Sejarah Desa Tonja
“Tonja adalah sebuah desa yang dahulu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Badung yang masuk kecamatan Kesiman dan masih merupakan bagian dari kota administrasi Denpasar. Seiring dengan perkembangan penduduk kota, Denpasar memisahkan diri dengan Kabupaten Badung, menjadi kota madya Denpasar dan Desa Tonja yang merupakan wilayah kota Denpasar masuk kecamatan Denpasar Timur, berkat perkembangan daerah dan pesatnya jumlah penduduk Denpasar, selanjutnya terjadi pemekaran kecamatan dari tiga kecamatan menjadi empat kecamatan sedangkan Desa Tonja masuk Kecamatan Denpasar Utara.
Sejarah lahirnya Desa Tonja dalam Babad Dalem Batu Selem yaitu dimana pada tahun 1250 Isaka Bali yang dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Batu Ireng yang selanjutnya bergelar Raja Asta Sura Ratna Bhumi Banten. Dan memiliki beberapa patih serta Punggawa seperti : Ki Pasung Grigis, Ki Buahan, Ki Tunjung Tutur, Ki Kalung Singkal, Ki Gudung Basur dan yang lainnya. Dalam pemerintahannya Batu Selem, yang tidak mau tunduk pada Kerajaan Majapahit, sehingga Raja Majapahit murka dan mengutus Patih Gajah Mada ke Bali untuk menundukkan dan memerangi kerajaan Bali, dalam peperangan itu Bali dapat ditundukan. Sehingga membuat Raja Dalem Batu Ireng yang bergelar Raja Asta Sura Ratna Bhumi Banten mengungsi ke Jagat Taro, Gegel, Baturyang (Batuyang), Batu Sasih (Batubulan), Bukut Kali, Batu Belig Kalanggendis, Taman Yang Batu, Batu Bida, dalam pelarian itu beliau disembunyikan oleh Pasek Bendesa, Pande dan warga lainnya ( berdasarkan ilikita Desa adat Tonja ).
Dalem Batu Selem dalam pelariannya menyamar sebagai rakyat dan bertemu dengan I Gusti Ngurah Bongaya di perempatan Desa Pagan yang akan mengadakan upacara yadnya. Kerena ingin tahu keadaan upacara tersebut maka, Dalem Batu Selem mampir ke Pura Desa adat Pagan. Mengetahui dirinya buruk rupa beliau hanya di jaba tengah pura, diketahui oleh juru canang karena terkejut melihat wajah Dalem Batu Selem buruk dan berpakaian kotor serta berpenampilan acak-acakan, juru canang takut dan berteriak Tonya serta dianggap menganggu jalannya upacara, Dalem Batu Selem disebut Tonya diusir oleh Gusti Ngurah Bongaya beserta warga lainnya membuat Dalem Batu Selem murka dan mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya agar desa ini menjadi tas-tas atau pecah sehingga muncul keributan selanjutnya putus hubungan antara sesama warga desa yang ada di sebelah utara Pura Desa. Dalam perjalanan ke utara setalah diusir Dalem Batu Selem kakinya ketonjok / tersandung batu di wilayah Ajungut-jungut yang sekarang wilayah banjar Tega, dan batu itu dipastu supaya menjadi Bhumi Tonjaya.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kata Tonja berasal dari kata Ketonjok ( ke + tonjok ) dari kata tonjok menjadi Tonja, yang merupakan perjalanan Dalem Batu Selem kakinya ketonjok / tersanjung batu. Sehingga menjadi Desa Tonja. Sedangkan sejarah Banjar Tatasan berasal dari kata tas-tas, dimana Dalem Batu Selem yang disebut tonya lalu diusir oleh I Gusti Ngurah Bongaya beserta warganya sehingga Dalem Batu Selem mengutuk I Gusti Ngurah Bongaya serta warga yang ada, agar desa yang dipimpinnya menjadi tas-tas atau pecah sesama desa khususnya penduduk yang ada disebelah Pura Desa, sehingga terjadi keributan, yang pada akhirnya menjadi wilayah Tatasan. Seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, maka banjar mengalami pemekaran menjadi dua banjar yaitu Banjar Tatasan Kaja dan Tatasan Kelod.”
Potensi Cagar Budaya di Desa Tonja, Denpasar
Sepanjang Jalan Ratna, dari utara sampai dengan selatan banyak sekali pura-pura yang memiliki karakter kuna. Seperti beberapa diantaranya adalah Pura Desa Tonja, Pura Bale Agung Tonja, Pura Ulun Danu Tonja, Pura Dalem Buungkeneng Tonja, Pura Khayangan Tonja, dan Pura Rambut Siwi Tonja. Dari ke-enam Pura Kuna yang terdapat di daerah Tonja ini ternyata menyimpan tinggalan arkeologi atau Benda Cagar Budaya dari periode Prasejarah (tradisi megalitik) seperti arca sederhana, dan juga dari periode klasik Bali Pertengahan abad ke 8-15 Masehi seperi arca ganesa, arca durga mahesasuramardini, dan sebuah bagunan prasada yang mirip dengan bangunan prasada di Pura Maospahit Tonja. (Sumartika, dkk : 1996/1997).
Cagar Budaya Pura Desa dan Puseh Tonja (3/14 – 09/STS/22)
Pura Desa Puseh Bale Agung Desa Tonja, secara administrarif terletak di Jln. Seroja, Gang Tunas Mekar, Kel. Tonja, Kec. Denpasar Utara, Kotamadya Denpasar. Secara geografis Pura Desa Puseh, Bale Agung Desa Tonja berada pada titik koordinat geografis 50 L 03605209, 9045475 UTM, dengan ketinggian 66 Meter dari permukaan air laut. Pura ini berada di tengah-tengah permukiman masyarakat dengan batas-batas pura sebagai berikut :
- Batas Utara : Pemukiman
- Batas Timur : pemukiman
- Batas Selatan : Jalan/Gang
- Batas Barat : Pemukiman
Pura ini di empon oleh 9 (sembilan) banjar yang terdapat di Kelurahan Tonja, yaitu : Br.Tatasan Kelod, Br.Tatasan Kaja, Br.Tege, Br.Sengguan, Br.Kedaton, Br.Batan Ancak, Br. Tegeh Kori, Br. Tanggun Titi, dan Br. Tegeh Sari. Pura ini memiliki luas dengan Panjang : 191 meter, dan Lebar : 114 meter. Terdiri dari dua halaman yaitu halaman tengah (madya mandala) dan halaman utama (utama mandala). Selain Pura Desa, Puseh Bale Agung, terdapat juga pura lain di areal ini yaitu Pura Ulun Danu dan Pura Biang Susunan. Pura ini merupakan milik dari masyarakat Kelurahan Tonja Denpasar dan dikelola oleh masyarakat sendiri.
Pura Desa Bale Agung, Puseh Tonja terlihat memiliki susunan dua halaman, yaitu halaman jeroan dan bagian jaba tengah, Sedangkan halaman yang paling luar jaba sisi merupakan halaman terbuka. Secara simbolis tiga halaman ini dihubungkan dengan konsep Tri Bhuawana yaitu tingkatan alam semesta atau macrocosmos (bhuwana agung). Jaba sisi melambangkan bhurloka yaitu alam fana tempat manusia, jaba tengah melambangkan bwahloka yaitu alam pitra atau roh, alam peralihan. Jeroan melambangkan swahloka alam para dewa atau dunia baka. Sesuai dengan pola pembangunan pura di Bali, Pura Desa Bale Agung, Puseh Tonja juga mempunyai tiga halaman. Di sini akan tampak adanya suatu variasi kecil yaitu bagian jaba sisi (halaman paling luar) tidak dikelilingi oleh tembok, tetapi berupa sebuah halaman yang terbuka (jalan umum / gang) yang berada di sisi selatan.
Disini hanya bagian jeroan (halaman paling suci) dan jaba tengah (halaman tengah) yang dikelilingi oleh tembok keliling, yang terbuat dari batu bata, sedangkan antara jaba tengah dengan jeroan dibatasi oleh sebuah tembok dan terdapat kori agung. Antara jaba tengah dengan jaba sisi di batasi pula dengan sebuah tembok keliling dan dihubungkan dengan sebuah candi bentar. Susunan halaman pura seperti ini merupakan suatu ciri yang menunjukan bahwa pura tersebut tergolong pura kuno. Dijelaskan oleh Dr. Goris bahwa ciri inilah yang membedakan pura-pura tipe kuno dengan pura-pura tipe baru. Kebanyakan pura-pura tipe baru ketiga halamanya di kelilingi oleh tembok keliling.
Arsitektur kori agung Pura Desa, Puseh Bale Agung memiliki karakter kuna dan masih bertahan sampai saat ini. Bahan yang digunakan adalah batu padas, terdiri dari kaki, badan dan puncak dengan 5 (lima) puncak tersusun semakin keatas semakin mengecil, kori agung ini memiliki ukuran Lebar : 5,50 meter, dan Tebal : 1,10 meter. Sedangkan untuk pintu masuk yang berupa candi bentar pada kanan dan kiri kori agung dan tembok keliling (penyengker) menggunakan bahan batu bata merah. Bangunan-bangunan yang terdapat di areal pura semuanya menggunakan bahan batu bata merah kombinasi batu padas, menggunakan tiang penyangga dari kayu dan atap dari bahan ijuk.
Dari kegiatan inventarisasi dan pendokumentasian yang dilakukan terdapat beberapa tinggalan arkeologi yang berpotensi sebagai Cagar Budaya seperti Arca Durga Mahesasuramardhini, Arca Ganesha, Arca Primitif, Arca Perwujudan, dan beberapa fragmen arca perwujudan. Arca-arca ini diletakkan pada beberapa pelinggih dan juga gedong seperti Gedong Ratu Gede, Pelinggih Ratu panj, Pelinggih Ratu Ayu Mas Meketel, dan Pelinggih Meru Ratu Puseh. Dari hasil wawancara dengan pemangku bahwa odalan atau hari suci di Pura Desa Bale Agung Puseh Tonja ini jatuh pada hari Purnama Kasa.