Press Release Seminar Nasional Noken Sebagai Warisan Budaya TakBenda

0
1817

Papua merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki sekitar 250 kelompok suku bangsa dengan 300 bahasa lokal yang tersebar di seluruh pelosok wilayah itu. Pada umumnya masyarakat Papua hidup sederhana dengan memanfaatkan unsur alam sekitarnya secara tradisional. Budaya yang dihasilkan oleh masyarakat Papua memiliki keunikan tersendiri. Salah satu produk budaya yang unik dan khas tersebut adalah noken. Kerajinan ini tersebar di beberapa daerah seperti di Jayapura, Paniai, Wamena, Merauke, Sorong, Biak, Manokwari, da Nabire.

Noken merupakan kerajinan tradisional masyarakat Papua berwujud serupa tas bertali yang cara membawanya dikalungkan leher atau digantungkan pada kepala bagian dahi yang diarahkan ke punggung. Seperti tas pada umumnya, noken digunakan untuk membawa barang kebutuhan sehari-hari. Namun, noken tetaplah noken, bukan tas atau kantong, dan sebaliknya tas bukanlah noken. Jadi, noken merupakan kategori produk kerajinan yang khas. Dewasa ini noken menjadi ikon budaya dan identitas masyarakat Papua.

Noken memiliki simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan bagi masyarakat Papua terutama di daerah Pegunungan Puncak seperti suku Damal, suku Yali, suku Dani, suku Lani, suku Mee, suku Moni, suku Bauzi, dan beberapa suku yang lain. Semula noken dibuat oleh masyarakat Papua sebagai wadah atau tempat barang kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Papua umumnya menggunakan noken untuk membawa hasil pertanian, seperti sayuran, umbi-umbian, dan membawa barang dagangan ke pasar. Selain itu, noken juga digunakan untuk membawa kayu bakar dan menggendong anak. Namun, sejatinya noken memiliki arti dan fungsi yang lebih luas dan mendalam, seperti arti sosial, ekonomi, dan budaya.

Noken dalam bahasa daerah pada suku bangsa yang ada di Papua mempunyai nama-nama yang berbeda, misalnya Su itu sebutan dari Suku Hugula, Jum sebutan Suku Dani; Sum sebutan Suku Yali, Inokenson, Inoken sebutan Suku Biak, Agiya banyak disebut Suku Mee, Ese sebutan dari Suku Asmat, Dump sebutan Suku Irarutu. Suku Serui menyebutnya dengan kata Rotang, Aderi, atau Kaketa, sedangkan Suku Tabi/Sentani menyebutnya Kangke atau Koroboi, Suku Ayamaru/Maybrat, Ayvat menyebutnya Eyu atau Yuta, Suku Tehit biasa dengan menyebut Qya Qsi, Qya Queri, Iquiyabos. Sedangkan Suku Moi menyebutnya dengan kata Kwok, dan Suku Moli menyebutkan dengan kata Naya; dan lain-lainnya.

Sejak dahulu noken digunakan dalam berbagai acara adat masyarakat Papua. Contoh penggunaan noken yang berkaitan dengan adat tersebut antara lain sebagai pelengkap dalam pelamaran gadis, upacara perkawinan, upacara inisiasi anak, pengangkatan kepala suku, dan penyimpanan harta pusaka. Selain itu adalah pada saat masyarakat menyambut tamu umumnya berpakaian adat termasuk noken.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengenai sejarah noken. Namun demikian, dengan melihat berbagai kegunaan dan fungsi noken yang digunakan dalam upacara adat, dapat diperkirakan bahwa noken telah dikenal masyarakat Papua sejak kurun waktu yang lama. Berbagai informasi yang ada menyebutkan bahwa sejak dahulu noken juga digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari. Fungsi sehari-hari noken yang berukuran besar adalah untuk membawa hasil kebun, hasil laut, kayu, bayi, hewan kecil, belanjaan dan untuk digantung di dalam rumah untuk menyimpan barang. Sedangkan noken yang berukuran kecil digunakan untuk membawa barang pribadi antara lain uang, sirih, makanan, buku, dll. Disamping itu, noken juga dapat digunakan sebagai tutup kepala atau badan.

Noken terbuat dari serat pohon, kulit kayu, rumput rawa, rotan dan daun pandan yang tumbuh liar di daerah pegunungan, pedalaman, pesisir dan pulau-pulau. Beberapa jenis pohon yang digunakan sebagai bahan baku noken antara lain manduan, nawa dan puma yang biasanya tumbuh di wilayah dataran dan pegunungan. Rotan tumbuh subur di hutan-hutan, sementara rumput dan pandan tumbuh di rawa-rawa. Dengan demikian, alam Papua menyediakan bahan dasar pembuatan noken secara melimpah.

Pada umumnya pembuatan noken dikerjakan oleh kaum perempuan-biasa disebut “mama-mama” dalam komunitas masyarakat Papua yang telah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi selama ratusan tahun. Dalam perkembangannya, generasi muda Papua masa kini kurang berminat untuk membuat noken. Mungkin, hal tersebut karena pembuatan noken cukup rumit dan tidak bisa menggunakan mesin. Bila hal ini terus berlangsung, noken dikhawatirkan terancam punah, karena hal itu pemerintah berkewajiban melakukan perlindungan terhadap hasil karya budaya tersebut.

Upaya yang dilakukan Pemerintah dan masyarakat Papua untuk menetapkan noken sebagai warisan budaya Takbenda oleh UNESCO melalui proses panjang dan rumit yang memakan waktu lebih dari 2 (dua) tahun. Dengan ditetapkannya Noken oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda yaitu pada tanggal 4 Desember 2013 menunjukkan bahwa dunia telah mengakui Noken sebagai salah satu identitas budaya masyarakat Papua yang perlu dijaga kelestariannya, sehingga bisa tetap dipertahankan sebagai Warisan Budaya Takbenda.

Bertolak dari kondisi tersebut di atas, dalam rangka Perayaan Sertifikat Noken, maka Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Penetapan Noken Sebagai Warisan Budaya Takbenda”. Melalui Seminar ini, diharapkan para pelaku pendidikan dan pemerhati budaya di Indonesia dapat ikut serta melestarikan noken sebagai salah satu budaya Indonesia yang telah diakui oleh dunia.

Jakarta, 25 Oktober 2013

Hotel Millenium Sirih