Jakarta – Ada yang berbeda dari pelataran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Kompleks Senayan, sejak Rabu pagi (5/12/2018). Pasalnya, 17 seniman berkumpul untuk melakukan mural dan menerjemahkan makna 10 Objek Pemajuan Kebudayaan dan divisualisasikan melalui gambar. Adapun pemilihan 10 Objek Pemajuan Kebudayaan ini berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olahraga tradisional. Kegiatan yang bertemakan “Kongkow Muralis” ini merupakan bagian dari rangkaian Kongres Kebudayaan Indonesia 2018.
Salah satu diantaranya ialah Samuel, seniman mural asal Yogyakarta. Samuel, demikian ia disapa, mengalihrupakan sebuah sastra lisan dalam bentuk gambar. Pria yang sudah berkecimpung di dunia seni sejak 1997 ini cenderung menggunakan warna hitam dan putih di tiap-tiap goresan gambarnya.
“Gambar ini tentang bagaimana sastra lisan, bagaimana menggambarkan para story teller bahwa kebudayaan itu juga didukung dan diperkuat oleh para pendongeng. Jadi melalui aktivitas mural ini story telling menjadi lebih komunikatif dan lebih panjang usianya. Pemilihan hitam putih pun boleh dianggap mudah tapi dianggap sulit. Mudah karena dua warna, tetapi jika bisa memiliki dampak full color nah itu tertantangnya di sana ” ujarnya di sela-sela mural.
Mural bagi Samuel bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, bagi seniman sepertinya mural menjadi bagian penting dari sebuah perangkat ekspresi. Sebagai contoh, mural dapat mempersatukan penduduk dengan kotanya, sehingga ada rasa memiliki satu sama lain.
“Dan mural menjadi hal yang paling sederhana, menjadi pintu masuk warga membuat eksistensinya kembali muncul. Ibaratnya sebagai perangkat sederhana untuk warga, supaya turut andil dalam kota dan merasa terlibat ‘ini kota saya dan saya juga mempunyainya’,” tambahnya.
Elang, seniman mural lainnya asal Komunitas Mural Depok, menerjemahkan tema 10 Objek Pemajuan Kebudayan lewat fragmen kesenian Bali. Ia bersama kelima rekannya sepakat untuk mengangkat tema Bali dalam kegiatan mural kali ini.
“Mengusung konsep Bali biar mudah dicerna saja, jadi ketika orang melihat bisa langsung dicerna,” tambahnya.
Alang berpendapat, momentum Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 menjadi peluang yang sangat ampuh untuk mengikis stigma vandalimes yang kerap disandingkan dengan seni mural.
“Makanya dari kita perwakilan menggambar jalan ini mau menunjukkan kalau kita bukan sekadar coret-coret, bisa memberi pesan terhadap yang menikmati. Paling tidak adanya kerja sama antara pemerintah dan pelaku seni, sehingga jadi terwadahi,” tukasnya.