Perkembangan Seni Arca di Bali

0
9919

Kesenian jaman klasik meliputi arsitekturnya dengan reliefnya, terdiri dari seni rupa, baik seni pahat, seni arca, seni lukis, dan sebagainya. Dari kesemuanya ini asitektur atau percandian dan seni arca memegang peranan yang besar. Dalam garis besarnya, perkembangan seni arca klasik dapat dibagi atas beberapa zaman yaitu arca tertua berupa 2 buah arca wisnu dari cubuaya yang berasal dari abad 7 – 8 M, kedua arca wisnu ini mempunyai mahkota berbentuk kerucut seperti yang didapatkan dikamboja pada zaman pre-angkor lengkap dengan laksananya, bedanya mahkota arca Wisnu Kamboja berbentuk polos dan di Cibuaya diberi hiasan. Arca-arca gaya Jawa Tengah sekitar abad 8 – 9 M, yang berpusat disekitar dieng dan daerah pantai utaranya, sifat agamanya siva, pada bekas pesanggrahan Dieng terkumpul arca-arca yang berasal dari tempat sekitarnya, berupa arca-arca dewa, kadang-kadang dengan wahananya. Wahana ini mempunyai bentuk khas karena dibuat dalam bentuk anthropomorfis, ialah berbentuk manusia yang duduk bersila dan berkepala lembu, garuda dan lainnya. Arca-arca masa kejayaan budhisme abad 9 – 10 M, yang terdapat di Jawa Tengah bagian Selatan, ditandai oleh arca-arca budha dan bodhisattwa yang kolosal dan indah, di Borobudur, mendut, kalasan dan sebagainya. Arca-arca dari abad ke 10 – 11 M yang terdapat dijawa timur pada zaman erlangga, misalnya arca pancuran di Belahan dan arca pancuran di Goa Gajah, Bali masih menampakkan pengaruh dari jawa tengah, arca perwujudan raja Erlangga yang mengendarai garuda telah memperlihatkan ciri khas Jawa Timur, ialah dengan digambarkannya garuda dalam ukuran besar, bersama-sama dengan naga dalam cengkramannya. Arca-arca zaman Singhasari dari abad 13 M, meskipun air mukanya masih menampakkan pengaruh klasik awal, unsur-unsur Jawa Timurnya telah nyata : proposi badan arca, pohon teratai yang mengapit arca, rambut ikal dikiri kanan kepalanya, mahkota dengan hiasan pita dan kain yang diberi motif semacam kawung atau jlamprang, arca-arca dari zaman ini sebagian besar terdapat dicandi singasari, kidal dan jago. Arca-arca Majapahit awal, sebagian berupa arca penjenasahan, antara lain arca raja krtarajasa yang dirupakan sebagai siwa dengan laksana Wisni Raut mukanya sudah menunjukkan sifat Indonesia, misalnya kelopak matanya yang tebal, hiasan teratai dikiri dan kanan arca diletakkan dalam sebuah guci, seperti pada arca gunung gombeng. Arca Majapahit akhir arca ini bersifat kaku, disekelilingnya dihiasi dengan prabha yang biasa disebur surya Majapahit, pada raut mukanya terlihat pengaruh cina, memakai sumping yang berbentuk sayap,arca seperti ini dapat dilihat di candi sukuh, dan candi dieng, di Bali dapat dilihat di Pejeng yaitu arca bima (bhairawa) di pura Kebo Edan.

Perkembangan Seni Patung di Bali

Unsur seni patung di Indonesia dapat dilihat pada zaman Neolithikum, pada masa ini seni bersifat simbolis dimana bentuk patung-patung digambarkan tidak proposional, hanya menonjolkan salah satu bagian tubuh seperti alat kelamin dan lainnya, dan sering sekali bagian tubuh yang kurang penting ditiadakan dalam pembentukkannya.

Pada masa klasik dimana yang dimaksud masa klasik Indonesia adalah suatu masa pada saat tumbuh suburnya kebudayaan Hindu-Indonesia, terutama di Jawa, Bali dan Sumatera. Hasil karya seni pada masa klasik lebih bersifat keagamaan, dalam arti ciptaan seninya dipersembahkan kepada dewa. Sebagai hasil karya pada masa klasik, seni arca Indonesia lebih menampilkan dan memancarkan ekspresi dari dalam, ekspresi spiritual yang agung dalam suasana tenang dan menganut aliran idealistik.

Berdasarkan ciri-cirinya, arca-arca kuno dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu arca dewa dan arca bukan dewa.

Arca dewa : Arca dewa adalah arca yang mempunyai laksana (tanda atau ciri) tertentu yang menurut ikonografi Hindu-Budha merupakan ciri dewa, seperti misalnya ardhacandrakalpala (bulan sabit dan tengkorak) yang merupakan laksana dewa Siwa, dan sangkha (kerang) yang merupakan laksana dewa Wisnu. Arca dewa yang ditemukan di Bali meliputi dewa-dewa baik dari golongan pantheon Hindu maupun Budha. Dari phanteon Hindu antara lain Siwa, Durga, Ganesha, Wisnu, dan Caturkarya. Sedang dari phanteon Budha yaitu Padmapani, Amoghapasa, dan Hariti.

Arca “bukan dewa” : Arca bukan dewa adalah arca yang tidak mempunyai laksana tertentu yang merupakan ciri dewa Hindu maupun Budha. Yang termasuk kelompok ini adalah arca penjaga, arca pendeta, arca tidak beratribut dewa yaitu pakaian dan perhiasannya mirib dengar arca dewa tetapi tidak mempunyai laksana tertentu yang dapat dihubungkan dengan salah satu dewa. Dalam penelitian-penelitian yang pernah dilakukan beberapa di antara arca tidak beratribud dewa ini dianggap sebagai arca perwujudan .

Bagaimana perkembangan seni pahat di Bali dan perkembangannya, secara kronologis perkembangannya sebagai berikut.

  1. Periode hindu Bali (abad VIII – X )

Karakter arca pada periode ini terlihat lemah lembut, kegemuk-gemukan, bersikap tenang, mata setengah terbuka, pandangan mengarah keujung hidung. Ciri arca semacam ini misalnya dapat dijumpai dalam stupika-stupika tanah liat yang banyak didapatkan disekitar desa pejeng dan Blahbatuh, Gianyar. Konteksnya dengan daerah lain, tidak dapat dipungkiri bahwa seni arca di Bali saat itu mendapat pengaruh seni klasik Jawa tengah.

  1. Periode Bali Kuna (abad XI-XIII)

Ketika Bali memasuki zaman Bali Kuna, di Jawa terjadi perubahan pusat peradaban, yaitu dari Jawa Tengah ke Jawa timur. Gaya seni arca Bali saat itu, dalam beberapa komponen arca masih menunjukkan  gaya Jawa Tengah, seperti diperlihatkan oleh arca-arca pancoran dari Goa Gajah, Bedulu.

Dalam periode Bali Kuna ini, kepala arca mulai dihiasi dengan sejenis makuta berupa susunan kelopak bunga teratai yang disusun sedemikian rupa makin keatas makin mengecil. Model makuta ini berkembang sampai periode-periode berikutnya.

Dalam periode berikutnya juga muncul gaya kekaku-kakuan, berdiri tegap (samabangga), badan lurus kaku dari atas kebawah, berkain tebal tergantung berat dipinggang ke pergelangan kaki, seperti telihap pada arca perwujudan di Pura Gunung penulisan Kintamani. Di Jawa Timur yaitu pada masa Majapahit.

  1. Periode Bali Pertengahan (abad XIV-XIX)

Telah disebutkan diatas bahwa arca yang bercirikan kekaku-kakuan telah berkembang di Bali sejak abad XI dan masih berlangsung sampai abad XVI, sedangkan di Jawa Timur baru mulai pada zaman Majapahit. Karena itu, dalam hal ciri kekaku-kakuan, Bali tidak dipengaruhi oleh Majapahit, tetapi dari segi lainnya seperti ragam hias arca Majapahit mempengaruhi Bali. Ragam hias yang dimaksud adalah penggunaan motif ronronan di kanan dan kiri mahkota dan bentuk mahkota berupa cecandian dengan petitisan yang lebar.

Pada abad XVI-XVII muncul kecenderungan makin berkurangnya produksi arca kekaku-kakuan yang berdiri tegak samabangga, diganti dengan sikap arca yang kakinya ditekuk (abangga), atau sikap yang menunjukkan dalam keadaan bergerak, hiasan kepala arca juga makin bervariasi dalam bentuk kekendon, pepudakan, cecandian dan lain sebagainya. Contoh arca pada abad XVI-XVII ini dapat dilihat dalam pura-pura yang berasal dari abadtersebut adalah pada Pura Sad Kapal, Pura Uluwatu, dan Pura Taman Sari Klungkung.

  1. Periode Bali Modern (abad XX)

Dari segi gaya dan motif-motif hias, arca-arca Bali Modern mendapat pengaru dari periode Bali Pertengahan abad XVI-XVII dan dari segi konsep ikonografi, mendapat pengaruh dari periode Hindu Bali, yang disana-sini diberi improvisasi, disamping memang ada muncul sejumlah hal baru yang bersifat inovatif.

Hal-hal yang Nampak inovatif dari karya seni pahat Bali Modern dapat diketahui dari beberapa kasus yang terjadi, antara lain pemahatan arca Siwa dan Ganesa dari daerah Singabadu, Batubulan dan Celuk. Kasus arca Siwa ini diwujudkan membawa sabit. Dari sumber manapun yang pernah ditulis tidak ada arca siwa yang menyebutkan dewa Siwa membawa sabit, tapi dari sipemahat mempunyai alasan bahwa arca Siwa yang membawa sabit berasosiasi dengan pengembala sapi, ,  dimana dewa Siwa pada saat menguji kesetiaan istrinya dan menyamar menjadi pengembala sapi. Sedangkan untuk kasus arca ganesa, dimana arca ganesa dipahatkan membawa pustaka dan atribut yang baru lainnya tetapi tidak ada kaitannya dengan masa lalu.

DAFTAR PUSTAKA

Sapta Jaya, I.B dan Redig, I Wayan. Pertumbuan Seni Patung di Indonesia. Denpasar.

Sri Soejatmi Satari. 1975. Senirupa Dan Arsitektur Zama Klasik di Indonesia. Kalpataru.

Rumbi Mulia. 1977. Beberapa Catatan Tentang Arca-arca yang disebut Arca tipe Polinisia. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jilid VII, No.2, 1977. Halaman 15-34. Jakarta : bhratara.

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid III. Jakarta : Penerbit Yayasan Kanisus.