1.Bulan jatuh dari langit
Nekara Pejeng tersebut di atas, untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada dunia internasional oleh G. E. Rumphius, seorang ahli Ilmu Hayat melalui bukunya Amboinsche Rariteitkamer yang diterbitkan pada tahun 1705, walaupun ia sendiri sebenarnya belum pernah datang ke Bali, tetapi ternyata ia telah berhasil memanfaatkan segala keterangan yang berasal dari Hendrik Leydekerker’s, yang telah melihat dan mempelajari nekara tersebut di atas Kempers, 1960: 68-70; Heekeren, 1954: 1958: 21-24). Sejak itu, nekara Pejeng mulai mendapat perhatian dunia, dan ternyata pada tahun 1906 W. O. J. Nieuwenkamp, seorang seniman ternama datang ke Bali dan membuat gambar detil nekara tersebut di atas, yang hasilnya hingga sekarang masih menjadi bahan rujukan dalam studi arkeologi prasejarah dan baru beberapa tahun yang lalu dilakukan penggambaran ulang oleh Dinas Purbakala Bali dan Jakarta. “Bulan Pejeng” adalah nama julukan untuk menyebut sebuah nekara perunggu dari jaman prasejarah, yaitu dari masa perundagian yang berkembang kira-kira 2000 tahun yang silam, atau kira-kira sekitar awal Tarikh Masehi. Warisan budaya ini, adalah salah satu media pemujaan yang sakral, sampai sekarang masih tersimpan dengan baik di Pura Penataran Sasih di desa Pejeng, Gianyar, yang terletak hampir di pusat desa, yaitu di tepi jalan raya Tampaksiring-Kintamani, sehingga tidak ada suatu kesulitan untuk mengunjungi pura ini (foto 1). Menurut sebuah cerita rakyat yang sangat populer di kalangan masyarakat luas diceritakan, bahwa “Bulan Pejeng” ini adalah “bulan” yang dahulu kala jatuh dari langit di desa Pejeng, membuat desa ini menjadi terang-benderang siang dan malam, sehingga para pencuri tidak mungkin dapat melakukan aksinya. Oleh karena itu, maka “bulan” ini dikencinginya, sehingga tidak lagi bersinar sampai sekarang. Adapun nama Pura Penataran Sasih ini, yang berarti“Pura tempat bulan” (Bulan=Sasih), barangkali berkaitan erat sekali dengan cerita “bulan” yang dahulu kala telah jatuh dari langit. Masih ada lagi cerita lain yang menuturkan, bahwa nekara Pejeng ini adalah subang Kebo Iwa, seorang tokoh legendaris yang sangat kuat dan sakti, sehingga dengan kukunya berhasil mengukir Goa Gajah, candi tebing Gunung Kawi dan lain-lainnya (Kempers, 1960: 63-71; 1977: 23-39; Ramseyer, 1977: 26-27).
Sejalan dengan bergulirnya waktu, berita mengenai nekara Pejeng telah menarik perhatian para ahli arkeologi Indonesia untuk melakukan penelitian dengan seksama, karena selain nekara perunggu tersebut di atas, di Pura Penataran Sasih terdapat juga sejumlah kekunaan yang berasal dari masa meluasnya pengaruh agama Hindu antara lain, ialah prasasti, arca-arca Hindu dan lain-lainnya yang masih berfungsi sakral bagi penduduk desa setempat untuk memohon keselamatan, kesejahteraan dan agar terhindar dari marabahaya. Dapat ditambahkan, bahwa berdasarkan hasil pengamatan arkeologi, desa Pejeng adalah sebuah desa kuno, mempunyai lebih dari 50 buah pura yang sebagian besar tergolong sebagai cagar budaya (ada yang besar dan ada juga yang kecil dan sederhana), yang tersebar mengitari desa dan masih berfungsi sakral bagi penduduk setempat Ada dugaan sementara, bahwa desa Pejeng, adalah Singhamandawa, pusat kerajaan Bali Kuno. Barangkali perlu dicatat di sini, bahwa desa Bedulu yang terletak tidak jauh di sebelah selatan desa Pejeng, mempunyai lebih dari 20 buah pura, yang sampai sekarang masih berfungsi sebagai media pemujaan yang sakral bagi masyarakat setempat.
Penelitian arkeologi
Berdasarkan hasil penelitian para ahli arkeologi dapat diketahui, bahwa nekara Pejeng adalah sebuah nekara raksasa dengan segala ukuran yang serba besar, yaitu tinggi 186,5 m. dan garis tengah bidang pukulnya 1,60 m. (foto 2). Di kalangan para ahli arkeologi, nekara ini disebut juga sebagai nekara dengan kepala, karena mempunyai empat pasang hiasan kepala atau kedok muka dengan mata bulat melotot, hidung berbentuk kerucut memanjang dan telinganya panjang memakai anting-anting dari mata uang (Heekeren, 1954: 37-43; Sutaba, 1980; Kempers, 1960: 63-71; 1977: 23-39; Oka, 1979). Lebih jauh diduga, bahwa hiasan kedok muka ini tidak semata-mata hanya berfungsi estetik-dekoratif, melainkan lebih banyak berfungsi simbolik-magis, yaitu sebagai lambang atau simbol nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat melindungi arwah seseorang dalam perjalanannya ke dunia akhirat. Di samping itu, dipercayai juga dapat memberikan perlindungan dan lesejahteraan kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. kesejahteraan kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. Ada juga hiasan lainnya yang mengandung makna simbolik-magis, ialah hiasan bulu burung merak yang dipercayai sebagai simbol atau lambang kematian, dan sekaligus juga sebagai pengantar arwah ke dunia akhirat, sedangkan hiasan bintang adalah lambang kebesaran dunia atau alam semesta, sedangkan hiasan tumpal diduga sebagai lambang kehidupan.
Penelitian seputar nekara Pejeng sebagai artefak prasejarah yang penting semakin menarik dan masih diteruskan hingga dewasa ini. Sebagai contoh dapat disebutkan, ialah penelitian yang dilakukan pada tahun 1932 oleh K. C. Cruq dari Dinas Purbakala RI. (Jakarta) yang berhasil menemukan tiga buah fragmen cetakan batu di sebuah pura di desa Manuaba, yang memakai hiasan kedok muka yang hampir sama dengan hiasan kedok muka pada nekara Pejeng, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Beberapa tahun yang lalu, (alm) Prof. Dr. R. Soejono, ketika bertugas memimpin Kantor Purbakala Bali di Bedulu, Gianyar, menemukan lagi dua buah fragmen cetakan batu yang merupakan bagian dari temuan Cruq di tempat yang sama di desa Manuaba (Heekeren, 1958: 22; Kempers, 1960: 67; 1977: 38). Kelima buah cetakan batu di atas, sampai sekarang tersimpan di sebuah pura di desa Manuaba, karena dianggap sebagai media pemujaan yang sakral bagi masyarakat setempat. Cetakan lainnya untuk membuat nekara, beberapa tahun yang lalu telah ditemukan juga di desa Pacung, Buleleng. Ber- dasarkan temuan cetakan batu ini, maka para ahli purbakala berpendapat, bahwa pada masa perundagian yang berkembang kira-kira 2000 tahun yang silam, masyarakat prasejarah Bali telah menguasai teknologi dan seni tuang logam (metalurgi) dan berhasil mengembangkan industri logam lokal (local metallic industry) yang khas Bali, yang dapat menghasilkan barang-barang perunggu, seperti nekara Pejeng dengan ragam hias seperti dipaparkan di atas; tajak, gelang dan lain-lainnya. Keberhasilan ini dapat dicapai, karena kearifan lokal masyarakat Bali pada waktu itu telah tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat, sehingga menghasilkan karya-karya budaya yang sangat khas Bali. Perkiraan ini diperkuat juga dengan adanya temuan di luar Bali, yaitu di Jawa Barat berupa cetakan dari tanahliat untuk membuat mata tombak, adalah bukti arkeologis penting mengenai perkembangan industri logam lokal pada masa perundagian di Indonesia (Sutaba, 1980; 2008: 8-29; 2014: 205). Pendapat ini telah dikemukakan juga oleh A.J. Bernet Kempers (1977; 38), yang dikukuhkan oleh temuan cetakan nekara di desa Pacung, seperti telah disebutkan di atas. Dapat di- tambahkan di sini, bahwa penelitian terakhir mengenai nekara Pejeng telah dilakukan oleh D. D. Bintarti (2000), tetapi masih menyisakan masalah arkeologi yang penting, yaitu dimana lokasi atau pusat dan bengkel kerja industri logam lokal di daerah Bali, karena Bali tidak memiliki tambang logam.
Selain di desa Pejeng, di tempat lainnya di daerah Bali ditemukan juga nekara perunggu, yaitu di Peguyangan (Badung), Pacung, Ularan, Pangkungparuk (Buleleng), Ban (Karangasem), Manikliyu (Bangli), Perean (Tabanan), dan Bitra (Gianyar). Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat diketahui, bahwa di antara nekara perunggu ini ada yang ditemukan dalam asosiasi atau konteks penguburan, ialah nekara dari Ularan dan Pangkungparuk yang diduga sebagai bekal kubur, sedangkan nekara Manikliyu ternyata digunakan sebagai wadah kubur (foto 3 ), sama halnya dengan nekara perunggu dari Plawangan, Jawa Tengah (Gede, 2002: 44-58: 2012: 19-30; Sutaba 2012: 5-15). Tiga buah di antara nekara perunggu di daerah Bali seperti tersebut di atas, yaitu nekara Pejeng, Perean dan Ban, termasuk juga nekara batu dari Carang-saei dan cetakan batu Manuaba, sampai sekarang masih ber- fungsi sacral bagi masyarakat setempat. Adapun nekara peruggu lainnya, ada enam buah, sudah mengalami proses desakralisasi, sehingga sekarang menjadi barang-barang profan. Artefak ini adalah bukti-bukti arkeologis penting yang menyatakan, bahwa pada masa perundagian, masyarakat prasejarah Bali, sekitar 2000 tahun yang silam atau sekitar permulaan Tarikh Masehi, jauh sebelum datangnya pengaruh dari India, telah berhasil menguasai dan mengembangkan industri logam lokal yang khas Bali, sehingga pada waktu itu berhasil mencapai puncaknya. Selain nekara perunggu, di beberapa situs arkeologi di Bali, ditemukan juga barang-barang perunggu lainnya, yaitu tajak, gelang cincin, sarung tangan dan lain-lainnya, yang ber- hubungan erat dengan tradisi penguburan, seperti yang ditemukan dalam sejumlah sarkofagus Bali dan di situs nekropolis Gilimanuk, Jembrana (Soejono, 2008; Sutaba dan Putra, 2016).
Kenyataan di atas menunjukkan, bahwa dinamika kearifan lokal (local wisdom dynamic) masyarakat Bali telah berhasil tampil dengan sangat cerdas. Hal semacam ini juga terbukti dari temuan sebuah nekara yang tidak dibuat dari perunggu, melainkan dari batu, yang sampai sekarang disimpan di sebuah pura di desa Carangsari (Badung) dan masih berfungsi sakral bagi masyarakat setempat. Hal ini terjadi, mungkin karena pada waktu itu tidak tersedia perunggu yang diperlukan; atau barangkali masyarakat tidak berhasil mendapat bahan-bahan yang diperlukan, tetapi kesulitan ini ternyata tidak membuat masyarakat setempat kehilangan akal atau kehabisan semangat untuk memenuhi keperluannya yang bersifat religius. Untuk mememuhi keperluan ini, sekali lagi, kearifan lokal masyarakat Bali yang sangat dinamis dan cerdas berhasil memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di sekitarnya, yaitu batu atau bebatuan yang dapat digunakan untuk membuat nekara sebagai pengganti nekara perunggu. Tampaknya masyarakat tidak memasalahkan perbedaan bahan dan perbedaan bentuk sarana pemujaan yang dapat dihasilkan, karena mereka lebih me- mentingkan pemenuhan keperluan yang bersifat religius untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, maka secara arkeologis, nekara batu dari Carangasari dapat dianggap sebagai warisan budaya (cultural heritage) yang spektakuler dan unik, karena merupakan salah satu hasil ke- arifan lokal dalam wujud kearifan ekologis (ecological wisdom) masyarakat Bali, yang merupakan satu-satunya nekara batu di Indonesia, yang untuk pertama kalinya hanya ditemukan di Bali.
Masih ada sisi lain yang merupakan keunggulan dari kearifan lokal masyarakat Bali dalam penguasaan teknologi dan seni tuang logam yang sangat rumit, ialah nekara dari Ularan dan Pangkungparuk seperti disebutkan di atas, adalah dua nekara mini atau nekara perunggu berukuran kecil (disebut juga miniatur nekara perunggu) yang sangat spektakuler, baik sebagai hasil teknologi dan seni tuang logam (metalurgi) mau- pun sebagai karya seni yang khas Bali, yang baru untuk pertama kalinya ditemukan di Indonesia. Perlu dicatat di sini, bahwa nekara Ularan sedikit lebih besar daripada nekara Pangkung- paruk dengan ukuran tinggi 27 cm. dan diameter bidang pukulnya 16 cm., sedangkan nekara Pangkungparuk tingginya hanya 7,5 cm. dengan diameter bidang pukulnya 4,8 cm. (foto 3). Secara tipologis, kedua nekara mini ini dapat dianggap supermini, sedangkan “Bulan Pejeng” dapat dianggap sebagai nekara superbesar, seperti dipaparkan di atas. Kedua nekara tersebut di atas adalah temuan arkeologi yang sangat penting dan langka, kini telah memperkaya khazanah budaya Indonesia, khususnya budaya Bali (Gede, 2012: 29-30).Temuan arkeologis semacam ini dapat dianggap sebagai bukti, bahwa masyarakat Bali khususnya tidak begitu saja mengadops teknologi dari Dongson, tetapi dengan kemampuan dan penguasaan bidang teknologi metalurgi, akhirnya dengan kekuatan kearifan lokal, akhirnya berhasil menciptakan dan mengembangkan karya budaya yang benar-benar khas Bali, seperti dipaparkan di atas.
Sementara itu, penelitian arkeologi di luar Bali telah ber- hasil menemukan nekara perunggu yang menarik perhatian, yaitu di Kerinci (Sumatra), Banten, Tanurejo, Weleri, Plawang- an (Jawa), Pulau Salayar, Roti, Kei dan Papua (Heekeren, 1958: 12-34; Soejono et al., 1993: 243). Menarik perhatian, ialah adanya persamaan bentuk dan pola hias tertentu antara nekara-nekara perunggu Indonesia, seperti tersebut di atas dengan nekara-nekara perunggu di Asia Tenggara, sehingga timbul dugaan, bahwa Indonesia mendapat pengaruh dari Dongson yang dipandang sebagai pusat teknologi perunggu di Asia Tenggara, yang dibawa oleh penutur Bahasa Austronesia melalui jalan darat atau lewat jalur samudra. Dalam perlintasan budaya Asia-Pasifik semacam ini, Bali mempunyai posisi geo- grafis yang amat strategis, ternyata tidak hanya sekedar menga- adopsi teknologi metalurgi dari Dongson, tetapi telah berhasil melakukan modifikasi melalui kearifan lokal masyarakat Bali yang sangat cerdas, dinamis, fleksibel, selektif dan kreatif, sehingga menghasilkan karya budaya, seperti nekara perunggu tersebut di atas dengan karakter yang khas Bali dapat disaksikan dengan jelas.
Berdasarkan hasil–hasil penelitian arkeologi dapat di- ketahui, bahwa pada masa peundagian telah berkembang juga tradisi megalitik yang tersebar hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia antara lain, berupa menhir, dolmen, kubur peti batu dan sebagainya. Para ahli arkeologi berpendapat, bahwa pada waktu itu seluruh Bali telah dihuni oleh masyarakat megalitik yang agraris, tetapi menguasai teknologi metalurgi, menetap di desa-desa, hidup dengan teratur, dipimpin oleh seorang tokoh yang dipercaya, disegani dan dihormati. Ke- hidupan masyarakat berkembang semakin maju, karena telah menguasai teknologi metalurgi, menuntut adanya tenaga-tenaga yang memiliki kemampuan dan penguasaan bidang-bidang tertentu dalam kehidupan masyarakat. Menghadapi keadaan semacam ini, dalam masyarakat lahir dan berkembang kelompok-kelompok sosial fungsional, yaitu kelompok para pemimpin, kelompok para undagi batu dan ahli teknik dan teknisi atau pande logam (besi) yang mempunyai kemampuan khusus; kelompok para rohaniwan yang mengatur dan melaksanakan berbagai ritual, seperti ritual penguburan dan masyarakat umum yang tidak mempunyai kemampuan tertentu, bertugas membantu semua kelompok lainnya (Sutaba, 1999: 11; 2014: 207-208; 223; White, 1975: 17-18). Pada waktu itu, dalam masyarakat tumbuh dan berkembang kepercayaan kepada arwah leluhur atau arwah pemimpin yang dianggap berada di puncak gunung atau bukit, atau di suatu tempat yang sulit dikunjungi, dan dipercayai mempunyai kekuatan magis (magic power) yang dapat melindungi kaum kerabat atau masyarakat dari marabahaya dan dapat juga memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Kepercayaan ini ternyata sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga sampai sekarang masih tampak bertahan (survive) dan berlanjut dalam kehidupan bangsa Indonesia, khususnya dalam masyarakat Bali (Sutaba, 2016). Dapat dikemukakan di sini, bahwa pada waktu tradisi megalitik berkembang dengan pesat, kepercayaan kepada arwah nenek moyang adalah sistem religi yang bersifat universal, sehingga para ahli arkeologi menganggapnya sebagai ciri utama tradisi megalitik yang dapat dijumpai di situs-situs megalitik di seluruh dunia antara lain, seperti di kawasan Asia Tenggara (Sutaba, 1999: 18-20; Wales, 1953: 79-91).
- “Bulan Pejeng” representasi teknologi dan karya seni prasejarah Bali
Berdasarkan hasil-hasil kajian arkeologi seputar nekara Pejeng seperti dipaparkan di atas dapat diketahui, bahwa nekara ini adalah karya budaya masyarakat prasejarah Bali, yang bersifat multidimensional, seperti juga karya-karya budaya lainnya, mengandung pesan-pesan atau berbagai informasi mengenai kehidupan masyarakat masa silam. Menurut Leslie A. White (1953), seorang ahli antropologi budaya dan L. Binford (1983), seorang ahli arkeolgi yang terkenal, setiap karya budaya, seperti “Bulan Pejeng” mengandung aspek kehidupan yang beragam, yaitu aspek teknologi, sosial dan religi (ada juga yang menyebut sebagai sistem teknologi sistem organisasi sosial dan sistrm religi atau kepercayaan). Dijelaskannya lebih jauh, bahwa aspek-aspek kehidupan ini tidak mungkin dipisah-pisahkan secara parsial, karena terbukti satu sama lainnya saling mempengaruhi dan saling tergantung secara sistemik dalam ke- hidupan masyaralat, seperti simpul-simpul jejaring sosial-budaya dalam satu kesatuan yang kokoh. Berangkat dari pendapat kedua tokoh di atas, maka dapat dikatakan, bahwa nekara Pejeng, adalah bukti arkeologis penting yang me- representasikan kehidupan masyarakat perundagian di Bali yang berkembang sekitar 2000 tahun yang lalu, atau pada permulaan Tarikh Masehi, jauh sebelum datangnya pengaruh dari India, meliputi bebagai aspek yang bersifat jamak, yaitu (a) penguasaan teknologi, seni tuang logam dan karya seni yang diwarnai oleh kearifan lokal yang amat signifikan dan bermakna simbolik-magis; (b) berkembangnya pranata sosial, berupa kelompok-kelompok sosial fungsional seperti dipaparkan di atas; dan (c) sistem religi yang didominasi oleh kepercayaan kepada arwah nenek moyang, yang sangat mempengaruhi ke- hidupan masyarakat Bali hingga dewasa ini. Dengan demikian, maka “Bulan Pejeng” dapat dianggap sebagai sebuah representasi teknologi, seni tuang logam dan karya seni masyarakat prasejarah Bali yang tidak hanya sekedar bermakna signifikan pada waktu itu, tetapi telah berhasil mencapai puncaknya, sehingga menjadi masterpiece atau highlight masa perundagian di Bali. Pendapat semacam ini telah lama ditegaskan oleh A.J. Bernet Kempers (1977: 39), “……..the ‘moon’ represents local culminating point in a technical and artistic not to be equalled as far as we know anywhere in the same field”. Secara arkeologis-historis dapat dikemukakan di sini, bahwa karya budaya prasejarah ini kemudian menjadi landasan yang penting dalam perkembangan kebudayaan Bali selanjutna, terutama kesenian, ketika pengaruh dari India dan lain-lainnya sampai di Pulau Dewata ini.
Dalam konteks kekinian, nekara Pejeng yang sarat dengan kandungan nilai-nilai sosial-budaya tentu sangat bermanfaat dalam pembangunan karakter bangsa, yaitu untuk mengukuhkan ketahanan jatidiri generasi muda untuk menghadapi budaya global, pesatnya multikulturalisme dan gemuruhnya pengaruh industri pariwisata (budaya) yang didukung oleh kemajuan teknologi, terutama teknologi transportasi, informasi dan komunikasi. Pembangunan karakter bangsa yang ideal, dapat dilakukan melalui suatu sistem pendidikan yang berbasis sejarah (Bali) dalam berbagai jenjang atau tingkatan pendidikan yang telah diatur oleh Pemerintah. Bagi masyarakat Bali dewasa ini, kiranya sangat penting untuk membangun kesadaran sejarah dan budaya sendiri, supaya tidak kehilangan akar sejarah dan budaya leluhurnya sendiri dalam membangun Bali yang maju, modern, tetapi memiliki ketahanan budaya dan sejahtera lahir-bathin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. yang kuat dan bersatu (S-10112012- rev. 19112013).