I Wayan Widiarta
Pokja Pemeliharaan
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI
Latar
Situs Pangkung Paruk merupakan salah satu desa kuna yang telah lama dihuni, sejak masa prasejarah, khususnya pra Hindu, yang terletak pada daerah dataran ± 2 Km, dari pantai. Peninggalan cagar budaya yang ditemukan berupa sarkofagus, berfungsi sebagai peti kubur yang terbuat dari batu (batu padas) untuk menyimpan mayat. Sarkofagus ini terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu bagian wadah dan tutup bentuk polos, pada bagian depan dan belakang ada pahatan berupa tonjolan (bulat) masing-masing 2 (dua) buah pada bagian wadah dan tutup. Peninggalan sarkofagus ini merupakan peninggalan masa megalitik yang berlangsung antara tahun 2000 sampai 2500 SM. Melihat pentingnya peninggalan Cagar Budaya tersebut, maka untuk itu perlu dilestariakan.
Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya. Kedudukan Tugas dan Fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya yaitu : melaksanakan pengamanan, pemeliharaan, pengembangan, pemanfaatan, dokumentasi dan publikasi Cagar Budaya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tahun anggaran 2018 akan dilaksanakan salah satu kegiatan pemeliharaan berupa Konservasi Cagar Budaya yang akan dilakukan terhadap 4 (empat) buah sarkofagus di Dusun Laba Nangga, Desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Kegiatan ini dilakukan untuk merekam kondisi keterawatan Cagar Budaya dalam upaya merencanakan langkah pelestarian dalam bentuk konservasi. Sedangkan tujuan dari kegiatan ini, dilakukan sebagai langkah untuk menentukan kerusakan-kerusakan terhadap Cagar Budaya baik yang diakibatkan oleh faktor alam, unsur kimia, perbuatan manusia, binatang maupun jasad renik.
Hal ini dilakukan untuk mempertahankan bentuk pelestarian terhadap cagar budaya, sehingga bisa diwariskan kepada generasi mendatang. Sehubungan dengan hal tersebut untuk mempertahankan upaya pelestarian terhadap cagar budaya tersebut perlu dipelihara sesuai amanat undang-undang pasal 75 (1) Setiap orang wajib memelihara cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya. Pasal (76) Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat cagar budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia. (3) Perawatan sebagaimana dimaksud dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi cagar budaya.
Letak dan Lingkungan
Secara administratif situs Sarkofagus Pangkung Paruk berlokasi Dusunn Laba Nangga, Desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Situs ini terletak disebelah barat kota Kecamatan Seririt ± 8 Km, dan dari Kabupaten Buleleng ± 25 Km menuju arah barat. Situs ini berada pada posisi 8º 14´37″ LS dan 114⁰48´113″ BT dengan ketinggian 73 meter dari permukaan air laut. Desa Pangkung Paruk merupakan salah satu dari 21 (dua puluh satu) Desa/Kelurahan di Kecamatan Seririt yang memiliki luas wilayah 11.780 Km² (1178 Ha) dengan pemanfaatan wilayahnya yaitu untuk areal perkebunan 240, 79 Ha, pertanian 85, 05 Ha, perkantoran 1, 98 Ha, perumahan 37, 50 Ha, kuburan 0, 50 Ha dan lainya 0, 70 Ha, dengan batas-batas Desa sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Banjarasem;
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lokapaksa;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Tanah Kawasan Hutan;
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tukad Sumaga (Kecamatan Gerogak).
Latar Sejarah
Tradisi megalitik adalah bagian dari rangkaian kehidupan prasejarah di Indonesia. Megalitik berasal dari kata “mega” berarti besar dan “lithos” berarti batu. Tradisi ini muncul pada masa bercocok tanam sesuai dengan semakin berkembangnya sistem kepercayaan dan pemujaan terhadap nenek moyang. Tradisi ini tersebar luas di daerah Asia Tenggara dan sampai saat sekarang tradisi itu masih dipertahankan dan dipraktikkan oleh masyarakat suku tradisional di Indonesia. Dalam hal ini, prasejarah turut pula mewarnai sejarah prasejarah Indonesia.
Penelitian kepurbakalaan Bali tahun 1960-1963 yang dilakukan oleh R.P Soejono mengindikasikan bahwa sebelum kebudayaan Hindu berkembang di Bali, telah berkembang suatu kebudayaan prasejarah yang meliputi: paleolitik, opi-paleolitik, neolitik, perhubungan kebudayaan megalitik dan logam awal.
Kepercayaan masa bercocok tanam begitu kental dengan sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati, terumata kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejateraan dan kesuburan tanaman. Pada masa ini masyarakat memiliki kepercayaan bahwa roh orang tidak lenyap pada saat orang itu meninggal dan masih mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam kepercayaan pada masa bercocok tanam, upacara yang paling menonjol adalah upacara pada waktu penguburan. Dalam hal penguburan ini , situs Gilimanuk adalah situs yang lengkap dan luas di Pulau Bali. Pola penguburan bermacam-macam, dengan bekal kubur yang bermacam-macam pula, serta temuan sertanya yang bervariasi. Menurut Soejono dalam disertasi yang berjudul Sistem-sistem penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali, Jakarta, 1977. Di situs Gilimanuk ada beberapa pola penguburan yaitu kuburan tanpa wadah baik sekunder maupun primer, kubur dengan tempayan dan sarkofagus.
Penguburan secara luas terdiri dari penguburan secara langsung (primer), tidak langsung (sekunder), wadah dan non wadah. Penguburan langsung (primer) dapat dilakukan di tempat yang sering dihubungkan dengan asal usul anggota masyarakat atau tempat yang dianggap tempat tinggal arwah nenek moyang. Dalam penguburan ini si mati dibekali dengan macam-macam keperluan sehari-hari yang dikubur bersama-sama atau seiring disebut dengan bekal kubur, benda-benda perunggu (gelang, tajak), benda-benda besi (pahat, mata tombak), manik-manik, periuk, dan kadang-kadang berupa perhiasan emas dengan maksud agar perjalanan si mati ke alam baka dan kehidupan selanjutnya terjamin dengan sebaik-baiknya. Penguburan tidak langsung (sekunder) dilakukan dengan mengubur mayat lebih dahulu dalam tanah atau kadang-kadang dalam peti kayu yang dibuat berbentuk perahu, yang ini dianggap sebagai kuburan sementara karena upacara yang terpenting dan berakhir belum dapat dilaksanakan. Setelah semua persiapan dalam upacara selesai, maka mayat yang sudah jadi rangka itu diambil lagi dan dikuburkan ditempat yang disediakan. penguburan dengan wadah dan tanpa wadah. Penempatan si mati dalam benda diatas adalah tindakan yang saling mengguntungkan antara si mati dan yang ditingkalkan, karena menjadi lambang perlindungan bagi manusia berbudi baik. Penguburan kedua adalah dengan menggunakan wadah dan terbuat dari batu, seperti: dolmen (Bondowoso, Lampung, Sumba), waruga (Minahasa), kalamba (Bada, Napu), sarkofagus (Bali), peti kubur batu (Pasemah, Kuningan, Bojonegoro, Gunung Kidul, Kalimantan Timur), kubur silindris (Dompu). Selain itu, ada juga yang terbuat dari bahan tanah liat yang berupa tempayan yang terdapat di Lewoleba, Lambanapu, Melolo, Anyer, Plawangan, Gilimanuk, Tile-tile, Bengkulu, Jambi) serta ada juga wadah yang terbuat dari logam yaitu nekara perunggu misalnya tipe Heger I seperti di Plawangan, Lamongan, Traji dan Manikliyu. Kuburan tanpa wadah banyak terdapat di: tepi pantai seperti: Gilimanuk, Plawangan, Sanur, Gunung Wingki, Buni, Lewoleba, dalam gua seperti di Liang Bua. Namun, penguburan wadahlah yang masih bisa kita lihat buktinya sampai saat sekarang. Salah satu contoh wadah kubur yang terkenal di Bali adalah sarkofagus.
Sarkofagus merupakan sebuah wadah atau tempat kubur dari batu berbentuk seperti lesung batu yang terdiri dari wadah dan tutup dengan bentuk dan ukuran yang sama. Fungsi dari sarkofagus itu sendiri adalah sebagai kuburan, peti mayat atau wadah kubur baik baik untuk sementara waktu ataupun tidak. Penemuan sarkofagus merata di seluruh Indonesia. Selain di Bali, sarkofagus juga ditemukan di Sumut, P. Samosir yang oleh penduduk setempat dinamakan Parholian, Di Kalimantan, Sarkofagus ditemukan di daerah aliran sungai Long Danum dan Long Kajanan, Di Sumbawa Barat di temukan empat buah sarkofagus dengan ukiran-ukiran manusia dan binatang.
Pada penemuan yang ada, penggunaan sarkofagus pada masa lalu hanya dapat digunakan untuk orang yang memiliki strata sosial yang tinggi dan hal ini dibuktikan dengan banyaknya bekal kubur yang pada dahulunya melambangkan tingkat sosial seseorang. Sarkofagus yang berfungsi sebagai wadah kubur tak jarang ditemukan mayat dalam sarkofagus terbebut, posisi mayat yang paling sering ditemukan adalah posisi mayat lurus, telentang atau miring dengan berbagai macam sikap tangan (lurus di samping tubuh, menyilang di atas dada atau perut dengan telapak tangan menutupi daerah kemaluan, dan lainnya). Kemudian terdapat juga posisi mayat terlipat (duduk atau terbujur miring), dengan lutut menekuk di bawah dagu dan tangan terlipat di bagian kepala atau leher.
Setelah penggalian-penggalian dilakukan, sampai pada tahun 2009 telah ditemukan lebih dari 128 sarkofagus dari 12 lokasi/desa yang terbanyak dari Kabupaten Gianyar, termasuk Desa Keramas. Selain itu, di Bali juga ditemukan wadah kubur lainnya yaitu bilik batu di Kalibukbuk dan peti kayu di Temukus dan nekara perunggu di Manikliyu dan tempayan tanah liat yang banyak ditemukan di Gilimanuk. Fungsi sarkofagus zaman prasejarah di Bali saat sekarang memang tidak lagi kita lihat, namun kelanjutan dari penggunaan sarkofagus dalam hal penyimpanan mayat masih dapat kita lihat dalam upacara Ngaben, dimana mayat disimpan dalam peti kayu dan dapat dilihat disini bahwa ini adalah kelanjutan dari penggunaan sarkofagus walaupun bahanya tidak dari batu lagi. Kelanjutan tradisi ini menunjukkan adanya perkembangan pada pola dan cara penguburan.
Sarkofagus Bali sebenarnya tidak hanya 1 jenis, namun sarkofagus di Bali memiliki banyak tipe yang memiliki karakteristik masing-masing. Seojono dalam hal ini membagi sarkofagus Bali atas 3 tipe: tipe A, tipe B, tipe C. Tipe A, berukuran kecil (dengan variasi antara 80-148 cm) serta bertonjolan di bidang depan dan di bidang belakang wadah dan tutup. Tipe A memiliki banyak bentuk lagi yang kemudian dikelompokkan menjadi 6 subtipe, yaitu: subtipe 1 (gaya Celuk), subtipe 2 (gaya Bona), subtipe 3 (gaya Angantiga), subtipe 4 (gaya Bunutin), subtipe 5 (gaya Busungbiu), subtipe 6 (gaya Ambiarsari). Tipe B, berukuran sedang (dengan variasi antara 150-170), tanpa tonjolan. Tipe C berukuran besar (dengan variasi 200-268 cm) dan bertonjolan di tiap-tiap bidang wadah dan tutup. Namun, dengan terbatasnya jumlah sarkofagus tipe B dan C sehingga tidak dapat dibedakan ke dalam sub-tipe.
Kebanyakan dari pada sarkofagus itu sendiri biasanya terbuat dari batu padas yang relatif lunak dan dihiasi dengan ukiran-ukiran, misalnya: burung, manusia, geometris dll. Dari hasil pengamatan di lapangan, temuan sarkofagus memiliki berbagai jenis bentuk dan tipe dengan bentuk dan ornamen yang berbeda. ada yang memiliki motif seperti kepala manusia dengan rambut panjang, ada yang berbentuk kepala manusia memiliki sanggul, bentuk wajah menyeramkan, dan semua bentuk tersebut terdapat patung pria di bawah dagunya dan patung wanita di belakangnya. Menurut R.P Soejono dalam disertasi “Sistem-sistem penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali”, Jakarta, 1977, terdapat fungsi religius pada tonjolan hiasan pada sarkofagus di Bali. Tonjolan itu berupa bentuk kepala dan pahatan tubuh manusia. Arti dari corak tersebut agar kekuatan jahat yang mengganggu arwah dapat dicegah. Tonjolan dalam bentuk manusia yang menjulurkan lidah misalnya yang secara simbolis dianggap memiliki daya pengusir roh yang mungkin mengganggu roh si mati Pola-pola pahat berubah wadah manusia, manusia dengan sikap kangkang dan kemaluan perempuan yang mungkin merupakan lambang akan kesuburan, kemakmuran, keselamatan dan kelahiran kembali. mungkin itu. Hiasan pada sarkofagus tersebut dapat kita lihat pula pada sarkofagus yang ditemukan Kretek yang pada dinding muka sarkofagusnya dihiasi dengan ukiran binatang berkaki empat dengan ekornya menjulur ke atas, seekor burung yang sedang mengangkat cakarnya, dan tiga bentuk manusia, yang 1 besar dan 2 lainnya kecil. Berbeda dengan Kretek, sarkofagus Kemuningan pun terdapat ukiran manusia dengan jenggot dan mata melotot, sedangkan hiasan berbentuk geometris banyak menghiasi sarkofagus yang ditemukan di Tunggulangin. Ragam hias pada sarkofagus Bali lainnya, yaitu sarkofagus yang ditemukan di Jembrana yang memakai hiasan vagina. Hiasan vagina pada sarkofagus Jembrana adalah lambang kekuatan magis yang mampu menolak segala kekuatan jahat yang mungkin dapat mengganggu perjalanan arwah ke dunia akhirat. Dengan hiasan ini, digambarkan seakan-akan orang yang dikuburkan dalam sarkofagus seperti berada dalam kandungan seorang ibu dan dengan demikian dapat dikembalikan ke asalnya. Di samping itu, vagina seperti halnya genitalia laki-laki adalah lambang kesuburan yang dapat mensejahterakan masyarakat. Namun, di luar Jembrana hiasanya tidak memakai hiasan vagina tetapi mempunyai hiasan kedok muka. Umumnya, sarkofagus yang ditemukan di Gianyar dan Bangli memakai hiasan kedok muka yang dipahatkan pada tonjolan wadah dan tutupnya. Di antara hiasan ini, ada yang memperlihatkan wajah yang menakutkan, mata bulat atau membelalak dan ada juga seperti melawak, mulut terbuka atau menganga dan lidahnya menjulur keluar. Hiasan-hiasan ini adalah lambang nenek moyang yang mempunyai kekuatan magis penolak bahaya dan dapat memberikan keselamatan atau kesejahteraan. Ada juga sarkofagus yang memakai hiasan manusia kangkang, yaitu sarkofagus Tamanbali (Bangli) dan Tigawasa (Buleleng). Masyarakat megalitik pada akhir zaman prasejarah di daerah Bali percaya bahwa arwah seorang pemimpin atau nenek moyang yang dianggap berada di puncak gunung atau bukit terdekat mempunyai kekuatan magis yang dapat menentukan nasib kaum kerabat dan masyarakat yang masih hidup. Di Bali arah gunung atau yang disebut “kaja” merupakan arah yang memberikan berkah dan disanalah dianggap tempat bersemayam nenek moyang dalam kepercayaan Bali asli.
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi”, Jakarta, 1980, menyebutkan bahwa alam pikiran prasejarah menganggap bahwa roh-roh itu bertahta di gunung-gunung atau di laut. Kepercayaan masyarkakat Bali kepada alam gunung sebagai tempat roh juga melanjut setelah Hindu datang dan gunung Agung dipandang gunung suci dan sebagai simbiolisasi alam gunung suci didirikanlah bangunan suci berupa meru pada pura-pura di Bali. . Desa-desa yang masih kuat pada kepercayaan Bali aslinya atau sering disebut “Bali Aga” adalah Trunyan, Setulung, Sembiran, dan Tenganan. Di desa-desa Bali Aga tersebut masih banyak ditemukan bangunan-bangunan megalitik seperti menhir, pelinggih batu, batu berundak.
Sampai saat sekarang tradisi megalitik di Bali masih digunakan. Dalam tulisan I Made Sutaba berjudul “ Megalithic Tradition in Sembiran, North Bali”, Jakarta, 1976 … “Semibran Megalithic tradition are stiil strongly a live and paly and important role in the religious life the local people there”. Bangunan megalitik yang masih digunakan adalah pelinggih/takhta batu yang banyak ditempatkan di pura-pura di Bali. Ia menyebutkan banyak pura-pura di Bali masih menggunakan pelinggih dalam upacara pada roh nenek moyang. Saat sekarang terdapat sekitar 17 pura yang masih mempertahankan tradisi megalitik (pelinggih) yaitu: Pura Sanghyang Kedulu, Pura Dalem, Pura Ngudu, Pura Suksuk, Pura Pelisan, Pura Sanghyang Sakti, Pura Janngotan, Pura Ratu Ngurah Dijaba, Pura Kayehan Kangin, Pura Tegalangin, Pura Dukuh, pura Melaka, Pura Jampurana, Pura Pandem, Pura Pintu, Pura Sanghyang Tegeh, Pura Empu.
Dari penjelasan panjang diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepurbakalaan di Bali merupakan rentetan dari sejarah panjang kepurbakalaan Indonesia. Perkembangan kepercayaan masyarakat Bali adalah salah satu faktor yang menyebabkan Bali menjadi salah satu tempat yang kaya akan peninggalan kepurbaklaan terutama prasejarah. Kebudayaan megalitik di Bali sampai sekarang menunjukkan peranan yang sangat penting dan mempengaruhi dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali dan masih dipandang nilai-nilai kesucian, contoh bangunan megalitik itu adalah: menhir, pelinggih, dll.
Konservasi Cagar Budaya
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, konservasi adalah pelestarian; pemeliharaan dan perlindungan sesuatu untuk mencegah kemusnahan (kerusakan dan sebagainya) dengan cara pengawetan. Dalam bidang cagar budaya juga digunakan istilah konservasi. Secara umum, konservasi cagar budaya sebenarnya memiliki cakupan yang luas dan bisa diartikan sebagai pelestarian atau perlindungan itu sendiri.
Sementara itu, dalam lingkup yang lebih sempit konservasi dapat diartikan sebagai tindakan pemeliharaan, pengawetan, atau treatment tertentu yang diaplikasikan pada material cagar budaya. Kegiatan ini lebih difokuskan pada upaya untuk membersihkan cagar budaya dari faktor penyebab kerusakan dan pelapukan dan upaya untuk membersihkan cagar budaya dari faktor penyebab kerusakan dan pelapukan dan upaya mengawetkan material cagar budaya agar tidak terjadi degradasi lebih parah.
ada dasarnya cagar budaya perlu dikonservasi supaya tetap “ada”, supaya pesan “nilai” dan data masa lalu dapat tersampaikan pada generasi sekarang dan generasi berikutnya walaupun tidak seutuhnya. Konservasi terhadap material cagar budaya yang selama ini dilakukan untuk mempertahankan keberadaan dan kuantitas fisik cagar budaya yang diharapkan akan membawa konsekuensi terhadap pelestarian nilai-nilai historis, arkeologie, dan nilai penting lainnya yang terkandung dalam material cagar budaya. Nilai kesejarahan (historis), nilai otentisitas (authenticity), nilai kelangkaan (rarity), nilai pendidikan (educational), dan berbahgai data yang terkandung dalam cagar budaya menjadikan cagar budaya penting untuk dilestarikan. Cagar budaya merupakan aset budaya bangsa yang dapat menjadikan identitas dan karakter bangsa. Mengacu pada pemahaman konservasi baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit di atas, pada dasarnya konservasi cagar budaya tetaplah bertujuan melestarikan cagar budaya dengan melindungi materinya, menjaga kualitas dan nilainya, dan mempertahankannya untuk generasi mendatang.
Pada dasarnya semua benda yang ada di dunia ini termasuk cagar budaya akan mengalami degradasi dan bahkan pada akhirnya mengalami proses pelapukan menjadi tanah (soiling process). Seiring dengan perjalanan panjang waktu, interaksi benda dengan lingkungan akan mengakibatkan penuaan alami (natural ageing). Apalagi cagar budaya bersifat finite (terbatas) baik bentuk, jumlah, maupun jenisnya dan bersifat non renewable (tidak terbaharui). Dan tidak jarang, material cagar budaya yang sampai ke tangan kita tidak dalam keadaan utuh dan dalam kodisi yang rapuh (fragile). Alur panjang waktu dari masa lalu mengakibatkan cagar budaya mudah mengalami kerusakan dan pelapukan (degradable). Mengingat perlu dilakukan tindakan konservasi secara tepat terhadap cagar budaya.
Ada prosedur konservasi cagar budaya yang harus diikuti sebelum melakukan tindakan penanganan konservasi secara langsung terhadap material cagar budaya. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan penanganan yang dapat mengancam atau memberikan dampak negatife terhadap material cagar budaya dan nilai penting yang dikandungnya. Permasalahan pada material cagar budaya dapat berupa kerusakan atau pelapukan. Kerusakan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada bahan tanpa diikuti oleh perubahan unsur-unsur penyusunannya, seperti retak dan pecah. Sementara kehancuran menunjukkan kondisi yang lebih parah dari rusak, kondisi ambruk, bentuk asli tidak tampak lagi, tapi unsurnya tidak hilang. Pelapukan adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada suatu benda yang diikuti oleh perubahan yang terjadi pada suatu benda yang diikuti oleh perubahan unsur-unsur penyususnnya baik sifat fisik (desintegrasi) maupun kimiawinya (dekomposisi), seperti : korosi. Dan cagar budaya dikatakan musnah apabila bentuk asli cagar budaya tidak ditemukan lagi, contoh : terbakar habis.
Permasalahan pada cagar budaya tersebut, sesuai dengan prosedur koservasi akan ditindaklanjuti dengan melakukan observasi lapangan (studi konservasi). Observasi lapangan merupakan pengamatan awal untuk mengetahui permasalahan pada cagar budaya dengan melakukan perekaman data dan dokumentasi objek dan lingkungannya. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan analisis untuk mengetahui jenis dan kualitas bahan, faktor penyebab, proses, gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi, dan analisis komprehensif terhadap objek dan lingkungannya. Faktor penyebab kerusakan dan pelapukan cagar budaya bisa berupa faktor intrinsic dan ekstrinsik. Faktor intrinsic berasal dari material cagar budaya sendiri yang meliputi jenis bahan, sifat-sifat fisik maupun kimiawinya, dan teknolgi pembuatan benda. Sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari lingkungan di sekitar material cagar budaya baik berupa faktor biotik (seperti : flora, fauna, dan vandalism) maupun faktor abiotic (seperti : iklim, gempa bumi, dan lain-lain). Proses kerusakan dan pelapukan pada cagar budaya dapat terjadi melalui proses kerusakan mekanis, proses pelapukan fisik, proses pelapukan kimiawi, dan proses pelapukan biologi. Analisis komprehensif terhadap cagar budaya tersebut dilakukan untuk meminimalisir intervensi secara langsung terhadap material cagar budaya.
Sebelum tindakan langsung pada material cagar budaya, terlebih dahulu juga dilakukan pengujian konservasi dalam rangka menentukan metode, teknik dan bahan konservasi yang tepat. Kemudian baru dilakukan penanganan konservasi baik berupa pembersihan, perbaikan, kamuflase (penyelarasan), konsolidasi (perkuatan), pengawetan, dll. Prosedur konservasi merupakan upaya mempertahankan keaslian bahan (authenticity). Karena pada dasarnya cagar budaya akan bernilai tinggi jika dalam kondisi otentik atau asli.
Peninggalan Cagar Budaya
Sarkofagus I (bagian wadah)
- Panjang : 108 cm
- Lebar : 66 cm
- Tinggi : 41 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian wadah sarkofagus berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang. Kondisi Sarkofagus pecah menjadi 12 bagian dan ditumbuhi jasad-jasad renik.
Sarkofagus I(bagian penutup)
- Panjang : 93 cm
- Lebar : 73 cm
- Tinggi : 45 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian penutup sarkofagus bentuknya hampir sama dengan bagian wadah sarkofagus, yakni berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang. Kondisi penutup sarkofagus pecah menjadi 5 bagian dan ditumbuhi jasad-jasad renik.
Sarkofagus II (bagian wadah)
- Panjang : 126 cm
- Lebar : 83 cm
- Tinggi : 73 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian wadah sarkofagus berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang. Kondisi Sarkofagus pecah menjadi 4 bagian dan ditumbuhi jasad-jasad renik.
Sarkofagus II (bagian tutup)
- Panjang : 121cm
- Lebar : 81cm
- Tinggi : 61 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian penutup sarkofagus bentuknya hampir sama dengan bagian wadah sarkofagus, yakni berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang. Kondisi penutup pecah menjadi 9 bagian dan ditumbuhi jasad-jasad renik.
Sarkofagus III (bagian wadah)
- Panjang : 111 cm
- Lebar : 63 cm
- Tinggi : 52 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian wadah sarkofagus berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang. Kondisi Sarkofagus pecah menjadi 4 bagian dan ditumbuhi jasad-jasad renik.
Sarkofagus III (bagian tutup)
- Panjang : 106 cm
- Lebar : 62 cm
- Tinggi : 50 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian penutup sarkofagus bentuknya hampir sama dengan bagian wadah sarkofagus, yakni berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang, Kondisi penutup pecah menjadi 8 bagian dan ditumbuhi jasad-jasad renik.
Sarkofagus IV (bagian wadah)
- Panjang : 131 cm
- Lebar : 74 cm
- Tinggi : 62 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian wadah sarkofagus berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang. Kondisi Sarkofagus pecah menjadi 8 bagian dan ditumbuhi jasad-jasad renik.
Sarkofagus IV (bagian tutup)
- Panjang :130 cm
- Lebar : 75 cm
- Tinggi : 51 cm
- Bahan : Batu Padas
- Kondisi : Aus, pecah
- Deskripsi : Bagian penutup sarkofagus bentuknya hampir sama dengan bagian wadah sarkofagus, yakni berbentuk setengah bulatan menyerupai perahu. Terdapat hiasan berupa bulatan yang menonjol, dua buah pada sisi lebar bagian depan dan dua buah pada sisi sempit bagian belakang. Kondisi tutup sarkofagus utuh, hanya ditumbuhi jasad-jasad renik.
Kondisi Fisik
Berdasarkan observasi di lapangan, dapat disimpulkan bahwa kondisi Sarkofagus Pangkung Paruk sangat memprihatinkan. Kondisi sarkofagus tersebut sebagian besar pecah menjadi beberapa bagian. Selain itu hampir semua permukaan sarkofagus ditutupi oleh endapan tanah dan pertumbuhan jasad-jasad renik (moss, algae), serta kerusakan fisis berupa aus.
Data Keterawatan
Berdasarkan jenis kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada Sarkofagus Pangkung Paruk, dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis kerusakan/pelapukan, yaitu: kerusakan mekanis, kerusakan fisis dan pelapukan chemis serta pelapukan biotis. Dari hasil pengamatan dapat disampaikan kondisi benda ada yang mengalami satu jenis kerusakan dan ada satu benda yang mengalami lebih dari satu jenis kerusakan.
- Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis adalah suatu proses kerusakan yang disebabkan oleh adanya gaya statis maupun dinamis. Kemungkinan kerusakan ini juga disebabkan pada proses penggalian sarkofagus. Adapun bentuk dari kerusakan ini berupa: pecah dan gempil. Jenis kerusakan ini terjadi dengan persentase 90%.
- Kerusakan Fisis
Bentuk dari kerusakan Fisis berupa aus dan pengelupasan pada permukaan Benda Cagar Budaya. Penyebab dari kerusakan ini adalah faktor–faktor fisis seperti: suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan penguapan. Jenis kerusakan ini terjadi dengan persentase 100%.
- Pelapukan chemis
Pelapukan chemis terjadi sebagai akibat atau adanya reaksi kimia. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, dan suhu. Gejala yang tampak berupa aus dan endapan kristal-kristal garam terlarut pada benda Cagar Budaya. Pelapukan chemis yang terjadi sekitar 5%.
- Pelapukan Biotis
Pelapukan Biotis disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme seperti: moss, algae dan rumah serangga. Jenis pelapukan ini terjadi dengan persentase 3 %.
Penanganan Konservasi
Diagnosis
Untuk menangulangi kerusakan dan pelapukan yang lebih parah, maka dilaksanakan kegiatan konservasi agar kelestarian Cagar Budaya tetap terjaga. Pada prinsipnya pelaksanaan konservasi di dilakukan dengan empat tahapan yaitu:
- Pembersihan mekanis kering dan basah.
- Pembersihan chemis
- Perbaikan (Penyambungan)
- Konsolidasi
Adapun luas permukaan sarkofagus, yaitu 6,751 m². Tindakan perbaikan yang dilakukan terhadap Sarkofagus Pangkung Paruk berupa penyambungan dan kamuflase sebanyak 52 titik (pecahan). Sedangkan, tindakan konsolidasi dilakukan secara keseluruhan, yaitu dengan luas 6,751 m² yang membutuhkan 5 liter Ethyl Acetate dan 150 gram Paraloyd B-72 dengan konsentrasi 3%.
Kegiatan Konservasi
- Pembersihan secara Mekanis Kering dan Basah
Pembersihan ini dilakukan dengan menggunakan alat-alat, yang diantaranya: sikat ijuk, sikat gigi, sikat baja halus, sudip bambu, dan dissecting set. Pembersihan ini bertujuan untuk membersihkan semua debu dan rumah serangga. Pembersihan ini dilakukan dengan hati-hati agar Cagar Budaya tidak tergores. Selanjutnya dilakukan pembersihan mekanis basah. Pembersihan ini hampir sama dengan pembersihan mekanis kering, hanya saja disertai guyuran air agar kotoran-kotoran hanyut bersama air.
- Pembersihan secara Chemis
Karena pembersihan secara mekanis hasilnya belum maksimal, maka dilanjutkan dengan pembersihan secara chemis dengan menggunakan bahan kimia AC-322. Aplikasi bahan kimia ini yaitu dengan cara dioleskan pada tinggalan Cagar Budaya tersebut. Waktu kontak AC-322 dengan tinggalan Cagar Budaya diberi tenggang waktu sekitar 24 jam, agar semua jasad-jasad renik dan spora mati. Selanjutnya, tinggalan Cagar Budaya kembali dicuci dengan guyuran air agar kotoran beserta AC-322 bersih dari permukaan tinggalan tersebut. Ini dilakukan secara berulang-ulang agar permukaan cagar budaya bersih sampai Ph 7 (netral).
- Perbaikan (Penyambungan/Kamuflase)
Kegiatan Penyambungan ini diawali dengan anastilosis (pencocokan) bagian-bagian benda Cagar Budaya yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh. Setelah direkonstruksi, tahapan berikutnya dilakukan pengeboran untuk pemasangan angkur selanjutnya dilakukan pengeleman dengankegiatan penyambungan dilakukan dengan epoxy resin dengan perbandingan 1:1. Apabila sambungan masih renggang ditambahkan mortar yaitu campuran antara lem dan bubuk padas. Benda Cagar budaya yang telah disambung kemudian diikat dengan kawat karena bebannya berat agar sambungannya tidak bergeser. Selanjutnya, keesok harinya dilakukan tindakan kamuflase dengan menggunakan bubuk padas yang dicampur semen dengan perbandingan 6:1, yang bertujuan untuk memperkuat sambungan dan penyelarasan warna Cagar Budaya tersebut.
- Konsolidasi
Konsolidasi dilakukan bertujuan untuk memperkuat struktur bahan Cagar Budaya yang telah mengalami pelapukan dengan menggunakan paraloyd B-72 dengan pelarut ethyl ecetate dengan konsentrasi 3%. Luas permukaan benda Cagar Budaya di Situs Sarkofagus Pangkung Paruk, Seririt, Buleleng yang diberikan tindakan konsolidasi sekitar 6,751 m² dari 5 liter Ethyl Acetate dan 150 gram Paraloyd B-72 dengan konsentrasi 3%.
Foto Caga Buda Sebelum dan Sesudah Dikonsevasi