Gita Naomi Gracia: Penerus Tenun Badong

0
3551

Gita Naomi Gracia namanya. Di usianya yang masih belia (lahir 9 November 2005)
ia telah melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh orang-orang dewasa: menenun
kain badong, kain tenun khas suku Dayak Benuaq di Kutai Barat. Sebuah aktivitas yang
tidak gampang. Sebab, menenun menuntut penenunnya memberikan curahan perhatian khusus, fokus, konsisten dan memiliki daya tahan agar menghasilkan kain tenun yang
baik, indah, dan bernilai tinggi.

Gita adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Rudi dan Jamah. Kedua
orangtua Gita memang dikenal sebagai penenun dan pedagang kain tenun. Sang ibu (Jamah) menenun, sedangkan sang bapak (Rudi) aktif mencari berbagai peluang untuk memasarkan kain tenun buatan sang istri dan rekan-rekan di kampungnya.

Pada usia yang ke-10, Gita Naomi Gracia mulai memberanikan diri untuk belajar menenun. “Aku melihat menenun itu seru karena dapat menciptakan kain yang indah,” kata Gita. Selain itu, tambahnya, kain tenunan juga dapat membantu perekonomian keluarga. Selembar kain tenun badong dihargai antara Rp 500.000 hingga Rp 800.000. Keinginan Gita untuk menjadi seorang penenun bukan tanpa hambatan. Awalnya ia harus mencuri-curi kesempatan agar dapat belajar menenun, lantaran hal itu ia lakukan dengan melanjutkan pengerjaan kain tenun yang sedang ditenun oleh ibunya. Begitu sang ibu sedang beristirahat atau sedang ada keperluan lain, Gita diam-diam duduk berselonjor di depan alat tenun tradisional milik keluarga mereka dan melanjutkan aktivitas menenun kain badong yang telah diawali oleh ibunya.

Beberapa kali sang ibu heran melihat tenunannya selalu bertambah jika ditinggal pergi. Ketika ditanya, Gita pun tidak mengaku bahwa ia yang meneruskan kegiatan penenunan. Gita maklum, takut sang ibu khawatir: alih-alih membantu menyelesaikan tenunan menjadi kain, salah-salah malah dapat merusaknya. Sebab, jika ada kekeliruan seperti salah dalam menyusun motif atau kurang rapi, maka akan sangat sulit memperbaikinya. Sang ibu tentu saja tahu “ulah” si Gita kecil, tetapi—sebagai orangtua yang bijak—sengaja tak ia perlihatkan. Terlebih hasil tenunan Gita terlihat bagus dan rapi, sang ibu malah mengeluarkan pujian, sampai akhirnya muncul pengakuan Gita bahwa dialah yang melanjutkan tenunan tersebut.

“Pertama saya bingung, kenapa kain tenun yang saya kerjakan tidak sama seperti waktu saya tinggalkan. Karena hasilnya bagus, saya memuji, bukannya memarahi siapa yang melanjutkan. Akhirnya Gita mau mengaku,” ujar sang Ibu.

Melihat karya Gita yang bagus dan rapi, ibu dan ayah Gita membelikan alat menenun khusus untuk dirinya sendiri. Sejak saat itu, Gita mulai menenun secara terang-terangan. Setiap sepulang sekolah, Gita menenun. Dua sampai tiga jam sehari. Alhasil, sampai sejauh ini Gita sudah menghasilkan 25 lembar kain tenun badong. “Semuanya sudah laku terjual,” kata Gita sambil tersenyum bangga.

Selain keindahannya, motif-motif yang tergambar di tenun badong juga memiliki makna bagi masyarakat Kutai Barat, khususnya Kampung Perigiq. “Misalnya badong tumpi, bentuknya seperti kue tumpi yang dibuat menyerupai bunga. Kue tumpi adalah makanan khas Kampung Perigiq. Lalu ada badong perahu, di mana motifnya bergambar persegi yang melambangkan perahu. Artinya masyarakat di sini hidupnya dekat sungai dan perahu penting bagi masyarakat,” tutur Gita.

Gita tinggal di Kampung Perigiq, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Lingkungan Gita tinggal berada di pinggir sungai. Jalan di kampung Gita pun berupa jembatan yang terbuat dari kayu, yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lain di kampung tersebut. Kampung Perigiq terkenal sebagai kampung penghasil tenun badong. Tenun badong sudah menjadi bagian sehari-hari di kampung ini. Hampir seluruh perempuan di sana menjadi penenun. Aktivitas menenun badong di Kampung Perigiq ini semakin menguat karena dukungan dan perhatian dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kutai Barat, antara lain, dalam bentuk memberikan kesempatan kepada para perajin tenun badong mengikuti pameran di tingkat provinsi dan nasional.

Lewat dukungan Dekranasda Kutai Barat pula, Gita mendapatkan kesempatan ikut berpameran di Jakarta, Balikpapan dan Samarinda. Di Jakarta, Gita diajak mengikuti INACRAFT pada April 2017. INACRAFT adalah pameran kerajinan tangan terbesar di Asia Tenggara, yang dilaksanakan setiap tahun sejak April 1999. Gita mendapatkan kenangan yang tidak terlupakan dalam kesempatan itu.

Sang Ibu bercerita, “Sewaktu menenun di tempat (booth) Dekranasda Kutai Barat, Gita dikunjungi oleh Ibu Mufidah Kalla, (istri Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang juga adalah Ketua Dewan Kerajinan Nasional). Ibu Mufidah Kalla senang melihat Gita menenun. Beliau lalu menanyakan Gita: ‘Mau meminta apa (dari dirinya)?’ Gita jawab ingin sepeda. Sambil bercanda, Ibu Mufidah menjawab bahwa ia bukan (Presiden) Jokowi. Akhirnya beliau memberikan sejumlah uang untuk Gita.”

Rasa bahagia dan bangga terpancar dari raut wajah orangtua Gita, teman-teman sebayany,a dan penenunpenenun lain di kampungnya mengetahui Gita sebagai calon penerima Anugerah Kebudayaan 2019 untuk kategori Anak dan Remaja. Mereka mengakui bahwa Gita memiliki ketekunan dan keuletan yang luar biasa dalam menenun dan mengajak kawan-kawan sebayanya untuk menenun. Hingga saat ini sudah banyak penenun-penenun cilik di Kampung Perigiq.

Sekarang Gita sudah duduk di sekolah menengah pertama (SMP), yang lokasi sekolahnya itu agak jauh dari rumah mereka. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Gita untuk menenun. Setiap ia pulang sekolah, sesampai di rumah ia selalu menenun.

Gita yang ingin menjadi apoteker ini pun tidak ingin meninggalkan aktivitas menenunnya ketika besar nanti. Ia ingin menimba ilmu dan meluaskan wawasannya untuk memajukan kain tenun badong. “Aku berharap kain tenun badong dapat terus lestari dengan semakin banyaknya penenun dan semakin banyak tempat untuk berjualan. Buat teman-temanku, jangan gengsi untuk melestarikan kebudayaan sendiri, walaupun sudah banyak budaya asing. Sebab, kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?” ujar Gita.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019