Seni Pahat Tebing Padas di Desa Jehem, Bangli

0
247

1. Fragmen Candi Tebing Jehem (No Inventaris Situs : 3/14-06/STS/57)

Secara administrasi Fragmen Candi Tebing Jehem berada di Dusun/Banjar Jehem Kaja, Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Pada titik koordinat 50 L 0320896, 9066652 UTM, akurasi 9 Meter, dengan ketinggian 445 Meter Dpl. Dari kota Bangli menuju situs berjarak sekitar 7 Km, kearah Timur. Situs ini sangat mudah dicapai dengan kendaraan umum jurusan Tembuku, sampai di perempatan Desa Jehem menuju ke Utara mengikuti jalan aspal desa sampai di Dusun Jehem Kaja berdekatan dengan Pura Masceti. Kondisi lingkungan sangat sejuk, banyak tumbuhan besar di sekitar situs seperti pohon durian, pohon aren, pohon kresek, rumput ilalang yang tinggi, dan tumbuhan paku. Lokasi Asli Fragmen Candi Tebing sebelum lepas dari dinding tebing padas 50 L 0320950, 9066614 UTM , ± 10 meter sebelah timur dari posisi sekarang dekat Sungai Melangit. Pada tahun 1991 terjadi longsor, sehingga menyebabkan Candi Tebing terlepas dan jatuh. Selanjutnya dilakukan tindakan penyelamatan oleh BPCB Gianyar yang pada saat itu bernama SPSP (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala), dan di pindahkan ke sebelah Utara di lahan yang landai dan dibuatkan balai pelindung. Fragmen Candi Tebing Jehem ditempatkan di sebuah lahan dengan luas lahan, Panjang :1,023 cm dan Lebar : 840 cm.

Situs Candi Jehem

 

Balai Pelindung memiliki ukuran :
Panjang : 423 cm
Lebar : 420 cm
Bahan yang digunakan adalah batu padas, tiang dari kayu, dan atap menggunakan genteng.

Lapik menggunakan batu padas, berwarna abu-abu, dengan ukuran :
Tinggi : 60 cm
Panjang : 210 cm
Lebar : 174 cm

Status Kepemilikan Kantor BPCB Gianyar, Pengelola Kantor BPCB Ganyar, dengan Juru pelihara Situs Fragmen Candi Tebing JehemBapak Nengah Diarta yang sudah mulai menjaga situs dari tahun 1991.

Nama Cagar Budaya : Fragmen Candi Tebing Jehem
No Inventaris Benda : 2/14-06/BND/203
Ukuran keseluruhan
Tinggi : 174 cm
Lebar : 117 cm
Tebal : 48 cm
Bahan : padas
Kondisi : aus, tidak utuh
Deskripsi : Pahatan relief tebal, bagian kaki hilang, saat ini yang terlihat hanya bagian badan, dan atap. Bagian atap berbentuk stupa, dengan bagian anda (badan stupa), harmika (penghubung antara badan dengan payung) berbentuk padma (daun padma 5 buah), yasti (payung stupa). Selain itu pada bagian atap terdapat pahatan berupa duabuah menara sudut sebuah altar. Pahatan ini diulang kembali dipahatkan di bagian paling atas menempel di bagian anda. Bagian badan berbentuk persegi, terdapat dua relief manusia dipahatkan di kanan dan kiri relung. Jika dilihat dari karakternya relief yang dipahatkan adalah pendeta, sikap berdiri tegak, bentuk muka bulat, daun telinga panjang menyentuh bahu, sikap tangan terbuka di sebelah badan, terlihat memakai kain di badan (kain pendeta budha) menyilang menutupi badan. Memakai kain di bagian pinggang sampai kaki. Karena kondisi yang sangat aus dan ditumbuhi licen sulit untuk mengetahui lebih detail mengenai tokoh yang dipahatkan pada bagian badan Candi Tebing Jehem.

relief pendeta    bagian atap

2. Candi Tebing Tambahan (Nomor Inventaris : 3/14-06/STS/56)

Secara administrasi Candi Tebing Tambahan berada di Dusun Tambahan Kelod, Desa Jehem, Kecamatan
Tembuku, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Pada titik koordinat 50 L 0320659, 9063566 UTM, dengan
ketinggian 399 meter Dpl. Dengan batas-batas, Utara : Jalan Setapak, tangga turun, Timur : tebing, Selatan : lokasi Candi (tebing), Barat : tebing.
Dari kota Bangli menuju situs berjarak sekitar 7 Km, kearah Timur. Situs ini sangat mudah dicapai
dengan kendaraan umum jurusan Tembuku, sampai di perempatan Desa Jehem menuju ke Selatan mengikuti jalan aspal desa sampai di Dusun Tambahan Kelod. Kondisi lingkungan sejuk/lembab, tumbuhan yang terdapat di sekitar Candi adalah pohon pisang, pohon bamboo, pohon kelapa, pohon bunga kembang kertas, pohon timbul, tumbuhan paku dan rumput. Terdapat mata air dekat Candi Tebing saat ini dijadikan Beji yang bernama Beji Pesiraman Gredeg. Sebelah timur terdapat sungai besar yang bernama
Sungai Yeh Bubuh. Status kepemilikan tidak ada pemilik, dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Gianyar dengan Juru Pelihara Situs bapak Dewa Agung Made Tirta. Menurut informasi, Candi Tebing Tambahan ditemukan pada tahun 1980 oleh masyarakat.
Ukuran Keseluruhan,
Tinggi : 240 cm
Lebar : 110 cmTebal : 100 cmCandi Tebing Tambahan

Ukuran Candi
Lebar : 62 cm
Tebal : 56 cm
Ukuran Ceruk
Lebar : 150 cm
Tinggi : 150 cm
Tebal : 50 cm
Lubang Ceruk
Lebar : 103 cm
Tinggi : 148 cm
Diskripsi : candi tebing terdiri dari tiga bagian, bagian kaki (sudah hilang), bagian badan, dan bagian atap (hilang/aus). Pada bagian badan terpahat empat buah relung (semu) dan sebuah pintu bilik (semu). Di sebelah kiri candi terdapat sebuah ceruk pertapaan/wihara, tempat melaksakan kegiatan yoga/meditasi. atau bisa kemungkinan difungsikan untuk penempatan arca pemujaan. Kondisi saat ini atap dari ceruk sudah hilang, dan bagian lantainya aus. Jika dilihat dari kondisi dilapangan, kondisi ini diakibatkan karena terjadinya longsor.

Sket Denah Lokasi

 Keterangan Gambar

1.      Kantor Desa Jehem

2.      Candi Jehem

3.      Pura Masceti

4.      SD Negeri 1 Jehem

5.      SD Negeri 5 Jehem

6.      Pura Penataran

7.      Pura Dalem Tenggaling

8.      Pura Puseh Tambahan

9.      LPD Desa Adat Tambahan

10.  SD Negeri 6 Jehem

11.  Pura Puncak Sari

12.  Pura Dalem Purwa

13.  Beji Pesiraman Gredeg

14.  Candi Tebing Tambahan

Sekilas Mengenai Fungsi dan Pengertian Candi

Menurut Raffles, Candi merupakan sebuah makam, dengan mengenal istilah “cungkub” sebagai penamaan beberapa candi di Jawa Timur ia kemudian mengembangkan pendapat bahwa candi merupakan bangunan untuk memakamkan para raja dan orang terkemuka. Menurut Winter, yang menyebutkan bahwa “candi” itu
bukannya bangunan melainkan peti batu penyimpanan abu jenasah. Mungkin sekali pengertian ini bersumber pada kebiasaan dalam agama Budha, sebagaimana sudah kita ketahui dari kenyataan pada Candi Kalasan Jawa Tengah. Penafsiran candi sebagai “cungkub” sebagaimana kita ketahui, pengertian itu hanya terdapat dalam kalangan masyarakat Jawa Timur, tetapi dapat juga dihubungkan dengan pengertian di Jawa Tengah bahwa candi adalah peti batu penyimpan abu jenasah. Karena cungkub adalah bangunan untuk menaungi kuburan maka wajarlah apa yang kita sebut “candi” itu bagi mereka adalah “cungkub”. Dari rakyat yang salah pengertiannya itulah Raffles mendapat pengetahuannya tentang candi, begitu juga peneliti lainnya seperti Hoevell, dan Brumund.

Mereka memperoleh keterangan bahwa dahulu kala ada tiga macam perawatan mayat, sehingga ia dapat menghubungkan penamaan abu jenasah dengan batu perigi candi. Dan sumber itu jugalah yang membekali Winter untuk memberi penjelasan bahwa candi adalah semacam peti batu tempat menyimpan abu jenasah.
Demikian maka jelas kiranya bahwa yang menjadi sumber mula-mula sekali dari anggapan seakan-akan candi adalah bangunan pemakaman, tidaklah lain daripada cerita yang hidup di kalangan rakyat. Sesungguhnya semua petunjuk yang kita peroleh dari telaah kita ini menjurus kepada ditariknya kesimpulan bahwa candi memang tidak pernah berfungsi sebagai bangunan pemakaman, biar hanya untuk menanam abu jenasah sekalipun. Sebaliknya pengertian yang berulang kali menampilkan diri adalah pengertian candi sebagai kuil. Sebenarnya sebagai makam pun, candi sudah menjalankan peranan
kuil, oleh karena menjadi tempat orang melakukan kebaktiannya menyembah dewa. Seperti yang kita ketahui, dewa yang diwujudkan sebagai patung itu sekaligus menggambarkan pula sang raja yang telah mencapai moksa. Maka dalam candi terdapat penggabungan antara penyembahan dewa dan pemujaan roh nenek moyang, (Soekmono, 1974 : 293-333).

Istilah candi merujuk pada bangunan suci peninggalan zaman Hindu-Budha, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, candi diartikan sebagai bangunan kuno yang terbuat dari batu, berupa tempat pemujaan dan penyimpanan abu jenasah raja-raja atau pendeta-pendeta Hindu atau Budha. Dalam bahasa Sansekerta, candi adalah sebutan untuk Durga atau dewi maut candhika, sedangkan candigreha atau candikagrha atau candikalaya adalah penamaan tempat pemujaan bagi dewi tersebut. Candi kemudian dikaitkan dengan
bangunan kematian/pemujaan arwah (candikalaya) dalam bahasa Jawa Kuno, candi atau cinandi atau sucandi berarti yang ‘dikuburkan’, sedangkan dalam pemahaman arkeologi, candi dapat dihubungkan dengan bangunan untuk pemakaman maupun pemujaan. Dalam prasasti Prambanan intilah candi dapat dikaitkan dengan graha (tempat), yakni Swagraha (tempat tinggal Siwa-candi Siwa Prambanan). Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikenal juga istilah dharma, sudharma (dharma haji), pura/puri (tempat) seperti Wisesapura, Wisnubhawanapura, Bajrajinapamitapuri dapat dikaitkan dengan
percandian, (Wirjomartono dkk : 2009, 159-235).

Secara keseluruhan candi melambangkan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu alam bawah (bhurloka, kamaloka, kamadatu) tempat manusia yang masih dipengaruhi nafsu, alam antara/alam tengah (swahloka, rupaloka,rupadatu) tempat manusia yang telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas (swahloka, arupaloka, arupadatu) tempat dewa-dewa. Candi sebagai tempat sementara bagi dewa merupakan bangunan tiruan tempat dewa seperti yang berada di Gunung Mahameru. Oleh karena itu candi diberi motif hias yang
berhubungan dengan alam khayangan seperti bunga-bunga, teratai, binatang-binatang ajaib, dewa-dewi, bidadari.

Adapun pembagian dari sebuah Candi :
Bagian Kaki : denahnya bujur sangkar, dan biasanya agak tinggi, serupa batur dan dapat dinaiki melalui tangga yang manuju terus ke dalam bilik candi. Di dalam kaki candi, di tengah-tengah ada sebuah perigi tempat menanam peripihnya.
Bagian Badan : yang sering disebut tubuh candi, terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya. Arca ini berdiri di tengah bilik, jadi tepat di atas perigi, dan menghadap ke arah pintu masuk candi. Pada dinding-dinding bilik ini, sisi luarnya diberi relung-relung yang berisi dengan arca-arca. Pada candi yang
agak besar relung-relung itu dirubah menjadi bilik-bilik, masing-masing dengan pintu masuknya sendiri.
Bagian Atap : atap candi selalu terdiri atas susunan tiga tingkatan, yang semakin keatas semakin mengecil ukurannya, untuk akhirnya diberi sebuah puncak yang berupa genta/lingga/amakala/shikara/stupa. Di dalam atap ini terdapatkan sebuah rongga kecil yang dasarnya berupa batu segi empat berpahatkan gambar teratai merah, tahta dewa. Memang rongga ini dimaksudkan sebagai tempat bersemayam sementara sang dewa. Pada upacara pemujaan, maka jasad jasmaniah dari dalam perigi dinaikan, sedangkan jasad rohaniah dari rongga di dalam atap diturunkan, kedua-duanya kedalam arca perwujudan. Dengan ini maka hiduplah arca tersebut. Ia bukan lagi batu biasa, melainkan perwujudan dari raja yang sudah moksa sebagai dewa (Soekmono : 2005, 81-92).

Selain candi secara monumental tiga dimensi yang terdapat di Sumatra dan Jawa, di Bali terdapat candi yang dipahatkan di tebing padas. Candi tebing ini merupakan suatu ciri khas dari peradaban Bali Kuna yang diperkirakan mulai berkembang pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu abad ke-11 Masehi, putra bungsu dari Raja Udayana. Candi Tebing ini diberi nama Komplek Candi Tebing Gunung Kawi, yang terletak di daerah Tampaksiring, Gianyar. Candi Gunung Kawi ini terbagi menjadi kelompok candi dan kelompok ceruk pertapaan. Kelompok candi sendiri dibagi menjadi kelompok 5 candi yang terletak di sebelah timur, kelompok 4 candi yang terletak di sebelah barat dan candi kesepuluh. Sebelum mencapai kelompok 5 candi yang terdapat di seberang sungai akan dijumpai kelompok 4 candi beserta ceruk pertapaan. Masing-masing dari kelompok tersebut dipahatkan seperti relief pada dinding-dinding tebing sehingga candi tersebut nampak dua dimensi. Pada kelompok 5 candi terdapat saluran air yang berada di bagian bawah candi. Saluran tersebut mengalirkan air yang kemudian ditampung di kolam dan disalurkan ke sungai Pakerisan. Deretan kelompok 5 candi ini mempunyai keunikan pada bagian candi yang terletak paling utara. Di atas pintu semu dari candi tersebut terdapat tulisan “Haji lumah ing jalu”. Dengan huruf kadiri kwadrat yang berarti “Sang Raja yang dimakamkan di jalu”. Raja ini berasal dari tahun 1049-1077 Masehi, dari sini dapat diketahui bahwa Candi Gunung Kawi berdiri pada perempatan terakhir abad XI sebagai pendharmaan raja tersebut. Keseluruhan dari candi tersebut dipahat seperti relief dengan
bentuk yang ramping. Bentuk yang demikian banyak dijumpai pada candi-candi di Jawa Timur.
Pada bagian badan candi tampak pahatan pintu dan pada bagian atapnya terdapat pahatan menara yang bersusun berjenjang-jenjang ke atas, sebagaimana sering kali kita lihat pada bangunan India maupun Jawa-Hindu. Sedangkan pada bagian kaki candi terdapat lubang yang tadinya tersimpan peti batu berbentuk persegi empat yang terbagi menjadi sembilan lubang (nawasanga). Adapun ceruk pertapaan yang terletak di samping bangunan kelompok 5 candi, juga dipahat dalam batu padas yang kukuh dan kuat. Ceruk pertapaan tersebut terdiri dari bilik-bilik untuk pendeta dan batur yang terletak di bagian tengah ceruk. Selain Candi Tebing Gunung Kawi, terdapat juga candi tebing lainnya di sepanjang daerah aliran sungai Pakerisan seperti Candi Tebing Tegallinggah, Candi Tebing Kerobokan, dan di luar tempat itu terdapat juga di daerah Jukutpaku, Jehem, dan Tambahan Bangli. Karakteristik Candi Tebing Jehem dan Candi Tebing Tambahan memiliki karakteristik yang sama dengan Candi Tebing yang terdapat di daerah DAS Pakerisan Gianyar. Hanya saja Candi Tebing Jehem adalah Candi Tebing berkarakter Budhisme,
terlihat dari relief yang dipahatkan di sebelah pintu candi, dan atapnya yang berbentuk stupa. Candi Tebing Tambahan memiliki karakter Hinduisme, dilihat dari bagian atap yang berbentuk lingga. Ada kemungkinan bahwa pada abad ke-10 dan 11 Masehi berkembangnya arsitektur pembuatan candi yang dipahatkan di tebing padas, yang berkembang di daerah Bali pada saat itu. Selain itu pahatan Candi Tebing juga ditemukan di daerah Bima Nusa Tenggara Barat, yang memiliki karakter Hinduisme dan Budhisme
(sinkritisme) dalam satu areal situs. Situs tersebut bernama situs Candi Tebing Wadu Pa’a, dan terletak di pesisir pantai.

Oleh Tim :

I Nyoman Adi Suryadharma, S.S,  I Made Daging Sudarsa, I Wayan Gede Juliana, dan Dewa Ayu Ekayani