Perahu sebagai Tradisi Maritim Nusantara

0
3663

Jakarta — Rangkaian kegiatan Konferensi Nasional Sejarah  X hari kedua dilanjutkan dengan diskusi panel 1 dan 2. Adapun salah satu tema yang dibahas pada kegiatan ini yaitu Sistem Pengetahuan dan Tradisi Bahari dengan pemakalah Dr. Mukhlis PaEni, Dr. Horst Liebner dan Dr Pudentia MPSS. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Grad Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (8/11).

Dr. Horst Liebner menjadi pembicara pertama dalam sub-tema ini. Beliau membahas sejarah pembuatan perahu dan pelayaran nusantara memiliki peranan erat bagi masyarakat Nusantara. Mengutip David Gibbins dan Jonathan Adams dalam jurnal Shipwrecks and Maritime Archeology bahwa kapal merupakan artefak paling kompleks yang diproduksi secara rutin sebelum masa Revolusi Industri. Kompleksitas tersebut tergambar dari penentuan suatu bentuk yang tidak didasarkan sebuah kubus melainkan bentuk hasil dari kombinasi kurva dalam tiga dimensi.

“Untuk membuat konstruksi besar dari perahu perlu suatu perencanaan yang matang. Pada jaman dahulu para pelayar membuat tanda-tanda di papan, membuat lubang pasak, dan mengukur jarak hal itulah yang disebut sebagai seni dalam membuat perahu,” jelas Liebner bersemangat.

Lebih lanjut, Liebner juga mengatakan bahwa pembuatan perahu membutuhkan perhitungan yang sangat cermat di antaranya harus menghitung simetris konstruksi dari perahu tersebut.  “Setiap bagian perahu mempunyai aturan tersendiri dalam pembuatannya, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa perahu dan pelayaran menjadi suatu sejarah yang tidak bisa terlepas dari Nusantara, di mana lambung perahu tergambar di salah satu relief Borobudur,” tambah Liebner.

Pembicara terakhir ialah Muchlis PaEni selaku Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia. Beliau membahas mengenai Tradisi, Perahu dan Dinamika Masyarakat. Dalam tatanan tradisi masyarakat Bugis terdapat cara dalam pemilihan nahkoda dan bagaimana cara nahkoda dalam melayarkan perahu tersebut. Apabila seseorang ingin menjadi nahkoda maka harus melalui proses lelang nahkoda. Proses selanjutnya ialah calon nahkoda tersebut dalam waktu semalam tidur telungkup di dasar perahu yang menjadi keyakinan merupakan pusat dari perahu itu. Dengan cara seperti tersebut, masyarakat Bugis percaya bahwa calon nahkoda tersebut sedang menghubungkan dengan pusat perahu. Apabila keesokan harinya masih dalam keadaan sehat bugar ia bisa melangkah ke tahap berikutnya.

Dalam wawancaranya dengan seorang nahkoda kapal Pinisi Nusantara bernama Bapak Yunus mengungkapkan bahwa adanya pengetahuan navigasi dengan cara mensinkronkan urat syaraf yang ada di belakang tubuh dengan arus laut dengan cara tidur di bagian perahu yang paling bawah. Sehingga ia sudah mengenal arus laut dari perjalanan yang dilakukannya. Apabila arus laut tersebut mengalami perubahan berarti perahu tersebut berada di arah yang salah. Kemampuan membaca arus laut tersebut baru didapatkan dari pengalamannya diatas laut selama puluhan tahun.

“Saat ini dalam sistem pendidikan baru dalam sekolah pelayaran, ilmu pengetahuan tersebut bisa di transformasi dalam sistem pelayaran navigasi. Saya kira ini menjadi tantangan yang sangat penting ketika dinamika kebaharian kita dipacu untuk melakukan transformasi pengetahuan dari pengetahuan-pengetahuan tradisi seperti ini ke pengetahuan modern dalam pelayaran” lanjut Muchlis PaEni.

Muchlis PaEni juga menjelaskan bahwa Kapal Pinisi layak diajukan sebagai warisan budaya. “Pengajuan Pinisi sebagai warisan budaya bukan semata-mata karena bentuknya melainkan teknologi pembuatannya sebagai warisan dunia,” tukas Muchlas PaEni.

Kegiatan Konferensi Nasional Sejarah merupakan agenda lima tahunan yang rutin diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia. Kegiatan ini diikuti berbagai kalangan profesi mulai dari sejarawan, dosen, guru, mahasiswa dan masyarakat luas. Konferensi Nasional Sejarah X dilaksanakan pada tanggal 7-10 November 2016 dengan tema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa Dalam Perspektif Sejarah”.

Penulis: Wanti Hidayah