Sidang Komisi 5 Sesi 1, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (10/10)

0
903

Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal (10/10) ini terdapat Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.

Sidang komisi 5 pada sesi 1 dilaksanakan Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan topik Pendidikan Kebudayaan yang dimoderatori oleh Sudirman Somari.

DSC_0406

Paparan pertama dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Endo Suanda.

Paparan kedua dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Tjetjep Rohendi Rohidi  dengan judul Seni Sebagai Sarana Pendidikan Kebudayaan Upaya Menjadi “Indonesia Baru”.

Upaya untuk membangun kapasitas kreatif dan kesadaran budaya, saat ini, merupakan suatu usaha yang rumit dan kritis, tetapi tidak dapat dielakkan. Usaha ini menjadi tanggung jawab semua pihak dan masyarakat untuk bersama-sama mengerahkan tenaga dan pikiran bagi memastikan generasi baru kita memperoleh pengetahuan dan kemampuan, dan yang lebih penting lagi, memiliki sikap dan nilai-nilai, prinsip etika, dan arah moral untuk menjadi masyarakat Indonesia, sekaligus masyarakat dunia,  yang bertanggung jawab serta menjamin masa depan yang lebih cerah. Pendidikan universal yang berkualitas tinggi merupakan suatu kebutuhan

Kesenian merupakan salah satu unsure yang senantiasa ada pada setiap bentuk kebudayaan. Agaknya, keberadaannya ini erat berkaitan dengan kebutuhan manusia yang mendasar untuk memenuhi kepuasannya akan keindahan. Gambar-gambar prasejarah dan catatan-catatan etnografis menunjukkan bahwa di dunia ini tidak ada satu masyarakat pun yang tidak menyisihkan waktunya untuk berkesenian. Betapapun sulitnya kehidupan masyarakat yang bersangkutan, mereka tidak akan menghabiskan waktunya untuk mencari makanan dan perlindungan semata-mata. Beberapa pakar menyebutkan bahwa kekunoan, kesemestaan, serta kesetiaan seni menyertai kehidupan manusia sejak kehidupan awalnya, telah membuktikan bahwa kesenian tidaklah semata-mata keharusan melainkan sebagai suatu kebutuhan. Bahkan, lebih jauh lagi, dapat dikatakan sebagai kebutuhan bio-sosiologis; hal ini perlu ditegaskan sejalan dengan telah diketahuinya fungsi otak sebelah kanan yang merupakan sistem benak kesenian. Sebagai salah satu unsur dari kebudayaan, kesenian tidak semata-mata menyentuh matra kesenian saja. Masalah kesenian tidak pernah terlepas dari masalah keseluruhan kebudayaan cara pikir, suasana, cita rasa, diafragma pandangan semesta, politik mengelola hidup, seluruhnya melekat pada gugusan nilai-nilai, makna-makna, moral, keyakinan dan kepercayaan serta pengetahuan.

“Indonesia Baru” berarti Indonesia yang mampu tampil dengan mengoptimalkan berbagai potensi dan kekayaannya yang berlandaskan akar jatidiri yang kuat.  Menjadi “Indonesia Baru” merupakan sesuatu yang sangat dicita-citakan oleh segenap bangsa Indonsesia. Menjadi bangsa yang bermartabat, berdaya saing, serta memiliki karakter kebangsaan yang bersumber dari nilai-nilai luhur budayanya. Menjadi “Indonesia Baru” adalah suatu keniscayaan, ditengah krisis kebudayaan yang tengah melanda bangsa Indonesia di abad 21 ini, di saat nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan dipertaruhkan, dan disaat ketidakmampuan bidang-bidang lain membawa perubahan untuk kemajuan bangsa. Inilah bangsa Indonesia tampil dan berdaya saing secara global menggunakan kekayaan dan potensi-potensi yang sudah mengakarkuat, yaitu melalui strategi kebudayaan.

Potensi kesenian tersebut mampu mengantarkan Indonesia sebagai bangsa yang mampu mencapai martabat yang luhur. Implikasinya sebagai berikut:

  • Penerapan seni sebagai media pendidikan kebudayaan mengandung makna memilih pendidikan seni yang diterapkan secara luas, yang bertumpu kepada kesedaran budaya sendiri, sebagai sarana strategis untuk pengalihan kebudayaan dari generasi satu ke generasi selanjutnya.
  • Kebudayaan nasional harus menjadi acuan bagi perlaksanaan pendidikan seni, perlaksanaannya harus mampu mengubah kerangka acuan yang selama ini lebih didominasi oleh pemikiran dan konsep-konsep barat. Ia perlu menjadi penyeimbang pada gejala globalisasi yang datang sedemikian gencar, dan perlu menjadi asas bagi pengembangan identitas yang berakar pada sejarah dan kebudayaan sendiri.
  • Seni, yang bersumber dari nilai-nilai lokalitas dan keberagaman bangsa, perlu dipandang sebagai sumber idea bagi perlaksaaan pendidikan dan penghasilan karya. Dalam dunia yang semakin mnantang ini, di mana kebenaran tunggal kembali dipersoalkan, maka Seni berbasis kearifan lokal bangsa Indonesia sebagai sumber idea memberi landasan yang kuat dan berbagai ragam bagi terbangunnya wacana kontemporer.
  • Kekayaan penggunaan keberagaman keunikan gagasan dan teknik kesenian lokal di Indonesia,  menjadi bahan rujukan bagi ditemukannya media dan teknik-teknik baru, yang mampu berkembang dan tampil dalam ranah global.

kesenian memiliki potensi sangat besar sebagai sarana pendidikan kebudayaan. Kesenian tidak dipandang sebagai masalah karya atau desainnya semata-mata, melainkan secara sistemik berkaitan dengan: (1)sistem nilai yang menjadi acuan penciptaan, (2) kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder, dan bahwa waga (masyarakat) pencipta, dan pengamat atau penikmat yang baik, (3) sumber daya alam-fidik, dan sosio-budaya yan digunakan dan dapat dimanfaatkan, dang demikian juga dengan perubahan-perubahan jenis sifat, kualitas, dan kuantitasnya, (4) pranata-pranata yang ada (yang perlu ada) yang mampu memberikan perlindungan bagi pencipya karya seni , dan (5) individu, individu (sebagai pencipta, pemerhati, pemeduli,dan pengguna sni) yang secara potensial mampu untuk melestarikandan meningkatkan mutu kesenian yang dapat menjadi kebanggaan diri maupun kebanggaan budaya yang lebih luas (nasional maupun internasional)

DSC_0409

Paparan ketiga dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Robert Sibarani dengan judul Seni Peran Sumber Daya Kebudayaan Dalam Pendidikan Kebudayaan.

Dalam rangka pelestarian dan revitalisasi budaya, ada enam sumber daya manusia (SDM) budaya yang sangat perlu diperhatikan,  yakni (1) pelaku,  (2)  pendukung, (3) akademisi,  (4) pemerintah, (5) promotor budaya,  dan (6) industriwan budaya,  yang dapat diklasifikasikan pada tiga pilar SDM tradisi budaya.

Perumusan  model revitalisasi dan pelestarian ini harus dilakukan secara saksama agar benar-benar dapat diterapkan dan diterima oleh komunitasnya. Hal ini perlu apalagi kalau tradisi budaya itu telah lama ditinggalkan oleh komunitasnya. Penelitian dan perencanaan dilakukan secara bersama-sama dan secara seimbang dengan tujuan utama menghidupkan kembali suatu tradisi budaya atau membuat tradisi budaya itu lebih digemari oleh komunitas pendukungnya. Dengan kata lain, membuat suatu tradisi budaya menjadi hidup atau lebih digemari dalam komunitasnya. Penelitiannya melibatkan pengumpulan data secara kualitatif seperti yang telah dijelaskan dalam metode pengumpulan data di atas. Informasi yang dikumpulkan berkenaan dengan model revitalisasi dan pelestarian yang akan dilakukan sesuai dengan pandangan komunitas pemiliknya. Informasi itu bermanfaat untuk merencanakan program revitalisasi dan pelestarian. Dalam perencanaan partisipatoris ini, masyarakat setempat harus diikutsertakan, bahkan merekalah yang menentukan prioritas yang akan dilakukan. Mereka pulalah yang membuat program dan yang mengimplementasikan kegiatan revitalisasi dan pelestarian tradisi budaya itu. Lalu dengan keterbatasan pengetahuan komunitas setempat dan konteks sosial tradisi budaya, pertanyaan yang mungkin timbul adalah bagaimana mungkin masyarakat setempat dapat menetapkan prioritas, menyusun program, dan mengimplementasikan kegiatan itu dalam menghidupkan kembali sebuah tradisi budaya. Di sini peneliti memainkan peranan yang sangat penting karena dia di satu sisi memberikan gagasan, pandangan, dan  pikirannya untuk merevitalisasi dan melestarikan tradisi budaya yang sedang diteliti, tetapi di sisi lain dia harus membatasi dirinya untuk tidak memaksakan gagasan, pandangan, dan pikirannya kepada komunitas setempat. Peneliti harus mampu menempatkan dirinya sebagai moderator dalam pengumpulan informasi dan sebagai fasilitator dalam perencanaan revitalisasi dan pelestarian.

Dengan fungsi ini akan tercipta sumber daya manusia yang gigih dalam meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Singkatnya, Pendidikan Budaya Batak Toba ini berfungsi untuk mempersiapkan siswa pada kehidupan masa depan yang lebih sejahtera dan lebih damai melalui pembentukan karakter berbasis kearifan lokal sebagai nilai budaya yang diwariskan leluhur.

Paparan keempat dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Henri Nurcahyo dengan judul Menggerakkan Cinta Budaya Melalui Komunitas Pegiat Kebangsaan.

Masa depan negeri ini ada di pundak pemuda. Mereka adalah generasi pewaris zaman yang bakal meneruskan keberlanjutan bangsa ini. Karena itu generasi muda harus mendapatkan pemahaman yang benar mengenai apa dan bagaimana kebudayaan Indonesia agar semakin mencintai bangsanya. Mereka perlu diberi bekal yang benar dan cukup untuk menghadapi westernisasi dan globalisasi yang bisa melindas kebudayaan negeri sendiri. Bahwasanya urusan kebudayaan bukan hanya menjadi tanggungjawab kalangan budayawan dan intelektual belaka, tetapi justru para pemuda itulah yang harus mendapatkan kesempatan dan berperan aktif untuk ikut serta mengawal perjalanan masa depan Indonesia. Salah satu implementasi semangat tersebut di atas terwujud dalam sebuah wadah yang bernama Komunitas Pegiat Kebangsaan (KPK). KPK adalah sebuah jaringan anak-anak muda di Jawa Timur, khususnya siswa SMA/SMA/MA, yang memiliki minat tinggi belajar dan memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Mereka bukan hanya pasif mendengarkan ceramah, namun ikut bergerak dalam aktivitas cinta budaya dan kebangsaan.

Sampai dengan tahun kedua ini, nampaknya Komunitas Pegiat Kebangsaan (KPK) masih mengutamakan kuantitas siswa yang dapat terjaring dalam program KPK sehingga diantara mereka sendiri minimal sudah terbentuk jaringan sebagai sesama siswa pegiat kebangsaan. Sampai saat ini sudah terjaring sekitar 2000 (dua ribu) siswa se-Jatim sebagai anggota KPK. Jumlah ini tentu relatif kecil dibanding jumlah pengurus OSIS SMA/MA/SMK se-Jawa Timur. Apalagi kalau hendak menjaring semua siswa. Karena itu diharapkan KPK bukan hanya menjadi program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, melainkan dapat direplikasi di tingkat kota dan kabupaten.

Sasaran utama KPK adalah anak-anak muda yang masih sekolah di SMA/SMK/MA karena pada tingkatan usia itulah mereka menjelang memasuki masa kedewasaan sehingga sudah diperhitungkan haknya sebagai orang dewasa. Pada usia seperti itu juga masih bergelora jiwa muda, suka emosional, namun masih labil secara kejiwaan. Karena itu mengisi jiwa mereka dengan materi bersifat kepahlawanan, kebangsaan dan kebudayaan adalah sangat dibutuhkan agar mereka dapat menjadi generasi yang berkualitas dan siap menyongsong masa depan dengan karya-karya yang gemilang dalam mengabdi pada negeri ini.

Masih perlu ada penyempurnaan materi dalam setiap pertemuan KPK. Selama ini para siswa hanya menjadi pendengar dan melakukan dialog sekadarnya dengan para narasumber. Atau, menyaksikan dengan mata kepala sendiri objek-objek wisata perjuangan dan sejarah. Kedepan, perlu ada penjaringan respon dari mereka berupa karya tulis, minimal menuliskan kesan-kesan mereka selama mengikuti KPK. Dan mengingat semakin banyaknya peminat yang ingin bergabung menjadi anggota KPK maka bukan tidak mungkin dalam acara berikutnya diberlakukan syarat harus mengirim karya tulis dulu sebagai tahapan seleksi diikutkan dalam acara KPK berikutnya. Syarat ini agaknya tidak sulit, karena bukan bentuk atau teknis penulisannya yang dinilai, melainkan kontennya. Misalnya dengan pancingan tema: “Motivasi saya ingin menjadi anggota KPK.” Keberadaan grup FB – KPK dapat dimanfaatkan untuk mengirimkan karya tulis ini. Jadi bukan seperti sekarang ini, hanya sekadar kirim data-data pribadi belaka.

Menyimak berbagai komentar siswa mengenai pemahaman kebudayaan, terlihat sekali bahwa mereka memiliki semangat cinta kebudayaan negeri sendiri namun tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan. Terkait dengan hal ini maka ke depan barangkali perlu dipertimbangkan bahwa setiap anggota KPK diwajibkan memilih salah satu jenis kesenian yang disukai. Tidak harus menjadi pelaku aktif, namun bisa juga sebagai pengamat dengan cara menuliskan opininya mengenai kesenian yang disukainya. Dengan cara itu maka siswa dikondisikan untuk menyenangi kesenian (khususnya tradisi) dan terus berusaha belajar mengenai hal itu.