You are currently viewing Latar Belakang Sejarah (Bagian 1), Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya

Latar Belakang Sejarah (Bagian 1), Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah sampai saat terus menerbitkan buku bertema Cagar Budaya. Beberapa buku yang telah diterbitkan merupakan buku yang cukup sering digunakan untuk referensi guna melakukan tindakan pelestarian suatu cagar budaya. Buku-buku ini sering disebut sebagai buku “Babon” karena sangat memegang peranan penting. Salah satu buku “Babon” ini adalah Buku Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya. Adapun tim penulis buku ini adalah Penasehat/editor : IGN Anom, Penanggung Jawab : Tri Hatmaji, Tim Penyusun terdiri dari Ketua : Kusen, Anggota : I Made Kusumajaya, Gutomo, Rusmulia Ciptadi H, Murdjijono, Sudarno, dan Suhardi. Buku ini diterbitkan sebagai bagian Proyek Pelestarian / Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah 1991- 1992. Untuk lebih memudahkan akses masyarakat untuk dapat membaca buku ini, laman ini akan menampilkan bagian per bagian dari buku Candi Sewu dan Sejarah Pemugarannya.

Candi Sewu merupakan sebuah kompleks candi Buddha di Jawa Tengah yang besarnya hanya kalah dengan candi Borobudur. Ditinjau dari luasnya kompleks dan banyaknya bangunan yang terdapat dalam kompleks yang diduga Candi Sewu dahulu merupakan candi kerajaan. Pada tahun 1960, di kompleks Candi Sewu telah ditemukan sebuah bangunan suci yang bernama Manjusrigrha. Melalui prasasti ini paling tidak ada dua hal yang dapat diketahui. Pertama, mengingat pada tahun 792 Masehi candi telah disempurnakan maka awal pembangunannya tentu telah dilakukan sebelum tahun itu. Kedua, nama asli Candi Sewu adalah Manjusrigrha yang artinya
rumah Manjusri. Manjusri adalah nama salah satu bodhisattwa yang berkedudukan sebagai “dewa” dalam agama Buddha.


Tentang datangnya pengaruh kebudayaan India ke Indonesia ada beberapa hipotesis. Hipotesis pertama mengatakan bahwa pembawa pengaruh adalah golongan ksatria melalui ekspedisi militer, penaklukan yang kemudian dilanjutkan dengan kolonialisme. Hipotesis kedua menyatakan bahwa pembawa pengaruh adalah golongan waisya melalui kontak dagang, kolonialisme, dan perkawinan dengan
penduduk asli. Hipotesis ketiga menyatakan bahwa pembawa pengaruh adalah golongan brahmana yang datang ke Indonesia karena didorong oleh semangat misionaris mereka.