Desa Carangsari dengan ikon desa basis perjuangan, dimana tokoh pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai berasal dari desa ini, selain itu desa ini terdapat tempat wisata adventure yang cukup menantang. menurut data monografi desa Carangsari dan beberapa sumber sejarah berupa lontar-lontar yang tersimpan di Puri Agung Carangsari menjelaskan dimulai dari penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit dengan mengutus seorang arya bernama Arya Sentong. Pertempuran dilakukan di Padang Jerat Pusering Jagat yang merupakan salah satu Pura yang ada di Bali, yang kemudian menjadi hancur akibat pertempuran tersebut. Setelah mendapat kemenangan atas penaklukannya di Bali Arya Sentong mendirikan peristirahatan di Perean, Tabanan yang kemudian menjadi pusat pemerintahannya di Bali. Arya Sentong kemudian digantikan oleh keturunannya bernama I Gusti Ngurah Pacung Sakti. Mulai tahun 1320 pusat pemerintahkan dipindahkan ke Desa Payangan kemudian ke Desa Kembang Sari Bangli dan yang terakhir ke Munduk Gede.
Setelah Lama di Munduk Gede, masyarakat setempat meminta I Gusti Ngurah Pacung Sakti untuk pindah ke tempat yang lebih baik bernama Alas Padang Jerat tepat di sebelah barat Pura Pusering Jagat yang hancur akibat pertempuran Arya Sentong. Beliau kemudian mendirikan Kerajaan di sebuah desa yang disebut Desa Punging Puspa serta menata desa, persawahan, periangan dan lainnya termasuk memperbaiki Pura Pusering Jagat yang kemudian diganti namanya menjadi Pura Puseh Kangin karena Pura tersebut menghadap ke timur dan berada di sebelah timur Puri (kangin=timur). Lama kelamaan setelah desa menjadi makmur, tertata rapi, teratur, serta menjadi lebih besar maka Desa Punging Puspa diganti menjadi Desa Carangsari, karena memiliki arti yang sama dan lebih gampang penyebutannya, merupakan kehendak raja.
Berdasarkan sumber berupa tinggalan arkeologi yang ada di Pura Puseh Kangin Desa Carang Sari, Pura ini diperkirakan sudah ada jauh sebelum penaklukan Kerajaan Majapahit atas Bali. Terbukti dengan ditemukannya tinggalan arkeologi dari jaman prasejarah berupa fragmen sarkofagus, arca primitif, lumpang batu serta batu menhir yang dilihat dari karakteristik bentuk dan bahannya dapat dikategorikan menjadi tinggalan arkeologi dari jaman megalitikum.
Jaman megalitikum merupakan jaman pemujaan roh nenek moyang dengan media batu-batu besar sebagai sarananya. Dengan kompleksnya, studi megalitik sampai sekarang belum dapat diselesaikan dengan memuaskan. Walaupun demikian penelitian terhadap tradisi megalitik telah berhasil menjelaskan hal yang bersifat universal, antara lain ialah pemujaan terhadap roh nenek moyang (Gede, 2010: 46).
Di Bali hingga sekarang kepercayaan ini masih berlanjut dengan perubahan atau penyesuaian yang tidak mencolok. Tinggalan tersebut masih dianggap keramat dan difungsikan sebagai media pemujaan roh nenek moyang sehingga dapat dikatakan bahwa di berbagai situs yang memiliki tradisi megalitik yang masih difungsikan termasuk diantaranya di Pura Puseh Kangin Desa Carangsari di katagorikan sebagai living megalithic tradition (tradisi megalitik berlanjut).
Pura Puseh Kangin Carangsari telah di inventarisasi
- Nomor : 3/14-03/STS/10
- Koordinat : 50 L 0304874 UTM 9065364
- Ketinggian : 372 mdpl
Pura Puseh Kangin Carangsari merupakan pura genealogis yaitu pura yang disungsung/difungsikan oleh kelompok masyarakat Desa Carangsari secara turun temurun. Pura ini berlokasi di areal tegalan (kebun) dan persawahan yang jauh dari pemukiman penduduk, namun sangat mudah dijangkau karena adanya jalan raya beaspal yang dapat dilalui berbagai jenis kendaraan bermotor. Pura ini terdiri dari tiga halaman, yakni halaman utama (jeroan) yang merupakan pusat disimpannya tinggalan arkeologi dengan berbagai macam bangunan pendukung lainnya, halaman tengah (jaba tengah) yang terdapat bangunan berupa balai dan dapur (pewaregan suci), serta halaman luar (jaba) yang merupakan areal parkir, wantilan (aula), serta kamar kecil. Secara keseluruhan bangunan dalam kondisi baik.