Secara geografis, wilayah lautan Indonesia lebih luas dibandingkan dengan wilayah daratan Indonesia. Hal tersebut turut mempengaruhi pola kehidupan masyarakat sesuai dengan habitatnya. Menurut Susanto Zuhdi, setidaknya ada dua karakter pola negara di Indonesia yaitu negara persawahan dataran rendah yang menurunkan kehidupan agraris dan negara laut persungaian yang menurunkan kehidupan maritim. Masyarakat dengan pola kehidupan maritim biasanya tinggal di daerah pesisir pantai, salah satunya ialah masyarakat yang berada di pesisir pantai Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pantai-pantai tersebut diantaranya Pantai Sindangkerta, Pantai Pamoyangsari, dan Pantai Karangtawulan.
Sebagian besar masyarakat pesisir pantai tersebut bermata pencaharian sebagai nelayan yang memanfaatkan sumber daya perairan sebagai tempat untuk mencari nafkah dan juga destinasi wisata. Hasil laut yang diperoleh bisa untuk dikonsumsi sendiri dan ada juga yang dijual. Seperti di Pantai Pamayangsari misalnya, Pantai Pamayangsari menjadi pusat kegiatan aktivitas penangkapan ikan para nelayan di Pantai Selatan Tasikmalaya.
Masyarakat yang hidup dan tinggal di pesisir pantai untuk memanfaatkan sumber daya laut bisa disebut juga sebagai masyarakat bahari. Masyarakat yang memanfaatkan wilayah perairan baik perairan laut maupun sungai tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial dan budaya yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Salah satu tradisi bahari yang masih dijalankan dalam masyarakat nelayan ialah Kegiatan Pesta Nelayan seperti Upacara Hajat Laut. Upacara Hajat Laut biasanya dilaksanakan setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur terima kasih terhadap laut atau dalam hal ini kepercayaan terhadap adanya Ratu Pantai Selatan atas nikmat hasil laut yang telat dilimpahkan. Upacara Hajat Laut tersebut biasanya dikemas sedemikian rupa dengan pertunjukan kesenian rakyat, bazar, perlombaan membuat peralatan melaut (merajut jaring, tali pemberat) dan acapkali juga disertai dengan tabligh akbar.
“Salah satu yang menarik dari upacara ini adalah prosesi menghanyutkan jampana yang berisi kepala hewan ternak ke laut sebagai sesaji atau makanan. Namun seiring dengan masuknya ajaran agama Islam, Upacara Hajat Laut ini mengalami penggeseran makna. Jampana tidak lagi diisi dengan kepala hewan ternak, melainkan dibiarkan kosong. Kemudian, prosesi menghanyutkan jampana sebagai sesaji saat ini hanya prosesi simbolis semata.” Selain perubahan makna, (tujuan dari upacara ini juga mengalami perubahan) juga terdapat pergeseran tujuan upacara. Upacara tersebut menjadi pagelaran budaya dan menjadi destinasi wisata unggulan di Kabupaten Tasikmalaya. (Wanti Hidayah)
Sumber:
Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu. Hal. 63.