Sidang Komisi 3 Sesi 2, Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 (9/10)

0
984

Sidang komisi 3 pada sesi 2 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 dilaksanakan hari Rabu (9/10) di Hotel Ambarrukmo dengan topik Budaya Sebagai Kekuatan Diplomasi yang dimoderatori oleh Jabatin Bangun.

Paparan pertama dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Djoko Dwiyanto.

Paparan kedua dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Rahayu Supangggah dengan judul Mengglobalkan Seni (Budaya) Bangsa Indonesia.

Kekuatan seni budaya sejak lama telah disadari dan dikenal mampu memberikan image positif terhadap sesuatu, baik itu pada bangsa yang memiliki, yang menggunakan kesenian/kebudayaan tersebut. Demikian juga melalui pekerjaan, karya atau produk yang dihasilkannya. Sifat dan Wujud kesenian/kebudayaan yang menarik, sering digunakan berbagai fihak sebagai daya tarik yang efektif untuk mengenalkan, menggemari, mencintai, mengapresiasi dan mengagumi kesenian kebudayaan, bahkan sampai ingin memilikinya.

Dalam mengenalkan dan mengembangkan seni budaya sekaligus dengan kapasitasnya  sebagai sarana diplomasi atau pencitraan Indonesia, sampai saat ini lebih banyak dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah Indonesia, provinsi, kota, dan atau lembaga pendidikan maupun lembaga lainnya) adalah melalui kegiatan kegiatan sebagai berikut.

  • Misi Kesenian
  • Expo
  • Misi diplomatik
  • Pendidikan
  • Pagelaran dan Kolaborasi
  • Indonesia Year
  • Pusat Kebudayaan Indonesia di luar negeri

 DSC_0076

Paparan ketiga dalam sidang komisi 3 dengan pembicara Wagiono Sunarto dengan judul Budaya Sebagai Kekuatan Diplomasi Strategi Pengembangan Budaya Pop Indonesia.

Diplomasi Budaya sudah cukup banyak dan cukup lama dilakukan oleh Indonesia dalam berbagai misi diplomasi ke luar negeri, dan tentunya sudah mempunyai dampak yang cukup baik. Contohnya adalah pengiriman tim seni dari pusat maupun daerah ke tempat penyelenggaraan  Trade Fair, Inventment Road Show, Industrial Fair, International Fair, Tourism Mission, berbagai bentuk International Conference, Floriade, International Expo dan sebagainya. Expo Internasional yang embrionya dilakukan di London, Crystal Palace 1856, merupakan hajatan dunia untuk merayakan kemajuan teknologi dan industri di berbagai negara, terutama yang berada di Eropa dan koloni koloninya.

Bentuk lain adalah hubungan langsung personal atau kelompok minat, person to person, community- to community yang membawa misi budaya melalui berbagai bidang. Bentuk yang lebih canggih adalah melalui penerbitan dan penyebaran media cetak serta penyiaran radio dan televisi.

Secara singkat bisa dikatakan bahwa ada beberapa kepentingan yang bisa menjadi ukuran keberhasilan Diplomasi Budaya Internasional,

  1. Pada tingkat courtessy, dimana pertunjukan atau seni tradisi atau garapan baru mendukung suatu misi diplomasi. Terjadi pada tempat khusus yang terkait dengan event diplomatik yang diselenggarakan.
  2. Pada tataran khlayak terbatas, dimana kekayaan seni tradisi kita dan inovasi serta kreasi baru kita punya landasan lebih mapan pada lembaga lembaga tertentu di luar negeri. (melalui dunia ilmu, profesi, komunitas atau pendidikan formal), terjadi di sarana pendidikan dan sarana budaya secara regular dan konsisten, atau melalui media media baru.
  3. Pada tingkat apresiasi populer, yang menjangkau khlayak lebih luas dan mendapat apresiasi positif (mempunyai penggemar). Terjadi pada sarana publik dan media media baru.
  4. Pada tataran Industri Budaya atau Industri Kreatif, yang mengarah pada peningkatan citra dan peningkatan devisa, dengan sasaran konsumen massal dan segmen pasar, melalui  outlet atau media dan event lain yang tersedia, secara konsistent melalui program branding dan marketing (termasuk promosi) yang masif.

Paparan keempat dalam sidang komisi 3 dengan Kamaruzzaman B.A dengan judul Rancang Bangun Strategi Kebudayaan dalam Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia.

Kajian ini telah menunjukkan bahwa pemilihan satu kebudayaan tertentu di dalam negara bangsa, seperti Indonesia, tidak mampu membawa pada persatuan nasional yang utuh. Upaya untuk mensimbolisasi suatu kebudayaan yang begitu dominan, ternyata telah mengikir rasa persatuan nasional di kalangan rakyat Indonesia. Disadari atau tidak, peran ilmu-ilmu sosial dari Eropa dan Amerika Utara ternyata telah merubah cara pandang di dalam pola pembangunan. Disini peran agama dan budaya selalu menjadi objek dari dampak ilmu sosial di dalam merekayasa pembangunan di Indonesia.

Indonesia harus memiliki konsep yang tegas di dalam menghadapi imperialism budaya dan budaya global yang telah merubah cara pandang masyarakat Indonesia di dalam kehidupan sehari-hari. Dikhawatirkan generasi baru Indonesia lebih banyak memahami dan mengamalkan budaya global, ketimbang memahami dan mempraktikkan budaya lokal mereka sendiri. Keempat, di dalam persoalan keamanan dan pertahanan, ternyata budaya memiliki yang cukup signifikan di dalam merubah cara pandang rakyat Indonesia. Untuk itu, perlu dipikirkan bagaimana arah strategi pertahanan dan keamanan yang berbasiskan pada penguatan budaya lokal di Indonesia.