Surakarta – Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam pidatonya menyatakan keseriusannya dalam membangun kebudayaan Indonesia, salah satunya ialah mengajak seluruh pihak terkait untuk fokus menentukan indikator keberhasilan kebudayaan. Hal tersebut disampaikannya dalam pidato pembukaan Rapat Koordinasi Bidang Kebudayaan 2016, di The Sunan Hotel, Selasa (22/3).
“Ada beberapa PR yang harus diselesaikan oleh kita semua yaitu dalam hal indikator. Apa sebenarnya ukuran keberhasilan dari program pelestarian budaya? Kalau dalam pendidikan, ukurannya jelas yakni jumlah sekolah yang sudah dibangun, berapa anak yang sekolah, dan seterusnya. Namun, dalam bidang kebudayaan, indikator ini masih sangat sulit. Kita belum bisa mengukur kemajuan dalam bidang kebudayaan,” papar Hilmar.
Rencana pembangunan jangka menengah itu, lanjutnya, indikator yang digunakan adalah indeks sosial. “Tentu kita bertanya, bagaimana caranya mengukur? Salah satunya ialah melihat meningkatnya semangat gotong royong dengan salah satu kegiatan program kita,” katanya.
Menentukan alat ukur kinerja yang lebih tepat untuk kegiatan program kebudayaan, baik di pusat atau daerah dirasa menjadi salah satu cara yang tepat untuk memulainya. Sebab, dengan cara tersebut, indeks keberhasilan dapat dikembangkan. Laporan-laporan kegiatan sebelumnya dapat digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan hal itu.
Dalam pengamatannya, kebudayaan jelas berdampingan dengan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti menonton film dan bahkan bertemu dengan pelakon dunia hiburan seperti seniman, artis, dan budayawan. Pekerjaan semacam ini jelas mempersulit cara menentukan alat ukur. Sehingga, Hilmar mengingatkan para peserta Rakor 2016 bahwa yang sedang dihadapi ini adalah sebuah tantangan.
“Kita harus segera memastikan dan menentukan alat ukur yang tepat yang ingin kita kembangkan. Karena, hanya dengan begitu, maka kehadiran kebudayaan dalam proses pembangunan menjadi konkrit. Kalau tidak, selamanya kebudayaan hanya akan menjadi dekorasi dalam pembangunan. Kita tidak inginkan itu. Kebudayaan sudah sejatinya menjadi hulu dalam pembangunan. Tapi kalau dari kita tidak memiliki keinginan dan alat ukur, serta perangkat yang jelas untuk memastikan kedudukan itu, maka sulit jadinya. Sebab sekali lagi, kebudayaan bukan dekorasi dalam pembangunan!” tutup Hilmar.