Jakarta – Tamsil atau perumpamaan dunia kelautan banyak digunakan dalam syair-syair Melayu pada abad ke-16 dan 17. Disebutkan, dalam dongeng-dongeng nusantara, tamsil perahu kapal digunakan untuk menerangkan hubungan antara alam nyata dan gaib, di mana kapal atau perahu dijadikan sarana untuk menghubungkannya.
Hal tersebut disampaikan Abdul Hadi W.M salah seorang pemakalah dalam Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (8/11). Dalam makalahnya yang berjudul ‘Perahu, Kapal dan Dagang: Dunia Pelayaran dalam Syair Melayu’, ia memaparkan empat kemungkinan tujuan digunakannya tamsil dalam syair-syair Melayu pada abad tersebut.
“Pertama, untuk menggambarkan kompleksitas ajaran kerohanian yang mereka amalkan secara simbolik, yaitu tasawuf. Kedua, tamsil kapal digunakan untuk menerangkan penciptaan manusia dari pohon hayat dan keharusan melakukan pelayaran mengarungi lautan kehidupan. Ketiga, menggambarkan seluk-beluk dari ajaran metafisika sufi. Keempat, laut dijadikan perlambang jiwa manusia yang selalu bergolak dan hanya bisa tenang apabila menyatu dengan roh,” paparnya. Dalam psikologi, lanjutnya, sufi jiwa digambarkan sebagai wanita, sedangkan roh sebagai lelaki.
Dalam Bukunya “Dilthey” yang diterbitkan pada tahun 1962, Abdul menjelaskan, karya sastra memiliki arti penting sebagai sumber sejarah. “Karena karya sastra yang ada dalam suatu masyarakat mencerminkan perkembangan tingkat intelektual dan spiritual suatu bangsa, dan dinamika budaya bangsa yang bersangkutan,” lanjut Abdul.
Melalui karya sastra, manusia dapat mengetahui aliran-aliran pemikiran filsafat dan keagamaan yang pernah berkembang dalam masyarakat. “Namun perlu diingat bahwa, perkembangan tradisi intelektual dari suatu bangsa banyak dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lahiriyah dari sejarah. Sejarah bangsa Indonesia sendiri tidak bisa dipisahkan dari sejarah laut dan pelayaran,” ia menegaskan.
Sementara itu, munculnya peradaban-peradaban baru di kepulauan Nusantara diawali dengan ramainya kegiatan pelayaran dan perdagangan antara nusantara dan negeri-negeri di mana agama Hindu, Islam, dan Kristen berkembang.
“Bagi penulis Melayu pada zaman itu, menulis syair bukan semata-mata mengekspresikan pikiran dan perasaan pribadi, tetapi juga untuk mengungkapkan hasil perenungan terhadap pengalaman batin mereka dalam menempuh perjalanan spiritual melalui tasawuf atau ilmu suluk. Hasil renungan itu kemudian ditransformasikan dalam ungkapan estetik sastra yang disebut syair atau puisi,” tukas Abdul.