KAJIAN PENGENDALIAN KETERANCAMAN SITUS CANDI TEBING TEGALLINGGAH DESA BEDULU

0
6412

Giri Prayoga. ST

Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali


Latar Belakang

Candi Tebing Tegallinggah merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang tedapat di Dusun Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Tinggalan ini merupakan Obyek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) karena sampai saat ini belum dilakukan penetapan oleh Bupati sebagai Kepala Pemerintah Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang No 11 Tahun 2010. Candi Tebing Tegallinggah seperti namanya, candi ini terpahat pada tebing batuan volkanik hasil erupsi Gunung Batur, merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Pakerisan yang terkenal dengan padatnya tinggalan arkeologi. Candi Tebing ini merupakan tinggalan yang terletak paling selatan dari beberapa tinggalan di sepanjang Tukad (Sungai) Pakerisan. Dimulai dari Pura Pegulingan, Pura Tirta Empul, Pura Mangening, Pura Gunung Kawi, Candi Tebing Krobokan, Pura Pengukur-Ukuran, Pura Subak Bubugan, dan Candi Tebing Tegallinggah.

Keberadaan Cagar Budaya atau Obyek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) tidak terlepas dari ancaman terhadap kelestariannya. Cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu, dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang dapat mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan sekecil apapun dapat mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Cagar budaya dapat memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, penguasaan teknologi, kehidupan religi, dan lain-lain (Wibowo, A.B., 2014). Sifatnya yang rapuh, menjadikannya memiliki potensi ancaman yang tinggi dari kerusakan, oleh karena itu diperlukan selalu upaya pelestarian baik yang preventif maupun kuratif (Schiffer & Gumerman, 1977).

Gambar 1. Peta Sebaran Tinggalan Arkeologi di Sepanjang Daerah Aliran Sungai Pakerisan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.

Ancaman ini dapat berasal dari alam dan aktifitas manusia yang berada di sekitarnya. Sebagai ODCB yang masih dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya (living monument), maka secara umum kelestarian tinggalan ini sangat terjaga dari faktor ancaman aktifitas manusia yang berada di sekitarnya, akan tetapi kemungkinan ancaman datang dari mulai berkembangnya tinggalan ini sebagai obyek pariwisata. Ancaman diperoleh dari aktivitas pengunjung yang tidak sesuai dengan kaidah pelestarian. Selain itu menilik dari namanya yang berada pada wilayah tebing, maka terbayang kondisi candi pada wilayah miring dengan ancaman awal adalah keterdapatan longsoran. Analisa awal yang kami dapatkan di lapangan adalah ancaman utama dari situs ini berupa konsidi air permukaan yang sangat melimpah. Karena candi tebing ini terdapat di bagian bawah dari daerah aliran irigasi, maka air permukaan yang merupakan aliran air irigasi mengalami rembesan ke arah tebing dan memberikan pengaruh pada keterawatan candi tebing. Pengaruh bencana yang ditimbulkan dari air permukaan ini lama kelamaan akan mengerus ikatan antar molekul tanah sehingga kemungkinan terjadinya longsor amat besar. Secara periodik, air permukaan juga akan berpengaruh pada relif yang terpahat pada dinding tebing sehingga terjadi aus.

Candi Tebing Tegallingga merupakan tinggalan arkeologi yang telah tercatat dalam daftar inventaris Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali dengan nomor 2/14-04/TB/2a sampai dengan 2/14-04/TB/2d. Penomoran ini mengacu pada empat buah struktur yang telah dilakukan inventarisasi yaitu 2 (dua) buah Candi Tebing dengan tiga buah menara, 1 (satu) buah Gapura, dan 1 (satu) buah Ceruk.  Seluruh struktur yang telah terinventarisasi ini berada pada sisi barat dari aliran Tukad Pakerisan. Pada sisi timur pada saat pengambilan data lapangan dilakukan terdapat satu buah ceruk dengan tiga ruang. Ceruk pada sisi timur ini belum dilakukan pendataan secara detail seperti struktur yang ada di bagian barat.

Kompleks pertapaan ini ditemukan oleh Mr. Krijgsman pada tahun 1952 ketika  masih menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional Bali. Sebelum seluruh komplek pertapaan itu ditemukan oleh  Mr. Krijgsman, untuk pertama kalinya mengadakan penelitian terhadap ceruk-ceruk pertapaan di sekitar situs tersebut. Dalam penelitian itu kemudian ditemukan lagi sekelompok pertapaan dengan bangunan sucinya yang berupa dua buah candi. Ketika ditemukan oleh Mr. Krijgsman seluruh bangunan itu masih tertimbun dengan tanah. Kelompok pertapaan yang diketemukan itu sebagian besar pekerjaanya belum selesai, dan yang nampak baru dikerjakan adalah bentuk atapnya saja. Sedangkan yang nampak kelihatannya sudah selesai adalah pintu gerbang dari pada kelompok pertapaan tersebut, dan diatas ambang pintunya dihiasi dengan pahatan kala. Mengenai bentuk candinya serupa dengan bentuk Candi di Gunung Kawi Tampaksiring, hanya saja bentuknya lebih kecil dari pada Candi di Gunung Kawi Tampaksiring (Dinas Purbakala Republik Indonesia,  1958: 32-33; A. J. Bernet Kempers, 1960 : 52).

Gambar 2. Foto tinggalan arkeologi yang terdapat di situs Candi Tebing Tegallinggah.

Perkiraan umur struktur pertapaan dan struktur Candi Tebing Tegallinggah ini dapat dilihat dalam Bagus, A.A.G., 1986 yang menyatakan “mengenai bangunan pertapaan-pertapaan di sepanjang Sungai Pakerisan dibuat pada zaman Bali Kuna, yaitu sekitar abad ke 10-14 Masehi”.

Gambar 3. Luasan Situs Candi Tebing Tegallinggah (warna coklat berbatas merah).

Perkiraan dibuatnya Candi Tebing Tegallinggah dan ceruk pertapaanya juga disampaikan oleh Kastawan, I.W., & dkk, 2009 yang memperkirakan dibuat pada kurang lebih abad ke 13 Masehi. Berdasarkan beberapa sumber yang menyebutkan tentang pembuatan Candi Tebing Gunung Kawi, secara nisbih belum dapat ditentukan, karena tidak ada data empiris yang menyebutkan pembuatan dari candi tebing ini. Merujuk pada pembabakan atau periodesisasi yang disampaikan dalam Kastawan, I.W., & dkk, 2009, dan berdasarkan pada variasi gaya arsitektural antara Jawa dan Bali, maka periode pembangunan Candi Tebing Tegallingah ini masuk “Middle Classical period”

Berkaitan dengan hal tersebut, maka Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam upaya pelestarian cagar budaya berkewajiban untuk melakukan penyelidikan awal potensi ancaman yang mengancam keberadaan dan kelestarian tinggalan ODCB Candi Tebing Tegalingah. Kajian awal ini dapat menjadi dasar kegiatan berikutnya yang dilakukan untuk mengendalikan dan mengelola potensi ancaman tersebut sehingga kelestarian Obyek yang Diduga Cagar Budaya Candi Tebing Tegallinggah dapat dipertahankan lebih lama.

 

Pengumpulan Data Lapangan

Pengumpulan data lapangan ini meliputi data – data yang terkait dengan informasi detail kondisi lingkungan di sekitar Candi Tebing Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Data lapangan yang dikumpulkan ini berupa data teknis potensi ancaman terhadap kelestarian dan data arkeologis yang berpotensi terdampak apotensi ancaman. Data teknis meliputi data lingkungan, data potensi ancaman fisik, dan potensi ancaman non fisik, sedangkan data arkeologis meliputi kondisi keterawatan tinggalan arkeologi tersebut.

Gambar 3. Gambar kegiatan “matur piuning” yang dilakukan sebelum pengambilan data lapangan.

 

Pengumpulan data yang dilakukan pada Candi Tebing Tegallinggah diawali dengan kegiatan matur piuning, yaitu kegiatan ritual memohon ijin untuk melakukan kegiatan pada tempat suci. Kegiatan ini dilakukan karena Candi Tebing Tegallinggah merupakan tempat suci keagamaan yang masih difungsikan sebagai tempat pengabilan tirta dan kegiatan persembahyangan. Kegiatan ini hanya dilakukan dengan persembahan sesaji yang berupa “canang” disertai dengan kegiatan persembahyangan sebagai ungkapan permohonan ijin untuk melaksankan kegiatan.

 

Kondisi Fisik dan Lingkungan

Data Lingkungan

Data lingkungan adalah data yang berkaitan dengan kondisi geografis, topografis, iklim, dan kondisi kependukan. Data lingkungan ini menjadi dasar dalam penentuan tingkat pengaruh lingkungan terhadap kondisi cagar budaya terutama pada keterawatan dan keterancaman situs dari faktor alam.

Geografis

Secara geografis, Candi Tebing Tegallinggah yang menjadi obyek dari studi ini terletak di bagian tepi dari aliran Sungai Pakerisan Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Berjarak kurang lebih 30 km dari pusat Provinsi Bali, 5 km dari pusat Kota Gianyar. Secar astronomi, Candi Tebing Tegallinggah berada pada koordinat  313607,351 meter sebelah timur dan 9056971,906 meter sebelah selatan pada koordinat UTM zone 50 L, dengan ketinggian 112 meter diatas permukaan laut.

Gambar 4. Gambar keletakan Candi Tebing Tegallinggah berdasarkan posisi Pulau Bali.

Luas secara keseluruhan Desa Bedulu berdasarkan data BPS Kabupaten Gianyar Tahun 2018 adalah 4,57 Km2, dengan pembagian sebagian besar merupakan lahan bukan pertanian (186,68 Ha), Sawah (150 Ha), dan 120,32 Ha merupakan lahan pertanian bukan sawah. Luasan wilayah ini memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kelestarian tinggalan arkeologi. Ketersediaan lahan yang cukup banyak dapat menjadi prioritas pembangunan dengan tanpa mendesak keberadaan cagar budaya di wilayah tersebut. Demikian juga sebaliknya ketika ketersediaan lahan sangat sedikit, maka desakan ruang terhadap keberadaan lahan yang merupakan bagian dari cagar budaya akan sangat tinggi.

Berdasarkan data BPS 2018, jumlah penduduk di Kecamatan Blahbatuh sebanyak 70.900 jiwa dengan kepadatan penduduk per km2 adalah 1.786 jiwa. Kondisi ini menunjukan bahwa lahan yang dimanfaatkan untuk penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dalam bentuk ruang cukup terbatas, sehingga ancaman pada perebutan ruang antara kebutuhan dan pelestarian cagar budaya kemungkinan sangat besar. Kenampakan perubahan pemanfaatan lahan yang mengarah dari wilayah pertanian dan budidaya perikanan menjadi wilayah pemukiman, merupakan pertanda terjadinya penambahan kebutuhan lahan untuk mendukung peningkatan jumlah penduduk.

Secara umum Candi Tebing Tegallinggah ini memiliki batas-batas antara lain di bagian utara berbatasan dengan lahan kosong berupa aliran sungai dan wilayah tebing, di sebelah timur berbatasan dengan lahan kosong yang dimanfaatkan untuk ladang, sedangkan di sebelah barat berbatasan langsung dengan area yang dijadikan tempat budidaya perikanan (kolam pancing) dan selatan berbatasan dengan lahan kosong berupa aliran sungai dan wilayah tebing. Candi Tebing Tegallinggah ini terdapat pada bagian barat aliran sungai berorientasi arah timur, di sebelah utara candi ini terdapat gua pertapaan demikian juga di sebelah timur aliran sungai menghadap ke barat.

Geomorfologi

Secara topografi Kabupaten Gianyar terbagi menjadi dua wilayah dengan karakteristik yang berbeda. Bagian Utara merupakan wilayah yang bergelombang sedangkan bagian selatan merupakan dataran rendah yang relatif datar dan dan wilayah pantai. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lahan terdiri dari wilayah datar (kemiringan 0-2%) seluas 15.377 hektar, bergelombang (kemiringan 2-15%) seluas 10.426 hektar, curam (kemiringan 15-40%) seluas 5.755 hektar, dan sangat curam (kemiringan di atas 40%) seluas 5.243 hektar. Dibandingkan dengan kabupaten lain, Kabupaten Gianyar tidak memiliki danau maupun gunung berapi. Beberapa bagian daratan memang agak tinggi letaknya namun hanya merupakan tanah perbukitan(https://gianyarkab.go.id/assets_subdomain/CKImages/files/Profil%20Daerah%20Kabupaten%20Gianyar%20Th%202014.pdf).

Gambar 5. Peta Geologi Provinsi Bali (M.M. Purbo-Hadiwidjojo, 1971)

Desa Bedulu merupakan wilayah yang meliputi daerah dataran dengan kemiringan relatif sedang. Perbedaan tinggi pada wilayah ini relatif tidak signifikan, kecuali pada wilayah-wilayah yang merupakan daerah tebing sungai. Kemiringan wilayah ini bergelombang dengan kemiringan 2-15%.

Berdasarkan peta geologi bali oleh M.M. Purbo-Hadiwidjojo dkk tahun 1971, wilayah Desa Bedulu merupakan bagian dari satuan formasi Batuan Gunung Api Kelompok Buyan-Beratan dan Batur yang isinya sebagian besar merupakan tuf dan lahar. Lapukan dari tuf dan lahar ini menjadi lahan yang sangat subur bagi lahan perkebunan, akan tetapi akan sangat tidak cocok dengan konstruksi yang memerlukan pondasi kuat.

Formasi Batuan Gunung Api Kelompok Buyan-Beratan dan Batur yang terdapat pada wilayah sekitar Desa Bedulu seluruhnya berupa Ignimbrit yang dibedakan menjadi Ignimbrit Ubud dan Ignimbrit Gunung Kawi. Pembentukan batuan ignimbrit ini terjadi akibat letusan dari Gunung Batur Purba yang  Dalam Sutawidjaja, 2009 disebutkan “Kaldera Batur yang terletak di bagian timur laut Pulau Bali, merupakan sebuah struktur runtuhan ber- bentuk elips berukuran 13,8 x 10 km, dengan struktur runtuhan lainnya yang berbentuk melingkar di bagian pusatnya, dan berdiameter 7,5 km. Pembentukan kedua runtuhan tersebut diselingi oleh erupsi lava andesit silikaan dan pembentukan kubah-kubah lava andesitis. Runtuhan pertama yang terjadi sekitar 29.300 tahun lalu, diawali oleh erupsi 84 km3 ignimbrit dasit, disebut “Ignimbrit Ubud” dan menyebabkan terbentuknya depresi sedalam 1 km. Ignimbrit kedua, yang disebut sebagai “Ignimbrit Gunungkawi”, dierupsikan melalui sebuah kawah besar sekitar danau sekarang, dan memuntahkan 19 km3 ignimbrit dasit yang sama pada 20.150 tahun lalu. Erupsi kedua ini memicu terbentuknya runtuhan di bagian pusat, dan membentuk sebuah cekungan. Ignimbrit Ubud dan Gunungkawi tersebut terdiri atas komposisi dasit yang sama, berwarna putih hingga merah (jumlah paling banyak mencapai 90 %), dengan butiran batuapung dasitis berwarna abu-abu tua hingga hitam. Butiran besar yang mencapai diameter lebih dari 20 cm terdapat pada ignimbrit tidak terlaskan, terutama di bagian atas Ignimbrit Gunungkawi. Ignimbrit di bagian dalam kaldera, yang disebut “Ignimbrit Batur” dengan volume sekitar 5 km3 berupa ignimbrit terlaskan dan umumnya memperlihatkan struktur pengelasan khas yang sekurang-kurangnya terdiri atas lima unit aliran berbeda, masing-masing diselingi endapan jatuhan batuapung terlaskan dengan lensa-lensa batuapung. Erupsi besar lainnya terjadi pada 5.500 tahun lalu yang memuntahkan sekitar 0,09 km3 ignimbrit andesitis. Erupsi ini diawali oleh erupsi freatomagmatik yang ditunjukkan oleh endapan tebal material freatomagmatik dan endapan seruak, yang menindih ignimbrit. Kaldera dan sekitarnya terisi sebagian dan terselimuti oleh hasil erupsi kemudian yang berupa endapan freatomagmatik dan jatuhan andesitis.”

Gambar 6. Peta Geologi Bali memperlihatkan Pulau Bali yang tertutup terutama oleh batuan volkanik (Wheller and Varne, 1986 dalam Watanabe, K,. dkk, 2010).

Pada Gambar 6 nampak sebaran Bali Ignimbrit yang terdiri dari Ubud Ignimbrit dan Gunungkawi Ignimbrit sebagian besar menutupi wilayah bagian selatan Pulau Bali. Dengan persebaran tersebut, maka litilogi dari Candi Tebing Tegallinggah merupakan bagian dari Ignimbrit ini. Terdapat keraguan dalam penentuan apakah merupakan Ignimbrit Ubud atau Gunungkawi, karena kenampakan lapangan Ignimbrit ini sama, akan tetapi berdasarkan keletakknya dapat kami perkirakan bahwa bagian dimana Candi Tebingg Tegallinggah dipahat merupakan bagian dari Gunungkawi Ignimbrit.

Iklim

Wilayah Gianyar sebagaimana halnya Bali secara umum beriklim laut tropis, yang dipengaruhi oleh angin musim. Musim kemarau berlangsung sekitar bulan Juni–September dan musim hujan sekitar bulan Desember–Maret. Di antara kedua musim tersebut diselingi oleh musim pancaroba. Rata-rata curah hujan per tahun adalah sebesar 2.381 mm. Curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Januari, Pebruari, Maret, November, dan Desember.

Suhu udara rata-rata mencapai 25,6oC, dengan suhu minimum 24oC dan suhu maksimum 27,2oC. Kelembaban udara relatif berkisar antara 75% hingga 85%. Semakin tinggi dari permukaan laut maka suhu udara cenderung semakin rendah. Rentang suhu minimum dan maksimum yang tidak begitu lebar disebabkan oleh variasi ketinggian wilayah yang relatif tidak begitu besar.

Kelembaban dan curah hujan ini sangat berpengaruh pada tingkat keterawatan dari struktur cagar budaya. Kelembaban dan curah hujan yang sangat tinggi akan menyebabkan pesatnya pertumbuhan jasad organik sehingga dapat mempercepat kerusakan pada bahan dari struktur cagar budaya tersebut. Apalagi terjadi pada struktur yang merupakan bagian tebing dan secara terus menerus teraliri oleh air permukaan.

 

Potensi Ancaman

Potensi ancaman pada sebuah struktur cagar budaya dapat berasal dari berbagai kondisi. Candi Tebing Tegallinggah yang terdapat pada wilayah tebing sungai memiliki potensi ancaman secara fisik lebih besar dan lebih nyata pada tataran kestabilan lereng. Faktor-faktor ancaman kerusakan cagar budaya/ obyek yang diduga cagar budaya dapat terdiri dari :

  1. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan kondisi yang ada pada cagar budaya/ODCB itu sendiri antara lain : usia, design bangunan, struktur bangunan, daya dukung tanah, dan sifat alami bahan atau materi. Dalam kurun waktu tertentu, faktor-faktor internal tersebut menjadi salah satu sumber “kelemahan bawaan” struktur bangunan, sehingga dapat berpengaruh terhadap soliditas bangunan.
  2. Faktor eksternal yaitu faktor yang berkaitan dengan kondisi lingkungan di sekitar cagar budaya berada, meliputi: unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (iklim, lingkungan, dan bencana alam).

Potensi ancaman yang bahkan sudah mengancam pada saat Candi ini dipahatkan adalah bencana alam gempa bumi yang menyebabkan terjadi gerakan tanah dan menjadikan pembuatan candi ini di hentikan. Hal ini nampak dalam buku Monumental Bali karya A. J. Bernet Kempers pada halaman 160 yang menyatakan “During the early 1950s, the Archaeologycal Service discovered and excavated a hitherto unknown complex of antiquities at Tegallinggah, consisting of unfinished rock-cut candis, cloister buildings, and so on. They ware apparently hit by a catastrophe long before their final completion; part of the rock-cut facades were down, and the work already done had to be deserted, possibly resumed elsewhere.” Berdasarkan pendapat ini, dapat disimpulkan sementara bahwa Candi Tebing Tegallinggah merupakan tinggalan arkeologi yang berkaitan dengan bukti terjadinya bencana alam.

Berdasarkan pembagian potensi ancaman ini, maka kita akan mengupas satu persatu potensi ancaman yang kemungkinan akan memberikan dampak signifikan pada kelestarian Candi Tebing Tegallinggah.

Faktor Internal

Sebagiamana pengertian dari faktor internal ini adalah faktor yang berasal dari internal atau dari bangunan ODCB tersebut. Seperti namanya, Candi Tebing Tegalinggah merupakan Obyek yang Diduga Cagar Budaya yang berada pada tebing Tukad Pakerisan. Obyek ini terpahat langsung pada batuan ignimbrit, sehingga posisinya seperti menggantung. Kenampakan lapangan menunjukan terdapat lapisan pemisah antara pahatan candi tebing beserta ceruk pertapaanya dengan lantai dasar dari tebing sungai tersebut, tebalnya kira-kira 30-40 cm. Apabilan dilakukan pengamatan secara megaskopis, nampak seperti tanah yang sudah berumur sangat lama. Apakah ini adalah lapisan pemisah terbentuknya Ignimbrit Ubud pada bagian bawah dan Ignimbrit Gunungkawi pada bagian atasnya belum bisa dipastikan. Akan tetapi lapisan ini juga terdapat pada bagian bawah dari mulut Goa Gajah yang terdapat pada lereng Tukad Petanu. Lapisan tanah ini memberi pengaruh pada kestabilan pahatan yang terdapat di bagian atasnya, karena nampak Gapura yang merupakan bagian dari Candi Tebing Tegallinggah menggantung dan pada bagian tanah ini dan sedikit demi sedikit telah mengalami erosi oleh air permukaan yang melewati bangunan ini. Apabila tidak dilakukan penanganan terhadap erosi lapisan tanah ini kemungkinan untuk runtuhnya Gapura ini akan semakin besar.

Gambar 7. Gapura yang masih berdiri di areal Candi Tebing Tegalinggah. Kenampakan batas tanah (garis merah), A : Perkiraan Ignimbrit Gunungkawi, B : Perkiraan Ignimbrit Ubud.
Gambar 8. Kenampakan lapisan tanah yang sama? Juga terdapat di bagian bawah dari mulut goa pada relief Goa Gajah di Desa Bedulu, Gianyar.

Faktor usia memberikan pengaruh sangat signifikan pada ketahanan struktur candi tebing ini. Apabila merujuk pada hasil penelitian beberapa ahli yang sudah kami paparkan diatas, maka umur struktur ini diperkirakan kurang lebih 619 tahun sampai saat ini. Usia struktur yang merupakan jenis batuan hasil endapan piroklastik ini sangat tua dan sudah terekspos di permukaan mulai sejak dipahat sampai saat ini. Pengaruh cuaca, panas , dingin, iklim dan adanya alairan permukaan tentu saja memperlemah ikatan antar butir batuan ini. Abrasi lapisan permukaan dari struktur ini tentu saja sudah terjadi, akan tetapi kami belum bisa membuktikan seberapa intensif abrasi tersebut terjadi.

Gambar 9. Kondisi Candi Tebing yang ditemukan Tahun 50-an (Atas) dan kondisi candi tebing saat ini 2019 (Bawah).

Berkaitan dengan desain bangunan yang dalam perkiraan A. J. Bernet Kempers belum terselesaikan, maka tentu saja desain yang belum tuntas ini mengakibatkan kelemahan dalam soliditas struktur. Hal ini diperparah belum terselesikannya desain bagunan ini diperkirakan diakibatkan oleh adanya gerakan masa batuan yang dipicu oleh gempa bumi.

Desain bangunan eksisting yang ada saat ini juga terdapat kelemahan dimana bagian-bagian bangunan yang tersisa saat ini, tampak terpisah. Berdasarkan beberapa gambar teknis yang kami dapatkan dalam database Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, desain struktur candi tebing yang berjumlah dua buah ini, diperkirakan akan dibangun menyerupai bangunan Candi Tebing Gunungkawi.

Sifat alami bahan dari struktur ini cukup stabil, karena merupakan hasil endapan erupsi volkanik Gunung Batur Purba. Struktur ini dipahat pada batuan Ignimbrit. Ignimbrit/ Welded Tuffa tersusun atas kepingan gelas yang terelaskan Heinrich (1956). Dalam laman Wikipedia dijelaskan Ignimbrit adalah sebuah endapan dari aliran piroklastik, dimana aliran pirokalstik itu sendiri merupakan suspense panas dari partikel dan gas yang mengalir cepat dari gunungapi karena memiliki kepadatan lebih besar dari atmosfer sekitarnya. Ahli geologi Selandia Baru, Patrick Marshall memberikan nama “ignimbrite” yang berarti “ Awan debu berisi batuan berapi” (dari bahasa latin igni (api) dan imbri (hujan), karena terbentuk sebagai hasil dari ledakan besar abu piroklastik, lapilli, dan blok yang mengalir menuruni sisi gunung berapi.

Ignimbrit terbuat dari campuran abu volkanik (atau tuf ketika mulai membatu) yang tersortasi sangat buruk bersama dengan batuapung lapilli, yang umumnya memiliki fragmen litik yang tersebar. Abunya terdiri dari pecahan kaca (glass) dan fragmen Kristal. Ignimbrit dapat berupa tidak terkonsolidasi maupun dalam kondisi solid (membatu) yang batuannya diberi nama Tuff Lapili. Bila dekat dengan sumber vulkanik (proximal), ingnimbrit biasanya mengandung akumulasi blok litik yang tebal, dan bila jauh (distal), Ignimbrit banyak yang menunjukan akumulasi berangkal membundar dan batu apung.

Berdasarkan pengamatan lapangan di Candi Tebing Tegallinggah ini, jenis ingnimbritnya adalah yang memiliki jarak jauh (distal). Kondisi ini nampak dari akumulasi berangkal dan membundar. Batuan ini, yang telah terekspose dan dialiri oleh air permukaan secara terus menerus tentu saja akan mengalami aus.

Gambar 10. Kenampakan megaskopis batuan ignimbrit dengan butiran batu apung memiliki ukuran berangkal (A), Kenampakan aus pada tangga menuju pada candi tebing sebelah selatan.

Pengamatan lapangan pada jenis batuan ignimbrit ini sebagian besar sudah mengalami pengikisan (aus) akibat dilewati oleh air permukaan. Sifat alami bahan yang cukup sesitif terhadap air menimbulkan kerusakan secara perlahan. Selain itu, bahan dari struktur ini sangat mudah untuk ditumbuhi dan dipengaruhi oleh algae dan lumut, nampak hampir semua bagian dari struktur ini ditutupi oleh lumut.

Faktor Eksternal

Faktor eksternal yaitu faktor yang berkaitan dengan kondisi lingkungan di sekitar cagar budaya berada, meliputi: unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (iklim, lingkungan, dan bencana alam). Pembahasan masing masing pengaruh unsur eksternal pada kelestarian dari Situs Candi Tebing Tegallinggah akan dilihat secara satu per satu, yang kita awali dari unsur biotik dan kemudian kita akan membahas unsur abiotiknya.

Unsur Biotik

Unsur biotik ini meliputi unsur-unsur yang berkaitan dengan mahluk hidup, terdiri dari manusia, hewan atau binatang dan tubuhan. Manusia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan dan kelestarian tinggalan arkeologi yang merupakan juga warisan leluhurnya. Keberadaan masyarakat yang masih melanjutkan tradisi dari warisan leluhurnya akan sangat menghargai situs tersebut dan berusaha untuk menjaganya. Sedangkan kekawatiran akan terjadi apabila, tidak terdapat keterkaitan antara situs dengan keberlanjutan tradisi yang berada di lingkungan sekitar situs tersebut. Kekawatiran ini tidak serta merta menjadi ancaman bagi kelestariannya, karena di beberapa wilayah yang memiliki perbedaan tradisi antara situs dengan yang masyarakat jalani saat ini, ternyata kondisi situs tetap terjaga kelestariannya.

Ancaman terbesar yang timbul dari keberadaan manusia yang berada di sekitar situs adalah perilakunya. Di wilayah sekitar Candi Tebing Tegallinggah, masyarakatnya masih menganut agama Hindu yang sama dengan latar belakang situs ini. Kesamaan latar belakang kepercayaan menjadikan kelestarian situs ini tetap terjaga dengan baik, karena masih difungsikan sebagai tempat pemujaan, pengambilan air suci, dan pengambilan air konsumsi masyarakat. Akan tetapi, nampak di lapangan ada beberapa kegiatan yang tidak disadari oleh masyarakat dapat berpengaruh pada kelestarian situs.  Salah satu kegiatan yang memberikan pengaruh pada kondisi situs di bawahnya adalah keberadaan budidaya kolam ikan di bagian atas dari situs Candi Tebing Tegallinggah. Terkumpulnya air di kolam tersebut memberikan tekanan pada stabilitas lereng pada bagian atas dari situs Candi Tebing Tegallinggah. Selain tekanan stabilitas lereng, kolam juga menyebabkan terjadinya rembesan air yang lama kelamaan akan mengakibatkan daya ikat antar butir dari lapisan tanah semakin lemah, dan kemungkinan terjadinya bencana longsor sangat besar.

Gambar 11. Posisi kolam ikan yang terdapat di bagian atas dari Situs Candi Tebing Tegallinggah berdasarkan citra drone 2019.

Hal lain di sekitar situs nampak menganggu kelestarian adalah keterdapatan tangga buatan baru dari kayu, yang saat kami turun ke lapangan sudah nampak terpasang. Berdasarkan informasi dari masyarakat, tangga ini merupakan project yang dananya berasal dari Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Tangga ini berakhir tepat di depan mulut ceruk pertapaan paling utara. Selain mengganggu estetika dari keberadaan ceruk pertapaan ini, hal lain yang menjadi pertimbangan kami adalah konstruksi dari jembatan ini tentu saja tertanam pada bagian atas dari lereng tebing dan pada bagian bawahnya nampak besi yang digunakan sebagai penopangnya. Getaran yang ditimbulkan akibat pembuatan konstruksi tangga tentu saja memberi pengaruh pada stabilitas lereng, sehingga dapat memicu terjadinya runtuhan lereng (longsor).

Gambar 12. Keberadaan tangga kayu baru (lingkaran merah) terhadap Situs Candi Tebing Tegallinggah dan foto tangga kayu di lapangan (foto atas), konstruksi bagian penyangga tangga kayu (foto bawah).

Karena merupakan bagian dari situs yang masih di fungsikan, maka kegiatan penduduk pada saat hari raya atau hari besar keagamaan akan sangat banyak dan ramai di wilayah ini. Perkembangan pariwisata juga semakin meningkat dalam hal jumlah kunjungan. Semakin banyaknya kegiatan manusia di lingkungan situs tentu saja meninggalkan jejak yang berupa sampah. Sampah merupakan salah satu hal yang masih dianggap sepele dalam kelestarian lingkungan situs, sehingga walaupun sudah tersedia tempat sampah dan tenaga kebersihan baik dari pemerintah daerah maupun dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, kesadaran pengunjung tetap merupakan unsur terpentingnya. Guguran daun daun tumbuhan di sekitar situs juga memberi pengaruh pada banyaknya sampah yang terdapat di situs ini. Walaupun petugas kebersihan sudah nampak bekerja maksimal di lapangan, akan tetapi kesadaran pengunjung tetap harus di tingkatkan.

Gambar 13. Keberadaan tempat sampah di sekitar situs dan wawancara yang dilakukan oleh anggota tim kajian sedang melakukan wawancara dengan petugas kebersihan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar.

Aktifitas penduduk pada wilayah bagian timur dari Situs Candi Tebing Tegallinggah nampak berupa perkembangan perkebunan dan ladang, dengan cara melakukan pemotongan pohon besar di bagian atas wilayah sekitar ceruk pertapaan. Kedepan hal ini akan memberikan dampak pada hilangnya akar tanaman yang menjaga stabilitas lereng bagian timur. Kestabilan lereng bagian timur ini akan mempengaruhi dan berdampak pada kelestarian ceruk pertapaan.

Gambar 14. Perabasan lahan pada bagian timur situs yang diperkirakan memberikan pengaruh pada keberadaan situs (kotak merah).

Faktor biotik lain yang berpengaruh pada kelestarian Situs Candi Tebing Tegallinggah adalah tumbuhan. Pengaruh binatang dalam pengamatan kami di lapangan sangat kecil atau mencapai tidak ada. Pengaruh tumbuhan dan organisme sejenis tumbuhan sangat besar pengaruhnya. Mulai dari keberadaan lingkungan yang sebagaian besar di tumbuhi tanaman besar dan beberapa di antaranya adalah pohon kelapa. Keberadaan vegetasi yang padat ini menyebabkan kondisi wilayah situs menjadi lembab, ditambah dengan keberadaan mata airnya.

Keterdapatan vegetasi yang tebal dan diisi oleh tanaman besar dan tinggi memberikan ancaman keterdapatan jatuhan dahan, ranting atau buah kelapa yang sudah tua yang bisa menyebabkan kerusakan pada struktur yang ada di bawahnya. Sedangkan vegetasi mikro yang berupa lumut, algae dan lichen menggerogoti secara periodik keberadaan batuan pembentuk situs ini. Kondisi ini merusak struktur candi tebing dan bagian lain di sekitarnya secara perlahan lahan.

Gambar 15. Kondisi Candi Tebing yang tertutupi oleh banyaknya lumut dan algae.

Unsur Abiotik

Unsur abiotik terdiri dari iklim, lingkungan dan bencana alam. Unsur abiotik di Situs Candi Tebing Tegallinggah ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi kelestarian struktur candi tebing. Iklim dan lingkungan mempengaruhi kondisi keterawatan dari struktur ini.

Iklim wilayah setempat yang cenderung lembab, karena berada pada daerah aliran sungai dan dikelilingi oleh tebing memberikan keleluasaan pertumbuhan jasad renik pada muka batuan. Pada bagian unsur biotik kita sudah bahas keterdapatan lumut dan algae pada lapisan luar dari struktur candi tebing tegallinggah. Padatnya tutupan lumut dan algae pada struktur ini di sebabkan oleh kondisi iklim dan lingkungan yang sangat mendukung.

Kondisi lingkungan yang berlimpah terhadap keterdapatan air dan memiliki kondisi lereng yang sangat curam memiliki potensi terjadinya bencana pada sekitar wilayah situs. Kombinasi antara faktor air yang dapat melemahkan ikatan antar butir dan lereng yang memiliki tingkat stabilitas rendah akan menghasilkan kerawanan bencana berupa tanah longsor.

Gambar 16. Sayatan topografi dari Candi Tebing Tegallinggah (data lapangan, 2019).

Tanah longsor merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng.  Terdapat 6 jenis tanah longsor, yakni : longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batuan, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Berdasarkan jenis tanah longsor tersebut, di wilayah Situs Candi Tebing Tegallinggah diperkirakan jenis tanah longsor yang ada adalah Runtuhan Batu dan Longsoran Rotasi. Runtuhan Batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung. Sedangkan Longsoran Rotasi adalah bergeraknya masa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekungan.

Seperti yang telah disampaikan pada bagian awal dari laporan ini, Situs Candi Tebing Tegallinggah ini merupakan situs yang belum terselesaikan dan ditinggalkan. Pembuatan situs ini dihentikan karena terdapat bencana berupa gempa bumi yang menimbulkan jatuhan batu. Hal ini nampak dari keterdapatan bongkahan batu berukuran besar pada bagian tepi sungai yang apabila ditandai memiliki sisa sisa relief atau bentuk yang hampir sama dengan yang masih utuh saat ini. Hal ini diperkuat oleh opini yang disampaikan oleh A. J. Bernet Kempers, 1960, “Mengenai bentuk candinya serupa dengan bentuk Candi di Gunung Kawi Tampaksiring, hanya saja bentuknya lebih kecil dari pada Candi di Gunung Kawi Tampaksiring”. Kenapakan lapangan juga memperlihatkan kesamaan yang apabila kita lakukan intepretasi secara kasar menampakkan Candi Tebing Tegallinggah memiliki rencana desain yang sama dengan Candi Tebing Gunung Kawi. Dan desain tersebut sepertinya mengalami kejadian runtuh dan saat ini berada pada halaman sekitar candi tebing. Demikian juga dengan kondis ceruk pertapaan yang juga nampak seperti belum terselesaikan, dimana masih terlihat beberapa ceruk yang pahatannya sangat dangkal.

Gambar 17. Kemungkinan lengkungan merah (putus-putus) merupakan bagian pahatan yang mengalami runtuh (atas). Perbandingan dengan Candi Tebing Gunung Kawi (kiri) dan Candi Tebing Tegallinggah (kanan).

 

Gambar 18. Kondisi reruntuhan bagian candi yang berserakan di bagian halaman situs .

Kepemilikan Lahan

Kepemilikan lahan menjadi bagian dari pengambilan data yang kami lakukan. Hal ini didasarkan karena situs Candi Tebing Tegallinggah merupakan situs yang masih dimanfaatkan oleh penduduk dan kepemilikan lahannya dikuasai oleh masyarakat sekitar Dusun Tegallinggah. Lahan inti situs juga dimiliki oleh salah seorang warga yang bernama Ida Ayu Made Suastini. Kepemilikan yang kami lakukan survey adalah kepemilikan yang ada di sekitar situs dan kami nilai memiliki kedekatan lokasi dengan candi tebing.

Kepemilikan lahan sekitar situs sangat penting dalam upaya pengendalian keterancaman situs. Kareana kegiatan yang akan dilakukan untuk mengendalikan ancaman-ancaman yang sedang dan kemungkinan mengancam situs tentu saja akan sangat berkaitan dengan lahan di sekitar situs. Upaya mengurangi resiko longsor dan penataan saluran air di sekitar situs tentu saja harus mengantongi ijin dari sang pemilik lahan, sehingga apabila kita sudah mengetahui siapa pemiliki lahan dapat dilakukan diskusi dan koordinasi lebih intensif dalam upaya pelestarian candi Tebing Tegallinggah. Kegiatan kegiatan fisik yang berkaitan dengan rekayasan lereng, maupaun pembatasan tampungan air di bagian atas lereng juga akan menjadi pertimbangan bersama dengan para pemilik lahan.

Gambar 19. Peta kepemilikan lahan sekitar situs (survey 2019) .

 

Rencana Pengendalian

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat kalimat “Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk menjamin eksistensinya”.  Kalimat ini dimaknai bahwa, ancaman terhadap Cagar Budaya atau ODCB harus dikendalikan dengan kebijakan tegas dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Untuk itu diperlukan rencana pengendalian ancaman sebagai upaya menjamin eksistensi dari Cagar Budaya atau ODCB.

Rencana pengendalian terhadap ancaman-ancaman yang kemungkinan menjadi penyebab hilangnya eksistensi dari ODCB Candi Tebing Tegallinggah harus segera di siapkan dan direncanakan lebih lanjut, karena ancaman ini sudah pernah terjadi pada saat awal usaha pembangunan candi. Rencana  pengendalian ini memuat 2 hal penting yaitu peningkatan kapasitas masyarakat serta pemangku kepentingan dan kegiatan pengendalian secara fisik serta teknis di lapangan.

Peningkatan Kapasitas

Peningkatan kapasitas masyarakat dalam upaya pelestarian dan kesadaran bahwa Candi Tebing Tegallinggah merupakan warisan budaya yang tak tergantikan apabila mengalami kerusakan menjadi sangat penting, karena hal ini menjadi modal utama untuk menjaga eksistensi dari candi tebing. Peningkatan kapasitas masyarakat dapat dilakukan dengan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan yang berkaitan dengan kondisi keterawatan dan keterancaman situs dan sekaligus mengajak masyarakat untuk memperhatikan gejala gejala kerusakan yang mungkin akan menjadi kerusakan parah jika dibiarkan.

Peran serta masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam upaya pelestarian Candi Tebing Tegallinggah sangat diperlukan untuk mengisi keterbatasan unsur pemerintah dalam hal ini Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali berkaitan dengan upaya monitoring dan pengawasan. Diharapkan masyarakat dan LSM menjadi mitra sejajar pemerintah dalam setiap upaya upaya pelestarian Cagar Budaya maupaun Obyek yang Diduga Cagar Budaya.

Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat diharapkan dapat mengurangi dampak-dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia di sekitar situs dan semakin meningkatkan kecintaan masyarakat sekitar situs ini. Sejalan dengan salah satu bagian dari The Declaration of Amsterdam (1975) yang kami akses di https://www.icomos.org/en/and/169-the-declaration-of-amsterdam menyebutkan “The architectural heritage will survive only if it is appreciated by the public and in particular by the younger generation. Educational programmes for all ages should, therefore, give increased attention to this subject”.

Sosialisasi dan penyuluhan ini difungsikan untuk meningkatkan pemahaman masayarakat berkaitan dengan konsidi lingkungan yang dapat mengancam kelestarian situs. Pemahaman yang kiranya perlu ditanamkan adalah kegiatan-kegiatan yang berpotensi mempengaruhi situs diantaranya aktivitas pembukaan lahan tepat diatas areal situs, pemanfaatan sebagai areal kolam ikan, aktivitas yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sekitar situs serta hal lain yang berkaitan dengan aktivitas keseharian masyarakat dan pengunjung dalam proses pemanfaatan situs tersebut.

Pengendalian Teknis

Pengendalian teknis dilakukan berupa kegiatan fisik yang difungsikan untuk mengurangi resiko ancaman yang kelestarian dari Situs Candi Tebing Tegallinggah. Kegiatan pengendalian ini dilakukan dalam berbagai kegiatan teknis yang terdiri dari :

  • Penataan Saluran Air

Kondisi wilayah sekitar situs yang melimpah air menjadikan air sebagai bagian dari potensi positif dan juga sekaligus kesalahan dalam melakukan menajemen terhadap air permukaan akan menjadikan sumber masalah.  Sebagai situs yang merupakan bagian dari tradisi yang sangat menghormati sumber air sebagai sesuatu yang suci, maka keberadaan mata air merupakan syarat kusus untuk mendirikan sebuah bangunan suci seperti Candi Tebing Tegallinggah. Mata air utama pada situs ini terdapat bada bagian tengah (ditunjuk pada gambar), sedangkan rembesan yang terjadi pada wilayah situs ditandai dengan kotak merah.

Gambar 20. Sebaran rembesan air permukaan yang mempengaruhi situs .

Rembesan ini berasal dari air permukaan yang ada di bagian atas dari situs Candi Tebing Tegallinggah. Melimpahnya air permukaan yang kemudian dimanfaatkan untuk kolam ikan oleh penduduk menjadi salah satu sumber rembesan air sehingga rembesan ini  harus di tampung sehingga tidak secara langsung menggerus struktur yang terdapat dalam situs ini  terutama pada bagian ceruk pertapaan.

Terdapat lima zona yang nampak dilapangan merupakan tempat rembesan dan aliran air dari lereng bagian atas. Zona 1 terletak di bagian utara dari situs, pada saat kajian lapangan debitnya tidak terlalu besar dan memberi pengaruh pada ceruk pertapaan pada bagian utara.

Pada zona 2, merupakan muara dari aliran air rembesan yang ditampung dalam saluran air mengikuti jalur tangga menuju situs. Kemudian dilakukan pembuangan ke bagian timur yang sayangnya air buangan ini mengenai ceruk pertapaan pada bagian utara paling selatan. Debit airnya cukup keras dan menggerus permukaan struktur ceruk.

Pada zona 3 rembesan air sangat besar dan langsung mengenai kedua candi utama pada situs ini. Rembesan ini memberikan pengaruh pada tingkat kelembaban candi tebing, selain memberikan gerusan secara terus menerus. Sedangkan zona 4 merupakan bagian lanjutan dari rembesan air yang terjadi pada zona 3 yang mengalir dan masuk dalam zona 4. Rembesan ini menggerus tangga batu dan pada bagian bawahnya menggerus lapisan tanah yang menyangga struktur gapura. Zona 5 hanya berupa rembesan kecil yang memberikan pengaruh pada kondisi kelembaban ceruk pertapaan pada bagian timur.

Pengendalian terhadap kelima zona rembesan/buangan/mata air yang tidak difungsikan secara sakral adalah dengan cara pembuatan saluran air dan mengarahkan pembuangan airnya menuju wilayah yang jauh dari wilayah situs.  Pada zona 1 dapat diarahkan menuju lebih utara sehingga ceruk pertapaan terhindar dari aliran air. Pada zona 2 agar diarahkan menuju pembuangan mata air yang berada pada bagian selatan dari ceruk pertapaan bagian utara, sedangkan zona 3 dan 4 dapat diarahkan pembuangan menuju bagian paling selatan. Pengalihan aliran air ini dilakukan dengan pembuatan saluran air yang sekaligus dapat mengatur atau membatasi debit air saat hujan dan mengalirkan air saat kemarau. Pada zona 5, karena rembesan air sangat kecil, maka pengaturan dengan memanfaatkan salauran air dapat dilakukan hanya pada bagian atas ceruk saja. Hal lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan saluran air yang telah terdapat di situs. Terutama saluran air yang terdapat disamping kanan dan kiri jalan setapak masuk menuju situs.

Gambar 21. Rencana arah aliran air rembesan dan mata air keluar wilayah situs .

Perkuatan Struktur

Kegiatan perkuatan struktur dilakukan untuk memberikan ketabilan tanah yang menjadi pijakan gapura dan beberapa ceruk pertapaan. Ketidak stabilan ini disebabkan oleh umur dan gerusan air permukaan yang mengalir di sekitarnya. Perkuatan struktur ini hanya dilakukan parsial saja, dan diharapkan tidak menggangu kondisi eksisting lapisan tanah tersebut. Perkuatan struktur dapat dilakukan dengan metode kamuflase sehingga penambahan kekuatan oleh bahan baru tidak terlalu mencolok.

Gambar 22. Lapisan tanah yang perlu mendapatkan perkuatan struktur .

Konservasi

Kegiatan konservasi dilakukan untuk memperlambat pertubuhan jasad renik, algae, lichen dan jamur kerak yang menempel pada dinding seluruh struktur yang terdapat pada situs Candi Tebing Tegallingah. Pertumbuhan unsur unsur yang akan mengakibatkan terjadinya pelapukan biologis pada permukaan batuan penyusun struktur candi dan ceruk ini harus dikendalikan karena lambat laun dapat merusak dan menghancurkan bagaian permukaan dari struktur ini. Pengendalian ini telah dilakukan dengan cara tradisional yaitu melakukan pembersihan saja. Seperti yang nampak di lapangan, pembersihan secara manual sulit mengendalikan pertumbuhan terutama lumut, karena kondisi wilayah yang sangat lembab. Diperlukan tindakan konservasi yang lebih masif dan periodik untuk menjamin lapisan luar dari struktur ini tidak mengalami kerusakan yang lebih parah.

Gambar 23. Kondisi permukaan struktur yang hampir sebgian besar tertutupi oleh lumut, algae dan lichen.

Penataan Lingkungan

Penataan lingkungan difokuskan pada penataan hal hal yang dapat menimbulkan ancaman bagi kelestarian ODCB Candi Tebing Tegallinggah. Hal ini dilakukan karena dalam obyek studi ini berkaitan dengan kajian keterancaman situs. Beberapa penataan lingkungan yang harus dilakukan diantaranya adalah penataan jalan stapak dan melakukan rekayasa untuk menghilangkan kesan penutupan ceruk pertapaan dari tangga kayu yang baru dibuat. Selain itu penataan lingkungan dilakukan pula dengan pengendalian periodik terhadap ranting dan dahan pohon-pohon besar yang ada di sekitar situs.

Pertamanan juga diperlukan di beberapa lokasi, selain untuk memperindah kondisi situs juga difungsikan untuk penahan erosi tanah akibat lereng dan aliran air. Lokasi sepanjang jalan masuk ke situs dapat dijadikan tempat pertanaman.

 

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data yang dilakukan tim pelaksana kegiatan di lapangan maupun di kantor, maka dapat diambil beberapa kesimpulan :

  1. Potensi ancaman yang akan berpengaruh pada kelestarian Situs Candi Tebing Tegallinggah terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal.
  2. Faktor internal yang berpengaruh adalah usia bangunan yang sangat tua, desain bangunan yang belum terselesaikan, daya dukung tanah yang lemah karena tererosi, sifat alami bahan yang tersusun atas ignimbrit yang cukup rentan dengan air dan pelapukan.
  3. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah kegiatan masyarakat yang berupa pembuangan air limpasan kolam ikan, kegiatan pemotongan kayu di sekitar situs dan aktifitas di situs yang menghasilkan sisa berupa sampah. Faktor eksternal yang bersifat abiotik yang berpengaruh pada kelestarian situs ini adalah iklim yang secara lokal bersifat sangat lembab, kelerengan yang curam yang memunculkan potensi longsoran serta keterdapatan banyak rembesan air yang dapat memicu terjadinya longsoran. Potensi longsoran juga dipicu oleh gempa bumi.
  4. Rencana pengendalian potensi ancaman ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu Peningkatan Kapasitas Masyarakat dan Pengendalian Teknis berupa : Penataan Saluran Air, Perkuatan Struktur dan Penataan Lingkungan.

Saran

  1. Diharapkan dilakukan koordinasi dan FGD berkaitan dengan rencana pengendalian keterancaman. Hal ini disebabkan oleh kegiatan fisik pengendalian akan memanfaatkan ruang dan area yang merupakan milik masyarakat.
  2. FGD dapat dilakukan dengan melibatkan Instansi yang terkait, yang terdiri dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Bali, Dinas PU dan PR Kabupaten Gianyar, Kepala Desa Bedulu, Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar, Masyarakat Pemilik Lahan di sekitar situs.
  3. Koordinasi dan komunikasi yang efektif antara Pemerintah Daerah, Pemilik Cagar Budaya serta BPCB berkaitan dengan pelestarian cagar budaya diharapkan lebih maksimal untuk dapat menjaga dan melestarikan situs.