Komunitas dan perorangan memiliki peranan penting dalam Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya.
Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menyelenggarakan sosialisasi pelindungan kebudayaan bersama beberapa pemangku kepentingan bidang kebudayaan di Hutan Kota Pesanggrahan Sangga Buana, Jakarta Selatan.
Acara yang dikemas dalam bincang budaya bertajuk “Cipta, Rasa, dan Karsa untuk Pemajuan Kebudayaan” ini menghadirkan Direktur Pelindungan Kebudayaan, Irini Dewi Wanti, Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Judi Wahyudin, Kepala Bidang Pelindungan Kebudayaan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Dinas Kebudayaan Kota Jakarta Selatan, Pelestari budaya, H. Chaerudin atau dikenal dengan Babe Idin, dan komunitas budaya di wilayah DKI Jakarta. Kegiatan ini sebagai media interaksi antara pemangku kepentingan bidang kebudayaan untuk melaksanakan peran aktif dan inisiatif dalam mewujudkan pemajuan kebudayaan.
Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kemdikbudristek sebagai instansi pemerintah di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan pelindungan cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan. Hal ini juga yang mendasari dilaksanakannya diskusi interaktif dalam Bincang Budaya bersama pemerintah daerah, masyarakat, komunitas dan LSM di provinsi DKI Jakarta untuk mensosialisasikan upaya-upaya pelindungan kebudayaan baik yang bersifat kebendaan (cagar budaya) sebagaimana Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2022 tentang Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya maupun pelindungan warisan budaya takbenda untuk terwujudnya Pemajuan Kebudayaan.
Menurut Irini Dewi Wanti saat ini Ditjen Kebudayaan melalui Direktorat Pelindungan Kebudayaan sedang mengembangkan Manajemen Aset Digital (MAD) untuk menginventarisasi obyek-obyek yang diduga cagar budaya. Peran aktif komunitas dan perorangan menurut beliau sangat penting dalam registrasi tersebut. Komunitas atau perorangan yang menemukan obyek diduga cagar budaya dapat melaporkannya ke dinas yang membidangi kebudayaan di daerah. Dinas tersebut akan meneruskan laporan itu kepada tim ahli cagar budaya untuk diverifikasi dan diteliti.
”Setelah proses pengkajian tim akan bersidang untuk menentukan statusnya. Jika memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai cagar budaya, selanjutnya akan direkomendasikan kepada kepala daerah agar membuat surat keputusan untuk menetapkannya,” lanjut Irini Dewi Wanti.
“Perlu untuk digarisbawahi jika inventarisasi ini tidak bermaksud menguasai obyek cagar budaya. Pendataan menjadi bagian dari upaya pelestarian dengan mengetahui lokasi, pemilik, dan kondisi obyek tersebut sehingga nantinya dapat dilindungi,” pungkasnya.
Untuk terwujudnya pelindungan benda cagar budaya maupun warisan budaya takbenda, tentu saja diperlukan sinergi yang baik di antara para pemangku kepentingan tersebut dengan melaksanakan empat pilar upaya strategis melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sebagaimana amanat Undang-undang No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Sosialisasi Peraturan Pemerintah No 1/2022 terus digencarkan agar komunitas dan masyarakat terlibat dalam pencatatan cagar budaya. Data tersebut akan terus diperbarui, termasuk jika obyeknya hilang atau berpindah kepemilikan. Melalui sosialiasi diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa pelestarian cagar budaya membutuhkan kontribusi semua pihak, termasuk komunitas budaya. Terlebih lagi, aset cagar budaya tersebar di banyak lokasi yang dekat dengan ruang aktivitas masyarakat.