Pokja Pemeliharaan
BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA BALI
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang memiliki populasi Cagar Budaya terpadat dan tersebar diseluruh wilayah Kabupaten Gianyar. Salah satu cagar budaya yang sangat terkenal di Kabupaten Gianyar adalah Candi central cagar budaya terdapat yakni di wilayah DAS (Daerah aliran sungai Pakerisan) di wilayah Bedahulu dan Nusa Tenggara Barat yang memiliki cagar budaya terbuat dari I Tebing Gunung Kawi yang berlokasi di Desa Penaka, Kecamatan Tampaksiring, kabupaten Gianyar.
Candi Tebing Gunung Kawi diperkirakan dibangun sejak pertengahan abad ke- 11 Masehi, pada masa Dinasti Udayana Warmadewa. Pembangunan candi ini diperkirakan dimulai pada masa pemerintahan Sri haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944- 948 saka/ 1025- 1049 M) dan berahir pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu (972-999 Saka/ 1049- 1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangaka tahun 945 Saka (1023 M), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah komplek pertapaan (katyagan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengaku pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Secara tata letak ke sepuluh candi tebing ini tersebar di tiga titik. Lima diantaranya berada di sisi timur sungai Pakerisan, sementara yang lainnya tersebar di dua titik disisi barat sungai. Lima candi yang berada disisi timur sungai dianggap sebagai bagaian utama, dari komplek Candi Tebing Gunung Kawi.
Upaya pelestarian terhadap Candi tebing Gunung Kawi yang merupakan Cagar Budaya yang memiliki arti penting bagi ilmu pengetahuan, pendidikan, sejarah dan kebudayaan telah dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali mulai dari pelestarian awal terhadap cagar budaya berupa inventarisasi, konservasi dan penempatan juru pelihara yang merawat beradaan cagar budaya secara rutin.
Berdasarkan tugas dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya, yaitu melaksanakan pelestarian melalui: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaaatan terhadap Cagar Budaya di wilayah kerjanya, baik berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya baik yang berada di darat maupun di air, maka ehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan kegiatan evaluasi terhadap cagar budaya yang telah dikonservasi untuk menjaga kelestarian cagar budaya. Bertitik tolak dari hal tersebut maka pada anggaran tahun 2019 akan dilakukan kegiatan evaluasi konservasi terhadap lima buah Candi Tebing Gunung Kawi yang telah yang telah dikonservasi untuk mengetahui kondisi keterawatan candi saat ini.
Letak dan Lingkungan
Candi Tebing Gunung Kawi terletak di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Situs ini berjarak sekitar ± 10 km dari Kota Gianyar. Secara Geografis situs Gunung Kawi berada di daerah aliran sungai Pakerisan pada koordinat 8º25̍22.65̎ LS 115º18̍ 45.93̎ BT, dan pada ketinggian 469 meter di atas permukaan laut.
Adapun batas-batas :
- Sebelah Utara : Tebing/Tegalan
- Sebelah Timur : Sawah
- Sebelah Selatan : Pura Gunung Kawi
- Sebelah Barat : Sungai Pakerisan
Latar Sejarah
Candi Tebing Gunung Kawi berdasarkan hasil-hasil penyelidikan arkeologis-historis dapat diketahui, bahwa Gianyar mempunyai keunggulan cultural yang merupakan warisan sejarah masa lampau, dan bukti-buktinya ditemukan tersebar di desa-desa yang tgerletak di antara Tukad Pakerisan dan Petanu, yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai kawasan yang sacral. Gunung Kawi Tampaksiring diperkirakan dibangun sejak pertengahan abad ke-11 Masehi, pada masa Dinasti Udayana Warmadewa. Pembangunan candi ini diperkirakan di mulai pada masa pemerintahan Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 saka / 1025-1049 Masehi) dan berakhir pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 M).
Dalam Prasasti Tengkulak yang berangka tahun 945 Saka (1023 M), terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat sebuah komplek pertapaan (katyagan) bernama Amarawati. Para arkeolog berpendapat, Amarawati mengacu pada kawasan tempat Candi Tebing Gunung Kawi ini berada.
Menurut sejarah, Raja Udayana dan permaisuri Gunapriya memiliki tiga anak, yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Sang sulung, Airlangga, kemudian diangkat menjadi diangkat menjadi Raja Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Saat Udayana wafat, tahta diserahkan kepada Marakata yang kemudian diteruskan kepada Anak Wungsu. Kompleks Candi Tebing Gunung Kawi awalnya dibangun oleh Raja Marakata sebagai tempat pemujaan arwah sang ayah, Raja Udayana.
Diantara kesepuluh candi di kawasan ini, diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna ̍sang raja dimakamkan di jalu ( sungai Pakerisan)̍ yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya dirangkaikan ini diduga kuat dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi setingkat perdana menteri atau penasehat raja.
Sementara, empat candi yang berada di sisi barat, menurut arkeolog Dr. R. Goris, kemungkinan merupakan kuil (padharman) yang didedikasikan bagi keempat selir Raja Udayana. Sedangkan, satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan diduga dibangun untuk salah seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasehat raja.
Keseluruhan kompleks candi ini difungsikan sebagai pura, sarana peribadan keluarga kerajaan oleh Raja Anak Wungsu. Yang menarik, disekitar candi ini terdapat sejunlah ceruk yang diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai tempat meditasi umat Buddha/vihara.
Ceruk-ceruk ini dipahatkan pada dinding tebing, sama seperti candi-candi Hindu di sekitarnya. Keberadaan kompleks candi Hindu berdampingan dcngan pertapaan Buddha ini menunjukkan Kerajaan Bedahulu ketika itu telah menerapkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama.
Tinggalan Arkeologi
Candi Tebing Gunung Kawi Komplek lima merupakan tinggalan arkeologi yang berada di aliran sungai pekerisan, posisinya menghadap ke barat dengan arsitektur yang terpahat di dinding. Candi tebing gunung kawi masing-masing memiliki ukuran, Tinggi: 15 meter dan Lebar: 5,25 meter. Secara arsitektur lima buah candi yang berjejer dari utara sampai ke selatan bentuknya hampir sama. diperkirakan bangunan pertama yang dibangun adalah candi yang posisinya paling utara dari rangkaian lima candi di timur sungai. Hal ini didasari atas tulisan “Haji Lumah Ing Jalu” beraksara kadiri kwadrat pada bagian atas gerbang candi.
Tulisan ini bermakna ‘sang raja dimakamkan di jalu (Sungai Tukad Pakerisan)’ yang mengindikasikan candi inilah yang dibangun sebagai tempat pemujaan arwah Raja Udayana. Keempat candi lainnya di rangkaian ini diduga kuat dibangun untuk permaisuri dan anak-anak Raja Udayana.
Data Keterawatan
Candi Tebing Gunung Kawi Komplek lima merupakan salah satu cagar budaya yang sangat penting yang berada di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Secara Arsitektur Candi Tebing Gunung Kawi komplek lima dipahatkan di dinding sebelah timur sungai pekerisan. Lima candi yang berada di sisi timur sungai dianggap sebagai bagian utama dari kompleks Candi Tebing Gunung Kawi. Candi ini sudah pernah mendapat penanganan pemeliharaan berupa Konservasi yang dilakukan dalam rencana pembangunan jangka menengah 2003-2010.
Kondisi Fisik dan Data Keterawatan
Dari hasil pengamatan langsung di lapangan, diketahui terdapat tinggalan Cagar Budaya berupa dua buah ceruk dan lima buah candi tebing. Dapat diketahui kondisi Cagar Budaya di Candi Tebing (komplek lima) di Pura Gunung Kawi yang diklasifikasikan menjadi 4 jenis kerusakan/pelapukan, yaitu: kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, dan pelapukan biotis. Dari hasil pengamatan dapat disampaikan kondisi benda ada yang mengalami satu jenis kerusakan dan ada yang mengalami lebih dari satu jenis kerusakan.
- Kerusakan mekanis
Kerusakan mekanis adalah suatu proses kerusakan yang disebabkan oleh adanya gaya statis maupun dinamis. Adapun bentuk dari kerusakan ini berupa: pecah, retak dan gempil. Jenis kerusakan ini terjadi dengan persentase 10%.
- Pelapukan fisis
Bentuk dari pelapukan Fisis berupa aus dan pengelupasan pada permukaan benda Cagar Budaya. Penyebab dari pelapukan ini adalah faktor–faktor fisis seperti: suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan penguapan. Jenis pelapukan ini terjadi hampir 100%.
- Pelapukan chemis
Pelapukan Chemis terjadi sebagai akibat atau adanya reaksi kimia. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan, dan suhu. Gejala yang tampak berupa aus dan endapan kristal-kristal garam terlarut pada benda Cagar Budaya. Pelapukan Chemis yang terjadi sekitar 20%.
- Pelapukan biotis
Pelapukan Biotis disebabkan oleh kelembaban yang tinggi, sehingga memicu pertumbuhan mikroorganisme seperti: lichenes, moss dan algae menjadi subur. Jenis pelapukan ini terjadi dengan persentase 45%.
Rencana Penanganan Konservasi
Rencana awal penanganan konservasi dilakukan secara bertahap pada masing-masing satu candi, yaitu candi pertama, tebing dan tangga dengan luas keseluruhan 134 m².
Penangan secara Chemis kering dan basah seluas 134 m². Penanganan secara chemis seluas 39 m² (pembersihan chemis AC-322, Konsolidasi Paraloyd B-72).
Pada prinsipnya dalam merencanakan tindakan konservasi harus didasari atas diagnosis terhadap permasalahan yang terjadi pada Cagar Budaya, sehingga kesalahan dalam penanganan konservasi dapat diminimalisir. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah batuan dasar Cagar Budaya tersebut, apalagi Cagar Budaya di Candi Tebing Gunung Kawi (komplek lima) di Pura Gunung Kawi Tampaksiring terbuat dari batu padas yang bersifat higroskofis dan di lingkungannya banyak sumber air sehingga kondisinya selalu lembab. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan aliran air supaya tidak mengalir pada permukaan candi. Dalam penanganan konservasi harus dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak permukaan Cagar Budaya tersebut. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, dapat disimpulkan terkait penanganan yang akan dilakukan terhadap Cagar Budaya di Candi Gunung Kawi (komplek lima) di Pura Gunung Kawi Tampaksiring, yaitu:
- Pembersihan Mekanis
- Pembersihan mekanis kering
Pembersihan yang dimaksud adalah untuk membersihkan akumulasi debu, kotoran hewan, rumah serangga, serta pertumbuhan mikroorganisme yang mengering dan menempel pada Cagar Budaya. Adapun peralatan yang digunakan berupa sapu lidi, sudip bambu, sikat ijuk, sikat gigi, dan kuas eterna.
-
- Pembersihan mekanis basah
Pembersihan ini hampir sama dengan pembersihan mekanis kering, hanya saja disertai dengan guyuran air agar kotoran-kotoran hanyut bersama air.
- Pembersihan Chemis
Pembersihan secara chemis dilakukan untuk membersihkan noda-noda yang membandel dan sangat sulit dibersihkan. Luas permukaan yang mendapatkan penanganan permbersihan secara chemis 39 m². Adapun bahan konservan yang dipakai yaitu bahan kimia AC-322 yang terdiri dari Amonium Bicarbonate, Sodium Bicarbonate, Sodium CMC, Aquamolin, Arkopal, dan air (sebagai pelarut). 1 m² luas permukaan membutuhkan 0,5 liter AC-322 jadi AC-322 yang dibutuhkan sebanyak 20 liter.
Aplikasi bahan di atas dilakukan dengan cara pengolesan memakai kuas eterna ke seluruh permukaan Cagar Budaya. Waktu kontak bahan kimia AC-322 dengan Cagar Budaya yaitu 24 jam. Selanjutnya, Cagar Budaya dibersihkan lagi dengan air sampai betul-betul bersih hingga pH 7 (netral).
- Konsolidasi
Kegiatan ini dilakukan secara selektif, terutama dilakukan pada bagian-bagian yang aus dan rapuh. Luas permukaan yang mendapatkan penanganan Konsolidasi seluas 39 m². Pelapisan (pengolesan) ini menggunakan bahan kimia Paraloyd B-72 dengan pelarut Ethyl Acetate dengan konsentrasi 2-3 %. 1 m² luas permukaan membutuhkan 0,5 liter Paraloyd B-72 jadi Paraloyd B-72 yang dibutuhkan sebanyak 20 liter.
Tujuan dari konsolidasi yaitu untuk memperkuat ikatan partikel-partikel bahan yang sudah rapuh. Pelapisan (pengolesan) ini dapat dilakukan lebih dari satu kali jika tahap pertama telah kering.
Upaya Pelestarian
Dalam upaya pelestarian terhadap Cagar Budaya di Candi Tebing Gunung Kawi (komplek lima) di Pura Gunung Kawi Tampaksiring akan dilakukan tindakan pelestarian berupa konservasi secara modern. Adapun luas permukaan Cagar Budaya, yaitu luas permukaan ceruk, tebing dan tangga di sebelah utara 193 m², luas permukaan candi satu, tebing dan tangga masuk 134 m², luas permukaan candi ke dua, tebing dan tangga masuk 118 m², luas permukaan candi ke tiga, tebing, dan tangga masuk 186 m², luas permukaan candi ke empat, tebing dan tangga masuk 152 m², luas permukaan candi lima, tebing dan tangga masuk 156 m², luas permukaan ceruk, tebing dan tangga sebelah selatan 192 m².
Simpulan
- Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di lapangan, maka dapat dikemukakan bahwa Candi Tebing Gunung Kawi (komplek lima) di Pura Gunung Kawi Tanpaksiring merupakan benda cagar budaya yang berasal dari masa sejarah yang perlu mendapat upaya pelestarian agar benda cagar budaya bisa bertahan lebih lama.
- Permasalahan utama yang dihadapi adalah terjadinya kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, dan pelapukan biotis.
- Sesuai dengan ketentuan UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Candi Tebing Gunung Kawi (komplek lima) di Pura Gunung Kawi Tampaksiring dan berbagai komponennya termasuk dalam kategori benda cagar budaya, sehingga keberadaannya perlu dirawat dan dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan.
- Saran dan Rekomendasi
- Mengingat pentingnya nilai arkeologi yang terdapat di Candi Tebing Gunung Kawi, maka perlu dilestarikan agar peninggalan tersebut terhindar dari kerusakan, kemusnahan dan kehilangan data aslinya.
- Diperlukan pembersihan secara rutin/secara berkala agar tinggalan arkeologi di Pura Gunung Kawi terhindar dari kerusakan atau pelapukan serta evaluasi konservasi dalam 5 tahun ke depan.
- Setiap upaya pelestarian yang dilakukan harus dikoordinasikan dengan baik kepada pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali,NTB dan NTT. Diharapkan pula agar selalu mengikut sertakan masyarakat dalam setiap pelaksanaan pelestarian terhadap peninggalan-peninggalan tersebut.