Angklung Indonesia (Indonesian Angklung) masuk dalam ICH LIST UNESCO pada tanggal 16 November 2010 dalam kategori “Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Human”.

Angklung adalah alat musik Indonesia yang terdiri dari 2-4 tabung bambu yang disusun dalam satu rangakaian bambu yang diikat dengan tali rotan. Setiap tabung bambu dibuat dengan hati-hati oleh pengrajin untuk menghasilkan suara ketika rangkaian bambu tersebut diguncangkan oleh pemain. Setiap Angklung menghasilkan satu kord, sehingga pemain harus berkolaborasi dalam memain melodi.

Angklung dipelajari oleh warga negara asing

Angklung tradisional menggunakan skala pentatonik, tetapi pada tahun 1938 musisi Daeng Soetigna memperkenalkan angklung menggunakan skala diatonis; hal ini dikenal sebagai ”Angklung Padaeng”. Angklung berkaitan erat dengan adat istiadat, seni dan identitas budaya di Indonesia, dimainkan saat upacara seperti penanaman padi, panen dan khitanan.

Bambu hitam pembuatan Angklung dipanen selama dua minggu dalam setahun dan dipotong setidaknya tiga bagian dari atas tanah, hal ini untuk memastikan akar terus merambat dan tumbuh. Pendidikan angklung ditularkan secara lisan dari generasi ke generasi, dan berlanjut juga di lembaga pendidikan. Karena kolaborasi yang alami dalam musik Angklung, membutuhkan kerjasama yang baik dan saling menghormati di antara pemain. Dibutuhkan juga rasa disiplin, tanggungjawab, konsentrasi, pengembangan imajinasi dalam otak sehingga menjadi kesenian yang baik dan membawa perasaan senang dalam bermusik.

(Sumber: www.warisanbudaya.kemdikbud.go.id)