Latar
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu Kabupaten di Pulau Bali yang kaya akan berbagai sumberdaya arkeologi yang terdapat hampir di seluruh pelosok wilayahnya. Tinggalan arkeologi merupakan sumber informasi yang mengandung pesan dan kesan yang merupakan produk warisan nenek moyang dilandasi oleh pengetahuan, teknologi, tradisi dan kehidupan spiritual masa lampau yang penting dalam kepribadian suatu bangsa, karena tinggalan arkeologi khususnya yang berupa tinggalan material atau benda-benda budaya memegang peranan penting dalam proses kehidupan manusia. Dalam tinggalan material terkandung nilai-nilai luhur yang berhubungan dengan ideologi, teknologi, sosiologi dan lain-lain. Nilai–nilai luhur tersebut harus dijaga kelestariannya demi kepentingan generasi penerus karena nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang, sangat penting sebagai cermin kehidupan masa kini yang dapat menjaga ketahanan nasional bangsa yakni persatuan dan kesatuan bangsa serta memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Cagar budaya yang terdapat di wilayah Kabupaten Gianyar populasi terpadatnya didapati di wilayah DAS Pekerisan dan Petanu, terutama di Desa Bedulu dan Pejeng. Hal ini termuat dalam hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia. Selain dikedua desa tersebut di atas, wilayah lain di Kabupaten Gianyar yang memiliki populasi cagar budaya cukup banyak adalah Kecamatan Sukawati. Gapura Kuna Canggi, Hyang Tiba, Pura Puseh Desa Batuan, Candi Wasan merupakan cagar budaya dari masa abad XIII – XIV Masehi yang terdapat di wilayah Kecamatan Sukawati. Selain itu masih ada Pura-Pura lain yang memiliki potensi cagar budaya yang beraneka ragam jenisnya di wilayah Kecamatan Sukawati. Satu dari Pura tersebut adalah Pura Erjeruk yang terletak di Banjar Gelumpang, Desa Sukawati. Pura Erjeruk dalam catatan sejarah Bali disebutkan merupakan Pura yang sempat disinggahi oleh Bhagawanta dari Kerajaan Gelgel pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, yaitu Danghyang Niratha pada abad XVI Masehi.
Sebagai sebuah Pura kuna, Pura Erjeruk memiliki beberapa cagar budaya yang memiliki nilai historis tinggi, baik itu berupa cagar budaya bergerak maupun cagar budaya tidak bergerak. Cagar budaya tidak bergerak yang terdapat di Pura Erjeruk adalah sebuah struktur cagar budaya dalam bentuk Kori Agung. Kori Agung Pura Erjeruk merupakan pintu utama untuk menuju ke areal utama mandala Pura. Mengingat akan nilai dan fungsi penting serta kondisi terkini Kori Agung Pura Erjeruk yang telah mengalami beberapa gejala kerusakan dan pelapukan, maka Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali memprogramkan kegiatan Studi Teknis Arkrologi terhadap Kori Agung tersebut. Studi Teknis Arkeologi adalah suatu bentuk studi untuk merekam data penting yang berkenaan atau berhubungan dengan suatu bangunan atau struktur cagar budaya. Adapun data yang dikumpulkan dalam kegiatan Studi Teknis Arkeologi melipuit data sejarah, data arkeologi, data teknis, data keterawatan dan data lingkungan. Keseluruhan data tersebut kemudian akan diolah dan dianalisa menjadi sebuah bentuk rencana program sebagai dasar atau acuan dalam melaksanakan upaya pelestarian terhadap suatu bangunan atau struktur cagar budaya dalam bentuk pemugaran.
Letak dan Lingkungan
Pura Erjeruk secara administrasi terletak di Banjar Gelumpang, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Orbitasi untuk mencapai Pura Erjeruk dapat dijangkau dengan mudah, karena berada tidak jauh dari jalan by pass Denpasar-Kusamba (± 500 meter ke arah selatan). Dari Kota Denpasar berjarak sekitar 18 km ke arah timur, sedangkan dari pusat Desa Sukawati berjarak sekitar 4,5 km ke arah tenggara. Pura Erjeruk berada di wilayah dataran yang dekat pantai dengan ketinggian berkisar antara 0 – 125 meter di atas permukaan air laut. Kemiringan lereng di wilayah sekitar Pura Erjeruk berkisar diangka 0 – 15 %.
Letak astronomis Pura Erjeruk berada di koordinat 080 36’ 87” LS dan 1150 18’ 50” BT dengan geotopografi wilayahnya adalah wilayah persawahan yang subur. Pura Erjeruk sendiri berada di wilayah Subak Cengcengan. Sedangkan secara keseluruhan Pura Erjeruk diemong oleh 13 subak yang ada diseluruh wilayah Sukawati. Pola aliran sungai yang berkembang di wilayah sekitar Pura Erjeruk, seperti halnya hampir sebagian besar wilayah tengah Pulau Bali adalah subpararel, dengan wilayah sungai yang sangat curam. Tanah di wilayah ini memiliki tekstur halus-sedang dengan warna coklat tua. Batuan dasar di wilayah ini merupakan hasil aktivitas Gunung Agung dengan komposisi breksi gunung api, lava dan tuff yang terbentuk pada kala Holosen. Proses geomorfologi yang terjadi di wilayah ini sebagian besar merupakan proses erosi, trasnportasi dan sedikit pengendapan. Penggunaan lahan yang nampak di wilayah ini adalah sebagai persawahan dan tegalan.
Lokasi Pura Erjeruk yang dekat dengan pantai, kira-kira berjarak 300 meter dari bibir pantai dan lingkungan yang dikelilingi oleh areal persawahan, memiliki hubungan/korelasi terhadap keberadaan Kori Agung yang terdapat di jeroan Pura. Mengingat fluktuasi suhu yang cukup ekstream belakangan ini membuat penguapan air laut dan air sawah berlangsung secara cepat. Hal ini ditambah dengan hembusan angin yang cukup kencang akan membuat endapan-endapan garam terlarut bisa sampai ke permukaan Kori Agung Pura Erjeruk, dan ini merupakan satu faktor penyebab timbulnya gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada Kori Agung.
Struktur Pura Erjeruk Sukawati
Umumnya halaman atau mandala pura terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jaba sisi (nista mandala), jaba tengah (madya mandala) dan jeroan (utama mandala). Pembagian atas tiga halaman ini didasari atas konsep Triloka. Jaba sisi (nista mandala) dilukiskan sebagai Bhurloka yang dihubungkan dengan alamnya bhuta dan kala. Jaba tengah (madya mandala) dihubungkan dengan Bwahloka yang berkaitan dengan alam manusia dan jeroan (utama mandala) dihubungkan Swahloka yang berkaitan dengan alam para dewa beserta roh suci para leluhur (Rata, 1985:15). Intisari dari konsep ini adalah adanya perbedaan kesucian dari masing-masing halaman pura tersebut. Jeroan (utama mandala) lebih suci dari jaba tengah (madya mandala) dan jaba tengah (madya mandala) ini memiliki tingkat kesucian yang lebih tinggi dari jaba sisi (nista mandala). Berdasarkan anggapan tersebut maka pada umumnya jeroan (utama mandala) memiliki posisi yang lebih tinggi dari jaba tangah (madya mandala) dan jaba sisi (nista mandala). Untuk meniggikan jeroan (utama mandala) dari halaman yang lainnya dipergunakan undakan. Pembagian halaman pura ini mengingatkan kita akan bangunan teras berundak yang merupakan bangunan pemujaan pada masa prasejarah. Ditambah lagi dengan adanya orientasi ke arah gunung semakin menegaskan akan hal ini. Sehingga secara umum konsepsi punden berundak adalah merupakan konsepsi dasar arsitektural dari bangunan Pura yang ada di Bali (Rata, 1979 :16).
Pembagian halaman pura yang memanjang ke belakang, dengan halaman yang posisinya terletak paling belakang merupakan halaman paling suci mengingatkan pada pembagian stuktur halaman Candi Penataran yang ada di Jawa Timur. Halaman Candi Penataran juga terbagi menjadi tiga halaman, yang memanjang dari barat laut ke tenggara dan halaman terakhir dimana terletak candi induk merupakan bangunan yang paling suci. Dalam Lontar Kusumadewa disebutkan bahwa sistem pendirian pura-pura adalah serupa dengan sistem pendirian bangunan candi-candi di Majapahit. Bahkan di daerah Trowulan didapatkan relief yang serupa dengan bentuk pura-pura maupun bentuk bangunan meru.
Pembagian halaman pura selain terdiri dari tiga halaman, juga ada pura yang memiliki dua halaman. Goris dalam tulisannya yang berjudul Bali Atlas Kebudayaan menyebutkan bahwa pembagian halaman pura yang terdiri dari dua bagian ini mempunyai hubungan atau kaitan dengan dua hal yang berbeda (rwa bhineda), seperti dunia atas berlawanan dengan dunia bawah, gunung berlawan dengan laut dan yang lainnya (Goris, t.t. : 36). Pendapat mengenai pembagian halaman pura yang menyerupai dengan pendapat Goris juga diungkapkan oleh Tim Peneliti Arsitektur Bali yang menyebutkan pembagian halaman pura yang terdiri dari dua bagian merupakan lambang dari alam bawah (pertiwi) dan alam atas (akasa). Pembagian halaman pura yang terdiri dari dua halaman maupun satu halaman dapat pula karena pengaruh lingkungan geografis. Dalam hal ini diperkirakan karena luas areal tanah pura tidak memungkinkan untuk dibangunnya pura dengan tiga halaman, atau mungkin karena potensi penduduk yang menyungsung sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk mengelola pura yang terlalu besar. Dengan demikian apabila halaman pura hanya terdiri dari dua atau satu halaman maka bangunan di halaman pertama dan kedua biasanya digabungkan menjadi satu (Mantra, 1961 : 3). Pura yang memiliki tiga halaman biasanya antara jaba sisi (nista mandala) dan jaba tengah (madya mandala) dihubungkan dengan candi bentar, sedangkan antara jaba tengah (madya mandala) dengan jeroan (utama mandala) dihubungkan dengan sebuah bangunan kori agung. Demikianlah sedikit gambaran secara umum tentang pembagian struktur Pura secara umum.
Berpijak dari uraiaan tentang struktur Pura seperti disebutkan di atas, maka berikut ini akan diuraikan sedikit tentang struktur Pura Erjeruk. Secara struktur Pura Erjeruk terdiri atau terbagi menjadi tiga halaman ditambah dengan satu komplek Pura Masceti yang lokasinya di sisi utara jaba tengah. Pura Masceti merupakan Pura tersendiri dengan pengemong yang berbeda dengan pengemong Pura Erjeruk. Beberapa pelinggih yang terdapat di areal Pura Masceti adalah : Pelinggih Ratu Ngurah, Gedong Penyimpenan, Peliggih Limas, Pelinggih Catu, Pengaruman, Piyasan, Pelinggih Ratu Ngurah Anom, Bedugul dan dua buah Apit Lawang yang terdapat di depan Candi Bentar. Bagaimana hubungan antara Pura Masceti dengan Pura Erjeruk kiranya masih perlu dilakukan penelitian yang lebih jauh, karena dari keterangan yang didapat dari prajuru Pura selama pelaksanaan Studi Teknis Arkeologi ini belum dapat dipastikan kebenarannya.
Sesuai dengan uraian tersebut di atas, dimana Pura Erjeruk terdiri dari tiga halaman/mandala, dimana di masing-masing halaman tersebut terdapat bangunan dan pelinggih. Berikut ini adalah bangunan dan pelinggih yang terdapat di masing-masing mandala Pura Erjeruk :
- Jaba Sisi
- Wantilan
- Apit Lawang
- Apit Lawang
- Pelinggih Sumur
- Perantenan
- Bale Kulkul
- Panggungan
- Pelinggih Teken
- Pelinggih Ratu Kadek
- Pelinggih Ratu Mas Gede Mecaling
- Jaba Tengah
- Bale Gong
- Bale Patok
- Bale Patok
- Bale Pekaseh
- Pelinggih Ratu Penganten
- Pelinggih Ratu Brayut
- Jeroan
- Padmasana
- Pelinggih Limas
- Pelinggih Ida Bhatara Danghyang Nirarta
- Pelinggih Ida Bhatara Putrajaya
- Menjangan Seluang
- Pelinggih Ratu Ngurah Agung
- Sapta Petala
- Paingkupan
- Bale Peselang
- Bale Pewedan
- Bale Gong
- Bale Pelik
- Pengiyasan
- Lumbung
- Pelinggih Ratu Ngurah Anom
- Penyawangan Batukaru
- Pesimpangan Pura Luhur Uluwatu
- Catu
- Padmasari Pesimpangan Ulun Danu Batur
- Pelinggih Tirta
- Pengaruman
- Pelinggih Widyadara
- Pelinggih Widyadari
- Pekoleman Anak Lingsir
Keseluruhan areal Pura Erjeruk dikelilingi oleh tembok keliling (penyengker) yang terbuat dari batu hitam (andesit) dan juga masing-masing halaman, antara jaba tengah (madya mandala) dan jeroan (utama mandala) dibatasi dengan tembok pembatas yang juga terbuat dari struktur batu hitam (andesit).
Data Sejarah
Untuk dapat mengetahui sekilas tentang Pura Erjeruk dapat diketahui dari lontar yang berjudul Pemargin Dnghyang Nirartha di Bali. Isi lontar ini menyebutkan pada sekitar abad ke-16 Masehi tatkala pemerintahan Sri Aji Waturenggong di Kerajaan Gelgel, datanglah di Bali seorang pendeta bernama Danghyang nirartha. Masyarakat Bali lebih mengenal beliau dengan sebutan Pedanda Sakti Mawu Rauh. Setelah lama berkelana di Bali beliau diangkat oleh Dalem Waturenggong sebagai Bhagawanta dan sekaligus penasehat raja (Dalem). Danghyang Nirartha sebagai rohaniawan sangat senang melakukan tirtayatra sambil menyebarkan ajaran Agama Hindu. Ketika beliau melakukan tirtayatra menyusuri pantai selatan Pulau Bali, maka pada tengah hari yang terik tibalah beliau di lokasi Pura Erjeruk. Indahnya pemandangan laut di pantai selatan membuat Danghayng Nirartha berkenan tinggal beberapa lama di sana. Kepada penduduk setempat beliau mengajarkan ajaran agama dan sistem bercocok tanam (ngertamasa).
Suatu ketika, Danghyang Nirartha meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalan suci (tirtayatra). Penduduk sangat berat hati dan sedih mendengar keputusan beliau. Sebagai lambang ikatan bathin antara kedua belah pihak, belaiu berkenan mendirikan sebuah bangunan suci Meru Tumpang Tiga di Pura Erjeruk. Meru tersebut hingga sekarang masih dikeramatkan dan diyakini oleh masyarakat Desa Sukawati dn sekitarnya merupakan stana/tempat pemujaan roh suci Danghyang Nirartha.
Data Arkeologi
Data arkeologi adalah data tentang nilai penting bangunan cagar budaya terhadap sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan serta kebudayaan dan memiliki tingkat keaslian yang meliputi bahan, bentuk, tata letak dan tehnik pengerjaan, untuk menetapkan layak dan tidaknya bangunan dipugar berdasarkan data yang ada, selain itu data arkeologi juga meliputi data kontesktual yang berhubungan dengan benda cagar budaya yang memiliki kaitan dengan situs cagar budaya. Berkaitan dengan hal tersebut, data arkeologi yang terdapat di Situs Pura Erjeruk akan diuraikan sebagai berikut :
Data arkeologi yang terdapat di Pura Erjeruk adalah berupa benda cagar budaya yang ditempatkan didua pelinggih, masing-masing di pelinggih Bhatara Ratu Brayut dan Pelinggih Gedong Bumi. Benda cagar budaya yang ditempatkan di pelinggih Bhatara Ratu Brayut adalah berupa 2 buah arca perwujudan laki-laki dan 1 buah arca perwujudan perempuan serta 2 buah relief berbentuk segi empat panjang dengan motif hias kepala binatang, kalajengking, serta sesuluran daun. Sedangkan benda cagar budaya yang ditempatkan di pelinggih Gedong Bumi adalah berupa 3 buah arca perwujudan dalam posisi duduk. Kondisi arca-arca ini susah untuk diidentifikasi karena kondisinya sudah aus.
Data Teknis
Studi Teknis adalah kegiatan pengumpulan dan pengolahan data struktur atau bangunan cagar budaya setelah dinyatakan layak dipugar dalam rangka menetapkan tata cara dan teknik pelaksanaan pemugarannya. Salah satu aspek data yang menjadi penilaian dalam kegiatan ini adalah data teknis struktur atau bangunan cagar budaya yang menjadi sasaran kegiatan. Dimana secara harfiah data teknis ini dapat didefinisikan sebagai data tentang kondisi teknis dan tingkat kerusakan bangunan serta lingkungannya, untuk menetapkan layak dan tidaknya bangunan dipugar atas dasar pertimbangan teknis. Lebih jelasnya mengenai data teknis Kori Agung Pura Erjeruk akan diuraikan sebagai berikut :
- Struktur Kaki Kori Agung
Struktur kaki Kori Agung Pura Erjeruk terbuat dari bahan batu padas, yang pemasangannya mempergunakan sistem susun tumpuk dengan perekat tanah liat. Secara horizontal struktur kaki Kori Agung terbagi menjadi bagian struktur kaki pengawak gede, struktur kaki caping dan struktur lelengen tembok. Keseluruhan denah struktur kaki Kori Agung berbentuk persegi panjang, berukuran panjang 450 cm, lebar 125 cm dan tinggi 78 cm. Str uktur kaki dibuat polos tanpa ada ornamen hias.
Pada struktur kaki Kori Agung juga dilengkapi dengan tangga untuk sampai ke bagian lorong, struktur tangga berukuran panjang 113 cm dan lebar 110 cm dengan tinggi masing-masing takikan 20 cm. Hasil observasi lapangan selama pelaksanaan Studi Teknis Arkeologi menunjukkan secara umum kondisi struktur kaki Kori Agung Pura Erjeruk telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan. Gejala kerusakan dan pelapukan yang tampak adalah gejala kerusakan mekanis, gejala pelapukan chemis, fisis dan biologis. Adapun visualisasi gejala kerusakan dan pelapukan tersebut adalah retak, pecah, aus, rapuh, penggaram dan tumbuhnya jasad-jasad organik (moss, algae dan lichen).
- Struktur Badan Kori Agung
Struktur badan Kori Agung Pura Erjeruk terbagi menjadi struktur badan pengawak gede, caping dan lelengen. Struktur badan pengawak gede berbahan bata dengan perekat tanah liat, berukuran tinggi 400 cm, lebar 280 cm dan tebal 125 cm. Pada struktur badan pengawak gede terdapat ornamen hias boma yang posisinya tepat di atas lorong Kori Agung, selain itu pada akhir rangkaian struktur badan pengawak gede, tepatnya pada sudut atas dihiasi dengan ornamen hias (simbar sudut) dengan motif hias suluran daun dan bunga. Struktur pengawak gede dilengkapi dengan lorong sebagai akses untuk masuk ke jeroan Pura Erjeruk. Lorong Kori Agung berukuran tinggi 258 cm dan lebar 90 cm, dilengkapi dengan kusen dan pintu yang terbuat dari bahan kayu nangka. Kusen berukuran tinggi 218 cm, lebar 90 cm dan tebal 9 cm, sedangkan daun pintu berukuran tinggi 206 cm, lebar 37 cm dan tebal 5 cm.
Struktur badan caping Kori Agung Pura Erjeruk memiliki bahan yang sama dengan struktur badan pengawak gede, yaitu terbuat sebagian besar dari bata, dengan sedikit perpaduan batu padas pada bagian perbingkaian subeng dan simbar-simbarnya (simbar sudut dan simbar tengah). Selain itu penggunaan bahan batu padas juga terdapat pada ornamen hiasan naga pada sisi samping struktur badan caping. Struktur badan caping Kori Agung Pura Erjeruk berukuran tinggi 300 cm, lebar 77 cm dan tebal 90 cm.
Struktur lelengen tembok memiliki bahan yang berbeda dengan struktur badan pengawak gede dan caping, karena keseluruhan bahan struktur badan lelengen terbuat dari bahan batu padas, berukuran tinggi 115 cm, lebar 72 cm dan tebal 45 cm. Struktur badan lelengen memiliki ornamen hias berupa simbar sudut dengan motif hias suluran daun dan bunga.
Keseluruhan kondisi terkini struktur badan Kori Agung Pura Erjeruk telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan, yang berupa kerusakan mekanis, pelapukan chemis, fisis, dan biologis. Adapun visualisasi dari gejala kerusakan dan pelapukan seperti yang disebutkan di atas adalah retak, pecah, aus, rapuh, dan tumbuhnya jasad-jasad organik (moss, algae dan lichen).
- Struktur Atap Kori Agung
Struktur atap Kori Agung Pura Erjeruk keseluruhan terbuat dari bahan batu padas, dengan ornamen hias yang cukup banyak. Struktur atap berukuran tinggi 317 cm, lebar 320 cm dan tebal 112 cm. Ornamen hias yang paling mencolok pada struktur atap Kori Agung adalah adanya kapeng pada sisi-sisi samping struktur atap. Kapeng ini bermotif hias berupa sesuluran daun dan bunga. Selain itu pada struktur atap caping dilengkapi dengan ornamen hias berupa jerengat dengan motif hias suluran daun dan bunga. Keseluruhan kondisi terkini struktur atap Kori Agung Pura Erjeruk telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan, yang berupa kerusakan mekanis, pelapukan chemis, fisis, dan biologis. Adapun visualisasi dari gejala kerusakan dan pelapukan seperti yang disebutkan di atas adalah retak, pecah, aus, rapuh, dan tumbuhnya jasad-jasad organik (moss, algae dan lichen).
Data Keterawatan
Gejala kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada Kori Agung Pura Erjeruk disebabkan oleh faktor internal dan external, antara lain disebabkan oleh umur yang sudah tua, kapilarisasi air tanah, getaran, debu, fluktuasi suhu lingkungan dan angin. Selain kerusakan dan pelapukan yang disebabkan oleh faktor di atas, pada Kori Agung ini juga terdapat pertumbuhan jasad-jasad oganik yang juga merupakan faktor penyebab kerusakan dan pelapukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kori Agung Pura Erjeruk telah mengalami empat jenis gejala keusakan dan pelapukan, yaitu : kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis, pelapukan biologis.
Kondisi Fisik dan Data Kerusakan
- Kerusakan Struktural
Suatu kondisi yang tidak utuh, tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur struktural suatu bangunan atau struktur cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek struktural suatu bangunan atau struktur seperti : stabilitas tanah dasar/pondasi, sistem sambungan yang digunakan, jenis atap yang digunakan, kuat tekan, kuat geser dan lain-lain. Pengertian kerusakan struktural bangunan atau struktur cagar budaya ini berlaku untuk semua jenis bangunan atau struktur, baik bangunan atau struktur cagar budaya yang berbahan batu, kayu maupun bata. Data kerusakan struktural sangat berguna untuk menentukan metode dan penyelesaian yang berkaitan dengan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi dengan memperhatikan faktor penyebab dan proses terjadinya kerusakan tersebut.
- Kerusakan Asitektural
Suatu kondisi yang tidak utuh, tidak sempurna yang terjadi pada unsur-unsur arsitektural suatu bangunan atau struktur cagar budaya. Unsur-unsur yang berkaitan dengan aspek arsitektural suatu bangunan atau struktur adalah meliputi unsur-unsur dekoratif, relief, umpak dan lain-lain. Data-data kerusakan arsitektural ditinjau dari kelengkapan unsur atau komponen bangunan atau struktur yang masih asli, yang telah diganti/diubah, dan bagian dari bangunan atau struktur yang hilang berdasarkan pendekatan keaslian bentuk arsitekturnya. Data identifikasi kerusakan arsitektural digunakan untuk menentukan langkah-langkah pemulihan aspek arsitektur suatu bangunan atau struktur cagar budaya berdasar pada prinsip-prinsip dan kaidah pemugaran.
Faktor dan Jenis Kerusakan serta Pelapukan
Berdasarkan sifat-sifatnya, faktor yang memicu proses degradasi bahan pada cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor perencanaan (teknologi pembuatan) dan faktor menurunnya rasio kwalitas bahan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor lingkungan seperti iklim, air, biologis (mikroorganisme), bencana alam dan vandalisme (manusia).
Dari segi bentuknya, bentuk degradasi yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu kerusakan dan pelapukan. Kerusakan dan pelapukan mempunyai pengertian yang hampir sama, tetapi secara teknis istilah tersebut dapat dibedakan. Dimana yang dimaksud dengan kerusakan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya yang tidak disertai dengan perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawi, sedangkan pelapukan adalah perubahan yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya yang disertai dengan adanya perubahan sifat-sifat fisik dan kimiawinya. Hasil pengamatan/observasi yang dilakukan maka teridentifikasi proses kerusakan dan pelapukan yang terjadi pada Kori Agung Pura Erjeruk adalah sebagai berikut :
- Kerusakan Mekanis
Merupakan kerusakan yang dapat dilihat secara visual berupa retak, pecah dan patah. Kerusakan ini juga terkait dengan kondisi lingkungan bangunan atau struktur cagar budaya terutama fluktuasi suhu, disamping tidak terlepas dari gaya statis maupun gaya dinamis yang diterima oleh sebuah bangunan. Yang dimaksud dengan gaya statis adalah adanya tekanan beban dari atas terhadap lapisan batu di bawahnya, sedangkan yang dimaksud dengan gaya dinamis adalah suatu gaya yang dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal), seperti getaran gempa bumi (faktor alam). Kerusakan mekanis yang terjadi pada Kori Agung Pura Erjeruk mencapai prosentase kurang lebih 15% dari keseluruhan permukaan bidang. Visualisasi gejala kerusakan mekanis pada Kori Agung Pura Erjeruk adalah berupa retak, pecah, dan melesak.
- Pelapukan Fisis
Merupakan pelapukan yang disebabkan oleh iklim dimana bangunan/struktur cagar budaya berada, baik secara mikro maupun secara makro. Unsur iklim, suhu dan kelembaban merupakan faktor utamanya, besarnya amplitudo suhu dan kelembaban baik itu siang maupun malam hari akan sangat memicu terjadinya pelapukan secara fisis. Pelapukan fisis yang terjadi pada Kori Agung Pura Erjeruk antara lain berupa penggaraman dan pengelupasan pada beberapa bagian permukaan bidangnya. Semua gejala pelapukan fisis yang nampak pada Kori Agung ini kemungkinan disebabkan oleh faktor adanya kapilarisasi air tanah, penguapan air laut dan pengaruh air hujan. Pelapukan fisis yang terjadi pada Kori Agung Pura Erjeruk secara keseluruhan mencapai prosentase kurang lebih 20% dari keseluruhan permukaan bidangnya.
- Pelapukan Chemis
Pelapukan yang terjadi pada bangunan atau struktur cagar budaya sebagai akibat dari proses atau reaksi kimiawi. Dalam proses ini faktor yang berperan adalah air, penguapan dan suhu. Air hujan dapat melapukan benda melalui proses oksidasi, karbonatisasi, sulfatasi dan hidrolisa. Gejala-gejala yang nampak pada pelapukan ini adalah berupa penggaraman, aus dan rapuh. Prosentase gejala pelapukan chemis yang terjadi pada Kori Agung Pura Erjeruk kira-kira mencapai 10% dari keseluruhan permukaan bidangnya.
- Pelapukan Biologis
Pelapukan pada material bangunan atau struktur cagar budaya yang disebabkan oleh adanya kegiatan mikroorganisme, seperti pertumbuhan jasad-jasad organik berupa lichen, moss, algae dan pertumbuhan perdu serta adanya serangan rayap pada komponen kayu bangunan atau struktur cagar budaya. Gejala yang nampak pada pelapukan ini adalah berupa diskomposisi struktur material, pelarutan unsur dan mineral, adanya noda pada permukaan material dan sebagainya. Prosentase pelapukan biologis yang nampak pada Kori Agung Pura Erjeruk mencapai prosentase sekitar 15% dari keseluruhan permukaan bidangnya.
Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan
- Faktor Internal
Faktor internal meliputi faktor perencanaan (teknologi pembuatan), faktor menurunnya rasio kwalitas bahan serta letak bangunan atau struktur. Bangunan atau struktur yang dibuat dengan perencanaan/teknologi yang baik akan memiliki daya tahan yang baik serta dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh faktor mekanis dan fisik. Bangunan/struktur yang dibuat dengan bahan yang kwalitasnya jelek akan cepat mengalami kerusakan sedangkan bangunan/struktur yang dibuat dengan bahan yang bagus akan bertahan lebih lama dari berbagai macam kerusakan dan pelapukan serta tanah tempat suatu bangunan/struktur cagar budaya berdiri juga mempengaruhi kelestarian materialnya. Tanah yang memiliki sifat rentan terhadap faktor air, daya tahannya akan mudah menurun sehingga menyebabkan kondisi bangunan/struktur tidak stabil.
- Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor lingkungan yang meliputi faktor fisis (suhu, kelembaban, hujan), faktor biologis, faktor kimiawi, bencana alam serta faktor manusia (vandalisme). Pengaruh suhu dan kelembaban yang yang tinggi dan berubah-ubah akan mengakibatkan suatu bangunan atau struktur cagar budaya kondisinya tidak stabil, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan dan pelapukan. Air hujan juga akan menyebabkan kelembaban pada bangunan atau struktur cagar budaya akan meningkat yang pada akhirnya akan merangsang tumbuhnya jasad–jasad organik pada permukaan material cagar budaya yang pada akhirnya juga akan menimbulkan kerusakan dan pelapukan. Faktor eksternal penyebab kerusakan dan pelapukan pada bangunan atau struktur cagar budaya sangat sulit untuk dihindari, apalagi terhadap bangunan atau struktur cagar budaya yang terdapat di alam terbuka.
Rencana Penanganan
Dalam UU No 11 Tentang Cagar Budaya Tahun 2010, pasal 1 ayat 28, disebutkan pemugaran adalah upaya pengembalian konsi fisik benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan struktur cagar budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan dapat diketahui bahwa beberapa bagian Kori Agung Pura Erjeruk telah mengalami gejala kerusakan dan pelapukan, yang berupa gejala kerusakan mekanis, pelapukan fisis, pelapukan chemis dan pelapukan biologis. Hasil analisis data yang berhasil dikumpulkan selama pelaksanaan kegiatan Studi Teknis Arkeologi Kori Agung Pura Erjeruk dapat direkomendasikan bahwa rencana pelaksanaan pemugaran terhadap struktur cagar budaya ini, adalah pemugaran dengan menggunakan metode restorasi, yakni pemugaran menyeluruh dengan menyisipkan perkuatan besi bertulang, serta mengganti komponen-komponen Kori Agung yang tidak dapat dipertahankan lagi. Mengingat nilai penting Kori Agung Pura Erjeruk dan melihat kondisinya sekarang, maka disusunlah rencana penanganan pemugarannya sebagai berikut :
Rencana Penanganan Pemugaran
- Pekerjaan pembersihan
Mengawali kegiatan pemugaran dilakukan upaya pembersihan areal kerja dari hal-hal yang mengganggu aktivitas pemugaran. Pembersihan lapangan meliputi : pembersihan lingkungan situs dan pembersihan pada obyek pemugaran (bangunan atau struktur yang akan dipugar).
- Pemasangan Stager
Perancah atau steger merupakan konstruksi pembantu pada pekerjaan bangunan, dibuat untuk membantu jangkauan bangunan yang tinggi dan merupakan work platform semantara. Perancah atau stager berbentuk suatu sistem modular dari pipa atau tabung logam, meskipun juga dapat menggunakan bahan-bahan lain. Biasanya perancah atau stager digunakan sebagai pengganti bambu dengan asumsi penggunaan perancah atau stager dapat menghemat biaya dan efisiensi waktu pemasangan.
- Penurunan dan Pembongkaran Kori Agung
Pekerjaan pembongkaran atau disebut juga penurunan komponen asli Kori Agung Pura Erjeruk adalah upaya perbaikan struktur dan pemulihan arsitektur dari struktur cagar budaya tersebut, karena sudah mengalami kerusakan dan pelapukan. Pekerjaan pembongkaran ini akan menampakkan kondisi fisik tiap komponen-komponen asli Kori Agung, untuk kemudian mendapatkan sebuah metode penanganan kerusakan dan pelapukannya.
Pelaksanaan pekerjaan pembongkaran Kori Agung Pura Erjeruk menetetapkan sebuah sistem registrasi untuk dapat dipakai sebagai pedoman dalam pemasangan kembali. Sistem ini memuat tentang tata cara penomoran setiap komponen Kori Agung dengan mempergunakan abjad dan menetukan titik tetap (refren).
- Pengukuran Uizet dan Bouwplank
Pengukuran Uizet dan bouwplank berfungsi untuk membuat titik-titik as (tengah) Kori Agung Pura Erjeruk sesuai dengan gambar denah Kori Agung yang diperlukan untuk penentuan jalur/arah pondasi dan juga sebagai dasar ukuran tinggi atau level lantai Kori Agung Pura Erjeruk. Uizet dan bouwplank kedudukannya harus kuat dan tidak mudah goyah, berjarak cukup dari rencana galian agar tidak mudah goyah pada saat dilakukannya galian, dan posisinya harus seragam (menghadap ke dalam Kori Agung semua).
- Pekerjaan Galian Tanah
Galian galian tanah untuk pondasi harus sesuai dengan ukuran dalam gambar pelaksanaan atau sampai tanah keras dan apabila diperlukan untuk mencapai daya dukung yang baik, dasar galian harus dipadatkan dengan cara ditumbuk. Pekerjaan galian tanah pemugaran Kori Agung Pura Erjeruk dilakukan setelah seluruh komponen asli Kori Agung diturunkan.
- Pekerjaan Urugan Tanah
Pekerjaan ini dilakukan setelah pekerjaan pondasi sudah selesai dilakukan dan merupakan pengurugan kemabali tanah galian pondasi sehingga tanah bekas galian pondasi tidak tampak lagi.
- Pekerjaan Urugan Pasir
Sebelum pekerjaan pondasi dilakukan perlu dilakukan penaburan pasir urug ke tanah (di sepanjang penggalian). Pekerjaan ini dilakukan karena untuk menghindari tercampurnya adukan dan tanah liat, dengan ketebalan pasir urug minimal 5 cm.
- Pekerjaan Pasangan Batu Kosong/Kali
Pasangan batu kosong berfungsi untuk meneruskan beban yang berasal dari komponen-komponen yang ada di atas, batu kosong akan menahan beban tersebut dan menyebarkan ke bawah (tanah), selain itu pasangan batu kosong juga berperan sebagai rol, sehingga kekakuan akibat reaksi gerak horizontal (misal : gempa) dapat dihindari (minimalisasi). Pasangan batu kosong pada galian pondasi Kori Agung Pura Erjeruk dipasang di atas urugan pasir yang telah ditempatkan sebelumnya secara merata setebal 5 cm. Pasangan batu kosong ini mempergunakan batu lokal/kali dan dilengkapi dengan penaburan pasir untuk memenuhi bagian rongga nat batu, yang kemudian dipadatkan dengan menyiramkan air secukupnya agar rongga-rongga nat tertutup dengan merata.
- Pekerjaan Kerangka Besi
Untuk perkuatan Kori Agung Pura Erjeruk dipakai konstruksi beton bertulang, seperti foot plat, kolom sloof, ring balok, plat atas dan plat bawah kaki Kori Agung. Untuk besi tulang pada tiap-tiap kolom, foot plat, sloof dan ring balok digunakan besi Ø 12 mm, untuk tulang pokok dan tulang pembagi dipergunakan besi dengan ukuran Ø 6 mm dan untuk plat atas dan bawah digunakan besi berukuran Ø 10 mm. Adonan beton sebagai bahan pengikat konstruksi digunakan adonan 1 Pc : 2 Psr : 3 Krk, dengan menggunakan material berkualitas tinggi, bebas dari kandungan humus, lumpur dan debu.
- Pekerjaan Susun Percobaan
Pekerjaan susun percobaan akan menjadi dasar dari pemasangan kembali komponen-komponen Kori Agung Pura Erjeru. Keberhasilan dalam pelaksanaan pekerjaan susun percobaan dapat dikatakan sebagai setengah dari keberhasilan pelaksanaan pemugaran bangunan atau struktur cagar budaya. Pekerjaan susun percobaan akan berpedoman dari hasil penggambaran setiap lapisan Kori Agung Pura Erjeru pada saat pembongkaran/penurunannya.
- Pekerjaan Memasang Kembali
Setelah semua pekerjaan yang merupakan rangkaian pekerjaan pemasangan kembali seperti yang telah disebutkan di atas selesai dilaksanakan, maka pekerjaan pemasangan kembali komponen asli dan komponen pengganti Kori Agung Pura Erjeruk siap untuk dilaksanakan. Pemasangan kembali ini berpedoman atau berdasarkan dari hasil pekerjaan susun percobaan dan dilaksanakan dengan sistem gosok memakai perekat semen yang diencerkan dengan air. Bahan perekat ini diusahakan setipis mungkin, sehingga tidak nampak dari luar dan juga untuk meminimalkan pengaruh semen terhadap komponen-komponen Kori Agung Pura Erjeruk.
- Pembersihan
Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dan mendekati struktur asli, maka dilakukan upaya pembersihan terhadap seluruh komponen Kori Agung Pura Erjeruk setelah dilaksanakannya pemugaran agar sesuai dengan tampak awal sebelum dilaksanakannya pemugaran. Upaya ini diperlukan untuk dapat menyesuaikan antara komponen asli dan komponen pengganti agar kelihatan sama baiknya dilihat dari pola maupun teknis pengerjaannya, sehingga dapat menampakkan kesan kompak, serasi, harmonis dan indah.
- Kamuflase
Merupakan kegiatan perbaikan yang bertujuan untuk menyelaraskan warna antara celah-celah retakan dengan permukaan asli. Pekerjaan ini dilakukan dengan mempergunakan bahan serbuk bata dan batu padas dicampur dengan perekat (lem) dan dilarutkan dengan air. Pekerjaan kamuflase dilaksanakan setelah semua kegiatan pemugaran selesai.
Rencana Penanganan Konservasi
Rencana penanganan konservasi Kori Agung Pura Erjeruk akan disesuaikan dengan kondisi Kori Agung pada saat ini. Pelaksanaan penanganan konservasi ini akan dibagi menjadi beberapa tingkat berdasarkan kondisi masing-masing komponen Kori Agung Pura Erjeru, yaitu :
- Mempertahankan dan memelihara, yaitu mempertahankan dan memelihara komponen yang sangat berpengaruh pada karakter Kori Agung dan kondisinya masih baik.
- Memperbaiki, yaitu memperbaiki komponen Kori Agung Pura Erjeruk yang kondisinya sudah rusak sesuai dengan aslinya.
- Mengganti, yaitu mengganti komponen Kori Agung Pura Erjeruk yang telah rusak dan tidak dapat diperbiki lagi dengan bentuk sesuai dengan aslinya. Jika bentuk asli tidak teridentifikasi dapat dilakukan penyesuaian dengan membandingkan dengan Kori Agung yang setipe.
- Menambah dengan penyesuaian terhadap bentuk asli, yaitu melakukan penambahan komponen yang boleh dilakukan jika dilakukan pengembangnan, terutama yang merupakan penyesuaian terhadap fungsi, dengan batasan bentuk baru tidak merusak kareakter asli Kori Agung dan dibuat sesuai dengan bentuk aslinya.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka pelaksanaan penanganan konservasi terhadap Kori Agung Pura Erjeruk dilakukan sebagai suatu usaha untuk menghambat atau mengurangi penyebab-penyebab kerusakan dan pelapukan sehingga dapat memperpanjang keberadaannya. Langkah-langkah konservasi yang dilaksanakan meliputi pembersihan obyek dari semua faktor yang dapat mempercepat proses kerusakan dan pelapukan. Rencana penanganan pemeliharaan yang berupa tindakan konservasi meliputi penentuan prosedur, metode, teknis, bahan, peralatan, tenaga (jumlah kompetensi) dan biaya. Salah satu bentuk penanganan yang direncanakan adalah perawatan secara kuratif. Kegiatan perawatan ini dimaksudkan untuk menanggulangi segala permasalahan kerusakan maupun pelapukan. Dasar yang digunakan dalam kegiatan penanganan konservasi meliputi perawatan secara tradisional maupun modern.
- Perawatan Tradisional
Perawatan tradisional merupakan kearifan lokal masyarakat yang berkembang hingga kini dan dapat digunakan pula untuk mengkonservasi cagar budaya. Pengawetan secara tradisioanl tentunya lebih murah dan ramah lingkungan, karena bahan yang digunakan untuk mengawetkan adalah bahan non-kimiawi. Tujuan dari konservasi adalah menyelamatkan kelestarian serta meningkatkan nilai yang terkandung dalam cagar budaya. Dalam melakukan konservasi harus diperhatikan konsep otentisitas yang mencakup keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknologi pengerjaan. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh pada teknik konservasi bahan benda arkeologi yang mencakup pembersihan mekanis, fisis, kimiawi, konsolidasi struktur bahan, perbaikan bagian yang pecah dan rusak serta pengawetan, yang sangat tergantung dari permasalahan dan pelapukan (Samidi,1996:441).
Berkenaan dengan upaya konservasi tradisional terhadap komponen-komponen Kori Agung Pura Erjeruk akan dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan kapi, sudip bambu, sikat ijuk dan sapu lidi. Pelaksanaan konservasi tradisional bersifat preventif atau pencegahan kerusakan dan pelapukan dengan melakukan pembersihan. Sedangkan konservasi terhadap komponen kayu Kori Agung Pura Erjeruk dilakukan dengan mempergunakan bahan air rendaman cengkeh, tembakau dan pelepah daun pisang. Langkah-langkah konservasi ini dapat diuraikan sebagai berikut : menyiapkan bahan dan alat yang diperlukan, kemudian merendam tembakau, ditambah cengkeh, dan pelepah pisang kedalam air selama 24 jam. Setelah itu lakukan pembersihan kayu secara kering serta mengoleskan air hasil rendaman keseluruh permukaan kayu. Kemudian gosok menggunakan kain sampai kering dan dilakukan berulang dan dikeringkan dengan kain lap bersih. Dengan dilaksanakannya penanganan konservasi secara tradisional ini diharapkan dapat menyelamatkan kelestarian Kori Agung Pura Erjeruk, menjaga serta meningkatkan nilai yang terkandung didalamnya.
- Perawatan Modern
Perawatan yang dilakukan dengan mempergunakan bahan kimia. Pelaksanaan konservasi atau perawatan modern komponen-komponen Kori Agung Puraerjeruk dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip konservasi cagar budaya, yang antara lain adalah : prinsip authentisitas, prinsip teknis dan prinsip arkeologis. Prinsip authentisitas adalah cagar budaya bergerak meliputi :keaslian bahan, keaslian desain, keaslian teknologi pengerjaan, keaslian bahan, keaslian desain, keaslian tata letak, keaslian teknologi pengerjaan serta kontek hubungannya dengan benda lain disekitarnya. Prinsip teknis adalah prosedur diagnostik yang berupa studi konservasi, observasi, analisis/identifikasi, membuat perencanaan metode dan teknik konservasi serta penanganan konservasi harus efektip/efisien, aman, bersifat ilmiah. Sedangkan prinsip arkeologis dalam konservasi adalah penanganan konservasi cagar budaya harus memperhatikan nilai arkeologis dan historisnya. Patina yang melindungi cagar budaya harus dipertahankan jangan sampai hilang, penanganan konservasi diprioritaskan pada bagian asli yang mengalami pelapukan berat, dan mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Berkenaan dengan hal tersebut maka upaya penanganan konservasi modern yang dilakukan terhadap komponen-komponen Kori Agung Pura Erjeruk adalah sebagai berikut :
- Pembersihan Mekanis Kering dan Basah
Kegiatan ini dimaksudkan untuk membersihkan akumulasi debu, kotoran-kotoran dan endapan-endapan tanah dalam bentuk inkratasi bekas-bekas rumah serangga. Dalam pelaksanaannya pembersihan mekanis kering dilaksanakan dengan hati-hati dan cermat untuk menghindari adanya pertambahan kerusakan mekanis, terutama pada bagian-bagian yang sudah rapuh. Peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan mekanis ini adalah sikat ijuk, kuas, kapi, sapu ijuk dan penyedot debu. Sedangkan metode pelaksanaannya adalah menyiapkan bahan dan peralatan, bersihkan kotoran dan debu yang menempel dengan sapu atau sikat ijuk dan kuas perlahan lahan, kemudian hisap dengan alat penyedot debu, selanjutnya gunakan kompresor ( bila diperlukan ) agar benar benar bersih.
- Pembersihan Chemis
Pembersihan chemis dilakukan untuk membersihkan noda-noda yang sulit dibersihkan secara tradisional, seperti kotoran, lichen dan geram-garam yang sudah mengendap. Bahan yang dipergunakan pada kegiatan ini adalah pelarut organik sejenis alkohol dan aceton. Sebelum mempergunakan bahan-bahan tersebut perlu dilaksanakan pengujian terlebih dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan dampak yang terjadi terhadap obyek yang akan dikonservasi.
- Konsolidasi
Kegiatan konsolidasi dilakukan untuk bagian-bagian obyek konservasi yang mengalami pelapukan cukup serius. Jenis bahan yang dipergunakan dalam pelaksanakan kegiatan ini adalah Paraloid B-72 dengan pelarut Thye Acetate dengan konsentrasi 3%. Aplikasi bahan dilakukan melalui cara pengolesan dengan mempergunakan kuas.
- Pengawetan dan Sterilisasi
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai langkah antisipasi adanya serangan rayap pada komponen-komponen Kori Agung Pura Erjeru. Langkah ini dilakukan dengan pengolesan dan injeksi. Bahan-bahan yang dipergunakan adalah insektisida jenis lentrek dengan kadar 3% dan pelarutnya adalah minyak tanah.
- Perbaikan
Kegiatan ini dilakukan untuk menutupi dan juga untuk memperkuat komponen-komponen Kori Agung Pura Erjeruk yang mengalami keretakan-keretakan akibat pengaruh suhu dan kelembaban yang tidak menentu. Bahan-bahan yang dipergunakan adalah Araldite dicampur dengan Penolmikrobalon.
Rencana Penanganan Lingkungan
Hasil pelaksanaan pemugaran Kori Agung Pura Erjeruk adalah berupa harapan untuk dapat mewujudkan kembali keberadaan struktur cagar budaya tersebut ke dalam bentuk aslinya, berdasarkan data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Pemugaran ini dilaksanakan berdasarkan atas prinsip dan prosedur pemugaran cagar budaya, dengan memperhatikan keaslian bentuk, bahan, tata letak serta teknik pengerjaan. Disamping itu hal yang tidak kalah pentingnya selama proses pemugaran ini adalah dengan menugaskan tenaga-tenaga yang sudah berpengalaman dan memiliki kompetensi terhadap pemugaran cagar budaya. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas pemulihan struktur dan arsitektur Kori Agung Pura Erjeruk dapat diwujudkan.
Dalam upaya pelestarian terhadap struktur cagar budaya Kori Agung Pura Erjeruk setelah dilakukannya pemugaran, perlu diimbangi dengan upaya atau usaha untuk penataan lingkungan, agar keberadaan struktur cagar budaya tersebut tampak serasi atau menyatu dengan lingkungan di sekitarnya. Secara umum kerusakan lingkungan yang dapat mempengaruhi keberadaan bangunan/struktur cagar budaya disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Salah satu faktor alam yang dapat mempengaruhi keberadaan bangunan/struktur cagar budaya adalah pengaruh air, baik itu yang berupa air tanah maupun air hujan yang tidak dapat dikendalikan, sedangkan faktor manusia yang dapat mempengaruhi keberadaan bangunan/struktur cagar budaya adalah pemanfaatan lahan di sekitar bangunan/struktur cagar budaya yang tidak terkendali. Berkenaan dengan hal tersebut maka usaha penataan lingkungan yang dilaksanakan setelah selesainya pemugaran Kori Agung Pura Erjeruk antara lain :
- Pembuatan Saluran Drainase
Pembuatan saluran drainase di sekitar Kori Agung Pura Erjeruk dimaksudkan sebagai usaha pengendalian genangan air hujan pada saat musim penghujan selain itu pembuatan saluran drainase ini juga untuk meminimalisasi kapilarisasi air tanah. Alternatif pembuatan saluran drainase ini adalah dengan membuat saluran ke tempat yang posisinya lebih rendah daripada posisi Kori Agung. Selain itu perlu dibuatkan parit kecil yang mengelilingi Kori Agung Pura Erjeruk untuk meminimalisasi genangan air yang sampai ke bagian pondasi saat musim penghujan.
- Pertamanan
Pertamanan adalah kegiatan mengolah dan menata lahan dengan menanami berbagai tanaman dan memperhatikan segi keindahan (estetika), serta banyak terkait dengan penataan ruang menggunakan berbagai elemen, terutama tanaman. Dari pengertian tersebut apabila pertamanan diaplikasikan pada situs cagar budaya harus memperhatikan hal-hal yang sebagai berikut : memberikan keasrian/estetika situs cagar budaya dan lingkungannya, tidak mendominasi situs atau cagar budaya dan tidak mengancam kelestarian situs/cagar budaya. Berdasarkan hal tersebut, kiranya setelah pelaksanaan pemugaran terhadap Kori Agung Pura Erjeruk perlu dilaksanakan pertamanan sehingga akan menambah kesan indah dan asri.
- Pemeliharaan Yang Berkesinambungan
Usaha untuk memelihar cagar budaya serta lingkungan setelah selesainya pelaksanaan pemugaran mutlak harus dilakukan, kerena pemeliharaan adalah usaha preventif yang lebih baik daripada nantinya cagar budaya tersebut terlanjur mengalami keruskan yang berat. Berhubungan dengan hal tersebut peran serta masyarakat dan pengemong Pura Erjeruk sangat penting, dan yang tidak kalah pentingnya dalam usaha pemeliharaan cagar budaya adalah koordinasi antara masyarakat dan instansi yang berkompeten dibidang pelestarian cagar budaya.
Simpulan
- Kori Agung Pura Erjeruk adalah struktur cagar budaya yang memiliki nilai penting bagi sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan pariwisata yang berhubungan erat dengan sejarah perjalanan Danghyang Nirarta di Bali pada sekitar abad ke-16 Masehi.
- Kori Agung Pura Erjeruk dapat dijadikan sebagai suatu bahan kajian bagi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang sejarah, arkeologi, budaya dan arsitektur.
- Untuk mengantisipasi kerusakan lebih lanjut Kori Agung Pura Erjeruk perlu mendapat penanganan pemugaran secara restorasi dan juga penanganan konservasi, agar struktur cagar budaya ini kelestariannya tetap terjaga
- Penataan lingkungan perlu mendapatkan perhatian, karena dengan lingkungan yang asri akan dapat mewujudkan keindahan dan keserasian lingkungan Pura Erjeruk secara keseluruhan.