibuat dari susunan bata dengan sistem tumpuk dengan mempergunakan perekat semen. Penggunaan semen dilakukan pada saat pelaksanaan pemugaran, karena sebelum pemugaran bahan yang dipergunakan sebagai perekat adalah tanah merah. Terdapat perbedaan ketebalan bahan antara struktur badan dengan struktur kaki kori agung. Ketebalan bata penyusun struktur badan kori agung rata-rata berukuran 5 cm.  Saat pelaksanaan pemugaran kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba pada tahun 2008, struktur badan mendapatkan perkuatan konstruksi beton bertulang yang terdiri dari kolom, ring dan plat lantai di atas pintu (atas). Pintu kori agung dipasang di atas struktur lantai, dijepit dengan struktur lorong kori agung. Pintu kori agung berukuran lebar 90 cm dan tinggi 230 cm, di atas pintu dipasang dedange berbahan kayu, masing-masing sebanyak 3 buah dengan ukuran tebal 10 cm dan panjang 90 cm. Profilan kusen pintu, daun pintu dan dedange memakai profilan hiasan khas Bali dengan pola hias seperti hiasan tiang (saka) balai Bali. Bahan yang digunakan untuk membuat kusen pintu, daun pintu dan dedange adalah kayu nangka.

Penampil (caping) kiri dan kanan, tepat berada di bawah rangkaian atap penampil, dipasang hiasan subeng berbentuk segi empat memakai hiasan bunga padma, dijepit dengan profil perbingkaian mengelilingi hiasan padma. Pada bagian ujung dari rangkaian hiasan subeng, baik sebelah kanan maupun kiri ditutup dengan hiasan buntala berbentuk huruf ”S” diukir dengan pola hiasan berbentuk burung merak.

Keseluruhan kondisi struktur badan kori agung Merajan Agung Puri Kaba-kaba saat ini relatif masih stabil dan baik. Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi hanya ada berupa aus, sementasi dan tumbuhnya jasad-jasad organik (moss, algae dan lichen). Timbulnya gejala kerusakan dan pelapukan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor air dan penggunaan semen pada saat pemugarannya dulu.

  • Struktur Atap

Struktur atap kori agung Puri Kaleran Kaba-kaba terbuat dari perpaduan antara batu padas dan bata. Bentuk atap adalah susunan bata yang dibentuk miring, disesuaikan dengan kemiringan bentuk atap yang ideal. Atap kori agung berbentuk limas, dimana pada tiap-tiap sudut atap dilengkapi dengan bubungan batu padas dan hiasan util diukir dengan motif patra punggel. Pada sudut pertemuan atap limas dipasang hiasan simbar gantung dengan ukiran karang manuk. Sebagai penutup rangkaian atap dipasang buntala bermotif patra punggel. Keseluruhan kondisi struktur atap kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba saat ini relatif masih stabil dan baik. Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi hanya ada berupa aus, sementasi dan tumbuhnya jasad-jasad organik (moss, algae dan lichen). Timbulnya gejala kerusakan dan pelapukan ini kemungkinan disebabkan oleh faktor air dan penggunaan semen pada saat pemugarannya dulu.

Data Keterawatan

Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada kori agung Merajan Kaleran Puri Kaba-kaba ini disebabkan oleh faktor internal dan external, antara lain disebabkan oleh debu dan angin yang nantinya akan menambah kerusakan dan pelapukan lebih lanjut. Selain kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh faktor di atas, kori agung  ini juga  terdapat pertumbuhan jasad-jasad oganik yang  juga merupakan faktor penyebab kerusakan dan pelapukan pada bangunan atau struktur  cagar budaya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba  ini  telah mengalami empat jenis gejala keusakan dan pelapukan, yaitu :kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biologis dan gejala kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia (vandalisme).

  1. Kondisi Fisik dan Data Kerusakan
  2. Kondisi Fisik
  • Kerusakan Struktural

Suatu kondisi yang tidak utuh, tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur struktural suatu bangunan atau struktur cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek struktural suatu bangunan atau struktur seperti : stabilitas tanah dasar/pondasi, sistem sambungan yang digunakan, jenis atap yang digunakan, kuat tekan, kuat geser dan lain-lain. Pengertian kerusakan struktural bangunan atau struktur cagar budaya ini berlaku untuk semua jenis bangunan atau struktur, baik bangunan atau struktur cagar budaya yang berbahan batu, kayu maupun bata.  Data kerusakan struktural sangat berguna untuk menentukan metode dan penyelesaian yang berkaitan dengan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi dengan memperhatikan faktor penyebab dan proses terjadinya kerusakan tersebut.

  • Kerusakan Arsitektural

Suatu kondisi yang tidak utuh, tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur arsitektural suatu bangunan  atau struktur cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek arsitektural suatu bangunan atau struktur adalah meliputi unsur-unsur dekoratif, relief, umpak dan lain-lain. Data-data kerusakan arsitektural ditinjau dari kelengkapan unsur atau komponen bangunan atau struktur yang masih asli, yang telah diganti/diubah, dan bagian dari bangunan atau struktur  yang hilang berdasarkan pendekatan keaslian bentuk arsitekturnya. Data identifikasi kerusakan arsitektural digunakan untuk menentukan langkah-langkah pemulihan aspek arsitektur suatu bangunan atau struktur cagar budaya berdasar pada prinsip-prinsip dan kaidah pemugaran.

  1. Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan

Berdasarkan sifat-sifatnya, faktor yang memicu proses degradasi bahan pada cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor perencanaan  (teknologi pembuatan) dan faktor menurunnya rasio kwalitas bahan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan seperti iklim, air, biologis (mikroorganisme), bencana alam dan vandalisme (manusia).

Dari segi bentuknya, bentuk degradasi yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerusakan dan pelapukan. Kerusakan dan pelapukan mempunyai pengertian yang hampir sama, tetapi secara teknis istilah tersebut dapat dibedakan. Dimana yang dimaksud dengan kerusakan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya yang tidak disertai dengan perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawi, sedangkan pelapukan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya yang disertai dengan adanya perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawinya. Hasil pengamatan/observasi yang dilakukan maka teridentifikasi proses kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba  adalah sebagai berikut :

  • Kerusakan Mekanis

Merupakan kerusakan yang dapat dilihat secara visual berupa retak, pecah dan patah. Kerusakan ini juga terkait dengan kondisi lingkungan bangunan atau struktur cagar budaya terutama fluktuasi suhu udara, disamping tidak terlepas  dari gaya statis maupun gaya dinamis yang diterima oleh sebuah bangunan. Yang dimaksud dengan gaya statis adalah adanya tekanan beban dari atas terhadap lapisan batu di bawahnya, sedangkan yang dimaksud dengan gaya dinamis adalah suatu gaya yang dipengaruhi oleh faktor luar  (eksternal), seperti getaran gempa bumi (faktor alam). Kerusakan mekanis secara keseluruhan pada kori agung  mencapai prosentase kurang lebih 4% dari keseluruhan permukaan bidangnya.  Visualisasi dari gejala kerusakan mekanis pada kori agung  ini adalah berupa retak dan pecah   mikro.

  • Pelapukan Fisis

Merupakan pelapukan yang disebabkan oleh iklim dimana bangunan cagar budaya itu berada,  baik secara mikro maupun secara makro. Unsur iklim, suhu dan kelembaban merupakan faktor utamanya, besarnya amplitudo suhu dan kelembaban baik itu siang maupun malam hari akan sangat memicu terjadinya pelapukan secara fisis. Pelapukan  secara fisis yang terjadi pada kori agung   antara lain berupa aus pada beberapa bagian  permukaan bidangnya. Semua gejala pelapukan  fisis yang nampak pada kori agung  kemungkinan disebabkan oleh faktor adanya kapilarisasi air tanah dan pengaruh air hujan. Pelapukan fisis yang terjadi pada kori agung secara keseluruhan  mencapai prosentase kurang lebih 3% dari keseluruhan permukaan bidangnya.  Visualisasi dari gejala pelapukan fisis  pada kori agung  adalah berupa penggaraman dan  pengelupasan permukaan komponen.

  • Pelapukan Chemis

Pelapukan yang terjadi pada bangunan dan struktur  cagar budaya sebagai akibat dari proses atau reaksi kimiawi. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan dan suhu. Air hujan dapat melapukan benda melalui proses oksidasi, karbonatisasi, sulfatasi dan hidrolisa. Gejala-gejala yang nampak pada pelapukan ini adalah berupa penggaraman. Prosentase gejala pelapukan chemis yang terjadi pada kori agung ini kira-kira mencapai 5% dari keseluruhan permukaan bidangnya.

  • Pelapukan Biologis

Pelapukan pada material bangunan dan struktur cagar budaya yang disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme, seperti pertumbuhan jasad-jasad organik berupa lichen, moss, algae dan pertumbuhan perdu. Gejala yang nampak pada kerusakan ini adalah berupa diskomposisi struktur material, pelarutan unsur dan mineral, adanya noda pada permukaan material dan sebagainya. Prosentase pelapukan biologis yang   nampak pada kori agung  ini  mencapai sekitar  45% dari keseluruhan permukaan bidang bangunan.

  1. Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan
  2. Faktor Internal

Faktor internal meliputi faktor perencanaan  (teknologi pembuatan), faktor menurunnya rasio kwalitas bahan  serta letak atau posisi bangunan atau struktur. Bangunan atau struktur yang dibuat dengan perencanaan atau teknologi yang baik akan memiliki daya tahan yang baik serta dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor mekanis dan fisik. Bangunan atau struktur yang dibuat dengan bahan yang kwalitasnya jelek akan cepat mengalami kerusakan sedangkan bangunan atau struktur yang dibuat dengan bahan yang bagus akan bertahan lebih lama dari berbagai macam kerusakan dan pelapukan serta tanah tempat suatu bangunan atau struktur cagar budaya berdiri juga mempengaruhi kelestarian material bangunan atau struktur. Tanah yang memiliki sifat rentan terhadap faktor air, daya tahannya akan mudah menurun sehingga menyebabkan kondisi bangunan atau struktur tidak stabil.

  1. Faktor External

Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang meliputi faktor fisis                      (suhu, kelembaban, hujan), faktor biologis, faktor kimiawi, bencana alam serta faktor manusia (vandalisme). Pengaruh suhu dan kelembaban yang yang tinggi dan berubah-ubah akan mengakibatkan suatu bangunan atau struktur cagar budaya kondisinya tidak stabil, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan dan pelapukan. Air hujan juga akan menyebabkan kelembaban pada bangunan cagar budaya akan meningkat yang pada akhirnya akan merangsang tumbuhnya jasad–jasad organik pada permukaan material cagar budaya yang pada akhirnya juga akan menimbulkan kerusakan dan pelapukan. Faktor eksternal penyebab kerusakan dan pelapukan pada bangunan atau struktur cagar budaya sangat sulit untuk dihindari, apalagi terhadap bangunan atau struktur cagar budaya yang terdapat di alam terbuka.

Evaluasi Kori Agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba

Pembahasan

Kegiatan evaluasi pasca pemugaran merupakan suatu kegiatan untuk merekam atau mengumpulkan data kerusakan yang terjadi pada suatu bangunan atau struktur  cagar budaya yang sudah mendapatkan usaha pelestarian berupa pemugaran pada waktu yang lalu. Kegiatan evaluasi pasca pemugaran ini dipandang sangat perlu dilaksanakan mengingat akan pentingnya pemantauan akan kondisi terkini dari bangunan atau struktur cagar budaya yang sudah mendapatkan perlakuan pelestarian melalui kegiatan pemugaran.

Mengingat akan pentingnya kegiatan evaluasi pasca pemugaran, maka dilaksanakanlah kegiatan ini terhadap struktur  cagar budaya yang berupa struktur kori agung yang terdapat di Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba, yang sudah pernah mendapatkan usaha pelestarian melalui kegiatan pemugaran beberapa tahun yang lalu. Merupakan rentang yang sudah cukup lama untuk melaksanakan pengamatan terhadap kondisi terkini dari kori agung  ini dari selesainya pelaksanaan pemugarannya beberapa tahun yang lalu, baik itu terhadap kondisi fisik bangunan maupun kondisi keterawatannya.

Selama pelaksanaan kegiatan evaluasi pasca pemugaran terhadap kori agung  ini, secara umum kondisi struktur cagar budaya  ini masih sangat baik. Rentang waktu dari selesai dipugar sampai dengan sekarang, kondisi fisik dari Kori Agung Merjan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba  ini  masih terlihat stabil. Dan kalaupun ada      gejala-gejala kerusakan dan pelapukan jumlah dan prosentasenya tidak terlalu besar. Dilihat dari data pemugaran yang berupa gambar-gambar rencana pemugaran serta data dokumentasi berupa foto dapat diketahui bahwa proses pelaksanaan pemugaran pada saat itu telah menerapkan sistem pemugaran yang baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip pemugaran bangunan atau struktur cagar budaya.

Penerapan pemugaran dengan memperhatikan syarat-syarat teknis tersebut di atas juga dibarengi dengan pelaksanaan prinsip-prinsip konservasi, baik itu konservasi struktur bangunan maupun konservasi bahan/komponen bangunan yang merupakan unsur asli kori agung . Konservasi struktur  adalah dengan pemasangan lapisan kedap air jenis thermosetting pada bagian plat dan antara batu isian dengan dengan batu yang merupakan kompnen asli (batu kulit), hal ini bertujuan untuk mengantisipasi kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh adanya kapilarisasi air tanah.  Lebih jelasnya mengenai penanganan gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada kori agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba ini   akan diuraikan pada bab rencana penanganan di bawah ini.

Rencana Penanganan Gejala Kerusakan dan Pelapukan.

  • Penanganan Tradisional

Penanganan secara tradisional dilakukan dengan mempergunakan peralatan seperti solet, sapu lidi, sikat ijuk, kapi serta peralatan lainnya. Tindakan ini efektif bila kerusakan secara biologis seperti moss, algae dan lichen telah mengering dan mati.

  • Penanganan Modern

Perawatan modern adalah perawatan yang dilakukan dengan mempergunakan bahan kimia. Adapun jenis penanganan perawatan modern yang dilakukan adalah : pembersihan, perbaikan, konsolidasi, pengawetan dan pemberian lapisan pelindung (coating).

Berikut ini akan diuraikan tentang bagaimana kegiatan penanganan  secara modern dilaksanakan :

  1. Pembersihan
  • Pembersihan Mekanis Kering

Kegiatan ini dimaksudkan untuk membersihkan akumulasi debu, kotoran-kotoran dan endapan-endapan tanah dalam bentuk inkratasi bekas-bekas rumah serangga. Dalam pelaksanaannya pembersihan mekanis kering dilaksanakan dengan hati-hati dan cermat untuk menghindari adanya pertambahan kerusakan mekanis.

  • Pembersihan Mekanis Basah

Kegiatan pembersihan mekanis basah disini dengan mempergunakan bahan kimia jenis AC 322 dengan tujuan untuk membunuh jasad-jasad renik yang sangat membandel dan masih aktif.

  • Pembersihan Chemis

Pembersihan chemis dilakukan untuk membersihkan noda-noda yang sulit dibersihkan secara tradisional, seperti moss, algae, lichen, dan          garam-garam yang sudah mengendap. Bahan yang dipergunakan pada kegiatan ini adalah pelarut organic sejenis alcohol, aceton dan larutan air . Sebelum mempergunakan bahan-bahan tersebut perlu dilaksanakan pengujian terlebih dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan dampak yang terjadi terhadap obyek yang akan dikonservasi.

  1. Perbaikan

Adapun beberapa cara untuk menangani jenis kerusakan yang terdapat pada bangunan meru tumpang sebelas dan sembilan di Pura Taman Sari  adalah sebagai berikut :

  • Penyambungan

Kegiatan ini dilakukan pada bata dan batu padas  yang pecah maupun yang patah. Adapun bahan yang dipergunakan adalah DF 614 dengan perbandingan 1 : 4

  • Kamuflase

Sasaran dari kegiatan ini adalah pada bagian bata dan  batu padas yang telah disambung, dengan tujuan untuk menyangga dan memperkuat bekas sambungan tadi. Bahan yang dipergunakan adalah bubuk bata dan batu padas.

  • Konsolidasi

Untuk memperkuat struktur bata dan batu padas yang telah lapuk maka sangat perlu dilakukan konsolidasi. Adapun bahan yang dipergunakan adalah paraloid B-72 dengan bahan pelarut Ethyl Acetate  dengan konsentrasi 3 %

  • Pengawetan

Untuk pengawetan bata dan batu padas dipergunakan bahan Nyvar X-1 dengan konsentrasi 5 %. Pengawetan dilakukan pada semua permukaan  bata dan batu padas.

  • Pelapisan (Coating)

Tindakan pemberian lapisan pelindung, sasarannya adalah diseluruh permukaan komponen kori agung,  karena lokasi struktur cagar budaya ini  berada di tempat yang tidak terlindung.

  • Kedap Air

Pemasangan kedap air disini sangat diperlukan dengan tujuan untuk menghindari akan terjadinya kapilarisasi air yang masuk ke dalam kori agung, baik itu air tanah maupun air hujan.

  • Penggantian Komponen

Penggantian komponen yang dilakukan adalah penggantian kusen dan daun pintu kori agung. Mengingat kondisi fisik kusen dan daun pintu telah mengalami gejala kerusakan yang visualisasi kerusakannya adalah melengkung. Terjadinya gejala kerusakan ini kemungkinan disebabkan oleh kwalitas bahan yang kurang bagus dan juga karena pengaruh reaksi sinar matahari.

 

Simpulan

Setelah dilaksanakannya kegiatan evaluasi pasca pemugaran terhadap Kori Agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba, yang diantaranya dengan melaksanakan pengamatan terhadap obyek yang menjadi sasaran kegiatan, pendokumentasian dalam bentuk foto serta gambar dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi kori agung ini masih dalam keadaan baik dan stabil. Hal ini dikarenakan pada saat pelaksanaan pemugarannya dulu telah dilakukan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pemugaran bangunan atau struktur cagar budaya. Selain itu dari segi pemeliharaan yang dilaksanakan oleh pengemong dan penyungsung sudah sangat baik, dengan melaksankan kegiatan pembersihan yang dilaksanakan secara  terus-menerus (konsisten). Jadi secara keseluruhan kondisi Kori Agung Merajan Agung Puri Kaleran Kaba-kaba  masih baik dan stabil setelah selesainya pemugaran beberapa tahun yang lalu, walaupun ada beberapa bagian kori agung yang mengalami gejala kerusakan dan pelapukan. Namun hal itu hanya merupakan gejala kerusakan dan pelapukan kecil dan dapat dilakukan perbaikan dengan system konsoloidasi dan kamuflase (konservasi).