Kompleks Rumah Tgk. Chik Awe Geutah Tinggalan abad ke -13

0
7567

Kompleks Rumah  Tgk. Chik Awe Geutah

Tinggalan abad ke -13

(Nurdin, S.Sos Staf Dokumentasi dan Publikasi BPCB Aceh)

 Pendahuluan

Rumah Tgk. Chik Awe Geutah berada di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng,  Kabupaten  Bireun  Provinsi Aceh.  Rumah ini secara astronomis terletak pada titik di koordinat UTM 47 N  0255650 0569044, (hasil pemetaan Tim BPCB Banda Aceh Tahun 2011).   Desa Awe Geutah ini  merupakan sebuah desa pedalaman yang jaraknya ±  35 km dari Ibu Kota  Kabupaten  Bireuen  Provinsi  Aceh  dan untuk menuju ke desa ini membutuhkan waktu ± 30 (tiga puluh) menit dengan menggunakan kendaraan umum dari Pusat Kota Bireuen.  Rumah Tgk. Chik Awe Geutah menghadap ke Arah Utara dengan batas-batas sebagai sebagai berikut:

  • sebelah utara berbatasan dengan jalan masuk kompleks Rumah Awe Geutah
  • sebelah timur berbatasan dengan rumah penduduk
  • sebelah selatan berbatasan dengan kebun penduduk
  • sebelah barat berbatasan dengan kebun dan rumah penduduk.

Pada umumnya di Aceh  banyak dijumpai tinggalan-tingalan rumah yang  indah dan unik namun Aceh tidak memiliki  rumah tradisional , yang  dikenal hanya dengan rumah Aceh seperti di Komplek Museum Aceh, Rumah sasana budaya  Cut Nyak Dhien di Lampisang  dan Rumah Tgk. Awe Getah  dan lain-lain yang terdapat di daerah Kabupaten di Provinsi Aceh.  Rumah Aceh pada umumjnya Rumah Panggung  dan  terbuat dari kayu yang  dipilih dari bahan Semantuk, kayu ini cukup keras dan kwalitasnyapun terjamin artinya tahan terhadap usia  dan  terhindar dari  rayap dan kelapukan.

Rumah  Tgk. Awe Getah  terdiri dari tiang-tiang yang tinggi tiangginya  mencapai 2,5 meter Juga merupakan ciri khas rumah raktyat Aceh   karena wilayah Aceh umumnya tergolong rendah dari permukaan laut dengan demikian masyarakat Aceh membuat rumah berbentuk panggung dengan filosofi untuk menghindari bermacam-macam ancaman terutama banjir, bintang buas seperti harimau, babi, ular dan lain sebagainya, juga dengan ketinggian rumah yang cukup maka penghuni rumah dapat melakukan aktifitasnya dibawah rumah tanpa ada gangguan seperti menganyam tikar dan bermainnya anak-anak.

  1. Latar Sejarah

Kompleks Rumah  (bangunan) Tgk. Chik  Awe   Getah dibangun  pada  masa ke pimpinannya yang  diperkirakan pada abad ke -13  atau  lebih kurang  500  tahun  yang lalu dan bangunannya hingga saat ini masih bediri dengan kokoh walaupun usianya sudah cukup tua dan letelaturnyapun  seperti  ukiran-ukiran pada dinding,  pintu , jendela  yang melambangkan ciri-ciri  khas daerah pada masa itu juga masih sangat jelas keasliannya.

Tgk Chik Awe Geutah yang nama aslinya Syaikh Abdurrahim Bawarith al-Asyi adalah anak Syaikh Jamaluddin al-Bawaris dari Zabid Yaman. Mareka berangkat berhijrah ke Aceh berbersama adiknya Syaikh Abdussalam Bawarith al-Asyi  dan tujuh ulama lain, di antaranya Teungku di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi samapai di Aceh mareka berpencar dan Tgk. Syaikh Abdurrahman akhirnya memilih untuk menetap di wilayah Jeumpa bersama beberapa pengikutnya sementara  ulama lainnya berpencar ke daerah atau tempat lain.

Dikisahkan ketika akan membuka lahan di daerah ini yang banyak ditumbuhi rotan, Tgk. Syeikh Abdurrahman melihat salah satu pohon rotan yang mengeluarkan cahaya dan ketika dipotong rotan tersebut keluar tetesan getahnya. Tgk. Syeikh Abdurrahman kemudian memberi nama daerah ini menjadi Awe Geutah (rotan Getah) dan sejak itu penyebaran agama Islam mulai dilakukan sehingga semakin maju dan berkembang kesemua pelosok.  Nama Abdul Rahim semakin dikenal di seluruh Aceh sebagai seorang tokoh ulama Sufi bahkan sejumlah kerajaan Islam yang ada di Aceh pada masa itu menjalin kerja sama dengan Tgk. Awe Geutah  yang mengirimkan utusan khusus untuk berguru pada Abdul Rahim. Sejak saat itulah murid-muridnya dari Awe Geutah maupun dari luar Awe Getah menabalkan namanya dengan sebutan Teungku Chik Awe Geutah.

  1. Rumah Tgk Awe Getah

Rumah Tgk. Chik Awe Geutah denah persegi panjang berukuran  19,00 x 11,00 meter.  Bangunan terbuat dari kayu yang didirikan di atas umpak, dengan atap yang terbuat dari daun rumbia.  Bangunan ini pada dasarnya memiliki ciri rumah tradisional Aceh seperti halnya Istana Tun Sri Lanang di Samalanga dengan bentuk lantai turun – naik (euk – troen). Secara umum bangunan rumah Awe Geutah didominasi oleh warna kecoklatan sebagai warna asli kayu penyusun bangunan.  Pada bagian depan bangunan terdapat sebuah anjungan yang berdenah persegi, bagian depan anjungan ini ditopang oleh 2 buah tiang persegi delapan yang juga menyangga balok atap, pada bagian bawah anjungan  terdapat anak tangga yang menghubungkan  anjungan dengan pintu masuk utama bangunan dan pada permukaan pipi tangga sisi kiri dan kanan terdapat ornamen motif bungong poeta taloe lhee yang dibatasi oleh ornamen bungong seulanga pada setiap panil hiasnya. Ornamen ini diukir mulai dari bagian bawah hingga bagian atas tangga.

Di sudut bawah anjungan terdapat ornamen dengan motif  lebah bergantung atau tiang berbentuk jantung diperkaya dengan ukiran motif bungong seulanga. Selain bersifat dekoratif, tiang jantung ini juga bersifat konstruktif yang menopang  balok atap anjungan. Atap anjungan ini berbentuk atap sudut  karena kontruksi kerangka atapnya.  Pada bagian anjungan ini terdapat pagar serambi setinggi 70 cm. Permukaan luar dinding pagar ini seolah terbagi dalam dua panel  horisontal dengan adanya ornamen berupa belah rotan yang  dipasang di sepanjang dinding anjungan. Pada bagian bawah pagar anjungan terdapat ornamen yang terdiri dari motif isian berupa variasi ukiran bungong koenda  yang diapit oleh bungong koenda dan bungong seulanga yang diukirkan pada bagian sudut panel. Pada bagian atas ornamen ini terdapat ukiran motif hias bungong poeta taloe doea  yang diukir di sepanjang panel hias. Pada bagian atas pagar ini selanjutnya terdapat ornamen belah rotan yang mejadi pembatas dinding anjungan.

Secara umum lantai bagian anjungan ini tersusun dari bilah papan yang disusun secara horisontal.  Bentuk bagian dalam anjungan ini pada dasarnya didominasi oleh bentuk tiang semu yang diberi ornamen pada bagian puncaknya. Pada bagian anjungan ini terdapat sebuah pintu masuk utama masuk berukuran 3,00 x 1,50 meter.. Seluruh permukaan balok kusen pintu ini diperkaya dengan variasi ukiran bungong awan si tangke. Pada bagian balok atas, terdapat bentuk kurawal yang di isi dengan ukiran motif bungong awan-awan. Pintu ini berbentuk pintu rangkap yang terbuat dari kayu dengan ukuran. Pada permukaan kedua daun pintu ini masing-masing terdapat ornamen rosette yang berbentuk motif ceplok bungong seuleupa yang diukir pada bagian tengah daun pintu.  Secara umum lantai bagian anjungan ini tersusun dari bilah papan yang disusun secara horisontal.  Bentuk bagian dalam anjungan ini pada dasarnya didominasi oleh bentuk tiang semu yang diberi ornamen pada bagian puncaknya. Seluruh permukaan balok kusen pintu ini diperkaya dengan variasi ukiran bungong awan si tangke. Pada bagian balok atas, terdapat bentuk kurawal yang di isi dengan ukiran motif bungong awan-awan.

Pada permukaan kedua daun pintu ini masing-masing terdapat ornamen rosette yang berbentuk motif ceplok bungong seuleupa yang diukir pada bagian tengah daun pintu. Ukiran ceplok bunga ini berbentuk lingkaran yang di dalam atau pada bagian tengahnya terdapat sebuah lingkaran dengan diameter yang lebih kecil. Pada bidang lingkaran yang lebih kecil ini terdapat  ukiran ceplok bungong seuleupa. Lingkaran yang berada di tengah ini selanjutnya dikelilingi oleh ukiran motif bungong poetjo reubong yang diapit atau diselingi oleh bungong ajoe-ajoe. Pada keempat sudut bentuk lingkaran ini selanjutnya terdapat 4 buah ukiran motif bungong seuleupaSelain ornamen yang berada di pintu masuk, berbagai ornamen juga dijumpai pada dinding rumah sisi utara ini. Salah satu ornamen yang dijumpai berada bagian lisplang dinding bagian bawah. Lisplang ini dipasang di sepanjang dinding bagian bawah yang mengelilingi dinding bagian bawah. Pada bagian lisplang ini terdapat ornamen berupa panel-panel persegi. Pada masing-masing panel terdapat motif bungong koenda yang ditempatkan pada bagian sudut panel persegi panjang. Panel persegi panjang ini mengapit panel persegi yang berada pada bagian tengahnya. Panel ini yang berukuran lebih kecil ini diisi dengan variasi motif bungong seuleupa. Pada bagian bawah panel persegi yang lebih kecil ini terdapat ukiran motif bungong si tangke. diatas ornamen terdapat sebuah ornemen variasi motif bungong awan si tangke. Setelah berbagai bentuk ornamen pada bagian lispalng, pada bagian atas bentuk lisplang ini selanjutnya terdapat panel yang diisi dengan ornamen yang mengesankan bentuk sarang laba-laba atau jaring. Ornamen ini dibentuk dari kayu yang dipasang secara berselang-seling membentuk pola jaring. Pada bagian atas pola jaring ini selanjutnya terdapat sebuah panel yang diisi dengan ukiran variasi motif bungong si tangke. Selain ornamen-ornamen seperti yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya dinidng sisi utara ini juga didominasi oleh bentuk jendela “nako” dan motif bingkai cermin. Pada dinding sisi utara ini masing-masing terdapat 4 buah jendela “nako” yang terbuat dari kayu. Jendela “nako” ini dapat dibuka dan ditutup layaknya jendela nako yang terbuat dari kaca.

Ruang pertama yang dijumpai setelah melalui pintu masuk utama adalah serambi depan (seuramo keue). Lantai serambi depan terbuat ini dari bilah bambu yang disusun membujur ke arah barat – timur lantai serambi. Rangkaian bilah bambu ini diperkuat dengan jalinan rotan dan bambu yang masing-masing dililitkan  pada balok lantai. Pada bagian pintu masuk bagian dalam terdapat rusuk atas anak tangga yang dipasang seolah menembus balok kusen pintu. Kedua ujung pipi rusuk tangga ini berbentuk runcing dan dihiasi dengan ukiran variasi motif bungong  si tangke.

  1. Makam Tgk. Awe Getah

Makam Tgk. Awe Getah terletak pada sisi selatan rumah induk, makam ini berukuran 10 x 12 meter yang ditopangi oleh 12 tiang berbetuk silinder dengan atap pelana yang terbuat dari daun rumbia. Pada Makam ini tidak ditemukan tanggal, bulan dan tahun meninggalnya Tgk. Chik Awe Getah sehingga pengunjung maupun peneliti belum mengetahui kapan beliau mangkat.  Di dalam cungkup terdapat makam Tgk.Chik Awe Geutah dan beberapa  makam  keluarganya. Cungkup ini memilki dinding setinggi  1,10 meter. Pada sisi barat dan timur dinding luar cungkup  terdapat ornamen-ornamen yang  berbentuk pohon kalpataru dan  pintu gerbang.

  1. Balee Kalut

Balee Khalut (tempat i’tikaf) adalah sebuah bangunan yang berbentuk limas segi delapan dan juga memiliki delapan tiang penyangga berbentuk panggung yang tinggginya 1,2 meter. Bangunan ini dinding tripek beratap rumbia, bangunan ini kelihatan masih baru  yang dibangun oleh masyarakat dan ahli waris dan  bangunan balee ini didalamnya gelap karena tidak tembus cahaya. letaknya bangunan tidak jauh dari makam Tgk. Awe Getah.

Balee Khalut atau balee semedi dipergunakan untuk khalut (semedi) oleh orang-orang tertentu karena tidak semua orang mau dan semua orang mampu dan pada umumnya yang melakukan khalut orang yang tergolong lansia. Orang yang melakukan khalut ini orang yang mau dan  mampu juga berkeyakinan teguh yang tujuannya adalah untuk membersihkan diri dari dosa-dosa. Khalut adalah suatu ibadah ataupun taubat untuk  memohon ampunannya dari  kepada Allah            swt ( Yang Maha Kuasa).

  1. Kesimpulan

Uraian dan pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan Islam di Aceh sudah cukup kemajuannya sejak dulu, namun jasa-jasa Tgk. Chik  Awe Geutah sepertinya hampir terlupakan karena  penulis juga sejarawan yang menelusuri sejarahnya masih kurang  sehingga yang mengetahui  tentang sejarah ulama Sufi terkenal inipun  hanya sedikit.  Para pengunjung atau wisata baik lokal maupun manca negara yang berkunjung ke Komplek Tgk. Awe Getah ini kebanyak penasaran dengan  ulama ini  dan berkeinginan untuk menelusuri sejarahnya.  Salah seorang nara sumber:  Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom belio bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah  tetapi kakeknya pernah tinggal bersama keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah dan belio banyak mendengar cerita kakeknya tentang sejarah Tgk. Awe Getah.

Pengunjung yang datang hanya melihat pesona Rumoh Tgk. Chik Awe Getah yang masih sangat indah dan kokoh juga masih terawat dan terpelihara keasliannya.

Masyarakat daerah ini khususnya generasi penerus bangsa memahami arti dari nilai cagar budaya dan jika didalam diri sudah tertanam rasa cinta   terhadap cagar budaya maka sudah ada rasa memiliki dan tidak akan merusak tinggalan-tingglan masa lampau dengan sendirinya senantiasa untuk melindungi dan melestarikannya.

Sesuai undang-undang tentang cagar budaya, dilihat dari sisi bentuk dan jenisnya, cagar budaya yang berada di Kabupaten Bireuen ini  adalah  bangunan, struktur, situs cagar budaya yang memiliki karakteristik khas yang meliputi aspek kebendaan yang bernilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Dalam hal ini salah satu hal terpenting yang perlu ditetapkan sebagai cagar budaya.

 Daftar Pustaka

Anonim, 1999. Vadekum Benda Cagar Budaya. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala., Jakarta. ———-, 2010. Menyingkap Situs Tgk. H. Lambaet di Peusangan Siblah Krueng., artikel. dlm. Narit, Edisi XXI Oktober 2010. hlm. 13.

Widosari, 2010. Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh, dlm. Dinamika KehidupanMasyarakat Pasca Gempa & Tsunami., dlm. Local wisdom – Jurnal Ilmiah Online, Volume: II, Nomor: 2, hlm. 27 – 36, Maret 2010.

Sumber :

———-, Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom  tahun 2011

…………,  Laporan Pendataan Kabupaten Bireuen tahun 2011

http://www.atjehcyber.net/2011/06/sejarah-teungku-chik-di-awe-geutah.html