Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan terus mendorong upaya pemenuhan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya bagi penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Komitmen tersebut merupakan amanat dari Pasal 18B ayat (2) dimana negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Hak masyarakat adat telah dijamin oleh konstitusi, namun dalam praktiknya masih ditemukan berbagai pelanggaran yang berpotensi menghambat pemenuhannya. Masih tingginya pelanggaran seringkali terjadi karena ketidaktahuan masyarakat adat terkait haknya. Untuk memastikan masyarakat adat memiliki kemampuan dan pengetahuan dalam upaya pemenuhan haknya maka Ditjen Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan Lokalatih Swabela Masyarakat Adat.
Pelanggaran yang dialami oleh masyarakat adat kadang sulit dicegah, kecuali oleh mereka sendiri, karena itulah mereka harus dibekali dengan kemampuan untuk membela diri supaya meminimalisasi terjadinya pelanggaran yang menyebabkan tidak terpenuhi hak-haknya, ungkap Christriyati Ariani, Ketua Kelompok Kerja (Kapokja) Advokasi Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat. Dalam lokalatih ini juga diberikan pengetahauan terkait hukum, karena seringkali dalam memperjuangkan haknya, masyarakat adat harus menghadapi persoalan hukum.
Lokalatih Swabela Masyarakat Adat diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, dan didukung oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Badan Pengurus Marapu, Sumba Integrated Development (SID), dan Marungga Foundation. Dilaksanakan di Kampung Prailiu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 19 Juni hingga 23 Juni 2023.
Pulau Sumba, dipilih sebagai lokasi penyelenggaran kegiatan ini selain karena jumlah penghayat kepercayaan sekaligus masyarakat adatnya besar, juga karena masih sering terjadi persoalan yang menghambat pemenuhan hak. Merunut beberapa tahun belakangan di Pulau Sumba telah terjadi persoalan-persoalan terkait layanan pendidikan, ekspresi budaya, layanan kependudukan, hingga persoalan penguasaan tanah ulayat yang dialami oleh masyarakat adat.
Selama lima hari pelaksanaan kegiatan, lima puluh orang peserta yang terdiri dari anggota Badan Pengurus Marapu dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) akan mendiskusikan tentang kemampuan dan pengetahuan swabela yang harus dimiliki oleh masyarakat adat. Selain materi dari aspek hukum, kegiatan ini menjadi ruang untuk menyosialisasikan layanan untuk penghayat kepercayaan dan masyarakat adat, khususnya dari Ditjen Kebudayaan.
Umbu Maramba Meha, salah seorang peserta yang juga Ketua Badan Pengurus Marapu menyampaikan bahwa dirinya dan mungkin masyarakat adat yang lain seringkali menghadapi situasi yang sulit karena tidak memiliki pengetahuan hukum. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menekan masyarakat adat sehingga tidak memperoleh haknya dengan layak.
Selain itu kami -masyarakat adat, yang selama ini mewariskan pengetahuan secara tutur, sangat perlu mencatat pengetahuan dan sejarah. Karena nantinya jika terjadi persoalan yang menyangkut tentang adat, catatan-catatan itu dapat menjadi dokumen pendukung. Kegiatan ini membuat kami mendapatkan banyak masukan dan wawasan untuk menyelesaikan persoalan dengan cara-cara budaya, dengan berbekal hal-hal yang sudah kami miliki. Harapannya mulai hari ini masyarakat adat -khususnya di Pulau Sumba, tidak akan lagi mengalami pelanggaran pemenuhan hak, pungkasnya.