Oleh: Kadek Yogi Prabhawa
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari sisa-sisa peninggalan masa lalu melalui benda-benda yang ditinggalkan oleh manusia pendukungnya. Hingga kini menurut pakar arkeologi, tujuan kajian arkeologi adalah mempelajari sisa-sisa peninggalan masa lalu untuk mengungkapkan kehidupan masa lalu, berusaha merekontruksi sejarah kebudayaan dan merekontruksi cara hidup masyarakat masa lalu serta merekontruksi proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972: 90).
Sisa-sisa peninggalan budaya dari masa prasejarah dikelompokkan dalam beberapa masa yaitu masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Pada masa bercocok tanam atau masa neolitik ini muncul tradisi budaya tersendiri yang dikenal dengan kebudayaan megalitik (Soejono dkk, 1993: 16-17).
Tradisi megalitik adalah bagian dari rangkaian kehidupan prasejarah di Indonesia. Megalitik berasal dari kata “mega” berarti besar dan “lithos” berarti batu. Tradisi ini muncul pada masa bercocok tanam sesuai dengan semakin berkembangnya sistem kepercayaan dan pemujaan terhadap nenek moyang. Tradisi ini tersebar luas di daerah Asia Tenggara dan sampai saat sekarang tradisi itu masih dipertahankan dan dipraktikkan oleh masyarakat suku tradisional di Indonesia. Dalam hal ini, prasejarah turut pula mewarnai sejarah prasejarah Indonesia.
Penelitian kepurbakalaan Bali tahun 1960-1963 yang dilakukan oleh R.P Soejono mengindikasikan bahwa sebelum kebudayaan Hindu berkembang di Bali, telah berkembang suatu kebudayaan prasejarah yang meliputi: paleolitik, opi-paleolitik, neolitik, perhubungan kebudayaan megalitik dan logam awal.
Kepercayaan masa bercocok tanam begitu kental dengan sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati, terumata kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejateraan dan kesuburan tanaman. Pada masa ini masyarakat memiliki kepercayaan bahwa roh orang tidak lenyap pada saat orang itu meninggal dan masih mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam kepercayaan pada masa bercocok tanam, upacara yang paling menonjol adalah upacara pada waktu penguburan. Dalam hal penguburan ini , situs Gilimanuk adalah situs yang lengkap dan luas di Pulau Bali. Pola penguburan bermacam-macam, dengan bekal kubur yang bermacam-macam pula, serta temuan sertanya yang bervariasi. Menurut Soejono dalam disertasi yang berjudul Sistem-sistem penguburan pada akhir masa prasejarah di Bali, Jakarta, 1977. Di situs Gilimanuk ada beberapa pola penguburan yaitu kuburan tanpa wadah baik sekunder maupun primer, kubur dengan tempayan dan sarkofagus.
Penguburan secara luas terdiri dari penguburan secara langsung (primer), tidak langsung (sekunder), wadah dan non wadah. Penguburan langsung (primer) dapat dilakukan di tempat yang sering dihubungkan dengan asal usul anggota masyarakat atau tempat yang dianggap tempat tinggal arwah nenek moyang. Dalam penguburan ini si mati dibekali dengan macam-macam keperluan sehari-hari yang dikubur bersama-sama atau seiring disebut dengan bekal kubur, benda-benda perunggu (gelang, tajak), benda-benda besi (pahat, mata tombak), manik-manik, periuk, dan kadang-kadang berupa perhiasan emas dengan maksud agar perjalanan si mati ke alam baka dan kehidupan selanjutnya terjamin dengan sebaik-baiknya. Penguburan tidak langsung (sekunder) dilakukan dengan mengubur mayat lebih dahulu dalam tanah atau kadang-kadang dalam peti kayu yang dibuat berbentuk perahu, yang ini dianggap sebagai kuburan sementara karena upacara yang terpenting dan berakhir belum dapat dilaksanakan. Setelah semua persiapan dalam upacara selesai, maka mayat yang sudah jadi rangka itu diambil lagi dan dikuburkan ditempat yang disediakan. penguburan dengan wadah dan tanpa wadah. Penempatan si mati dalam benda diatas adalah tindakan yang saling mengguntungkan antara si mati dan yang ditingkalkan, karena menjadi lambang perlindungan bagi manusia berbudi baik. Penguburan kedua adalah dengan menggunakan wadah dan terbuat dari batu, seperti: dolmen (Bondowoso, Lampung, Sumba), waruga (Minahasa), kalamba (Bada, Napu), sarkofagus (Bali), peti kubur batu (Pasemah, Kuningan, Bojonegoro, Gunung Kidul, Kalimantan Timur), kubur silindris (Dompu). Selain itu, ada juga yang terbuat dari bahan tanah liat yang berupa tempayan yang terdapat di Lewoleba, Lambanapu, Melolo, Anyer, Plawangan, Gilimanuk, Tile-tile, Bengkulu, Jambi serta ada juga wadah yang terbuat dari logam yaitu nekara perunggu misalnya tipe Heger I seperti di Plawangan, Lamongan, Traji dan Manikliyu. Kuburan tanpa wadah banyak terdapat di: tepi pantai seperti: Gilimanuk, Plawangan, Sanur, Gunung Wingki, Buni, Lewoleba, dalam gua seperti di Liang Bua. Namun, penguburan wadahlah yang masih bisa kita lihat buktinya sampai saat sekarang. Salah satu contoh wadah kubur yang terkenal di Bali adalah sarkofagus.
Sarkofagus merupakan sebuah wadah atau tempat kubur dari batu berbentuk seperti lesung batu yang terdiri dari wadah dan tutup dengan bentuk dan ukuran yang sama. Fungsi dari sarkofagus itu sendiri adalah sebagai kuburan, peti mayat atau wadah kubur baik untuk sementara waktu ataupun tidak. Setelah penggalian-penggalian dilakukan, sampai pada tahun 2009 telah ditemukan lebih dari 128 sarkofagus dari 12 lokasi/desa yang terbanyak dari Kabupaten Gianyar, termasuk Desa Keramas. Alam, manusia, dan kebudayaan disekitar Desa Keramas merupakan faktor yang saling berkaitan dalam perkembangan tradisi megalitik di Desa Keramas, dengan demikian perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai tinggalan tradisi megalitik tersebut, sehingga masalah-masalah yang terkandung di dalamnya perlu dipecahkan antara lain masalah arti adat penguburan sarkofagus di Desa Keramas.
Arti Religius Bentuk-bentuk Sarkofagus
Bentuk dasar atau bentuk pokok sarkofagus di Desa Keramas tanpa kita perhatikan tonjolan-tonjolannya atau hiasan-hiasan lainnya perlu pertama-tama kita perhatikan beberapa jenis sarkofagus memiliki bentuk yang mirib dengan perahu yang ruasnya runcing yaitu jenis-jenis berpenampang lintang. Vam Heekeren pernah mengajukan pendapat, bahwa sarkofagus mungkin disebarkan oleh orang-orang yang dulunya datang ditempat-tempat penyeberangan mereka dengan perahu dan jika meninggal, maka mayat mereka diletakkan dalam perahu-perahu yang ditempatkan di atas panggung. Kelak setelah pindah ke daerah-daerah pedalaman, mereka membuat peti-peti mayat kayu yang seringkali mirip dengan bentuk perahu serta ditempatkan pula di atas panggung kayu atau landasan-landasan lain. Bahan kayu ini lambat laun diganti oleh batu (Soejono, 1977: 130).
Seperti telah dikatakan tadi, beberapa jenis sarkofagus di Desa Keramas menyerupai bentuk perahu, akan tetapi jenis-jenis yang lain mempunyai bentuk yang menyimpang dari bentuk tersebut. Varisasi-variasi bentuk dasar sarkofagus ini merupakan hasil perkembangan yang telah jauh dari asal mula peristiwa migrasi yang lampau, akan tetapi bentuk-bentuk yang mirip kepada perahu membuktikan, bahwa ingatan akan peristiwa penting masa lalu itu masih melekat pada pendukung adat sarkofagus. Bentuk-bentuk seimetris yang dipilih untuk sarkofagus itu ialah karena tradisi kebudayaan perunggu, yang antara lain terkenal akan kekayaan pola-pola hiasan geometric, telah meluaskan diri dan menjadi ciri penting untuk masa itu. Corak geometrispun kita dapati pada bentuk sebagian sarkofagus di Desa Keramas seperti misalnya bulat/lingkaran, bujur sangkar/persegi panjang, dan sebagainya.
Penggunaan hiasan berbentuk kedok muka pada tonjolan sarkofagus di Desa Keramas memiliki fungsi yang dapat dibeda-bedakan yaitu (1) praktis, (2) dekoratif, dan (3) religius. Jika diperhatikan sarkofagus di Desa Keramas lebih banyak memiliki tonjolan-tonjolan yang berfungsi religius. Menurut R.P. Soejono tonjolan-tonjolan pada sarkofagus dapat dijelaskan berdasarkan fungsinya yaitu, Fungsi Praktis tonjolan yang dipahat dengan maksud menjadi alat bantu pada waktu pengangkutan. Golongan ini dapat dimasukkan ke dalam sarkofagus ke dalam tonjolan-tonjolan tebal. Korn pernah menyatakan bahwa sebuah tonjolan sarkofagus yang ditemukan di Busungbiu mempunyai aluran lebar sebagai bekas tempat tali (Korn dalam Soejono 2008: 74-75). Berdasarkan penelitian R.P. Soejono fungsi praktis dari tonjolan-tonjolan sarkofagus sukar dapat diterima, walaupun tonjolannya tebal, polos dan massif karena ukuran tonjolan tersebut jika dibandingkan dengan ukuran seluruh sarkofagus terlalu kecil dan jika dijadikan tempat pegangan tali, tonjolan-tonjolan akan patah karena tak kuat menahan seluruh berat wadah atau tutup sarkofagus. Bahan batu padas yang lembek termasuk faktor yang tidak mengizinkan tonjolan dipergunakan sebagai pegangan tangan atau tali. Ukuran dan letak tonjolan yang teratur dibagian-bagian tertentu pada wadah/tutup menyatakan bahwa tonjolan ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk pegangan akan tetapi mungkin untuk maksud-maksud lain, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa tonjolan-tonjolan dalam bentuk praktis (sebagai pegangan) akan tetapi kemudian dirubah coraknya untuk tujuan dekoratif atau religius pada saat penguburan dilakukan (Soejono, 2008: 75-76).
Fungsi dekoratif digambarkan oleh tonjolan-tonjolan gepeng berbentuk lukisan geometrik. Apakah bentuk-bentuk geometris ini mengandung sesuatu arti tertentu belum dapat dipecahkan dewasa ini. Lukisan-lukisan geometris, selain mempunyai fungsi dekoratif tanda-tanda geometris pada suku-suku bangsa tertentu diberbagai bagian dunia mengandung arti-arti sosial, geografis atau religius (Boas dalam Soejono, 2008: 76). Kemungkinan interpretasi pola geometris pada sarkofagus-sarkofagus Bali kearah ini masih menunggu kelengkapan bahan-bahan penelitian.
Fungsi religius dapat disimpulkan terhadap tonjolan-tonjolan berbentuk kepala atau topeng dan pahatan-pahatan “en-relief” tubuh manusia dengan tonjolan-tonjolan berbentuk kepala atau topeng dalam berbagai corak mengandung maksud yaitu untuk mencegah segala macam kekuatan jahat yang akan mengganggu arwah dalam perjalanannya ke alam baka. Muka dan mata manusia menurut kepercayaan universal mengandung kekuatan gaib terbanyak. Tubuh manusia pun dijadikan motif pahatan, karena badan manusia juga memiliki kekuatan-kekuatan gaib, sehingga bentuknya dipandang sebagai simbol roh orang yang meninggal.
Kompiang dalam tulisannya mengatakan bahwa keberlanjutan penggunaan hiasan motif kedok muka dan manusia sederhana masih dapat dijumpai sampai saat ini pada sesajen-sesajen atau banten di Bali. Motif-motif kedok muka dan manusia sederhana dalam sesajen upacara agama Hindu di Bali, dibuat dari bahan-bahan seperti daun janur, lontar, tepung, beras atau ketan. Mentimun, jantung pisang, pelepah kelapa, kain, dan kayu. Kadang-kadang motif tersebut diberi pewarna alami sesuai dengan warna yang diinginkan seperti dibuktikan dalam jejaritan janur dari bentuk sederhana yaitu sasap, dibentuk berupa torehan bagian mata, alis, mulut dab bagian rambut dipergunakan pada saat upaca pemelaspas bangunan baru atau dipasang pada peralatan senjata lainnya yang maksudnya supaya bangunan itu mempunyai kekuatan magis (Kompiang 2008: 144).
Bentuk kedok muka yang agak rumit, biasanya terdapat pada hiasan lamak dan sesajen gebogan. Dengan mempergunakan bahan-bahan seperti daun janur, lontar, dan enau, dirancang sesuai dengan bentuk yang dibutuhkan, kemudian dirakit berbentuk simbol kedok muka orang-orang yang sering disebut dengan cili. Cili-cili ini biasanya dilukiskan sebagai orang perempuan dengan muka lancip, daun telinga dihias dengan subang, hiasan kepala melebar, mata, hidung, dan kening bentuknya meruncing, pinggang ramping, kedua buah kakinya seakan-akan tertutup kain, tangannya dibuat kecil panjang. Cili ini tidak pernah berdiri sendiri dan biasanya selalu dikombinasikan dengan bentuk-bentuk banten (sesajen) lainnya, sebagai sarana untuk memohon keselamatan atau perlindungan dan kemakmuran bagi masyarakat (Kompiang, 2008: 144).
Perkembangan sarkofagus pada masa kini dapat dilihat dari penggunaan Bendusa sebagai sarana dalam upacara kematian di Bali. Bendusa berupakan saranatempat si mati (jenazah) yang dipakai masyarakat Hindu di Bali, yang mempunyai status sosial tinggi seperti raja dan pendeta (Ratnawati, 2008: 89-90). Bendusa ini secara umum dipakai oleh yang memiliki status sosial tinggi dan mempunyai kedudukan yang penting dalam masyarakat. Penggunaan bendusa pada saat sekarang sudah jarang ditemukan mengingat biaya yang dikeluarkan cukup besar (Ratnawati 2008: 86). Namun pada prinsipnya tingkatan upacara kematian mempunyai maksud dan makna yang sama yaitu menuju alam surge atau menuju Sang Hyang Embang.
Pembuatan bendusa sebelum dipahat dibuatkan sesaji. Setelah bendusa berbentuk perahu dibungkus dengan kain serta dihias. Setelah dihias bendusa diupacarai, sehari sebelum ke kuburan dengan tujuan membersihkan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada hari penguburan jenazah sudah dimasukkan ke dalam bendusa dengan posisi tubuh membujur. Pada saat akan kekuburan bnedusa ditaruh diatas bade (tempat jenazah berbentuk rumah-rumahan da nada tumpangnya). Bade diusung bersama-sama ke kuburan diiringi dengan gambelan. Di depan bade terdapat ogoh-ogoh yang masing-masing daerah di Bali mempunyai sebutan yang berbeda. Makna dari ogoh-ogoh tersebut sebagai penolak bala atau mempunyai nilai-nilai religius-magis yang terkandung di dalamnya atau sebagai pengantar arwah kea lam baka. Sesampai di kuburan bendusa diturunkan dari bade, lalu jenazah dimasukkan kedalam lembu sebagai wadah pembakaran. Jenazah setelah menjadi abu dibuang ke laut, rangkaian upacara dalam pengabenan mempergunakan simbol perahu sebagai kendaraan arwah, yaitu pada saat upaca mapegat maupun penganyutan (pembuangan abu jenazah) juga mempergunakan transportasi perahu sebagai pengantar rohnya ke alam baka (Ratnawati, 2008: 91). Hal ini menunjukkan bahwa di Bali perahu disamping berfungsi sebagai transportasi air juga berfungsi magis masih tetap bertahan sampai sekarang.
Tata Cara Penguburan Dengan Sarkofagus
Penguburan dengan sarkofagus rupa-rupanya diselenggarakan dengan tata cara dan upacara-upacara tertentu. Pada zaman perundagian tidak semua mayat dikubur dalam sarkofagus. Khusus golongan-golongan terkemuka dalam masyarakat waktu itu dapat mengecap perlakuan istimewa ini, sebab pembuatan sarkofagus dan pengangkutan bahan-bahannya memerlukan tenaga yang tidak sedikit. Terutama untuk tipe-tipe sarkofagus besar dan sedang diperlukan pengerahan puluhan tenaga manusia (Soejono, 2008: 80).
Yang dikubur dalam sarkofagus adalah orang-orang dewasa dan anak-anak. Penguburan anak-anak dalam sikap terlipat dibuktikan oleh sarkofagus-sarkofagus ukuran kecil serta berongga sempit. Penempatan sarkofagus yang umum ditemukan ialah dalam sikap terlipat. Sikap terlipat menurut Soejono (2008) dalam hubungan dengan adat penguburan sarkofagus ini, mengandung maksud memberi sikap kepada mayat seakan-akan si mati dalam keadaan siap untuk lahir kembali di dalam suatu kehidupan baru. Sikap terlipat dari mayat yang ditempatkan dalam sarkofagus dalam konteks adat penguburan sarkofagus di Desa Keramas mengarah kepada keinginan agar supaya si mati mengalami kelahiran kembali di alam arwah yang akan dicapainya dengan menempuh perjalanan dengan kapal dalam bentuk sarkofagus.
Pada umumnya sarkofagus di Bali berisi benda-benda bekal kubur yang disertakan pada mayat. Sebagian besar barang-barang tersebut terdiri dari benda-benda perunggu, manik-manik, fragmen-fragmen barang tanah bakar, benda-benda perunggu terdiri dari gelang (kaki, tangan, telinga), kapak/tajak upacara, rantai spiral, mata kalung, periuk, dan pelindung jari. Penyertaan bekal kubur, baik berupa perhiasan, senjata, maupun periuk-periuk dengan mayat adalah gejala universal dan gejala ini telah ditemukan sejak zaman berburu tingkat sederhana. Kepercayaan akan kelangsungan hidup di alam baka menghendaki agar kepada orang yang meninggal dibawakan serta dalam kuburnya bekal untuk kelangsungan hidupnya (James, 1957 dalam Soejono, 2008). Jenis dan jumlah bekal kubur tergantung kepada kemampuan keluarganya. Hal ini dapat disaksikan pada sarkofagus, bekal kubur kadang-kadang hanya terdiri dari beberapa gelang perunggu dan periuk atau beberapa bekal kubur lainnya.
Arah atau orientasi sarkofagus pada umumnya ialah dengan bidang depan (sisi letak kepada mayat) berada di sebelah puncak pegunungan atau puncak bukit. Orientasi sarkofagus atau penempatan kepala si mati di arah puncak-puncak bukit atau pegunungan menunjukkan suatu segi kepercayaan para pendukung adat sarkofagus, yaitu bahwa daerah puncak gunung merupakan tempat tujuan arwah atau dianggap sebagai dunia arwah. Arah sarkofagus-sarkofagus telah menyatakan, bahwa para penduduk adat sarkofagus mengikuti ketentuan penempatan kepala mayat di sisi gunung atau pegunungan yang dipandang sebagai tempat tinggal arwah, tetapi tentang arah hadap adat muka (seperti ke atas atau kesamping) tidaklah dipentingkan. Maka di lingkungan pendukung adat sarkofagus, di antara saat seseorang meninggal, dalam hal ini khusus bagi golongan terkemuka dalam kelompok masyarakat, sampai mayatnya dikubur dalam sarkofagus, mungkin sekali ada kegiatan serta upacara-upacara pendahuluan, yang kemudian disusul oleh upacara pemakaman jika sarkofagus telah selesai dikerjakan, danakhirnya diadakan upacara penutupan (Soejono, 2008: 85-87).
Arti Adat Sarkofagus dalam Kesenian
Di bidang kesenian, khusus seni pahat, seni menuang perunggu dan seni gerabah, tampak suatu kegiatan yang telah meningkat pada zaman itu. Kebiasaan menggunakan batu padas dewasa ini untuk mendirikan bangunan atau untuk memahat benda-benda lainnya, sebenarnya telah berkembang pada zaman pembuatan sarkofagus. Sarkofagus-sarkofagus pada umumnya dipahat dengan batu padas, kecuali ditempat-tempat yang tidak ada bahan tersebut.
Walaupun terdapat gaya-gaya tersendiri di daerah-daerah tertentu, namun pemahat-pemahat terikat oleh unsur-unsur formal, yang menghendaki keseragaman (misalnya tutup dan wadah harus sama dan sebangun dan lain sebagainya) dan oleh cita-cita religius yang bertujuan memberikan kelangsungan kehidupan pada arwah leluhur serta memuja arwah leluhur untuk memohon perlindungan mereka. Ikatan antara yang mati dan yang masih hidup dapat dilihat pada corak tonjolan kepala. Raut-raut muka menunjukkan variasi-variasi dari pancaran yang kaku sampai kepancaran yang penuh ekspresi.
Unsur formal, disertai penguasaan tehnik pemahatan dan kemudian dibubuhi dengan variasi-variasi pada bentuk mulut (tersenyum, terngaga, mengeluarkan lidah, melawak dengan bibir) yang disesuaikan dengan perasaan para pemahat, telah menciptakan buah pahatan yang mengandung seni (artistic value). Keleluasaan dalam pengaturan seni semacam ini telah menjadi dasar seni pahat di Bali kemudian hari. Suatu hal yang patut dikemukakan ialah, bahwa pahatan tonjolan kepala dengan muka melawak adalah bentuk proto-tipe tokoh-tokoh Merdah, Twalen dkk. Kesaktian tokoh-tokoh tersebut yang selama ini dipandang sebagai survival dewa-dewa Indonesia asli, dapat pula disimpulkan terhadap tonjolan-tonjolan bentuk kepala (atau kedok) pada beberapa sarkofagus. Dengan kata lain dapatlah diduga, bahwa tokoh-tokoh pelawak sakti yang terkenal dalam cerita-cerita kepercayan beberapa suku bangsa (Jawa dan Bali), pada fase pertamanya adalah arwah seorang berkuasa, yang penuh kekuatan gaib dan dengan kesaktiannya ini menjadi pelindung umat masyarakat (Soejono, 2008: 88).
Pada zaman sarkofagus ini, di Bali telah memiliki kemahiran telah memiliki kemahiran menuang barang-barang perunggu. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan fragmen-fragmen cetakan batu untuk menuaang nekara-nekara perunggu dan bermacam-macam perhiasan atau benda-benda upacara, yang jika ditilik bentuk-bentuknya yang khas memberikan alas an pendapat, bahwa benda-benda perunggu umumnya telah dapat dapat dihasilkan di Bali sendiri. Benda-benda yang unik di antara benda-benda yang dihasilkan pada zaman kebudayaan perunggu ialah nekara tipe pejeng, tajak-tajak upacara, pelindung jari-jari dan lain sebagainya. Banyaknya benda perunggu yang berbentuk khas Bali adalah suatu buktu daya kreasi yang dinamis. Seni gerabah pada zaman ini tidak menunjukkan hasil-hasil yang berarti. Barang, gerabah kebanyakan ditemukan berupa fragmen, berwarna kemerahan dan pada umumnya polos. Gerabah dengan pola hias dengan pola bekas kain tenun yang dicap, garis-garis miring, garis berliku-liku dengan garis-garis miring yang digores, dan terdapat pola jarring yang ditera. Ciri-ciri lain dari tembikar-tembikar ialah bahwa permukaanya tidak diupam, dasarnya bulat dan teknik pembuatannya ialah dengan mempergunakan tangan atau dengan teknik batu.
Simpulan
Tinggalan tradisi megalitik di Desa Keramas yang terkait dengan arti adat penguburan sarkofagus yang merupakan sebuah konsep kepercayaan/religi yang memiliki hubungan yang kuat dengan masyarakat dan sebagai bentuk keberlanjutan tradisi megalitik yang masih hidup setelah mendapat pengaruh Hindu. Fungsi sebagai media penghormatan kepada arwah nenek moyang dan kepercayaan terhadap kekuatan gaib diperlihatkan pada bentuk, motif, dan tata cara penguburan dalam sarkofagus. Keberlangsungan perkembangan dari sarkofagus pada masa pengaruh Hindu masih dapat dilihat saat ini pada bentuk-bentuk bendusa yang merupakan sarana tempat si mati yang dipakai masyarakat Hindu di Bali. Jenasah yang ditempatkan pada bendusa mempunyai status sosial tinggi seperti raja dan pendeta. Perkembangan bentuk-bentuk hiasan kedok muka sarkofagus terlihat pada bentuk-bentuk hiasan banten tradisi Hindu di Bali seperti bentuk cili, lamak, sasap, gebogan, dan lain sebagainya yang terbuat dari janur, lontar, tepung, beras atau ketan, mentimun, jantung pisang, pelepah kelapa, kain, dan kayu sebagai sarana untuk upacara pemelaspas dan upacara agama Hindu lainnya di Bali.
Penguburan dengan sarkofagus rupa-rupanya diselenggarakan dengan tata cara dengan upacara-upacara tertentu. Sikap terlipat beserta dengan bekal kubur dalam hubungan dengan adat penguburan sarkofagus ini, mengandung maksud memberi sikap kepada mayat seakan-akan si mati dalam keadaan siap untuk lahir kembali di dalam suatu kehidupan baru. Di bidang kesenian menunjukkan nilai seni tinggi dan menguasa tehnik pemahatan yang dimiliki oleh masyarakat pendukung kebudayaan pada saat itu yang menghasilkan hiasan tonjolan pahatan kedok muka pada sarkofagus.
Daftar Pustaka
Binford, Lewis R. 1972. Archeological Perspective. New York : Seminar Press.
Soejono, R. P. 2008. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayan dan Pariwisata.
__________. D.D. Bintarti, Hendari Sofion, I Made Sutaba, T. Jacob, S. Sartono, Teguh Asmar, 1993. “Jaman Prasejarah di Indonesia”, Sejarah Nasional Indonesia I. ed. Ke-4 (Eds. Marwati Djoned Pusponegoro, Nugroho Notosusanto), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
__________. 1977. Sistim-sistim Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Jakarta: Disertasi.
Kompiang Gede, Dewa. 2008. “Kedok Muka Merupakan Aspek Religi Yang berkesinambungan di Bali”. Forum Arkeologi, No. I. Mei: 107-118.
Ratnawati, I gst. A. A. Mas. 2008. “Bendusa Kesinambungan Budaya Prasejarah di Bali”. Forum Arkeologi. No. I, Mei: 85-93.
Wisnu Saputra, Kadek. 2015. Tinggalan Tradisi Megalitik di desa Keramas Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar. Skripsi. Denpasar: Universitas Udayana.
“KYP”